Kepala Menjadi Taruhannya!


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #20)

E
sok harinya mereka bangun pagi-pagi dan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk melaksanakan misi mereka di Kelurahaan Brangin.

Berkali-kali Andragi mematut-matutkan dirinya yang untuk pertama kalinya mengenakan pakaian ala negeri Klapa Getir. Ia merasa geli dan canggung. Dia menggunakan ikat kepala, baju kutung tak berlengan dan tak berkancing, celana tiga perempat, kain panjang yang dililitkan seperti sarung, sandal kulit yang menggunakan tetalian sebagai pengikatnya, serta ikat pinggang besar terbuat dari kulit sebagai pengikat sarung, baju dan celananya. Karena bajunya tak berkancing, maka dadanya terbuka. Jenis stelan yang dipakainya itu termasuk pakaian yang biasa dipakai para pengembara. Selain itu, ia juga membawa sejenis tas kantung dari kuli bertali panjang yang biasa diselempangkan para pengembara di bahu mereka.

Loyo pun menggunakan pakaian yang sama, bukan pakaian khusus santri Padepokan Kalbusih. Sedangkan Sonto menggunakan pakaian biasa para penduduk sehari-hari.

Sebenarnya ada yang berbeda dari Andragi karena dia juga memakai tas pinggang yang dibawanya dari rumah saat pelariannya dulu. Tas itu digunakannya untuk menyimpan barang-barang kecil yang akan digunakannya dalam misi mereka kali ini. Tapi tas itu sudah disamarkan dengan melapisinya menggunakan kain kasar.

“Sebaiknya Anak Langit mencari nama yang bisa kami panggil di tempat umum. Kami tentu tidak bisa menyebut Anak Langit di luar sana,” usul Sonto.
“Iya, betul juga. Nama apa ya sebaiknya?” tanya Andragi.
Ia berpikir sambil menunggu usul kedua rekannya.
“Bagaimana kalau pakai nama saya sebenarnya, Andragi. Cocok tidak ya?” lanjutnya lagi.
“Andragi...Andragi...” ulang loyo sambil berpikir. “Sepertinya nama itu tidak bermasalah dan cukup bagus. Bagaimana menurut kakak Sonto?”
“Iya, saya setuju. Kedengarannya seperti nama orang dari daerah Priga Kulon. Daerah itu termasuk Kadipaten Poruteng. Anak Langit, eh Andragi mengaku dari daerah sana saja. Tidak akan ada yang tahu karena daerah itu terbilang jauh dari sini,” kata Sonto.
“Baiklah, kalau begitu. Panggil saya Andragi. Jangan sampai terpeleset lidah ya?” ia mewanti-wanti.
 “Tetapi kalau tidak perlu, tidak usah menyebut nama karena apa yang akan kita lakukan nanti mungkin akan menggegerkan. Nanti Andragi menjadi terkenal lho!” kata Andragi.
“Ah, benar juga! Sebaiknya sebisa mungkin tidak menyebut nama. Kadang malah merugikan dan membahayakan,” kata Loyo.
Mereka mengangguk menyetujui.

Mereka lalu berangkat menuju Brangin. Perjalanan melintas hutan itu cukup jauh dan tidak mudah dilalui karena memang tidak ada jalan. Terkadang mereka harus menyibak semak belukar atau memotong sulur-sulur tanaman merambat, menyeberang kali dan melintasi jurang. Mereka berusaha tidak menimbulkan jejak sedikitpun sebagaimana pesan kakek Bulesak Tidak boleh terlihat bekas manusia lewat disitu. 

Akhirnya mereka tiba di tepi hutan. Menjelang masuk ke desa itu, Sonto memisahkan diri dan berjalan terlebih dahulu. Selang beberapa saat barulah Andragi dan Loyo berjalan agak berdekatan tetapi berlagak seakan saling tidak mengenal. Tujuan mereka langsung ke tempat judi Tamakir. Mereka sudah diberi tahu ancar-ancarnya, dan kesanalah mereka menuju.

Tempat judi itu berupa bangunan luas yang tak berdinding, seperti aula atau gedung olah raga. Atapnya cukup tinggi dan disangga oleh beberapa pilar besar dari batang kayu pohon sonokeling. Ruangan luas itu dua pertiganya digunakan sebagai arena berbagai jenis permainan judi, sedangkan sisanya dipakai untuk tempat makan dan minum, yang berisi meja-meja panjang serta bangku. Disamping tempat makan terdapat bagunan lain yang dipakai sebagai dapur.

Bagian ruangan tempat judi itu terdiri dari beberapa arena permainan judi yang berbeda-beda. Setiap arena berisi satu meja bundar yang cukup besar yang di salah satu sisinya terdapat bangku tempat bandar duduk. Disamping bandar terdapat lemari tempat menyimpan peralatan judi masing-masing, termasuk alat-alat bantu untuk mencurangi para penjudi. Alat-alat itu tidak setiap saat digunakan, tetapi hanya pada saat omset pemasukan terancam tidak sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh Tamakir. Oleh karena itu penghasilan dari bisnis ini selalu bisa dipastikan besarnya. Tidak ada kata rugi bagi bandar judi. Tentu saja pada bagian ini biasanya dijaga ketat oleh para tukang pukul yang bertubuh tegap dan sangar. Para penjudi mengelilingi meja besar itu sambil berdiri.

Disisi lain bangunan utama yang besar itu terdapat bangunan lagi yang terlihat bagus, tempat khusus bagi Tamakir jika sedang berada di tempat itu yang juga digunakannya untuk menjamu dan bermain judi dengan para tamu istimewanya, biasanya pejabat pemerintah. Untuk mengambil hati para pejabat itu, Tamakir memiliki metode berjudi tertentu. Jika Tamakir bermain judi dengan para tamu istimewanya, maka ia akan membuat dirinya kalah sampai jumlah tertentu dan mengatakan uang pribadinya telah habis. Jumlah uang itu sebenarnya kira-kira sama dengan uang pelicin yang telah disiapkannya. Karena uangnya telah habis, maka ia akan mempersilakan tamu istimewanya itu melanjutkan di arena judi umum jika masih ingin terus bermain. Dia tahu persis bahwa para penjudi akan selalu penasaran dan ingin terus bermain baik saat menang maupun kalah. Tamu istimewa yang penasaran itu biasanya lalu meneruskannya di arena umum dan sudah pasti ia akan dikalahkan dengan bantuan peralatan curang yang telah disiapkan para bandar. Uang Tamakir pada akhirnya akan tetap berada di tangannya. Sementara si tamu yang penasaran meneruskan main judi, Lurah Brangin akan meninggalkan tempat itu dengan alasan melaksanakan tugas-tugas ke-Lurah-annya.

Dengan cara seperti itu orang-orang besar yang pangkatnya lebih tinggi sekalipun dapat dengan mudah dikalahkan oleh seorang lurah Tamakir, gajah dialahkan pelanduk.

Didepan bangunan utama tempat perjudian itu terdapat halaman yang cukup luas yang disediakan untuk tempat kuda-kuda ditambatkan serta cadangan arena judi jika pelanggan yang datang membludak.

Ketika Sonto tiba disana, tempat judi itu telah ramai dipenuhi oleh para penggemarnya. Diam-diam ia berbaur dikerumunan orang banyak secara tidak mencolok. Sambil berpura-pura melihat orang-orang yang sedang bertaruh, matanya menyelidik mencari-cari anak dan istrinya.

Beberapa saat kemudian ia melihat salah seorang anaknya sedang sibuk melayani pesanan makanan atau minuman para penjudi. Hilir mudik anak perempuan itu membawa nampan berisi makanan atau minuman. Tak lama kemudian dilihatnya pula anak yang kedua melakukan hal yang sama, tetapi kemudian mendapat makian dari tamu yang dilayaninya.

“Anak Goblog!!”  Bawa segera makananku kemari. Jangan membuat aku tidak sabar menunggu!” bentak tamu itu yang rupanya sedang kalah berjudi.
“Ba... baik Pak.” jawab si anak ketakutan.

Hati Sonto serasa diiris-iris dan marah. Ingin rasanya ia melabrak orang itu, tetapi ditahannya agar tidak mengacaukan misi mereka.

Selang beberapa saat anak perempuan itu kembali dengan tergesa-gesa membawa makanan dan minuman menuju pemesannya tadi. Ia terlihat gugup dan berkeringat dingin. Saat hendak meletakkan makanan dihadapan si penjudi tangannya semakin gemetaran sehingga sebagian tuak lontar minuman kesukaannya berceceran. Lelaki itu menggebrak meja sambil memaki.
“Budak busuk! Kubunuh kau, brengsek!”
Anak itu pucat pasi dan semakin gemetar. Kakaknya segera menghampirinya membantu membersihkan meja di hadapan tamu galak itu dari ceceran tuak. Matanya tampak melelehkan airmata.

Melihat itu, hati Sonto serasa terbakar dan kali ini dia tidak kuasa meredamnya. Tetapi ketika kakinya hendak melangkah, pundaknya ditepuk seseorang. Dia menoleh dan ternyata penepuknya tidak lain adalah salah seorang centeng, anak buah Tamakir.

“Hahaha... rupanya kau disini Sonto! Kau mau menebus anak-anakmu itu..!?” Hahaha.. Bagus-bagus!! Sebelum mereka benar-benar kami umpankan kepada para tamu-tamu gila itu sebaiknya segera kau tebus!” kata centeng itu.
“Tetapi sebelumnya tentu akan kita pakai sendiri kan, Dul? Lumayan dapat yang  masih kinyis-kinyis!” sambut seorang centeng lain yang tiba-tiba juga sudah berada disitu, kepada kawannya  yang  disebutnya sebagai Dul. Namanya Bedul, dan karena memiliki cambang yang lebat ia biasa dipanggil Dul Brewok.

“Hahaha.hahaa....!” keduanya tertawa.

Sonto merasa dongkol dan marah bukan main, tetapi ia hanya bisa menelan kemarahannya dalam-dalam.
“Akan aku tebus hari ini!” katanya geram.
“Hahaha..haa, kalau kau sudah bawa uang itu, akan aku antar kau menemui  Ki Lurah sekarang,” kata Dul Brewok.
“Tunggu sebentar lagi! Aku sedang menunggu orang yang akan membawanya kemari,” kata Sonto melirik ke halaman tempat perjudian itu.

 Saat itu dilihatnya Loyo dan Andragi memasuki halaman itu secara berselang.

Andragi diam-diam mengikuti Loyo yang langsung menuju salah satu arena judi yang paling banyak dikerumuni orang. Jenis judi yang dimainkan disitu disebut dengan Ciluwak Gludug, yakni permainan dengan menggunakan tiga buah dadu yang pada setiap sisinya terdapat gambar berbeda-beda. Dadu-dadu itu dimasukkan ke dalam sebuah wadah beralas datar, lalu ditutup dengan sebuah kotak kayu yang permukaannya sedikit lebih kecil dari alas datas itu, kemudian diguncangkan agar berjumpalitan dan berubah posisinya. Suaranya yang khas berbunyi “gludug” saat diguncangkan oleh bandar itulah maka diberi tambahan nama Gludug. Para penjudi kemudian memasang taruhannya di meja bundar yang telah diberi gambar sesuai dengan yang ada pada sisi-sisi dadu. Pada gambar-gambar itulah uang taruhan diletakkan menurut tebakan pemasangnya. Terkadang tidak hanya uang, melainkan harta benda bahkan hingga hewan maupun sawah. Tetapi yang dipasangkan berupa tulisan setelah mendapatkan persetujuan si bandar.

Sesekali terdengar sorak sorai penjudi yang tebakannya ‘kena’ terutama jika taruhannya cukup besar. Tetapi lebih sering tersengar sumpah serapah dan gerutu mereka yang terkuras isi kantungnya.

Di arena yang ramai itulah Andragi menyeruak diantara para penjudi yang memadati sisi meja.  Dia sengaja mencari tempat yang berhadapan dengan bandar agar mudah dilihat oleh si bandar maupun para centeng yang mendampinginya. Setiap kali setelah terdengar suara ‘gludug’, para penjudi sibuk segera memasang taruhannya, dan setiap kali pula Andragi hanya menunjuk-nunjuk gambar-gambar itu seakan sedang menimbang-nimbang gambar yang mana yang akan dipasangnya. Tetapi kemudian ia membatalkan, tidak jadi memasang, sementara si bandar sudah tidak sabar untuk membuka tutup Ciluwak itu. Beberapa kali ia lakukan itu hingga membuat si bandar dan centengnya gusar.

“Hei, saudara mau pasang tidak?! Kalau tidak, menyingkir dari situ biar tempatnya dipakai yang lain!” hardiknya.
“Sabar, saya akan memasang taruhan yang sangat besar!” katanya kalem tapi tegas.
“Apa yang mau kamu pasang? Sawah, ladang atau hewan, heh?!” tanya si bandar.
“Saya tidak punya uang dan juga harta benda itu,” jawabnya.
“Jadi. apa yang mau kamu pasang! Kepalamu, hah!!”  hardiknya jengkel.
“Ya, kepalaku!” jawab Andragi sambil memukul meja, menunjukkan kalau ia tidak main-main.
Tangannya bertolak pinggang. Pandangannya serius.
“Ooohhh!”
Para pengunjung terkejut dan berseru tertahan. Serentak mereka mundur satu dua langkah untuk memberi tempat bagi Andragi dan si bandar berunding soal taruhan besar itu.

“Bagus!” kata si bandar. “Kebetulan kita perlu banyak tenaga untuk menggarap sawah dan ladang sitaan tanpa perlu mengupah. Tanganku juga sudah lama tidak memenggal kepala orang. Kau akan kita suruh bekerja keras dan kalau sudah bosan kita bisa membunuh monyet ini sewaktu-waktu. Berapa taruhan yang kau minta?”
“Kepalaku bukan harga yang murah! Tetapi permainan ini pun terlalu gampang bagiku, tidak seimbang dengan harga kepalaku. Ini permainan Anak kecil. Kalian pasti kalah!”
“Sombong sekali kau, heh! Kau kira kau bisa menang?”


Apakah Andragi akan menang, atau kepalanya akan hilang?

Siapa Yang BODOH: Pemilih atau Yang Dipilih??


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #19)

Ketika sudah merasa telah lebih aman sekarang, nyali Jaira pulih kembali. Saat tiba di tempat istirahat rasa marahnya kepada kakek Bulesak muncul lagi begitu melihat santri muda yang dijadikan sanderanya itu. Ia segera turun dari kudanya, dan menghampiri sandera mereka itu. Anak buahnya enggan ikut turun karena mereka ingin segera berlalu dari tempat yang mengerikan itu. Mereka tidak mau lagi mengalami kekacauan yang kacau balau membuat mereka kalang kabut seperti cina karam, sebagaimana tadi di gua kakek Bulesak di bunuh itu.

Jaira menggengam hulu pedangnya. Matanya nyalang, merah karena marah. Tanpa basa-basi dihunusnya benda tajam itu dan dengan sekali ayun putuslah kepala santri muda itu. Kepala tanpa rambut itu jatuh menggelinding hingga sampai kedekat para prajurit yang terhenyak melihat darah santri muda itu berceceran dan...berwarna putih juga. Sama seperti warna darah gurunya.

“Rupanya semua pengikutnya masih perjaka juga,” gumam Dulatah yang percaya sepenuhnya kata-kata komandannya.

Sebagai pemuda yang belum menikah dan belum pernah berhubungan badan dengan wanita, terbersit pula keraguan di hatinya. Jangan-jangan darahnya juga berwarna putih. Diam-diam ia menggoreskan telapak tangan kirinya dengan ujung belati yang selalu dibawa oleh seorang prajurit sebagai senjata cadangan atau untuk berbagai keperluan lain. Ia tersenyum lega manakala melihat darah yang keluar dari telapak tangannya ternyata masih berwarna merah.

“Ayo kita pulang!!” perintah Jaira.

Itulah kalimat yang ditunggu-tunggu. Tanpa menanti perintah berikutnya lagi para prajurit itu langsung menggeblas kuda mereka menuruni pegunungan yang mengerikan itu. Yang ada dalam pikiran mereka hanya satu: Pulang dan secepatnya sampai di markas! Ikan sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus - begitu kata hati para prajurit itu. Mereka tidak pernah lagi mau menoleh ke belakang, kecuali penunggang terakhir yang sesekali melakukannya, karena ia merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka. Entah apa.

Sebagai prajurit senior, Tangka tahu kalau di tegah jalan menuju Padepokan Kalbusih ada jalan pintas menuju markas mereka di Buntung tanpa harus melalui padepokan kakek Bulesak yang telah mereka bunuh itu. Bagaimanapun juga terselip perasaan tidak enak di hatinya. Ia berniat mengusulkan pikirannya itu beberapa saat menjelang tiba di persimpangan itu.

Tetapi tidak demikian dengan pimpinan mereka, Jaira. Pangeran muda yang ambisius itu berniat melakukan pekerjaannya secara tuntas. Ia akan menghabisi seluruh isi Padepokan Kalbusih itu untuk membuktikan ancaman yang telah diberikannya.

“Pangeran, setelah satu belokan lagi kita akan sampai di pertigaan. Kita bisa memilih jalur yang kekiri. Itu jalan pintas ke Buntung,” usul Tangka.
“Tidak! Kita akan menuju padepokan kakek setan itu untuk menghabisi mereka semua. Ancaman kita harus kita buktikan agar menjadi pelajaran bagi yang lain!”
“Bukankah itu bisa kita lakukan hari lain. Anak-anak sudah sangat lelah,, pangeran?” hibanya lagi.
“Sekali TIDAK tetap Tidak! Kalau diberi kesempatan mereka akan bersiap atau melarikan diri. Kalau tidak sekarang, janji itu akan sulit kita buktikan. Apa kata dunia??! hah!!” bentak Jaira.
“Yang berani berbelok ke kiri akan kubunuh!” teriaknya kepada para prajuritnya.

Mendengar peringatan itu hati para prajurit menjadi kecut dan kecewa berat. Darah putih yang mereka lihat dari dua orang itu saja telah membuat mereka merasa ngeri dan mual, apalagi jika darah seisi padepokan. Hiiiih!

"Cepat, pacu kuda kalian!” teriak Jaira.

Benarlah. Sesaat kemudian mereka telah mendekati pertigaan yang dimaksud. Namun....., tiba-tiba mereka terkejut dan dengan gerakan reflek menghentikan kudanya saat melihat kakek Bulesak dan santri muda itu tiba-tiba telah berdiri menghadang mereka di tengah jalur yang menuju ke Padepokan Kalbusih. Mereka sangat terkejut dan ketakutan bukan kepalang dan bingung tak tahu berbuat apa bagai pelanduk di tengah cerang. Kuda-kuda mereka gelisah, bergerak liar ke kiri dan ke kanan sulit dikendalikan agar tenang. Mungkin karena binatang itu sudah sangat lelah dan jengkel larinya dihentikan seketika.

“Jaira, kenapa kau bunuh aku dan santriku ini?” tanya kakek Bulesak berwibawa.
“Haaannntttuuu!!!” A..da han..tu!!” teriak Dulatah yang kaget dan latah karena pada saat yang sama kudanya tertabrak oleh kuda lain di belakangnya yang sulit dikendalikan.

Serentak mereka menggebrak kuda masing-masing, memacunya sekuat tenaga melalui jalur yang kiri tanpa peduli lagi ancaman komandan mereka. Lebih baik mati nanti dari pada sekarang, pikir mereka. Apalagi mati karena dimakan hantu.

Jaira sendiri gemetar ketakutan dan secara reflek menggeblas pula kudanya mengikuti anak buahnya untuk menyelamatkan diri. Tak ada lagi pikiran lain selain ingin secepat mungkin tiba di markas mereka. Mereka tiba di Buntung pada tengah malam dan langsung jatuh tertidur kelelahan di emperan markas mereka tanpa perlu repot-repot menuju tempat tidur di barak masing-masing.

Pengalaman mendebarkan mereka di gua Pintu Suargi itu pada hari-hari sesudahnya menjadi bahan cerita mereka kepada orang lain, tentu saja dengan bermacam-macam bumbu dan bualan seru seram seakan merekalah hero-nya.

Gua Pintu Suargi kemudian menjadi terkenal keangkerannya. Sejak itu tak pernah seorang pun yang berani mendekatinya alih-alih coba masuk ke dalamnya, kecuali tentu penunggunya yang tak lain kakek Bulesak. Begitu angkernya legenda Gua Pintu Suargi sehingga para orang tua yang kesulitan menenangkan anaknya yang menangis atau merengek-rengek cukup mengatakan akan membawanya ke gua pintu suargi, maka seketika anak itu akan berhenti menangis.

Di kemudian hari, pada jaman yang lebih maju, gua itu dijadikan tempat memohon pesugihan bagi masyarakat, atau kelancaran karir terutama  di kalangan pejabat yang malas berkarya, tidak kreatif, bebal dan serakah, yang mengharapkan segalanya dapat diperoleh secara instan. Para oportunis kemudian dengan cerdik memanfaatkan kesempatan itu dengan berlagak sebagai dukun atau paranormal palsu dan sejenisnya.

Aneh, memang! Tetapi yang lebih aneh lagi masyarakat yang sudah lebih pandai dan terdidik tetap memilih para pejabat bebal itu sebagai pemimpin mereka saat pemilihan umum langsung dilaksanakan. Jika dalam pelaksanaan pemerintahan tidak sesuai dengan harapan mereka (tentu saja, yang mengurusnya tidak becus dan bodoh, atau hanya mendengar bisikan dukun), para pemilih itu menghujatnya habis-habisan, mengatakan para pemimpin itu bodoh dan tolol. 

Lah, yang memilih itu siapa? Yang tolol itu siapa? hayo! Yang memilih atau yang dipilih?

Sementara itu,
Selepas mengusir Jaira dan pasukannya dengan cara ‘penampakan’ itu, kakek Bulesak segera menuju markas Sontoloyo untuk menemui Anak Langit. Disana ia menceritakan kepada Andragi, Sonto dan Loyo semua kejadian tadi diselingi dengan gelak tawa pendengarnya.

Terkagum-kagum mereka akan kesaktian kakek Bulesak. Ingin rasanya mereka mengetahui bagaimana kakek itu bisa melakukan hal gaib itu, tetapi mereka segan dan sekuat tenaga meredam rasa ingin tahu itu.

“Ah, tampaknya kalian bertiga penasaran ingin tahu bagaimana aku melakukannya, bukan?” selidik beliau.
 “Benar, kakek,” jawab Andragi mewakili.

Kedua kakak beradik itu mengangguk-angguk menyetujuinya.

“Sebenarnya itu bukan sesuatu yang terlalu aneh atau ajaib,” jawab kakek Bulesak memulai penjelasannya. “Itu hanya permainan daya pikir yang menuntun pada pandangan khayal semata,” lanjutnya.

Dalam pikirannya Andragi mengartikannya sebagai semacam permainan ilusi, seperti pertunjukan yang yang sering dilakukan para ilusionis di jamannya. Namun begitu ia tetap bertanya untuk memastikannya.

“Apakah yang mereka lihat itu hanya pandangan khayal mereka semata?” tanyanya.
“Ya, begitulah kira-kira,” jawab kakek Bulesak.
“Kok bisa, ya?” tanya Sonto dan Loyo hampir berbarengan.
“Begini," kata kakek Bulesak memulai penjelasannya. 
"Pada dasarnya orang hanya ingin mendengar apa yang ingin didengarnya dan ingin melihat apa yang ingin dilihatnya. Contohnya, kita tidak ingin mendengar kalau saudara kita meninggal, jadi kita berharap kita tidak pernah mendengar kabar itu. Kalau ada orang datang mau mengabarkan ada orang meninggal, kita berharap bukan berita tentang saudara kita itu yang meninggal. Begitu juga, kalau kita benci pada seseorang yang telah membuat kita jatuh pailit, kita tidak ingin melihat dia sukses. Sebaliknya kita ingin melihat dia jatuh sengsara atau paling tidak ingin mendengar kabarnya begitu.”

“Nah, Jaira dan pasukannya itu di dalam hati kecil dan pikiran terdalam mereka, mereka ingin melihat aku, para santri dan para warga Padepokan Kalbusih itu mati. Pikiran itu tertanam dan merasuk sukma mereka. Kalau sudah demikian, maka dengan usaha yang kecil saja untuk meransang atau menuntun pikiran mereka ke arah itu, maka akan terbentuk bayangan khayal seperti yang mereka ingin lihat, tetapi dalam pandangan mereka nyata adanya. Aku hanya mempengaruhi sedikit pikiran mereka, dan jadilah!” jelas kakek Bulesak.

Dalam pikiran Andragi, kakek Bulesak telah menghipnotis Jaira dan pasukannya. Betapa hebat kemampuan hipnotis kakek itu pikirnya.

“Pernahkah kalian melihat orang yang kerasukan, atau yang tergila-gila pada sebatang pohon pisang yang dikira kekasihnya?” tanya kakek Bulesak sambil matanya mengarah jenaka kepada Loyo.

Loyo pun tunduk tersipu-sipu.
“Ah kakek guru, bikin malu saya,” katanya tersipu-sipu.
“Tidak perlu malu. Kamu justru hebat karena bisa mengatasinya. Jaira belum tentu bisa mengatasi masalah batinnya itu,” hibur kakek Bulesak.
“Memangnya Loyo kenapa, kakek?” tanya Andragi berlagak pilon.

Sonto yang sejak tadi hanya diam segera menyahut.
“Iya, sobat Anak Langit,” katanya memulai tetapi mendapat sebuah sikutan ringan di rusuknya, oleh Loyo.
Ia pun tertawa dan segera melanjutkan.

“Dulu Loyo punya kekasih yang begitu dicintainya. Tetapi malang, kekasihnya itu meninggal, hanyut terbawa air ketika sedang menyeberang sungai di desanya. Loyo sangat kehilangan dan sedih sekali ibaratnya Air diminum serasa duri, begitulah. Iya kan Loyo?"

Yang ditanya hanya diam menunduk. Ia teringat betapa sedih dan hancur hatinya kehilangan kekasih yang sangat dicintainya itu. Hidup terasa begitu pahit dan sakit, nasi dimakan serasa sekam.

Sonto melanjutkan, "Ia sering melamun. Akhirnya, pohon pisang yang ada di halaman rumah kami menjadi sasarannya. Ia sering memeluk dan menciuminya seakan pohon itu kekasihnya. Kakek Guru kemudian membawanya ke Padepokan Kalbusih dan mendidiknya menjadi santri. Sekarang gelarnya “Santri kekasih batang pisang”, hahahaha...!” tawa Sonto berderai.

Kali ini sikutan yang diterimanya lebih keras.
“Aduh!” serunya.

Mereka berempat tertawa.
“Begitulah kekuatan dahsyat pikiran manusia. Dengan kekuatan itu seseorang bisa mewujudkannya menjadi kenyataan, dalam arti yang sebenarnya. Bukan khayalan seperti tadi,” kata kakek Bulesak.
“Maksud kakek?” tanya Loyo tertarik.
“Nanti saja kuceritakan, karena kalian masih punya tugas penting menyelamatkan anak istri Sonto. Apa kalian sudah mempunyai rencana yang rinci untuk itu?”
“Sudah kakek,” jawab Andragi.

Ia lalu menceritakan apa yang akan mereka lakukan.
“Baik, kalau begitu. Itu barang-barang Anak Langit telah aku bawa kemari. Maaf  kalau aku memasukkannya serampangan ke dalam ‘karung’ Anak Langit yang aneh dan banyak kantongnya itu.”
“Oh, tidak apa-apa kek. Terimakasih,” jawab Andragi.
“Aku kira sebaiknya mulai sekarang Anak Langit selalu menggunakan  pakaian yang biasa dipakai orang-orang disini, agar tersamar dan bisa diterima masyarakat. Karena itu aku sudah membawakan seperangkat pakaian dan perlengkapan yang bisa digunakan Anak Langit sehari-hari.”
“Terimakasih kakek, Bulesak,” jawab Andragi.
“Nah, sekarang aku pamit pulang. Orang-orang di padepokan tentu sudah menungguku untuk mendengar berita yang ingin mereka dengar,” kata kakek Bulesak.

Ia kemudian berjalan keluar gua dan hilang dalam kerimbunan hutan.


Apa rencana mereka untuk membebaskan istri dan anak-anak Sonto?

Memangnya Kawin Itu Enak?



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #18)

Pagi-pagi sekali pada hari yang telah dijanjikan yaitu 3 hari setelah penyerangan di padepokan itu, Pangeran Muda Jaira memerintahkan pasukannya untuk bersiap menuju Gua Pintu Suargi. Yang mereka tahu hanya ancar-ancarnya saja. Belum pernah ada orang yang berani menginjakkan kakinya disana selain kakek Bulesak dan, tentu saja, Anak Langit. Semua orang tahu kalau gua itu sangat angker, dan mereka percaya banyak hal-hal gaib terjadi disana. Salah-salah mereka akan binasa tak tentu kemana arwah mereka pergi.

Setelah segalanya siap, mereka segera memacu kuda mereka  menuju Padepokan Kalbusih, yang jaraknya hampir setengah hari berkuda dari markas mereka di Kawedanan Buntung. Kawedanan adalah satuan wilayah setingkat kecamatan pada jaman sekarang. Adapun Kelurahan Brangin berada dibawah wilayah Kawedanan Buntung.

Menjelang siang, sekitar pukul 10.30, mereka tiba di depan gerbang Padepokan Kalbusih. Melihat kedatangan pasukan yang pernah menerjang ganas tubuh-tubuh mereka pada upacara suci tiga hari yang lalu, para penduduk mengunci diri mereka dan dengan hati-hati mengintip dari dalam rumah. Tidak ada yang berani keluar. Pengalaman sebelumnya serta ancaman Jaira telah membuat para penghuni padepokan itu ketakutan. Yang sedang bekerja di ladang atau di luar rumah pun segera pulang begitu melihat dari jauh pasukan yang ganas itu menuju padepokan mereka.

Seorang santri muda yang ditugaskan kakek Bulesak menemui mereka, dengan hati-hati dan penuh rasa was-was menunjukkan arah dimana bendera kuning pertama berada dan patokan arah menuju Gua Pintu Suargi.

Tanpa bicara sepatahpun, pasukan itu segera melaju ke arah yang ditunjuk. Satu persatu bendera kuning mereka lalui sementara jalan semakin lama semakin menanjak. Selain menanjak dan tidak mulus, jalanan itu juga berliku-liku dengan kelokan tajam yang seringkali membuat mereka menarik kekang kudanya dengan sigap kalau tak hendak terjerumus ke dalam jurang atau selokan berbatu.

Setelah berjalan cukup lama, kuda dan penunggangnya sudah mulai kelelahan, kehausan dan kelaparan. Beberapa prajurit sudah mulai menggerutu diam-diam, tetapi mereka tidak berani meminta istirahat. Dalam hati, Dulatah, prajurit yang suka iseng itu, menghibur diri dengan berharap siapa tahu diatas gua disana ia akan bertemu dengan bidadari yang cantik. Prajurit muda ini memang gatal matanya bila melihat wanita apalagi cantik, sebagai melihat asam. Ia mengencangkan semangatnya seiring dengan mengencangkan ikat pinggang besarnya yang mengendor karena muatan di dalam lambungnya telah kosong.

Untungya tak berapa lama kemudian, Tangka, seorang prajurit senior yang menjadi tangan kanan Jaira memberanikan diri menyampaikan isi hati rekan-rekannya.

“Sebaiknya kita istirahat dulu pangeran, kuda-kuda ini juga perlu istirahat dan minum,” usulnya.
“Tidak sekarang, Tangka! Kita harus mengejar waktu. Kalau hari ini kita tidak sampai di gua itu, kakek setan itu punya alasan untuk tidak menyerahkan Anak Langit. Kalian semua harus bersemangat! Kalau berhasil nanti, kalian semua akan kuberi imbalan yang cukup untuk seumur hidup, atau untuk kawin lagi semau kamu!” katanya tegas.

Mendengar imbalan itu, Dulatah tersenyum senang. Rasa lapar dan hausnya tiba-tiba lenyap terbawa semangatnya yang membumbung tinggi. Kata kawin selalu membuatnya bersemangat. Ia tidak pernah berpikir besarnya tanggung jawab dibalik kata kawin itu. Bila ada prajurit yang telah berkeluarga datang dengan wajah loyo mereka selalu mencandainya dengan mengatakan habis bersenang-senang dengan istrinya semalam suntuk, padahal yang terjadi sering karena habis bertengkar atau menunggui anak yang sakit, semalam suntuk.

Dulatah dan orang seusianya sering tidak menyadari pahit getirnya ‘kawin’.  Para suami yang habis bertengkar itu justru menyembunyikannya dan mengamini canda rekan-rekannya, karena takut dikatakan sebagai suami takut istri. Akibatnya Dulatah hanya tahu kawin itu enak, titik.

Akhirnya mereka tiba disebuah puncak yang berbatuan tanpa tetumbuhan sama sekali, dimana kabut tebal merayap dibawah kaki-kaki kuda mereka.Saat itu waktu sudah menjelang sekitar pukul 15.00 siang. Kuda dan manusianya kini benar-benar telah lelah, lapar dan haus.

Pangeran Jaira berkeras melanjutkan perjalanan, tetapi kudanya sama sekali tidak mau bergerak. Dihentak-hentakkan kakinya ke perut binatang itu tetapi sia-sia. Binatang yang terkenal patuh dan setia itu bergeming pada tempatnya. Akhirnya ia mengalah.

“Anak-anak, kita istirahat disini sejenak. Beri makan dan minum kuda-kuda kalian sebelum kalian sendiri makan!” perintahnya.

Tanpa menunggu sedetikpun para prajurit segera menuntun kuda mereka ke tempat di perbatasan hutan dengan bukit tandus itu yang banyak rerumputan dan air. Setelah itu mereka segera membuka bekal masing-masing dan melahapnya dengan rakus. Urusan perut memang tidak mengenal kompromi. Bekal yang sudah dingin itupun terasa nikmat. Dalam sekejap makanan itu telah berpindah ke lambung mereka masing-masing. Setelah makan mereka lalu merebahkan diri di bawah pepohonan dan segera jatuh terdtidur pulas dibelai oleh angin pegunungan yang sejuk dan perut yang kekenyangan. Sebagai komandan, Jaira beristirahat pada tempat yang agak berjarak dari para prajuritnya.

Jaira tidak berani memejamkan mata sepenuhnya. Ia takut ketiduran dan kehabisan waktu hari itu untuk mencapai gua tujuan mereka. Selang satu jam mereka beristirahat, dalam tidur-tidur ayamnya itu, Jaira melihat dari balik kabut di arah menuju gua tiba-tiba muncul seorang santri muda yang mengenakan kain serba putih berjalan menuju dirinya. Tersentak, ia segera bangun berdiri. Dilihatnya semua anak buahnya tertidur pulas. Karena itu dia bergerak hendak membangunkan mereka. Tetapi santri muda itu menggelengkan kepalanya sambil meletakkan jari telunjuknya melintang dibibirnya. Jaira berhenti, mengurungkan niatnya untuk membangunkan para prajuritnya.

“Anda sudah ditunggu kakek guru di gua Pintu Suargi. Harap segera kesana seorang diri,” katanya.
“Tidak! Aku tidak mau ditipu lagi oleh kakek tua itu!” kata Jaira keras-keras, sengaja membangunkan para prajurit dari mimpi mereka. 

Tergagap para prajuritnya segera berdiri sambil bersiap memegang senjata. 
Melihat itu hati Jaira mengembang.

“Disana ada Anak Langit atau tidak!!?” tanyanya kasar.
“Entahlah. Saya tidak melihatnya,” jawab santri muda itu.
“Prajurit, tangkap anak ini. Sandera dia! Kalau sampai Anak Langit tidak ada disana kita bunuh dia!” perintah Jaira.

Para prajurit segera meringkus santri muda tanpa perlawanan.
“Kemana arah menuju gua!?” tanya Jaira.
Santri muda itu menunjuk kearah dimana dia datang sebelumnya.
“Empat orang menjaga anak ini, yang lain ikut saya!”

Bergegas pasukan itu mengambil kuda mereka dan menaikinya lalu melaju menuju gua. Tak lama kemudian kabut segera menyelimuti mereka, membuat mereka harus berhati-hati berjalan di jalur bebatuan. Di sebelah kiri jalur bebatuan itu menganga jurang yang dalam, namun tertutup oleh awan. Ini membantu membuat mereka dan kuda-kudanya menjadi tidak ketakutan.

Lebih dari setengah jam mereka berjalan ketika mereka tiba pada sebidang pelataran yang cukup luas . Dihadapan mereka berdiri dinding terjal. Dibagian tengah dinding itu terdapat anak tangga berlapis-lapis dan lumayan curam. Tampaknya sengaja dibuat demikian agar kuda tak bisa ditunggangi melintasinya. Pelataran itu bisa dipakai sebagai tempat memarkir kuda-kuda mereka. Mereka lalu menambatkan kuda-kuda mereka disana.

Dipimpin oleh Jaira, satu persatu mereka menaiki anak tangga itu hingga mencapai pelataran gua. Keadaan disana sunyi senyap. Tidak tampak kakek Bulesak keluar menyambut.

Ini tentu membuat Jaira curiga, jangan-jangan orang tua itu akan mengelabuinya lagi. Ia lalu menyuruh seorang anak buahnya memastikan apakah di dalam gua itu ada Anak Langit. Prajurit muda itu segera menghampiri pintu gua dengan hati-hati dan mengintip kedalam dengan seksama. Beberapa saat kemudian ia melangkah surut, sama hati-hatinya, lalu berbalik berjalan menuju Jaira.

“Apa yang kamu lihat di dalam? Adakah Anak Langit disana?” cecarnya.
“Yang ada hanya kakek itu sedang duduk bersila menghadap ke tempat duduk yang lebih tinggi, sepertinya itu singgasana Anak Langit. Tetapi tempat duduk itu kosong!” lapornya.
“Kurang ajar, kakek busuk itu! Aku akan membunuhnya, dengan atau tanpa keberadaan Anak Langit!” geramnya.

Dengan lincah dia menghunus pedangnya, berjalan mengendap-endap, diikuti oleh pasukannya. Saat melihat kakek Bulesak sedang khusuk bersamadi memunggungi mereka, ia memberi isyarat agar pengikutnya berhenti.

“Kebetulan! Pucuk dicinta ulam tiba!” pikirnya.
Ia tahu apa yang harus dilakukannya.
“Jika mesti berhadapan muka, belum tentu aku bisa membunuh setan tua ini. Aku tidak tahu setinggi apa kesaktiannya. Kata orang dia cukup sakti. Jadi, inilah kesempatan terbaik untuk membunuhnya. Tak akan kusia-siakan peluang emas ini,” katanya dalam hati.

Perlahan-lahan, tetapi dengan langkah yang pasti, Jaira mendekati kakek Bulesak dari belakang. Begitu jaraknya cukup dekat, ia mengangkat pedang ditangannya tinggi-tinggi dan dengan sekuat tenaga mengayunkannya, menebas leher orang tua itu.

“Crassstt!!
“Mampus kau kakek!” teriaknya ketika mata pedang itu dirasakannya menyentuh leher si kakek dan melesak memisahkan tulang-tulang yang menyangga kepalanya.

Seketika itu juga terpisahlah kepala berambut putih itu dari tubuhnya, mengelinding jatuh disamping tubuh yang masih tetap terduduk. Tetapi ada yang aneh...! Dan itu sempat membuat Jaira terhenyak manakala ia melihat darah yang muncrat dari batang leher yang terpotong itu ternyata berwarna putih seperti susu. Namun, sebagai seorang pimpinan pasukan, segera pula dia menguasai diri dan tidak ambil pusing. Dijejaknya tubuh tak berkepala itu hingga roboh menggelosor ke depan.

“Dasar orang tua tolol! Sampai setua ini rupanya masih perjaka, sampai-sampai darahnya pun menjadi putih seperti air kelelakiannya!” serunya untuk meredam rasa terkejut anak buahnya, yang turut  menyaksikan darah yang aneh itu.

“Cepat periksa seluruh ruangan ini dan tangkap Anak Langit!” perintahnya.

Pasukan itu segera memeriksa setiap sudut ruangan itu tetapi tidak terlihat batang hidung orang yang dicari.

“Mungkin dia sudah kembali ke asalnya melalui lubang ini pangeran,” lapor Tangka, tangan kanannya.
“Coba periksa ke dalamnya!”
“Tidak bisa pangeran, lubangnya curam ke atas dan licin.”

Ada hawa seram yang menggelitik bulu kuduk mereka di dalam ruangan itu, apalagi dengan darah putih kakek Bulesak berceceran di lantai. Jaira tak ingin berlama-lama berada disitu. Hal yang sama dirasakan pula oleh para anak buahnya.

“Ya sudah! Ayo kita cabut!” perintahnya.

Mereka segera keluar menuju tempat parkir kuda, dan berusaha sesegera mungkin berlalu dari tempat angker ini. Dikejar oleh rasa seram, Dulatah yang kebetulan berada di posisi kedua terdepan menggeblas kudanya dengan cepat di jalur berbatuan mengikuti penunggang terdepan. Ulah ini segera diikuti oleh teman-temannya yang mengira mereka dikejar sesuatu. Gemuruh kaki-kaki kuda diiringi ringkikan binatang itu, ramai bersahut-sahutan.

Mendengar kegaduhan itu, seorang prajurit yang penakut menjadi panik dan karenanya malah membuatnya kesulitan membuka ikatan kuda yang sebenarnya hanya dililitkan secara sederhana pada batang kayu yang sengaja disediakan untuk itu. Berkali-kali ia mencoba, tetapi justru setelah lepas, tangan kirinya sendiri yang terlilit. Cairan hangat tak terasa membasahi selangkangannya. Ia terkencing-kencing!

“Toloong aku ditangkap!!” teriaknya serak.

Tak seorangpun peduli dengan teriakannya, dan hanya gemanya saja yang datang menghampiri dirinya. Semakin ketakutanlah dia! Untunglah tanpa sengaja lilitan itu terlepas begitu saja. Ia segera menyengklak kudanya meski harus dilakukannya beberapa kali karena kakinya terasa berat seakan ada yang memegang dan menahannya. Akhirnya ia berhasil juga dan tergopoh-gopoh memacu binatang itu mengejar teman-temannya.

“Heii. Tunggu!” teriaknya berulang-ulang.

Segera ia dapat menyusul teman-temannya yang sekarang malah tidak melarikan kuda mereka, hanya berjalan meski agak tergesa-gesa.

“Nasib baik!” pikirnya lega.
"Tetapi, kenapa mereka tidak menggeblas kudanya?"

Rupanya kejadian di depannya juga tidak kalah mengerikan. Prajurit terdepan yang menggeblas kudanya dengan cepat, semakin mempercepat lari tunggangannya itu ketika terdesak oleh kuda-kuda di belakangnya yang mengira mereka sedang dikejar sesuatu. Pada saat mata binatang yang lebih awas itu melihat ada batu yang cukup besar menghadang didepannya, ia melakukan lompatan yang cukup tinggi. Prajurit yang berada di punggung kuda itu tidak siap, terkejut, keseimbangannya hilang dan genggamannya lepas dari tali kekang kudanya. Tubuhnya terlempar melayang jatuh ke dalam jurang.

“Aaaaaaaa...aaaaaa...aaaa aa....!” terdengar teriakannya panjang.

Kasihan nasibnya. Ia jatuh ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya sampai-sampai benturan tubuhnya menghempas bumi pun tidak terdengar. Kudanya meringkik kehilangan penunggangnya, lalu berlari-lari kecil, diikuti oleh prajurit lainnya dengan hati-hati.

Akhirnya mereka sampai juga di ujung jalur bebatuan itu dimana ke empat rekannya sedang menunggu sambil mengawasi sandera mereka, yang kini terikat pada sebatang pohon. Keempat orang ini juga merasakan hawa seram dan sejak tadi ingin segera meninggalkan tempat itu. Hati mereka jadi lega saat melihat rekan-rekan mereka telah kembali.


Bagaimana nasib Anak Langit dan penduduk Padepokan Kalbusih, setelah kakek Bulesak terbunuh?

Setan Lebih Suka Tempat Yang Suci!


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #17)
Tiga
PILKADA BUNTUNG

S
etelah menekan bagian rahasia dinding stalagmit, masuklah Andragi dan Loyo menemui Kakek Bulesak yang tampaknya sedang memberi berbagai wejangan kepada Sonto, sambil menanti mereka. Keduanya segera memberi hormat kepada kakek Bulesak.

“Ah, kalian sudah tiba, syukurlah. Silakan duduk,” kata kakek Penjaga Pintu Suargi itu dengan ramah seperti biasanya.

Mereka berdua mengambil tempat berdampingan di sisi kiri dan kanan Sonto, menghadap kakek Bulesak.

“Bagaimana perjalananmu dengan Anak Langit, Loyo?” tanya kakek itu.
“Bukan main kakek guru! Anak Langit memiliki banyak kesaktian yang ajaib. Lagi pula Anak Langit sangat baik serta rendah hati,” jawab Loyo.

 Wajah Andragi jengah mendengar pujian itu.
 “Tetapi harimau itu tidak kau bunuh, kan?! Baiklah kalau begitu,” kata kakek hebat itu tanpa menunggu jawaban Loyo.

Ia kemudian menatap sejenak teropong yang tergantung di leher Andragi, dan mengangguk-angguk sambil tersenyum, maklum.

“Dan .. Anak Langit tentunya sudah mengetahui kejadian saat upacara tadi itu kan?” tanyak kakek.
“Maaf kakek Guru.. Tapi saya belum menceritakannya kepada Anak Langit,” sela Loyo berusaha mencuci tangan, takut dikira lancang.

“Bukan.. bukan begitu Loyo. Anak Langit melihatnya sendiri semua kejadian itu dengan jelas dari jarak jauh, dengan menggunakan benda yang tergantung di lehernya itu,” jelas kakek Bulesak.

Loyo dan terutama Sonto terheran-heran  melihat Andragi mengangguk membenarkan ucapan kakek Bulesak.

“Benar kakek Bulesak. Saya melihat semua sepak terjang brutal pasukan berkuda itu. Tetapi saya tidak bisa mendengar apa saja yang diucapkan oleh pimpinannya yang gagah itu,” jawab Andragi.
“Baiklah! Memang untuk itu saya kemari. Membicarakan apa yang harus kita kerjakan menanggapi ancaman Jaira, komandan pasukan itu,” katanya sambil membetulkan duduknya.
“Tetapi kalian harus bisa menjaga rahasia dengan baik. Kalian harus menggenggam erat, membuhul mati menjaga rahasia ini sekuatnya. Kau Sonto, sebagai saudara Loyo yang menjadi muridku dan sudah berjanji setia menjadi sahabat Anak Langit, harus bisa menjaga rapat-rapat rahasia ini. Kalau sampai bocor, keselamatan Anak Langit dan juga seluruh warga Padepokan Kalbusih akan menjadi taruhannya. Kalian paham?!” tanyanya, terutama kepada Sonto dan Loyo.
“Kami paham dan berjanji kakek guru!” jawab keduanya serempak.

Kakek Bulesak lalu menceritakan semua kejadian tadi dengan lengkap termasuk ancaman Jaira untuk memenggalnya jika tidak menyerahkan Anak Langit dalam tempo tiga hari. Selanjutnya beliau menjelaskan apa yang harus mereka lakukan selama tiga hari itu.

"Jadi, sebaiknya Anak Langit tidak tinggal di Padepokan kalbusih lagi," kata kakek Bulesak.

Andragi merasa sedih karena dia tidak boleh lagi tinggal di padepokan itu bersama warga yang telah menerimanya dengan senang hati. Melihat hal itu kakek Bulesak menjelaskan alasannya sejak awal, sejak ia bertekad untuk bertapa selama seratus hari.

“Begini ceritanya,” kata kakek Bulesak memulai.
“Sejak banyak orang pandai dan berbakat yang dikriminalkan dengan cara yang licik oleh para pejabat yang korup, keji dan serakah kemudian dipenjara atau dibunuh atau dibuang ke tempat yang jauh, keadaan negeri ini mulai suram. Korupsi merajalela di segala kehidupan anak negeri. Orang-orang yang tadinya bersih dan lurus akhirnya terjerumus juga, berkubang dengan kekotoran itu. Ini telah terjadi bertahun-tahun. Anak Langit bisa melihat sendiri bagaimana Sonto diperdaya oleh Lurah Brangin, namanya Tamakir,  sehingga ia hampir saja berbuat jahat terhadap Anak Langit. Padahal sebelumnya ia seorang yang sangat patuh terhadap hukum. Tamakir memang manusia yang tamak dan kikir, lagi keji,” jelas si kakek.

Kakek Bulesak sengaja menjelaskan ini, untuk menyadarkan Sonto dari kekhilafan yang ia buat sehingga harus menghadapi masalah yang menimpa keluarganya sekarang.

“Nah, sejak itu banyak dari mereka yang sempat lolos datang meminta kepadaku untuk bertapa meminta bantuan Dewa Yang Maha Esa agar berkenan menurunkan utusannya demi memberantas kebejatan moral para petinggi negeri dan kesesatan rakyat negeri kami. Dari sekian banyak yang meminta kepada saya itu terselip juga antek-antek kaki tangan petugas negeri. Mereka menyamar dan menyusup seperti musang berbulu ayam. Maksud mereka mudah ditebak, agar mereka juga tahu jika Anak Langit benar-benar datang, mereka tidak ketinggalan berita. Jadi, saya tidak heran juga jika diantara penghuni padepokan, terselip juga penyusup atau warga yang telah menjadi kaki tangan orang-orang serakah maupun oknum pemerintah yang korup,” ia berhenti sejenak.

“Makanya ketika saya datang bersama Anak Langit dan mendapat penyambutan yang meriah dari warga, saya langsung mengumumkan akan mengadakan upacara suci penyambutan Anak Langit tiga hari kemudian dengan maksud memberi kesempatan kepada para kaki tangan itu memberitahu tuannya. Upacara itu sendiri hanyalah sarana untuk memancing si penjahat,” jelas kakek Bulesak.
“Sebentar, kakek Bulesak,” Andragi menyela.
 “Bagaimana kakek begitu yakin kalau diantara warga padepokan yang suci ini terdapat kaki tangan para penjahat?” tanyanya.
“Begini. Harus dipahami dulu bahwa padepokan itu sendiri bukanlah suatu tempat yang suci. Yang suci itu adalah isi hati dan sikap perilaku manusianya yang selalu berdoa dan melaksanakan imannya dalam kehidupan kesehariannya yang saling mengasihi satu sama lain. Selama ini kehidupan Padepokan Kalbusih memang kita bangun seperti itu sehingga terciptalah gambaran tempat itu adalah tempat yang suci. Nah, sayangnya setan tidak bodoh dan tahu persis tempat berlindung yang paling aman justru di tempat-tempat yang “suci” seperti itu. Dia tahu persis orang akan enggan mencurigai tempat-tempat seperti ini. Anak Langit pahamkan?” tanya si kakek.
Andragi mengangguk.
”Tetapi bagaimana kakek yakin kalau pasukan itu akan datang pada saat upacara? Bagaimana bila dia tidak muncul?” tanyanya lagi.
“Yayaya.. hehehe..Sebenarnya saya sendiri tidak sebegitu yakin. Tetapi dalam perhitungan saya, orang-orang yang ambisius tidak akan kehilangan kesempatan sedikitpun. Mereka itu seperti anjing berebut tulang. Mereka takut kalau kedahuluan oleh pesaing mereka. Jadi pada kesempatan pertama mereka akan ambil, dan itu berarti pada upacara itu. Selain itu mereka toh tidak harus susah-susah mencari kesana kemari. Sudah pasti ada disitu pikir mereka.. hehehe.. Mereka kecele!” tawanya berderai.
Mereka semua ikut tertawa.

“Tapi kalau mereka tidak datang, tentu saya akan merubah jalannya upacara. Cadar yang dipakai Parjit sebagai pengganti Anak Langit tidak akan dibuka di depan umum, tetapi dibawa masuk ke pendopo terlebih dahulu dengan iringan penari lalu saya akan minta awan di langit untuk menjemput  Anak Langit yang sedang berada di atas pohon. Kalau Anak Langit turun dengan menggunakan awan tentu akan menjadi lebih menakjubkan lagi...hehehe!” jelas si kakek.

Sonto dan Loyo ikut tertawa geli karena mereka mengira kakek Bulesak sedang bergurau. Mereka memang tidak tahu, sebagaimana halnya warga Padepokan Kalbusih yang lain, kalau Kakek Bulesak mempunyai kesaktian menunggangi awan itu.

“Baiklah, sekarang saya harus kembali ke padepokan. Kalian bertiga bekerja sama membuat markas ini menjadi lebih baik tetapi jangan sampai bisa diketahui orang lain. Kau Sonto, besok harus pergi ke desa terdekat membeli bahan makanan untuk dibawa kesini. Tapi ingat, jangan pernah menggunakan lintasan yang sama agar tidak menjadi jalan setapak sehingga mudah diketahui orang lain. Saya akan kesini lagi setelah tiga hari dari sekarang.”

 Beliau lalu keluar dan menghilang di dalam hutan.

Esoknya Andragi dan Loyo menyibukkan diri membangun markas Sontoloyo agar tidak mudah disusupi orang yang tidak diharapkan. Sebelumnya mereka meneliti lebih jauh seluruh bagian gua dan menemukan beberapa ruangan  tersembunyi serta lorong panjang berkelok-kelok yang menembus disisi lain bukit itu persis pada dinding yang terjal dan ditutupi oleh air terjun. Dibawah air terjun setinggi kira-kira 50 meter dari mulut gua itu tampak terbentuk kolam yang bening dan dalam. Mereka juga membuat sebuah ruang rahasia di salah satu ruang yang baru ditemukan untuk dipakai Anak Langit. Ruang rahasia itu hanya bisa dicapai melalui ruang rahasia lainnya yang akan dipergunakan sebagai tempat pembicaraan rahasia mereka.

Menjelang petang hari Sonto datang dengan membawa beberapa bahan makanan, terutama beras dan ubi-ubian. Ia membawa juga beberapa peralatan tukang kayu seperti parang, gergaji, serut dan sebagainya sesuai pesan Andragi sebelum ia berangkat pada subuh tadi. Hari itu mereka habiskan dengan membuat berbagai peralatan rumah tangga yang penting seperti tempat tidur, lemari untuk menyimpan barang-barang Anak Langit, peralatan masak dan sebagainya. Keesokan harinya mereka teruskan pekerjaan itu hingga selesai dan sesudah itu mereka membicarakan rencana mereka untuk membebaskan anak-anak dan istri Sonto dari cengkeraman Tamakir, dan para tukang pukul yang selalu setia menemaninya seperti anjing penjaga.

“Apa sobat Sonto dan Loyo sudah memahami rencana yang saya maksudkan?” tanya Andragi.
“Kami mengerti Anak Langit, dan akan menjalankan sebaik-baiknya,” kata mereka serempak.
“Baiklah.  Kita akan melaksanakan segera setelah kakek Bulesak datang,” kata Andragi memutuskan.


Apakah mereka berhasilmembebaskan istri dan kedua anak Sonto?

Ujian Kejujuran Anak Langit



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #16)

“Kalian semua tidak perlu khawatir atas keselamatan kalian. Nyawa kalian adalah segala-galanya bagiku," jawab kakek Bulesak. 
"Kalau memang demikian keadaannya, aku akan menyerahkan Anak Langit kepada Jaira. Bukankah aku yang membawanya kemari? Karena itu akulah yang harus bertanggung jawab. Beri maaf kepadaku karena membuat kalian menderita seperti ini,” tegas si kakek memastikan.

Meski kata-kata kakek Bulesak itu mampu membuat hati mereka sedikit tenang, namun kini berganti dengan perasaan kecewa akan kehilangan Anak Langit yang baru saja mereka dapatkan setelah menanti lama dan menjadi tumpuan harapan masa depan kehidupan mereka agar lebih baik. Haruskah harapan yang baru saja mekar itu mati lagi? Dilema yang tidak menyenangkan. Keadaan ini bagai buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati.

Tetapi.... dimanakah sebenarnya Anak Langit berada?

Pada sebatang dahan sebuah pohon besar di dalam hutan di luar padepokan itu, Andragi melihat dengan jelas semua kejadian tadi melalui teropongnya. Mulai dari prosesi upacara yang indah dan khidmat hingga sepak terjang brutal pasukan Jaira yang tidak mengenal belas kasihan. Hatinya sedih. Ingin rasanya kembali ke padepokan itu untuk memberi pertolongan kepada penduduknya dengan obat-obatan yang ia bawa. Tetapi kakek Bulesak telah mengingatkannya untuk tidak kembali ke Padepokan Kalbusih demi keselamatan para warga yang tidak berdosa.

“Kakek Bulesak memang hebat. Kakek itu seakan sudah tahu apa yang akan terjadi atau memiliki perhitungan yang sungguh cermat,” kagumnya di dalam hati.

Memang benar demikian. 
Malam sebelumnya, seusai makan malam, kakek Bulesak meminta Andragi meniggalkan Padepokan Kalbusih sebelum fajar menyingsing, menyingkir ke markas Sontoloyo. Menurut perhitungannya pada upacara itulah pasukan pemerintah atau orang-orang yang oportunis akan datang menangkapnya. Ternyata hal itu sungguh terjadi. Upacara itu hanya bohong-bohongan untuk memancing mereka.

"Hhmmmm... Memang kakek yang hebat dan pemimpin yang luar biasa.." gumam Andragi dalam hati.

Ia lalu bergegas turun dari pohon besar itu dan dan segera pula berjalan menuju markas Sontoloyo. Hatinya masih galau memikirkan nasib penduduk yang menjadi korban keganasan pasukan Jaira.
Tetapi.... Belum seberapa jauh ia melangkah, tiba-tiba terdengar auman seekor harimau besar beberapa puluh meter di depannya. Ia terkejut dan takut bukan main. Belum pernah dalam hidupnya bertemu binatang buas ini di alamnya yang bebas. Kalau toh pernah bertemu, itu di kebun binatang di dunianya dulu, dimana binatang itu di kerangkeng dengan jeruji besi yang kuat.

Harimau itu berjalan ke kiri dan ke kanan seperti sedang menghadang jalan sementara kepala dan matanya tetap menatap tajam dirinya. Kadang harimau itu berhenti, lalu memutar badannya ke arah sebaliknya, tetapi kepalanya tetap diarahkan kepada Andragi. Ekornya menjuntai ke belakang sambil sesekali digoyang-goyangkannya. Lutut Andragi terasa lemas melihat ancaman binatang buas pemakan daging ini.

“Ah, tamat sudah riwayatku,” keluh Andragi.

Ia tidak berani bergerak sembarangan. Binatang itu sewaktu-waktu bisa berlari dan melompat menerkamnya bila ia salah bergerak. Keringat dingin terasa mengalir di punggungnya. Diam-diam tangannya merogoh korek api di dalam saku celananya. Perlahan-lahan ia menggeserkan tubuhnya mendekat kearah dedaunan kering sejenis rumpun pisang. Ia berharap kalau bisa mencapai tempat itu, ia akan membakar dedaunan kering disitu untuk mengusir atau paling tidak menunda binatang itu tidak segera menyerangnya.

Melihat gerakan Andragi bergeser secara hati-hati itu, binatang buas itu menghentikan gerakannya dan menatapnya curiga. Sejurus kemudian harimau itu mulai sedikit menekukkan ke empat kakinya pertanda akan segera berlari menerkam. Andragi menjadi panik, tangannya gemetar dan lututnya serasa lemas. Dadanya serasa sesak sulit bernapas. Tatapan mata binatang itu seakan telah merontokkan seluruh persendiannya. Tetapi ia bertekad segera bisa mencapai dedaunan itu dan membakarnya. Gerakannya menjadi kasar tak berirama, dan itu membuat si harimau mengambil keputusan melompat untuk menerkam. Lompatannya begitu cepat mengarah tepat ke posisinya. Hati Andragi mencelos, dan berpikir ia akan mati dimangsa binatang buas ini.

Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, terdengar suara keras “BUK”...BUK...BUK!” disusul geraman kuat binatang itu. Andragi yang menyadari dirinya belum diterkam, segera berusaha bergerak lagi, merangkak untuk menyulut daun kering yang telah berhasil diraihnya. Namun ia segera menghentikan niatnya itu ketika terdengar sebuah sapaan.

“Tak perlu lagi dibakar, sobat Anak Langit. Binatang itu sudah pergi.”
Terdengar suara Loyo disusul langkah kaki menghampirinya. 
Andragi mengumpulkan kembali napasnya yang tersengal-sengal, lalu berdiri.

“Untung sobat Anak Langit melakukan gerakan akan membakar daun itu sehingga saya punya kesempatan memukulnya saat perhatiannya terpusat untuk menerkam Anak Langit.”
“Kemana binatang itu sekarang,?" tanya Andragi setelah napasnya kembali.
“Ia sudah pergi dengan kesakitan, tetapi saya tidak membunuhnya,” jawab Loyo.
“Ohh,..Terimakasih atas pertolongannya, sobat Loyo.”
“Oh tidak sama sekali. Saya lihat Anak Langit tidak berniat membakar binatang itu dengan api naga, tetapi hanya ingin mengusirnya dengan asap saja maka saya memutuskan untuk sedikit memamerkan kebolehan saya. Maafkan atas kelancangan saya sobat,” kata Loyo polos.

Dalam hati Andragi ingin mengatakan hal yang sebenarnya bahwa dia memang telah diselamatkan oleh Loyo. Tetapi hatinya ragu. Ada kekhawatiran menyelimutinya. Jangan-jangan Loyo tidak akan menghargainya lagi dan dia kehilangan persahabatan mereka yang baru saja tumbuh. Hatinya bimbang. Apakah sebaiknya ia berterus terang ataukah diam saja. Kalau diam kan tidak berbohong, atau diam juga sudah berarti bohong? Ada yang bilang diam itu emas, itu menguntungkan. Tapi itu kan hanya bagi diri sendiri. Tak ada nilai dan kemuliaan hati sama sekali. Tetapi.. kalau bicara apa adanya..bisa saja nyawanya terancam. Bisa saja Loyo mencelakainya...ah tidak mungkin...paling mungkin ia tidak dihargai seperti semula, sebagai Anak Langit yang sakti.

Atau ....Mungkin sebaiknya mengatakan yang sebenarnya tetapi tidak perlu seluruh kebenaran diceritakan. “Tell the truth, but not the whole truh” istilah itu pernah didengarnya dari mulut bosnya waktu dia masih bekerja di dunianya dan instansinya yang penuh korup dulu. Itu berarti sudah bicara, dan tidak bohong...Cuma tidak seluruh kebenaran diceritakan...??? Wah..bagaimana ya..?

Akhirnya, dia lalu memutuskan suatu saat akan menceritakan semuanya bila situasinya tepat. Tetapi kapankah itu..? Bukankah ini saat yang paling tepat dimana kejujuran dipertaruhkan diatas segala kekhawatiran atau ancaman? Kalau jujur dalam keadaan normal tanpa ancaman kehilangan sesuatu, apa pahalanya? Semua orang juga bisa!

Akhirnya Andragi berkata:
“Tidak..., Sobat Loyo memang telah menyelamatkan nyawa saya! Itu sebenarnya yang terjadi!  Saya tadi sebenarnya tidak sempat menyiapkan api naga karena terkejut dan takut. Sekali lagi terima kasih, sobat!” kata Andragi sambil merebahkan lutut dan memberi sembah tiga kali.

Loyo segera merebahkan lututnya dan membalas sembah Andragi sebagai tanda saling menghormati. Mereka lalu berdiri kembali. Melihat sikap Loyo itu hati Andragi menjadi tenang dan bahagia. Beban batinnya lepas dan Loyo tampaknya masih tetap menghargainya.

Ia kemudian membimbing Loyo menuju batang sebuah pohon yang tumbang dimana mereka kemudian duduk.

“Begini sobatku Loyo. Ada yang harus saya ceritakan kepadamu sebagai sahabat saya,” kata Andragi memulai pembicaraan
.
Loyo merasa tersanjung dan mendengarkan dengan sepenuh hati.
“Saya memang tidak datang dari dunia masa ini, tetapi dari dunia masa depan kira-kira lima ratus tahun dari sekarang. Meskipun begitu saya adalah manusia biasa yang tidak memiliki kesaktian seperti dewa. Saya bahkan tidak memiliki keahlian ilmu bela diri seperti yang sobat Loyo miliki, yang dengan sekali pukul saja bisa mengalahkan harimau,” ia berhenti sejenak melihat reaksi Loyo.

Mata Loyo membelalak penuh keheranan, tetapi pipinya tersenyum mendapatkan pujian.
“Tetapi api naga itu?” tanyanya.

Inilah ujian kejujuran itu pikir Andragi. Orang biasanya mudah berbuat jujur dalam keadaan yang aman dan nyaman, tidak tertekan dan tanpa resiko. Tetapi bila mengandung resiko atau ancaman dibaliknya, tidak mudah bagi seseorang untuk berkata dan bertindak jujur jika ia tidak memiliki prinsip nilai yang kuat. Orang yang mencari aman cenderung akan berbohong.

 Andragi bertekad bahwa dia harus lulus dari ujian ini, apapun resikonya.
“Api naga yang kamu lihat itu, sama sekali tidak berasal dari dalam tubuhku. Nih coba lihat!” katanya sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan menghadapkannya ke wajah Loyo.

Secara reflek, Loyo melompat mundur menghindar, takut terkena semburan api.

“Kamu lihat sendiri, tidak ada apa-apa kan?” katanya sambil sekali lagi membuka lebar-lebar mulutnya.

Pelan-pelan Loyo mendekat, melihat dengan seksama rongga mulut Andragi. Ternyata sama dengan yang dia miliki, cuma bedanya gigi Andragi tersusun rapi dan berwarna putih bersih. Bahkan hawa yang keluar dari dalamnya pun terasa wangi semriwing. Tidak seperti giginya yang semrawut letaknya, berwarna kuning dan hitam serta mengeluarkan bau naga yang asli.

“Lalu, dari mana api itu?” tanyanya keheranan.
“Kami menggunakan berbagai ilmu pengetahuan dan peralatan maju yang kami sebut teknologi. Peralatan itu dibuat dengan menggunakan akal dan pikiran kami. Contohnya benda ini.” katanya sambil memperlihatkan korek api gas.
“Ini kami sebut korek api. Dengan benda ini saya bisa membuat api dalam sekejap hanya dengan menggojangkan jempol saja. Lihat ini!”
“Creeessst!” dan keluarlah api dari ujung benda itu.
“Woow, itu sihir!” serunya kagum.
“Nah, untuk api yang keluar dari mulut pakai ini,” kata Andragi sambil menunjukkan botol kapsul yang kini berisi bensin.

Ia lalu membuka tutupnya dan mendekatkannya ke hidung Loyo. Tersengat oleh bau bensin yang asing itu, Loyo terbatuk-batuk seraya mengucak-ucak matanya yang juga terasa perih. Ia terlonjak berdiri menghembuskan kuat-kuat uap ‘racun’ itu dan menghirup dalam-dalam udara segar.

“Benda yang bening ini namanya botol, dan cairan di dalam botol yang baunya membuat kamu batuk-batuk itu namanya bensin. Cairan ini sangat mudah terbakar. Nah, sekarang perhatikan saya!” lanjutnya.

Andragi lalu memasukkan bensin ke dalam mulutnya, lalu menyalakan korek api di depan wajahnya dan menyemburkan isi dalam mulutnya ke arah dedaunan kering didekatnya. Seketika menyemburlah api dari mulutnya dan membakar dedaunan itu. Loyo terlonjak surut, terkejut.

“Wo..wo..wo.., Hebat sekali, hebat sekali!” serunya.
“Nah, semua benda ini kami buat dengan menggunakan pengetahuan dan alat-alat yang sudah maju. Benda-benda ini adalah barang biasa dan sehari-hari kami gunakan untuk keperluan hidup kami.” jelasnya.
“Tanpa benda-benda ini saya tidak bisa apa-apa. Sobat Loyo dengan mudah bisa mengalahkan saya atau bisa membunuh saya sekarang!” kata Andragi bertaruh nyawa.
 “Wow, tidak! Bagi saya Anak Langit tetap hebat!” seru Loyo.

Bagaimanapun juga benda-benda asing itu adalah senjata-senjata yang hebat yang dia belum tahu kesaktian apa lagi yang bisa dihasilkannya.

 “Kakek guru Bulesak mengajarkan kepada kami bahwa kesaktian itu terletak pada pikiran dan hati kita, bukan pada kekuatan fisik semata. Anak Langit tentu mempunyai pikiran yang hebat-hebat dan memiliki hati yang baik, yang mau memaafkan kami yang sudah berniat jahat,” jawab Loyo sambil menggemgam erat tangan Andragi sebagai pertanda persahabatan mereka.

Andragi merasa lega. Ia telah memenangi pertaruhan nyawa tadi, tetapi lebih lega lagi karena ia telah lulus dari ujian kejujuran itu.
.
“Masih banyak benda lain yang kami gunakan untuk membantu kehidupan kami mejadi lebih mudah. Teropong ini misalnya,’ kata Andragi sambil memperlihatkan benda yang menggantung di lehernya.
“Benda ini akan dapat membuat kita bisa melihat benda yang jauh sekali. Tetapi nanti saja  saya jelaskan kegunaannya. Tentunya sobat Loyo ada keperluan tertentu sampai datang ke hutan ini.” selidik Andragi.

Tiba-tiba Loyo tersadar akan tujuannya menemui Anak Langit di hutan itu.
“Oh, iya! Saya sampai lupa!” serunya.

Ia menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.
“Saya disuruh kakek Bulesak untuk meminta sobat Anak Langit segera menuju markas kita. Beliau sudah menunggu disana,” kata Loyo
“Maksudmu markas Sontoloyo!?” kata Andragi menegaskan.
“Iya, markas Sontoloyo....hehe!” katanya agak geli dan kikuk mengingat namanya dipakai sebagai nama markas mereka. Oleh Anak Langit pula!

Mereka berdua pun segera bergegas menuju markas Sontoloyo. Dengan riang keduanya berjalan sambil bercakap-cakap saling membagi pengetahuan yang mereka miliki. Loyo menjelaskan tentang kehidupan dan berbagai adat kebiasaan di negeri mereka, Klapa Getir.

Tanpa terasa beberapa bukit dan anak sungai telah mereka lalui. Tak ada rintangan yang menghalangi  perjalanan mereka yang menyenangkan itu. Hati Loyo merasa begitu lekat dengan anak muda yang dikaguminya itu, sedangkan Andragi merasa memiliki sahabat sejati yang rendah hati. Persahabatan mereka bagai empedu lekat di hati, terasa akrab sekali.

Sesampai disana, mereka dapati kakek Bulesak dan juga Sonto, telah menanti mereka.


Ujian apa lagi yang akan dihadapi Anak Langit?

KOMENTAR ANDA