Dunia yang Ganjil: Berharap Yang Busuk Yang Menang



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #26)

“Persis seperti yang saya pikirkan.” kata Jaira. “Saya sudah menjanjikannya begitu agar ia mau mengakui sebagai kaki tangan pemuda setan itu.”

Dan itulah yang terjadi. 
Hakim wilayah yang sudah menerima suap dari Jaira dan mendapatkan bukti dari Sukadu tentang tewasnya Paldrino dan keluarganya memutuskan terpidana di hukum penjara dua puluh tahun dan dipenjara di Buntung demi penyelidikan lebih lanjut.

"Hahaha....!! Lalu jarum lalu kelindan, pekerjaan pembuka jalan telah berhasil maka yang lain-lain juga akan segera berhasil, hahaha..!"ujar Tamakir gembira saat tiga sekawan itu berkumpul lagi.
"Hahahaha....!!" timpal sukadu dan Jaira sambil menyeruput tuak lontar.
"Ki Lurah Tamakir benar-benar cerdik!", puji Jaira.

Beres dengan masalah tewasnya wedana Paldrino, kini Tamakir dan Jaira mulai bersiap menghadap pemilihan wedana baru Buntung. Pendaftaran calon sudah dibuka dan lurah Tamakir menjadi orang pertama yang mendaftar. Ini bukannya tanpa maksud apa-apa. Jelas, maksudnya agar Jaira maupun Sukadu berikut anak buah mereka bisa menggertak para calon lain untuk tidak meneruskan niatnya maju menjadi pesaing Tamakir.

Siasat mereka manjur. Beberapa lurah dan warga yang cukup terpandang yang tadinya akan mendaftar sebagai calon wedana urung. Mereka mundur teratur setelah ditakut-takuti oleh kaki tangan Jaira yang notabene prajurit Klapa Getir yang bermarkas di Buntung. Menurut para prajurit itu mereka telah mencium gelagat dan ada info kalau keselamatan para calon wedana akan terancam, termasuk keluarga mereka, jika berani mendaftar. Sebagai prajurit yang bertugas menjaga keselamatan rakyat, mereka tidak dapat menjamin hal itu karena para teroris itu tampaknya sangat profesional dan beroperasi pada saat-saat yang tak terduga. 

Ini juga terjadi pada lurah Urwae. 
Demi mendengar bahwa lurah Urwae sudah mendaftarkan diri, Sukadu dan Jaira segera datang menemuinya.

"Selamat siang Bapak Pamong Negeri dan Pangeran Muda Jaira. Rupanya saya mendapat tamu-tamu penting hari ini," sapa Lurah Urwae dengan ramah sambil mempersilahkan kedua petinggi itu masuk.
"Ada hal penting apa yang bisa saya bantu hingga bapak berdua datang ke gubug saya ini?" tanyanya.
"Begini ki Lurah Urwae," Sukadu menyahut. "Para petugas telik sandi saya mendapat info yang dapat dipercaya bahwa para calon wedana yang ikut pemilihan akan dihabisi berikut keluarganya oleh gerombolan Pemuda Pembakar Air."
"Pemuda Pembakar Air??? "Siapakah dia?" tanya Urwae.
"Orang yang mengalahkan Lurah Tamakir dalam taruhan membakar air dan gerombolannya yang membakar rumah Wedana Paldrino hingga tewas bersama keluarganya," jelas Sukadu.
"Sebagai pejabat Pamong Negeri yang bertanggung jawab menjaga keamanan dan keselamatan warga disini saya wajib memberitahukan hal ini kepada ki Lurah Urwae," lanjut Sukadu.
Ooohhh....," desah Urwae kaget. "Bukankah Pangeran Muda telah berhasil membunuh kawanan itu?" tanyanya.
"Yang terbunuh hanya kroco-kroconya saja. Pemuda setan itu sendiri belum berhasil kami ringkus," jawab Jaira.
"Dan pemuda itu sangat sakti, saya sendiri menyaksikan kehebatannya sampai tak bisa berbuat apa-apa waktu membakar air dulu itu," Jelas Sukadu.

Lurah Urwae terdiam, hatinya tercekat dan ia mulai was-was.

"Jujur saja harus saya katakan ki Lurah..., Saya dan prajurit Klapa Getir disini tidak dapat menjamin keselamatan ki Lurah dan para calon yang lain dalam menghadapi para teroris itu," kata Jaira.
"Lantas, bagaimana dengan nasib para calon yang lain?" tanya Urwae gelisah.
"Saya bersama kepala prajurit Pangeran Muda Jaira telah memberitahu para calon yang berniat mendaftar dan mereka mengurungkan niat mereka..., kecuali Lurah Tamakir," jawab Sukadu.
"Lurah Buntung, Tamakir??" tanya Urwae.
"Ya, lurah Tamakir berniat maju terus dan tidak merasa khawatir karena dia punya pengawal dan tukang pukul banyak. Justru dia ingin berhadapan dan membalas sakit hatinya akibat dipencundangi oleh pemuda setan itu. Kami sudah mengingatkan dan tidak bertanggung jawab bila terjadi sesuatu pada dirinya dan keluarganya," jelas Sukadu.
"Bagaimana dengan saya, Pangeran?" tanya Urwae mengharap perlindungan dari Jaira.
"Maaf ki Lurah, sebelum saya bisa menangkap atau membunuh dan menumpas habis gerombolan teroris itu saya tidak bisa menjamin keselamatan ki Lurah dan keluarga. Saya sarankan ki Lurah menimbang kembali pencalonan diri ki Lurah," jawab Jaira mencuci tangan.
"Iya ki Lurah, sebaiknya ki Lurah memikirkan keselamatan diri ki Lurah dan keluarga. Disamping itu rakyat di kelurahan ini masih membutuhkan ki Lurah. Jangan sampai mereka juga akan kehilangan pemimpin yang mereka butuhkan," saran Sukadu.

Lurah Urwae yang sudah termakan cerita isapan jempol mereka dan menjadi sangat khawatir akan keselamatan dirinya segera menyetujui saran kedua petinggi itu. Apalagi ketika terlintas di kepalanya si Minur gadis belia yang bahenol dan berpayudara besar serta cantik itu baru dinikahinya kurang dari 10 hari. Sayang sekali kalau harus ditinggal mati sebelum puas menikmatinya.

"Terimakasih bapak Pamong Negeri dan Pangeran Muda telah mengingatkan saya. Saya berhutang nyawa kepada pangeran berdua. Saya akan mengundurkan diri. Besok saya akan ke kantor kawedanan untuk menarik pencalonansaya," kata Urwae mengambil keputusan.
"Kami juga berterimakasih ki Lurah, karena dengan begitu ki Lurah telah banyak meringankan pekerjaan kami," kata Sukadu. 

Mereka berdua lalu pamit pulang dengan wajah yang puas.
Hampir semua yang tadinya berniat mencalonkan diri berhasil mereka takut-takuti dengan cara seperti itu, namun ada satu orang yang tidak takut dan terus mencalonkan diri. Namanya Koriban. Dia penduduk biasa, petani, namun dikenal banyak orang sebagai orang yang baik dan terdidik, tempat bertanya dan dipandang sebagai pemimpin informal di wilayahnya.

Koriban sama sekali tidak terusik dengan cerita tentang Pemuda Pembakar Api yang akan meneror dirinya sebagai kontestan pemilihan wedana Buntung. Dia tahu persis perangai pemuda itu saat menyaksikan taruhan membakar air dulu itu. Tak tampak baginya perangai pemuda itu sebagai penjahat, bahkan sebaliknya dia sangat sopan dan justru menolong banyak orang yang terlibat hutang kepada Tamakir. Lagi pula banyak juga penduduk yang mendorongnya untuk maju sebagai calon wedana, terutama orang-orang yang telah ditolong oleh pemuda yang dituduh teroris itu. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang, begitu prinsipnya.

Sukadu dan Jaira tidak pula memaksanya lebih jauh karena bagaimanapun juga undang-undang negeri Klapa Getir mengharuskan minimal ada dua peserta yang mengikuti pemilihan kepala desa atau kepala wilayah. Tetapi itu bukan berarti mereka, Tamakir, Jaira dan Sukadu berdiam diri saja. Cara-cara kotor mereka lakukan terhadap Koriban dan juga penduduk biasa.

Dengan kekuatan uang mereka menyuap, atau dengan cara-cara licik lainya sehingga banyak pemilih tidak punya pilihan lain selain mencoblos tanda gambar Tamakir.  Selain itu, para saksi dan petugas Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) Buntung setelah makan suap berlaku curang dalam perhitungan suara atau mengganti bukti coblosan Koriban dengan bukti coblosan yang menusuk tanda gambar Tamakir. Agar Koriban tidak protes, para simpatisannya juga disuap atau diancam secara halus maupun kasar.

Salah satu cara yang dilakukan dengan jitu yaitu menggunakan metode "Serangan Fajar" dalam arti yang sesungguhnya yang dilakukan tiga hari menjelang Pilkadal. Dini hari sebelum penduduk turun ke sawah, orang-orang Tamakir membuka lebar saluran air dan membelokkan aliran air yang menuju sawah milik Koriban tanpa menyisakan sedikitpun aliran air menuju sawah-sawah milik penduduk lainnya. Padahal sudah menjadi ketentuan umum pengaturan air dilakukan secara musyawarah dan dilakukan bersama-sama. Saat para petani mendapati sawah mereka kehabisan air, mereka beramai-ramai mencari penyebabnya dan menutup saluran yang menuju sawah milik Koriban.

“Belum jadi wedana saja sudah sewenang-wenang, bagaimana kalau sudah jadi nanti?” keluh seorang petani.
"Iya, belum bertaji hendak berkokok, Menyebalkan!" sahut temanya.
“Eh, tunggu dulu! Rasanya tidak mungkin kalau Koriban yang melakukan. Itu tindakan bodoh. Ini lebih mungkin dilakukan oleh si Tamakir itu biar kita membenci Koriban dan memilih dia,” kata petani yang lebih tua.
"Iya juga ya?" yang lain mengamini.

Dini hari berikutnya kejadian serupa terjadi lagi, tetapi kali ini para pembobol air itu dipergoki oleh tiga orang petani yang sengaja menunggui saluran air itu.

“He! Kenapa kalian membelokkan air itu kesana?  Siapa kalian?”

Para pembobol air yang tidak lain para tukang pukul Lurah Brangin menghampiri penegurnya dengan garang sambil siap menghunus golok.

“Kami anak buah Tamakir, mau apa kalian!” tantang mereka.

Para petani itu menjadi kecut hatinya, mereka tidak berani menjawab. Mereka tahu betul perangai para tukang pukul Tamakir dan kekuatan uang lurah serakah itu.

“Ini peringatan buat kalian! Jika juragan kami Tamakir tidak terpilih menjadi wedana, kalianlah penyebabnya karena tidak mencoblos Tamakir. Sawah kalian akan kami buat selalu kekeringan, atau hewan kalian akan selalu hilang dicuri orang. Ingat itu!”
“Kalau orang-orang tahu ini perbuatan Tamakir, kalianlah biang keroknya dan akan tahu sendiri akibatnya. Kami tidak akan segan-segan mencelakakan anak istri atau keluarga kalian! Mengerti?!” bentak pimpinan tukang pukul.
“Tapi... ka..mi..”
“Diam, kau!! Dan Dengar ini baik-baik!!” bentak seorang dari tukang pukul itu.
“Mulai pagi ini kami harus mendengar pembicaraan orang di pasar bahwa Koriban telah berbuat jahat merampas jatah air kalian, mengerti?! Sekarang kalian pulang dan ceritakan itu kepada anak istri kalian. Awas kalau sampai terjadi sebaliknya. Leher kalian akan jadi taruhannya!”

Ketiga petani itu pulang dengan lesu.
Dan memang benar demikian yang terjadi. Siang harinya tersebar gosip Koriban telah mencuri air jatah para petani lainnya. Meski banyak dari mereka yang meragukan berita itu, tetapi mereka dengan ‘arif’ memilih meneruskan berita itu sebagaimana aslinya.

Koriban tentu saja mencoba membantah, tetapi gosip telah begitu deras menyebar. Ia bahkan didatangi oleh Jaira dan Sukadu yang menekannya dengan isu tuduhan palsu.

“Kalau saudara Koriban membantah berita itu, sama saja berarti menuduh Lurah Brangin lawan saudara sebagai pelakunya. Ia bisa menuntut saudara dengan tuduhan pencemaran nama baik,” kata Sukadu.
“Sebagai Pamong Negeri, saya harus bisa menjawab pertanyaan orang banyak. Karena itu saya hanya akan menjawab bahwa peristiwa itu sedang kami selidiki, dan kemungkinannya bisa macam-macam. Bisa saja Tamakir yang melakukan untuk menjelekkan nama saudara, tetapi bisa juga saudara yang melakukan untuk menjelekkan Tamakir dengan alasan saudara tidak mungkin berbuat sebodoh itu,” lanjut Sukadu.
“Saya kira sebaiknya saudara tidak perlu membantahnya. Biarlah kalah kali ini, karena kita akan punya mainan lain untuk saudara nanti. Bagaimana?” tanya Jaira.

Koriban hanya bisa mengangguk diam. Ia jelas tidak punya pilihan lain. Kalaupun ia menang, pemerintahannya pasti akan selalu diganggu oleh Lurah Brangin dan kedua sekongkolnya ini yang juga memiliki jabatan tinggi di kawedanan Buntung. Tetapi bukan pula karena dia percaya pada janji Jaira yang akan memberi "mainan" lain nanti. Mengharapkan kebaikan dari orang seperti ini sama saja dengan menanti hujan di musim kemarau.

Koriban terpaksa menurut saja apa yang diminta oleh Jaira dan Sukadu. Ia memilih menutup mulut alias diam seribu bahasa. Bukankah pepatah bilang diam itu emas?

Namun begitu di dalam hatinya ia selalu bertanya-tanya: “benarkah diam itu emas?” Bukankah dengan diamnya itu  Tamakir yang mendapatkan emas itu! Sedangkan rakyat Buntung akan medapatkan kerugian akibat ‘emas’ mereka akan dirampas oleh lurah tamak beserta kedua kroninya itu. Adapun dirinya hanya akan gigit jari tak mengecap apapun dari ke’diaman’nya itu, selain terhindar dari ancaman Sukadu dan Jaira. Bagi dirinya diam yang terpaksa dipilihnya kali ini sama sekali bukan emas. Diam yang menyengsarakan rakyat. Benar-benar Diam itu Loyang !!

Akhirnya, hari pemilihan pun tiba. 
Rakyat datang berombongan ke tempat pencoblosan tetapi bukan karena gairah melainkan lebih karena merasa terpaksa daripada sesuatu yang buruk menimpa mereka dan keluarganya. Kalau biasanya orang ramai berceloteh menyambut pesta demokrasi seperti ini, disini tidak demikian. Penduduk diam lesu sambil menunggu gilirannya dipanggil untuk mencoblos.

Saat mencoblos pun menjadi waktu yang menyiksa. Meskipun bilik itu tertutup, tak terlihat dari luar, tetapi para pencoblos merasa seakan ada banyak mata melotot kepada mereka dengan pandangan mengancam kalau-kalau mereka tidak mencoblos Tamakir. Karena itu banyak yang berulang kali melihat kembali hasil coblosan mereka untuk memastikan mereka tidak ‘salah pilih’ sebelum melangkah keluar. Bahkan banyak diantara mereka yang tetap tidak yakin setelah keluar dari bilik neraka itu, apakah mereka sudah ‘benar’ atau keliru saat mencoblos tadi. Mereka menjadi linglung. Mereka yakin kalau sampai salah pilih maka orang-orang Tamakir akan tahu pasti merekalah pelakunya. Banyak yang tidak bisa tidur nyenyak sebelum kemenangan diraih oleh Tamakir. Ajaib tapi ironis, orang yang membencinya justru berharap dialah yang menjadi pemenang dan jadi pemimpin mereka. Sungguh-sungguh dunia yang ganjil.

Tidak syak lagi, Tamakir dinyatakan sebagai pemenangnya dengan selisih suara yang mencolok. Banyak yang kecewa tetapi sekaligus juga merasa lega. Memang aneh!!

Meskipun hasil pemilihan membuat heran dan kecewa masyarakat banyak, mereka hanya bisa mengurut dada menelan kekecewaan, sambil membayangkan masa depan yang semakin suram. Korupsi tentu akan semakin merejalela demi mengumpulkan harta untuk menyuap lagi saat nanti mengejar jabatan yang lebih tinggi.

Apakah Jaira benar-benar menjadi Adipati di Megalung sebagaimana keinginannya semula. Dan bagaimana pula nasib Sukadu? Akankah ia diangkat menjadi Kepala Pamong Negeri Megalung? 

Kau Ku Suap Kau Ku Perangkap


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #25)

Kita ikuti lagi sepak terjang Pangeran Muda Jaira dan Tamakir.

Seusai pertemuan yang menggemparkan di kawedanan Buntung itu, secara terpisah Tamakir segera mengundang Jaira dan Sukadu ke tempat perjudiannya, pada saat yang agak berbeda. Jaira diminta datang lebih awal.

“Selamat Pangeran Muda! Pangeran sekarang sudah menjadi Pahlawan masyarakat Buntung!” sapa Tamakir setelah keduanya duduk di ruang khususnya itu.
“Ah, terima kasih. Itu kan berkat kepandaian Ki Lurah,” jawab Jaira.
“Langkah pertama telah dijalankan dengan bagus, tetapi belum selesai. Masih ada pekerjaan yang perlu dibereskan, Pangeran.”
“Maksud Ki Lurah, mengamankan si tersangka itu?”
“Betul, Pangeran. Tapi itu yang yang kedua. Yang pertama kita harus mengamankan penyelidikan yang dilakukan oleh Pamong Negeri serta para saksi mata,” kata Tamakir.
“Soal saksi mata, saya jamin tidak ada Ki Lurah. Rumah Wedana kan agak terpisah dari rumah-rumah penduduk, dan saat melihat kami menyerang mereka semua ketakutan dan masuk rumah masing-masing. Tidak ada yang berani mendekat. Lalu soal bukti-bukti juga sudah aman. Kedua mayat pembakar sudah dibuat tak mungkin dikenali. Sedangkan mayat Paldrino dan keluarganya sudah hancur menjadi abu,” jawab Jaira.
“Yah, syukurlah...., "Tetapi ada yang mengganggu pikiran saya. Kenapa Bedul Brewok tidak ada diantara mayat-mayat itu, Pangeran?” tanya Tamakir.

“Kami memang tidak melihatnya disana. Karena itu saya perintah anak buah saya utnuk mencarinya, tetapi tidak ketemu. Mungkin saja saat melihat kedua temannya kami bunuh, dia segera melarikan diri.”
“Ya..ya.., bisa saja demikian,” kata Tamakir sambil berpikir keras.
“Tetapi saya khawatir kalau dia telah berkhianat."
"Berkhianat??..Bagaimana bisa, ki Lurah?" tanya Jaira.
"Buktinya sampai saat ini pun dia belum kembali. Mungkin saja dia mencuri dengar pembicaraan kita lalu melarikan diri. Tetapi bisa juga dia memang dari semula berniat untuk menggunting dalam lipatan.”
“Kenapa Ki Lurah menduga begitu?” 
“Soalnya sehari sebelumnya, setelah anak setan itu membakar air, dia menghilang entah kemana. Waktu kembali dia bilang dia menguntit perginya anak setan itu untuk membunuhnya dari belakang. Tetapi bisa juga dia punya motif lain. Brewok itu sebenarnya seorang pengembara yang selalu mencari ilmu kesaktian yang lebih tinggi. Saya kira dia pergi menemui anak muda itu dan minta menjadi muridnya. Sebagai bukti ketulusannya dia membocorkan rahasia rencana membunuh Wedana itu dan bersedia mengkhianati saya.”
“Wah, kalau benar begitu, bisa jadi lain ceritanya!” sahut Jaira.
“Nah, kalau itu yang terjadi, bisa saja dia telah menyelamatkan Wedana dan menghilang bersama mereka,” kata Tamakir.
“Tetapi saat kebakaran tercium bau daging terbakar dengan kerasnya dan saya melarang anak buah saya menyelamatkan mereka dengan alasan sudah terlambat. Karena tubuh-tubuh mereka sudah terbakar hancur, saya tidak perlu repot-repot memeriksanya. Atau...,”

Kata-kata Jaira terputus karena tiba-tiba dia menyadari keteledorannya.

 “Mungkinkah....?” lanjutnya sambil mengangguk-angguk.
“Ya,.. mungkin saja yang hangus itu hanya kerbau atau sapi yang sengaja dimasukkan ke rumah untuk mengelabui,” sahut Tamakir menebak tepat pikiran Jaira.
“Kalau begitu saya akan perintahkan anak buah saya untuk menghilangkan sisa-sisa yang ada,” kata Jaira.
“Jangan, Pangeran. Itu justru akan mengundang tanda tanya. Lagi pula sekarang sudah menjadi urusan Pamong Negeri. Tentu Pangeran tidak ingin melihat anak buah Pangeran bertengkar dengan anak buah Sukadu, bukan?”
“Lantas, bagaimana Ki Lurah?”                        
“Jangan khawatir. Saya sudah memikirkan jalan keluarnya. Saya sudah mengundang Sukadu kesini. Sebentar lagi tentu dia datang. Pangeran tahu kan kalau dia itu suka duit, sama seperti kita..ha ha..haha..!”
“Ha..ha..ha...!” sambung Jaira.
 “Kita akan suap dia dan anak buahnya untuk menyatakan kalau sisa-sisa tubuh yang terbakar itu memang tubuh manusia. Jumlahnya sama dengan anggota keluarga Wedana. Saya sudah menyiapkan sejumlah uang untuk itu,” kata lurah licik itu.
“Tetapi, itu berarti dia akan tahu kalau kita berkomplot, Ki Lurah!”
“Memang, tetapi tidak menjadi masalah. Sekalian kita perangkap dia menjadi komplotan kita, he...he..he..!” kata Tamakir tertawa gembira memuji kelihaiannya sendiri.
“Nah, untuk itu Pangeran Muda harus mengiming-imingnya dengan jabatan Kepala Pamong Negeri Kadipaten Megalung kalau Pangeran Muda berhasil menjadi Adipatinya.”
“Ki Lurah memang berpikiran jauh,” pujinya.

Pada saat itu seorang anak buah Tamakir memberitahu kedatangan Sukadu. Lurah Brangin menyuruhnya mempersilakan Sukadu masuk.

“Ah, Pak Sukadu. Terima kasih atas kedatangannya. Silakan masuk,” sapa tuan rumah.
“Terima kasih kembali,” jawab Sukadu. “Oh, rupanya disini ada tamu istimewa, Pahlawan kita,” kata Sukadu dengan ramah.

Keramahan yang berselimut rasa jengkel dan iri karena semestinya dialah yang bertugas menangkap para penjahat. Bukan tentara!

 “Ah, Pak Sukadu bisa saja. Kebetulan kami sedang dalam perjalanan mau menangkap Anak Langit yang katanya pernah dilihat orang di Padepokan Kalbusih, ketika kami melihat rumah Wedana terbakar. Kami segera bertempur melawan pelakunya tanpa sempat memberi tahu Pak Sukadu terlebih dahulu,” jelasnya membela diri.
“Oh, tidak apa-apa. Sama saja, siapapun yang menangkapnya. Yang penting negeri kita menjadi aman, bukan? Saya justru berterima kasih kepada Pangeran Muda karena telah meringankan tugas saya,” kata Sukadu diplomatis.

Kentara sekali hawa kepura-puraan diantara mereka. Suasananya dapat dikatakan sebagai keramah-tamahan yang kaku atau kekakuan dalam keramah-tamahan. Yang pasti keramah-tamahan yang tidak tulus, tidak berasal dari nurani yang terdalam.

Sebenarnya, suasana persaingan yang dibungkus dalam keramah-tamahan palsu seperti itu sudah menjadi bagian dari kehidupan para pejabat negeri Klapa Getir yang sangat korup ini. Semua orang menjaga kepentingannya masing-masing dengan berpura-pura ramah, sementara otak mereka mencari cara menjatuhkan sesama mereka atas nama kepentingan rakyat, bangsa dan tanah air. Sungguh sikap yang masak diluar mentah didalam, kelihatan baik dari luar tetapi niat hatinya jahat.

 Sebagai tuan rumah, Tamakir segera mencairkan suasana yang tidak nyaman itu.
“Begini, Pak Sukadu. Saya bicara terus terang saja," kata Tamakir sambil matanya menyelidik reaksi wajah Sukadu.
"Tentang apa Ki Lurah?" tanya Sukadu hati-hati.
"Saya baru dengar kalau pak Sukadu menginginkan sawah di bilangan Winong, sebelah barat desa Buntung itu,” kata Tamakir. 
“Yah, tadinya begitu. Tapi sudah kedahuluan jadi milik Ki Lurah, kan?” jawab Sukadu.
“Saya minta maaf, karena saya tidak tahu waktu membeli dulu. Karena itu saya bermaksud menyerahkannya kepada pak Sukadu,” pancing Tamakir.
“Wah, tentu harganya sudah jauh lebih mahal dari yang dulu setelah di tangan Ki Lurah. Mana kuat saya membayarnya,” balas Supadu balik memancing.
“Tidak, tidak lebih mahal. Bahkan saya berikan secara cuma-cuma. Tidak perlu membayar!” jawab Tamakir mantap.
“Maksud Ki Lurah?” tanya Sukadu curiga.

Tamakir lalu menceritakan tentang persekongkolannya dengan Jaira menyingkirkan Wedana Buntung, tetapi tampaknya Paldrino dan keluarganya telah lolos akibat pengkhianatan Bedul Brewok. Sedangkan tubuh-tubuh yang hangus di rumah itu kemungkinan besar hanya anak kerbau atau sapi.
Juga diceritakannya tentang ambisi Jaira untuk menjadi Adipati di Megalung.

“Jadi, kami berdua minta supaya pak Sukadu memberikan laporan kalau Paldrino dan seluruh anggota keluarganya benar-benar tewas dalam peristiwa itu,” kata Lurah Tamakir mengakhiri ceritanya.
“Selain itu,” sambung Jaira, “Pak Sukadu sebagai teman dekat kami akan saya angkat sebagai Kepala Pamong Negeri Kadipaten Megalung kalau kita berhasil nanti.”

Dalam hati Sukadi tersenyum. Sebenarnya dia telah curiga terhadap Jaira atas peristiwa itu, sehingga orang ini muncul sebagai pahlawan.

Tadinya Sukadu bermaksud memeras Jaira setelah menyelidiki bukti-bukti yang ada. Tetapi hal itu sekarang tidak perlu lagi. Bahkan tawaran Ki Lurah jauh lebih besar dari yang dia bayangkan jika hanya memeras Jaira. Belum lagi janji Jaira untuk memberinya jabatan yang lebih tinggi. Sungguh nasib baik, betul-betul mendapat durian runtuh pikirnya.

“Tetapi anak buah saya harus di sumpal juga, Ki Lurah,” kata Sukadu semakin rakus.
“Jangan kuatir. Untuk mereka sudah saya sediakan juga. Ini..! Tentunya sebagian untuk pak Sukadu sendiri,” jawab Tamakir sambil menyodorkan segepok uang.
“Ah, baiklah kalau begitu. Saya akan segera mengamankan barang bukti itu sebelum anak buah saya buka mulut,” kata Sukadu.

Sukadu lalu segera pamit menuju tempat kejadian perkara dengan hati yang berbunga-bunga.
“Dengan uang ini aku bisa kawin lagi,” pikirnya senang.

Selepas Sukadu pergi, Tamakir dan Jaira meneruskan pembicaraan mereka soal pengamanan lelaki yang dijadikan tersangka itu.

“Soal tersangka itu, apa rencana Pangeran Muda?” tanya Tamakir.
“Saya berencana menghabisinya agar tidak buka mulut,” jawab Jaira.
“Dia memang harus tutup mulut, tetapi jangan membunuhnya. Itu terlalu kasar. Orang akan menduga kalau di lingkungan aparat pemerintah telah ada kaki tangan pemberontak atau bahkan curiga akan adanya persekongkolan. Pihak hakim wilayah akan menjadi tidak enak sehingga malah akan berusaha membongkar persekongkolan kita untuk membersihkan diri,” kata Lurah Tamakir. 
“Jadi, apa yang kita lakukan, Ki Lurah?”
“Pertama, kita usahakan agar terdakwa tidak dikirim ke Kadipaten atau Kotaraja untuk disidangkan oleh Hakim yang lebih tinggi. Biasanya kasus pemberontakan akan dibawa ke pusat pemerintahan, kan?” jelas Tamakir.
“Karena itu,” lanjutnya, “Saya sudah menyiapkan uang agar Pangeran menyuap hakim wilayah Buntung untuk memutuskan terdakwa di penjara disini saja, dengan alasan diperlukan untuk penyelidikan lebih lanjut membongkar jaringan pemberontak pimpinan Pemuda Pembakar Air. Nah, dengan begitu Pangeran bisa membawanya ke markas Pangeran dan mempekerjakannya disana tanpa boleh leluasa keluar. Supaya dia tenang dan tidak berani buka mulut, keluarganya kita jamin kehidupannya. Lambat laun dia akan sadar untuk memilih diam dari pada keluarganya sengsara,” papar Tamakir mantap.


Bagaimana kelanjutan dari persekongkolan busuk Tentara, Polisi dan Pejabat itu?

Pahlawan Hasil Rekayasa



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #24)



“Tidak usah banyak bicara. Anak-anak, bawa orang ini ke markas. Cambuk dia terus sampai dia mengaku,” perintah Jaira.

Orang itu terus menerus menerangkan dia hanya petani biasa yang tak tahu menahu. Seperti menggantang asap, mengukir langit, percuma saja petani itu menghiba. Ia segera diseret menuju markas pasukan Jaira. Disana bajunya dilepas. Punggung serta belakang paha maupun betisnya dicambuk dengan keras hingga kulitnya beset-beset, terkelupas memperlihatkan daging yang memerah berlumuran darah.

Dulatah yang menyaksikan penyiksaan itu merasa kasihan terhadap Apis. Ia tahu benar siapa Apis karena sering bertandang ke sekitar rumahnya untuk mengunjungi seorang gadis yang sedang diincarnya. Ia menganjurkan agar Apis segera mengaku saja dari pada harus menderita lebih parah. Ia membisikkan akan menolongnya dalam penjara nanti. Awalnya petani itu coba bertahan, tetapi setelah berkali-kali jatuh pingsan akibat penderitaan yang semakin berat, akhirnya petani malang itu terpaksa mengaku.

“Mustinya dari tadi saja, pak,” kata Dulatah menyesali.
“Begini saja pak. Bapak mengaku dipaksa oleh anak buah Pemuda Pembakar Air untuk membantu mereka memata-matai kegiatan pak Wedana. Kalau tidak bersedia, maka keluarga bapak akan dihabisi,” saran Dulatah.

Setelah bersedia mengaku dia lalu dihadapkan kepada Jaira. Keadaannya sangat menyedihkan, mendeprok lunglai. Tubuhnya seperti seonggok daging. Ia terpaksa harus di seret. Dihadapan Jaira ia mengaku sebagaimana disarankan oleh Dulatah. 

“Kalau begitu, besok kau harus memberi pengakuan di depan hakim wilayah sama seperti ini. Jika kau ingkar, keluargamu akan kami siksa dan kami bunuh! Tetapi kalau kamu tepati, kami akan membantumu selama kamu dipenjara. Juga kehidupan anak istrimu akan kami jamin. Mengerti?”

Merinding dan nyeri rasa hati Apis membayangkan siksaan yang akan diterima keluarganya, terutama membayangkan terhadap anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ia sadar kalau telah berada pada tempat yang salah dan pada waktu yang salah. Tidak ada pilihan lain baginya selain menyetujui tuntutan Jaira, maju kena, mundur kena. Dalam hati ia mengutuki peruntungannya yang buruk itu, sial bercampur malang.

“Saya mengerti Pangeran, dan berjanji tidak akan ingkar,” katanya pelan.
“Bagus! Kamu tidak perlu kuatir akan keselamatan anak istrimu,” katanya menghibur, tetapi bagi Apis lebih terdengar sebagai ancaman.

Jaira tampak puas.
Siang harinya ia segera melaporkan kejadian semalam di kantor Kawedanan. Di halaman kawedanan sudah berkerumun banyak orang yang ingin tahu kejadian sebenarnya. Masyarakat terkejut dan gempar karena dalam waktu yang berdekatan telah terjadi dua peristiwa yang menggegerkan. Pertama peristiwa taruhan membakar air yang membuat Lurah Tamakir harus membebaskan hutang-hutang para penduduk, dan sekarang ada pembakaran rumah wedana Paldrino. Suara seperti gaung sejuta lebah bergelombang memenuhi udara di halaman kawedanan itu.

Disana sudah hadir hakim wilayah Buntung. Juga Sukadu, komandan Pamong Negeri. Para lurah di dalam lingkungan kawedanan Buntung sebagian juga tampak disana. Diantara mereka tentu saja telah hadir Tamakir. Semua mata memandang kedatangan Jaira saat dia memasuki halaman kawedanan itu diiringi empat orang anak buahnya yang menandu lelaki tersangka dalam keadaan terikat. Dengan gagah, dada membusung, dia berjalan. Saat melewati barisan para lurah, matanya melirik penuh arti kepada lurah Tamakir. Yang dilirik pun mengangguk-angguk pelan penuh kepuasan, tanpa kentara.

Hakim wilayah kemudian membuka pertemuan itu dengan resmi.
“Adakah diantara hadirin yang ingin melapor?” tanyanya kepada hadirin.
Jaira berdiri. Membetulkan pakaiannya, bersiap untuk bicara.
“Yang mulia Hakim wilayah Buntung,” ia memulai. “Tadi malam telah terjadi penyerangan atas rumah Wedana Buntung, Paldrino, berupa pembakaran rumah hingga hancur luluh dan membunuh wedana Paldrino beserta seluruh isi rumah.”

Terdengar seruan tertahan dari hadirin. Diantara mereka ada yang mulai menangis tersedu-sedu. Mereka sedih, karena tahu betul wedana Paldrino orang yang baik, pemimpin yang dekat dengan rakyat.

“Saya dan pasukan saya berhasil membunuh para perusuh dan menangkap hidup-hidup satu orang dari mereka. Ini dia orang yang kami tangkap,” katanya sambil menunjuk lelaki tersangka itu, yang tidak lain adalah Apis.

Tiba-tiba dari tengah penonton terdengar teriakan.
“Hidup Pangeran Muda! Hidup Jaira!”
“Jaira pahlawan kita!!” 
"Hidup Pahlawan Kita!"
"Hidup Jaira!"    
                                   
Teriakan itu lalu disahuti oleh teriakan serupa dari beberapa tempat secara hampir berbarengan. Penonton pun akhirnya ikut meneriakkan dengan gemuruh.   Rupanya Tamakir telah menyuruh beberapa anak buahnya menyamar sebagai warga biasa dan bertugas meneriakkan yel-yel itu. Jaira tersenyum penuh kemenangan. Hatinya puas dan bangga. Dalam hati ia kagum atas kecerdikan Tamakir.

Hakim wilayah lalu menanyai tersangka tentang identitas dan keterlibatannya dalam peristiwa itu. Apis mengatakan persis seperti skenario yang diinginkan oleh Jaira.

“Karena tersangka telah mengaku, kirim dia ke penjara. Beri tanda kriminal pada lengan dan dadanya. Hukuman akan dijatuhkan setelah semua bukti dan saksi dibeberkan. Pamong Negeri bertugas memeriksa segala bukti dan mencari saksi secukupnya. Selain itu, diumumkan bahwa mulai saat ini Pemuda Pembakar Air dinyatakan sebagai buronan. Barang siapa melindungi atau menyembunyikan dia, akan dinyatakan sebagai penjahat dan harus ditangkap. Para kepala wilayah harus memasang pengumuman ini di tempat-tempat yang mudah dilihat orang banyak,” putus Hakim Wilayah.

Hakim lalu menutup pertemuan itu.

Di Negeri Klapa Getir, tanda kriminal adalah semacam tatoo atau cap pada tubuh seseorang yang dibuat dengan membakar lempengan besi hingga merah lalu men-cap-kannya ke bagian luar lengan dan dada terhukum. Dada dan lengan adalah bagian tubuh yang selalu terlihat karena tidak tertutup pakaian. Biasanya saat di-cap, terhukum akan jatuh pingsan kesakitan dan mengalami demam selama beberapa hari. Sebagai borgolnya, pada leher para kriminal dikalungkan lempengan kayu berbentuk bujur sangkar, yang dapat dibuka dengan kunci khusus. Tangan mereka tetap dapat bergerak bebas.
Kita tinggalkan dulu Jaira dan nasib Apis lelaki yang malang itu. 
Kita ikuti kemana perginya Bedul Brewok.

Setelah membakar bagian belakang rumah Wedana, Brewok segera menyelinap menghilang menuju suatu tempat di atas bukit terpencil yang telah ia tetapkan bersama Andragi dan  Loyo. Disana telah menunggu kedua orang itu serta pak Paldrino dan seluruh keluarga. Dari tempat yang tinggi itu mereka menyaksikan rona merah dan nyala api yang ganas. Hati Paldrino serasa hancur. Istrinya sejak tadi hanya bisa menangis tersedu-sedu. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa harta benda mereka yang dikumpulkan dengan jujur lenyap dalam sekejap. Meskipun demikian Paldrino segera dapat menguasai diri telah diselamatkan oleh Andragi dan kawan-kawannya. Yah, bagaimanapun juga masih lebih baik hidup daripada hangus terpanggang api disana.

“Terima kasih Anak Langit, Pak Loyo dan Pak Bedul. Tanpa pertolongan saudara bertiga niscaya saya dan keluarga telah menjadi abu disana,” katanya setelah Bedul Brewok tiba.

Paldrino  ingat saat tadi siang ia awalnya menolak untuk pergi. Ia tidak percaya kalau ada orang berniat jahat terhadap dirinya. Selama ini semua orang menyukainya karena ia selalu berlaku adil dan sangat penolong.

“Perkenalkan, saya Loyo santri dari Padepokan Kalbusih,” kata Loyo sambil memperlihatkan tasbih khas padepokannya.
“Ya, saya mengenali tasbih itu,” kata Wedana.
“Ini saudara Bedul Brewok, orang kepercayaan Tamakir,” lanjut Loyo sambil menunjuk rekannya yang brewok itu.
“Ya, saya pernah melihat saudara di tempat Tamakir,” jawabnya.
“Dan ini pemuda yang membakar air itu. Dia manusia yang datang bukan dari jaman ini tetapi dari masa depan,” lanjut Loyo.

Mata Wedana menatap tak yakin. 
Diamatinya pemuda itu baik-baik, tidak begitu saja percaya perkataan Loyo. Tak pernah terlintas dalam pikirannya kalau pemuda pembakar air itu makhluk asing. Bahkan dari apa yang dilihatnya, tak ditemukannya sesuatu yang berbeda pada fisik makhluk ini. Semuanya sama seperti manusia-manusia biasa di sekitarnya.

Untuk membuktikan kata-kata Loyo itu, Andragi lalu mempertunjukkan api naga seperti dilakukannya terhadap Sonto dan Loyo di markas Sontoloyo dulu. Betapa terkejutnya Wedana itu. Matanya terbeliak seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dikucak-kucaknya matanya berkali-kali. Bukan hanya dia seorang yang terguncang. Bedul Brewok pun tak kalah kagetnya hingga ia terlompat ke belakang. Hatinya semakin kagum terhadap kesaktian pemuda itu.

“Nah, semestinya kami dengan saudara Brewok ini berseteru, tetapi dia justru datang memberi tahu niat busuk Tamakir terhadap Pak Wedana,” jelas Loyo.

Bedul Brewok lalu menceritakan alasan dirinya sejak awal tiba di desa itu hingga akhirnya berharap bisa belajar kesaktian dari Pemuda Pembakar Air. Mereka juga bercerita tentang rencana mereka menyelamatkan Pak Wedana dari rencana jahat lurah tamak itu.

“Karena itu kami meminta Pak Wedana dan keluarga segera meninggalkan rumah ini sebelum terlambat. Kami telah mempersiapkan tempat persembunyian sementara. Disana, Pak Wedana telah ditunggu oleh kakek Bulesak,” pinta Loyo.

“Sebelum saya kemari, saya melihat Pangeran Muda Jaira datang mengunjungi lurah Tamakir. Saya sempat mencuri dengar sedikit kalau mereka mau bekerja sama menyingkirkan pak Wedana. Lurah itu memang sudah sejak lama ingin menjadi Wedana di Buntung,” sambung Brewok.

Mendengar rencana kerjasama itu hati Wedana menjadi kecut. Dia bisa melihat kesulitan besar yang akan dijumpainya menghadapi kelicikan kedua orang itu. Dengan uangnya, mereka akan melempar batu sembunyi tangan berbuat curang membeli semua pengakuan dan kesaksian palsu, memutar-balikkan fakta dan menjerumuskan orang lain. Mengingat akan hal itu, akhirnya ia memilih menerima saran ketiga orang yang baru dikenalnya itu.

“Kalau begitu Pak Wedana segera harus berkemas, Tak perlu membawa barang yang berat. Cukup harta berharga yang bisa di bawa dengan mudah,.” kata Andragi.

Keluarga itu segera berkemas. Enam orang pembantunya diminta untuk kembali ke asal mereka masing-masing tetapi mereka memilih ikut dengan Wedana yang baik hati itu. Disamping itu mereka takut suatu ketika akan diketahui oleh kaki tangan Tamakir atau Jaira dan menghabisi mereka.

Sementara mereka berkemas, Brewok, Andragi dan Loyo memasukkan beberapa anak kerbau dan sapi yang belum bertanduk ke dalam kamar-kamar keluarga. Binatang-binatang itu mereka beri makan sekenyang-kenyangnya agar tidak rewel. Tak lupa mereka memasukkan daun kecubung diantara pakan ternak-ternak itu agar mereka sedikit ‘teler’.

Setelah semuanya beres, Bedul Brewok segera pergi menuju Brangin untuk menemui kedua anak buahnya. Sementara itu yang lain menunggu hari gelap untuk kemudian secara diam-diam keluar meninggalkan rumah setelah memastikan tidak seorangpun mengetahui kepergian mereka.

Sampai disini, Paldrino menghela napasnya dalam-dalam. 
Melihat kemasygulan hati pria yang baik itu, Bedul Brewok mendekat.

“Saya mohon maaf Pak Wedana, karena telah membakar rumah Bapak.”
“Oh, tidak apa-apa,” kata Paldrino sambil menepuk bahu Brewok. “Saya justru harus berterima kasih kepada saudara bertiga,” jawabnya.

Loyo pun segera pula menghampiri.
“Mari, pak. Kita berangkat menemui kakek Bulesak.”

Mereka lalu meninggalkan tempat itu menuju markas Sontoloyo menerobos hutan dan lembah. Setelah melalui berbagai kesulitan akhirnya mereka tiba di pintu gua akar gantung itu. Disana telah menunggu kakek Bulesak yang dengan ramah menyambut rombongan yang lelah jasmani dan rohaninya. Setelah berbasa-basi sebentar dan mengisi perut mereka yang lapar, kakek Bulesak mempersilakan mereka untuk beristirahat. Keluarga Paldrino menempati sebuah ruang khusus yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh Andragi dan Loyo sebelum mereka berangkat ke Buntung.


Kelicikan Tamakir semakin menjadi-jadi. Siapa lagi yang menjadi korbannya?

Peraslah Daku kau Kuremas




Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #23)

“Selamat pagi Pangeran Muda. Wah, rupanya saya mendapat berkah nih pagi-pagi sudah mendapat tamu istimewa,” sapa Tamakir dengan ramah seraya mengantar tamunya menuju ruang khususnya.
“Apakah Pangeran Muda akan main sekarang? Permainan jenis apa?”
“Tidak, tidak Ki Lurah. Saya kesini tidak untuk bermain. Saya mau menanyakan kebenaran pemuda yang bisa membakar air itu,” kata Jaira.
“Oh, rupanya berita itu sudah sampai ke Pangeran Muda juga. Memang betul, anak setan itu telah membuat saya bangkrut. Saya kalah taruhan. Ternyata dia bisa membakar air dengan menggunakan ilmu setannya.”
“Seperti apa anak muda itu? Kemana perginya?” tanya Jaira.
“Umurnya sekitar 25 tahun, badannya tegap dan bersih. Dia tidak tampak seperti orang dari daerah sekitar sini. Menurut orang-orang saya, dia berasal dari daerah Poruteng, begitu. Anak buah saya menguntitnya dan ternyata dia pergi ke padepokan kakek Bulesak.”

Jaira menduga keras kalau pemuda itu Anak Langit. Pikiran itu disimpannya dalam hati. Dia tidak mau kehilangan muka kalau Tamakir sampai tahu dia telah gagal menangkap Anak Langit waktu menyerang padepokan Kalbusih dan gua Pintu Suargi dulu. Reputasinya sebagai Kepala Prajurit akan cemar.

“Begini Ki Lurah. Saya akan menangkap anak muda itu dan membunuhnya untuk membalaskan dendam Ki Lurah. Disamping itu dia akan berbahaya kalau sampai bisa mengambil hati rakyat dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Selagi api masih kecil harus segera dipadamkan!” tegas Jaira.
“Oh, terima kasih Pangeran Muda. Apa yang bisa saya berikan untuk kebaikan hati pangeran?” pancing Tamakir.


Tamakir dengan mudah melihat  ada udang di balik batu atas tawaran bantuan Jaira itu. Sebagai orang yang licik dia memahami betul perilaku seperti ini.

“Begini Ki Lurah. Ki Lurah kan tahu kalau saya berniat menjadi Adipati di Megalung yang subur dan luas itu. Tetapi untuk itu perlu biaya yang besar buat menyuap para petinggi negeri. Nah, saya minta Ki Lurah bersedia membantu saya dalam hal ini,” kata Jaira.

Pucuk dicinta ulam tiba, pikir Tamakir. Kalau pangeran muda itu akan memerasnya, kenapa tidak dimanfaatkan juga untuk memeras rakyat. Dalam kamus Lurah serakah itu, tidak sepeserpun uang boleh keluar dari pundi-pundinya.

“Ah, tentu saja Pangeran! Sebagai sahabat, saya akan membantu pangeran sekuat saya. Tetapi apalah artinya harta seorang lurah buat menyuap para petinggi negeri yang sudah kaya raya itu? Bukankah Pangeran nanti akan menjadi bahan tertawaan? Kita harus mencari cara untuk mencari lebih banyak uang lagi sebelum Pangeran menyuap para petinggi negeri,” pancing  Tamakir.

Dan tampaknya sang ikan tertarik.
“Lalu, apa rencana Ki Lurah?” tanya Jaira.
“Ah, kalau saja saya seorang Wedana, tentu harta saya cukup untuk keperluan Pangeran Muda itu,” keluh Tamakir.
“Nah, kenapa tidak Ki Lurah kita jadikan Wedana!” kata Jaira.

 Kini sang ikan telah semakin tertarik pada umpannya.
“Yah, tetapi itu masih akan lama. Bukankah Wedana Buntung, si Paldrino itu, masih hidup dan segar bugar?” umpan Tamakir.

Dan sang ikan segera menyambar umpan itu.
“Kalau begitu kita habisi saja dia! Biar segera ada pemilihan Wedana baru!” sahut Jaira segera sungguh-sungguh.
 “Saya akan mengatur untuk membereskannya!” lanjutnya.
“Jangan! Jangan Pangeran Muda yang melakukannya. Itu akan membuat kotor tangan Pangeran. Kalau sampai bocor akan menjadi ganjalan nantinya. Saya justru melihat peristiwa pembunuhan itu sebagai kesempatan emas untuk mengangkat nama baik Pangeran,” kata Tamakir dengan cerdiknya.
“Maksud Ki Lurah?” tanya Jaira heran.
“Begini, Pangeran... "Biarlah anak buah saya yang melakukannya. Mereka akan membakar habis rumah Wedana Paldrino beserta para penghuninya. Setelah itu Pangeran datang dan membunuh para pembunuh itu. Dengan begitu Pangeran Muda akan menjadi pahlawan yang menumpas kejahatan,” kata Tamakir penuh siasat.
“Bukan main! Sungguh Ki Lurah sangat pandai dan berpikiran jauh,” puji Jaira kagum.

Tamakir lalu menceritakan rencana pembunuhan itu, yang akan dilakukan oleh tiga orang anak buahnya selepas tengah malam nanti. Setelah menyepakati tugas yang harus dilakukan masing-masing, Jaira kemudian minta diri, kembali ke Buntung guna mempersiapkan anak buahnya. Tak lupa Tamakir menyelipkan sejumlah uang kepada Jaira sebagaimana biasa ia lakukan jika kedatangan tamu istimewa.
Malam itu langit tampak muram tersaput oleh awan. Tak ada bintang satupun yang tampak. Demikian juga sabit bulan yang semestinya bisa sedikit mengurangi gelapnya malam. Sungguh malam yang tepat untuk melaksanakan niat jahat.


Menjelang tengah malam, Bedul Brewok dan dua anak buahnya mengendap-endap mendekati rumah Wedana Buntung, berjalan diantara pepohonan dan gerumbul tanaman. Mereka sengaja menghindari jalanan agar tidak terlihat orang. Akhirnya mereka sampai pada sebuah sudut jalan di dekat rumah Wedana Paldrino yang terlindung. Tidak tampak seorang penjaga pun disekitar gerbang rumah itu.

“Pak Brewok, kok tidak ada penjaga di gerbang itu?” tanya seorang anak buahnya.
“Iya, kelihatannya sepi. Coba kamu lihat ke dalam halaman dari atas pohon ini,” perintah Brewok sambil menunjuk sebuah pohon yang cukup tinggi di dekatnya.

Yang disuruh segera memanjat pohon itu dengan lincah, sampai pada ketinggian yang cukup untuk melihat seluruh bagian halaman rumah itu. Dengan cermat diamatinya sudut-sudut yang gelap. Setelah tidak ada yang terlewatkan, ia lalu turun.

“Di dalam juga sepi, pak. Tidak tampak seorang penjaga pun,” lapornya.
“Mungkin mereka sedang di dalam  rumah, dan merasa semuanya aman. Kan semua orang tahu kalau Pak Paldrino, Wedana Buntung ini, terkenal sebagai orang baik dan bijak. Tidak ada orang yang akan berniat jahat kepada beliau, kecuali ..ya kita-kita ini..” jelas Brewok.

Kedua anak buahnya hanya bisa nyengir mendengar itu.

“Bagian dalam rumah juga tampak sudah sepi, pak. Sepertinya para penghuni rumah telah tertidur semua. Hanya ada satu lampu sentir di pojok depan sebelah kanan rumah,” lapornya lagi.

Lampu sentir adalah sejenis lampu teplok dengan bahan bakar minyak  buah jarak.

“Bagus! Kalau begitu kita akan bisa segera mulai. Kalian berdua membakar di bagian depan dan saya akan membakar di bagian belakang. Siapkan semua peralatan kalian. Dengar aba-aba saya, suara burung hantu tiga kali, kali tiga, ...kuk  kuk  kuk...kuk  kuk  kuk....kuk  kuk  kuk..., baru kalian beraksi. Jelas..!?” tanya Brewok.
“Jelas..Juragan!”
“Ingat jangan sampai ada yang lolos! Bunuh semua yang berusaha keluar dari rumah itu!” tegas Brewok.
“Siap, juragan!!” jawab keduanya serempak.

Dengan mengendap-endap Bedul Brewok memutari bangunan rumah itu menuju bagian belakang. Melalui pintu kecil yang tidak terkunci, pelan-pelan ia masuk dan memastikan para  penghuninya  masih berada di dalam rumah. Semuanya tampak tertidur dan tenang. Ia lalu mengatur berbagai barang yang mudah terbakar pada tempat-tempat tertentu agar api mudah menjalar dengan cepat. Sementara itu kedua anak buahnya juga sudah masuk ke halaman dan menumpukkan jerami dan dedaunan kering pada sekitar depan dan samping rumah. Dinding kayu dan sejenisnya mereka siram dengan minyak jarak agar lebih cepat terbakar. Kini mereka tinggal menunggu suara burung hantu.

Benar, tak lama kemudian terdengarlah aba-aba itu.
“Kuk  kuk  kuk...kuk  kuk  kuk....kuk  kuk  kuk..”

Kedua anak buah Bedul Brewok segera menyulut jerami-jerami dengan api dari lampu sentir. Api segera menjalar membakar bagian-bagian rumah, semakin besar dan mengganas. Dari bagian belakang rumah juga terlihat nyala api yang tidak kalah ganasnya. Suara gemeretak kayu terpanggang mulai ramai disusul asap yang membumbung tinggi.

“Ayo, sekarang kita berjaga di balik gerbang. Kalau ada yang keluar kita habisi!” ajak salah seorang.

Dari balik tembok gerbang mereka melihat si jago merah melahap dengan ganasnya. Suara gemeretak, benda-benda roboh serta lolongan kesakitan terdengar berebutan.

“Kok suaranya seperti kerbau mau disembelih, ya?” tanya seorang anak buah Brewok.
“Namanya juga orang panik dan sekarat, suaranya kan bisa macam-macam,” jawab rekannya sekenanya.

Di bagian lain desa itu, pasukan Jaira yang sedang patroli melihat cahaya terang dan lidah api menjulur ke angkasa dari arah rumah Wedana.

“Cepat, menuju kesana! Itu pasti penyerangan! Serang para pengacau itu!” perintah Jaira.

Derap kaki-kaki kuda menggema membangunkan penduduk yang sudah terbuai mimpi. Mereka terlompat bangun dan panik melihat nyala api yang berkobar hebat di rumah Wedana Paldrino serta gegap gempita derap kaki kuda pasukan yang menyerbu. Penduduk berlarian menghambur kian kemari. Teriakan dan jerit histeris bersahutan di tengah malam yang tiba-tiba menjadi terang benderang itu. Anak-anak gemetar memeluk erat dalam dekapan ibu mereka.

“Itu mereka! Serang! Bunuh!” teriak Jaira saat melihat kedua anak buah Bedul Brewok di balik gerbang bergerak hendak melarikan diri. Tanpa ampun pasukan Jaira mengeroyok dan membunuh keduanya.
“Kejar yang lain, jangan sampai lolos!” perintah Jaira.

Sementara anak buahnya mencari, Jaira menghancurkan muka kedua mayat itu hingga tak dapat dikenali.
Diantara bau asap dan benda yang hangus, tercium pula bau menyengat daging terbakar. Seorang anak buahnya lari melapor.


“Ada bau daging terbakar, pangeran. Pasti ada orang yang terperangkap disana dan terpanggang hidup-hidup. Sebagian dari kami akan mencoba menolong yang masih hidup.”
“Sudah terlambat! Tidak ada yang bisa ditolong lagi. Kalian segera kejar pelakunya yang lain. Cepattt!!” hardiknya.

Orang itu segera menyusul teman-temannya mencari pelaku lainnya. Setelah lama mencari tetapi tidak menemukan seorangpun, mereka kembali untuk melapor.

“Tidak ada ada yang lain, Pangeran,” lapor Tangka, wakilnya.
“Goblog! Tangkap siapa saja yang berkeliaran di luar rumah!” perintah Jaira.

Mereka segera menghambur memasuki seluruh pelosok desa. Tidak lama kemudian tampak seseorang diseret menghadap Jaira. Mereka menendangnya hingga jatuh tersungkur dihadapan Jaira.

“Ampun Pangeran, saya tidak tahu apa-apa. Saya sedang mencari anak saya yang lari karena ketakutan,” pintanya menghiba.
“Jangan bohong, atau kau kubunuh sekarang! Kau pasti anak buahnya pemuda pembakar air itu!” bentaknya.
“Tidak, Pangeran. Saya hanya petani, penduduk disini. Nama Saya Apis. Rumah saya di seberang sawah itu,” jawab orang itu gemetar.


Bagaimana Nasib Wedana Paldrino dan Petani Apis yang sedang apes itu?

Tujuannya Baik, Caranya Tidak Baik


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #22)

Andragi lalu menghampiri obor yang telah disediakan, membawanya ke sisi gentong lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dengan gaya pelari yang membawa obor olimpiade. Kemudian, secara teatrikal disulutnya air di dalam gentong itu.

“Wusss!! Dan menyalalah air itu.
“Haaahhh??! seru para penonton itu terheran-heran.
“Horeeee, dia berhasil!!” teriak Sonto dan Loyo berbarengan memecahkan keheningan yang hanya sejenak terjadi akibat keheranan yang luar biasa itu.

Seketika itu juga berteriaklah para penduduk dengan gembira, terutama orang-orang yang akan terlunaskan hutang-hutangnya. Mereka berteriak sambil berjoget-joget, gembira. Bahkan ada yang melompat-lompat dan berguling-guling saking gembiranya seperti kuda lepas dari pingitan.

Tamakir terkejut bukan main! Lurah itu segera bergegas keatas panggung diikuti Sukadu dan beberapa centengnya untuk memastikan peristiwa itu. Tidak ada benda-benda lain disana, kecuali permukaan air yang menyala berkobar-kobar.

“Sudah terbukti. Saya menang!” kata Andragi.

Ia lalu meminta agar orang-orang itu mundur lagi karena ia akan mematikan api itu. Dikatakannya kalau air itu telah disucikan sehingga sayang kalau habis terbakar. Padahal ia memang harus segera melakukan itu karena sebentar lagi api akan mati setelah bensin habis terbakar. Ia menutup gentong air yang masih menyala itu dengan penutupnya rapat-rapat.

“Nah, saya minta bapak Pejabat Pemerintah itu membacakan bunyi keputusan perjanjiannya dengan keras supaya semua orang tahu. Setelah itu segera memberi tanda jempol sebagai saksinya!” kata Andragi tegas dan penuh wibawa.

Sukadu, Pejabat Pamong Negeri itu, menjadi ciut hati. Dia menoleh kepada Tamakir, tapi yang ditoleh tampak tertunduk menahan kecewa dan dongkol tidak terkira. Orang yang gila harta itu merasa seperti kehilangan segala-galanya, jatuh pailit dan miskin. Kalau tahu akan begini hasilnya, tentu dia lebih memilih kehilangan harga diri dari pada sepotong hartanya. Ia lalu menoleh kepada para centengnya, berharap mendapat dukunga mental, tetapi mereka berpura-pura tidak melihatnya.

Para tukang pukul yang biasanya sangar dan bengis itu juga sangat terpukul mental mereka melihat kesaktian yang bahkan belum pernah mereka dengar sebelumnya, apalagi melihatnya sendiri. Hati mereka gentar bukan main bagai kucing dibawakan lidi. Membayangkan pun tidak pernah terlintas dalam benak mereka, yang memang sangat jarang digunakan. Dalam hati mereka memilih tidak berurusan dengan orang yang satu ini.

Melihat keadaan itu, Sukadu tidak punya pilihan lain, selain menuruti permintaan Andragi. Ia lalu naik ke panggung dan membacakan bunyi perjanjian itu. Setelah itu ia lalu menorehkan tanda jempolnya pada kedua lembar ‘surat’ perjanjian yang akan membebaskan banyak orang dari kesengsaraan yang berkepanjangan akibat ulah Tamakir.

Begitu ia selesai membubuhkan cap jempolnya, maka meledaklah sorak-sorai penduduk desa yang ada disitu, terutama orang-orang yang telah terbebaskan dari hutang-hutangnya. Sonto segera berlari menemui kedua anak perempuannya dan memeluknya erat-erat.

“Maafkan ayah ya, nduk?” katanya serak seraya merangkul mereka. Matanya berkaca-kaca, dan akhirnya tumpah ketika terlihat istrinya datang menghampiri.

“Bapak..bapak....,” isak kedua gadis  kencur itu sambil mendekap erat Sonto. 
Istrinya pun segera direngkuh pula dalam pelukannya. Mereka berempat tenggelam dalam isak tangis bahagia yang begitu menyentuh.

Pemandangan serupa juga terjadi pada keluarga-keluarga lainnya, yang telah lama menanggung sedih melihat kebengisan Lurah dan kaki tangannya memperlakukan anggota keluarganya dengan kejam, tanpa belas kasihan. Kini mereka telah bebas da bersatu kembali.

“Pak Tamakir,” kata Andragi. “Cepat kembalikan seluruh harta orang-orang yang telah kau sita itu! Kalau tidak, aku akan membakar habis seluruh harta bendamu ini!” perintahnya, sambil tangannya mengarah ke bangunan yang selama ini menjadi mesin uangnya.
“Ba..ik, anak..muda. Akan saya serahkan sekarang,” katanya terbata-bata.

Ia lalu memerintahkan para pembantunya untuk mengembalikan sawah, ladang, hewan-hewan peliharaan ke pemilik aslinya. Semua itu disaksikan oleh Sukadu sebagai Pejabat Pamong Negeri, dan juga oleh khalayak ramai, hingga selesai.

Setelah memastikan semuanya beres, Andragi berpamitan dengan para warga desa yang mengelu-elukannya. Anak-anak kecil berlari-lari mengiringi kepergiannya bersama Loyo menuju arah ke Padepokan Kalbusih. Mereka sengaja mengambil jalan itu agar dikira menuju ke sana, tempat Loyo menjadi santri. Setelah melewati beberapa bukit dan hutan serta memastikan tidak ada yang menguntit, mereka lalu memotong jalan melalui hutan lebat menuju markas Sontoloyo.

Tetapi belum sempat mereka masuk ke dalam hutan, tiba-tiba sepelemparan batu di depan mereka sesosok tubuh tampak melayang turun dengan lincah dari atas sebuah pohon. Mereka segera menghentikan langkah. Ternyata orang itu tiada lain Dul Brewok! Loyo segera bersiap, berjaga-jaga menghadapi tukang pukul Tamakir itu. Tentu ia bermaksud membalaskan dendam Lurah serakah itu, pikirnya.

“Hei, tunggu! Mau kemana kalian masuk hutan itu?!” katanya.
“Itu urusan kami. Tetapi, kenapa saudara mencegat kami?” tanya Andragi.
“Oh, hoho..maaf...maaf... Tentu saja kalian salah sangka. Saya tidak bermaksud jahat terhadap kalian apalagi terhadap ‘Tuan Pembakar Air,” katanya sambil membungkuk dalam, menekuk kaki dan menyembah.
“Nama saya Bedul, orang biasa memangill saya Dul Brewok. Saya memang salah satu tukang pukul Tamakir, tetapi saya kesini bukan sebagai tukang pukul lurah itu. Saya datang sebagai seorang Bedul.”
“Lalu, apa maksud saudara Bedul kesini?” tanya Andragi.
“Tuan Pembakar Air..., saya bermaksud berguru kepada tuan. Saya diam-diam melarikan diri dari tempat perjudian setelah melihat kesaktian tuan. Apalagi ternyata tuan telah tahu kalau saya bersembunyi disini, sehingga segera berbelok masuk hutan. Padahal saya telah bersembunyi dengan baik diatas pohon yang lebat itu.”
“Bagaimana kami tahu kalau kamu tidak berniat jahat?” tanya Loyo.
“Baiklah, akan saya perlihatkan.”

Bedul lalu menghunus parang, belati dan cemeti yang dibawanya dan meletakkan benda-benda itu di tanah. Dengan tenang tanpa gerakan mengancam, ia lalu mundur menuju ke sebatang pohon. Pada batang itu dililitkannya tubuhnya dengan tali yang telah disiapkannya, dari kaki hingga ke dada dan diikatkannya kuat-kuat. Kedua tangannya yang masih bebas disilangkannya ke belakang batang itu.

“Silakan mengikat kedua tangan saya,” pintanya.

Loyo memandang Anak Langit, dan melihat Andragi mengangukkan kepalanya. Dengan hati-hati Loyo mendekati Bedul Brewok dari belakang lalu mengikat tangannya kuat-kuat dengan tali yang masih tersisa.

“Sekarang tuan bisa membunuh saya dengan mudah atau meninggalkan saya terikat disini. Saya tidak bisa apa-apa sekarang. Kalau tidak dimakan binatang buas atau ditemukan oleh orang lain, saya tentu akan mati kelaparan juga disini,” katanya.

Andragi memandang tajam ke Brewok. Melihat kesungguhan serta ketulusan hati Bedul Brewok, Andragi lalu melepaskan ikatan yang membelenggunya. Mereka bertiga lalu duduk dibawah sebatang pohon yang rindang. Kemudian Bedul Brewok mengisahkan alasannya ‘mencegat’ Andragi.

“Saya sebenarnya seorang pengembara yang berkelana kian kemari untuk mencari pengetahuan dan pengalaman. Saya datang dari jauh, daerah Medaun di wilayah timur. Karena tidak banyak yang saya dapatkan selama perjalanan saya selama ini, waktu sampai di desa Brangin saya memutuskan sebaiknya saya menunggu saja di tempat perjudian itu. Karena di tempat perjudian itu banyak yang datang dari berbagai tempat. Siapa tahu suatu ketika saya bertemu seorang sakti yang bisa memberi pelajaran kepada saya. Apalagi melihat kelicikan Tamakir, saya yakin suatu saat pasti ada orang yang berani menentangnya dan menunjukkan kesaktiannya. Saya lalu melamar sebagai tukung pukul disana. Setelah diuji bertarung dan mengalahkan para tukang pukul kepercayaannya, saya diterima dan diangkat jadi pemimpin mereka. Saya sendiri sebenarnya membenci keserakahan dan kekejaman yang terjadi disana, tetapi demi harapan saya itu, saya menutup mata pura-pura tidak tahu. Akhirnya hari ini harapan saya terkabulkan, saya melihat sendiri kesaktian tuan Pembakar Air. Itulah maksud saya menemui tuan Pembakar Air.”

“Oh, begitu... Baiklah,” kata Andragi. “Maksud sobat Bedul memang baik..., tetapi  caranya tidak bailk. Tak emas bungkal diasah."
"Maksud tuan Pembakar Air....?? tanya Bedul tak paham.
"Ya, sobat Bedul telah melakukan segala daya untuk mencapai tujuan sobat meskipun caranya salah. Dengan membiarkan ketidak-adilan terjadi di sekitar kita demi tercapainya maksud baik kita, sebenarnya telah membuat kita bersekongkol dengan kejahatan itu sendiri. Karena itu, tujuan kita itu menjadi tidak terpuji,” jelas Andragi.

“Saya sadar dan menyesal... Maafkan saya, Tuan Pembakar Air. Saya telah menghalalkan cara," kata Bedul penuh penyesalan.
"Karena itu saya diam-diam pergi dan datang kesini. Saya sudah tidak tahan menyaksikan ketidak-adilan itu, apalagi Tamakir sudah punya rencana busuk lainnya yang lebih besar. Ia berniat membunuh wedana Buntung diam-diam agar jabatan itu kosong, lalu ia akan ikut mencalonkan diri menjadi wedana baru. Sebagai orang kepercayaannya, hanya saya sendiri yang baru diberi tahu rencana busuknya itu,” kata Bedul Brewok.

Mendengar itu, Andragi berpikir sejenak.

“Kalau sobat Bedul memang berniat baik, saya tidak keberatan mengajarkan ilmu saya. Nanti  akan saya beritahu ilmu membakar air. Tetapi sebaiknya niat busuk lurah itu bisa kita gagalkan,” kata Andragi.
“Saya juga berniat begitu, tetapi tidak tahu harus berbuat apa karena sayalah yang disuruh melakukan itu.”
“Kalau begitu kita buat rencananya. Bagaimana?” tanya Andragi.

Bedul Brewok setuju dan rencana pun disusun. Setelah merasa rencana itu cukup meyakinkan, mereka lalu berpisah. Bedul Brewok kembali ke tempat perjudian Tamakir sedangkan Andragi dan Loyo mengambil jalan menuju Padepokan Kalbusih agar tidak menimbulkan tanda tanya dalam hati Bedul Brewok.

Bedul Brewok segera kembali ke tempat perjudian. 
Setibanya di tempat perjudian, ia langsung menuju ruang khusus Tamakir untuk menemuinya.

“Dari mana saja kau, Brewok?!” hardik bosnya itu.
“Anu.., Ki Lurah. Saya mengintai kemana perginya pemuda setan itu. Ternyata ia pergi menuju padepokan si kakek bule. Saya lalu mendahuluinya lewat jalan lain dan bersembunyi untuk menghadangnya dan berniat membokongnya. Tetapi meskipun saya telah bersembunyi dengan baik, ternyata ia tahu juga dan mengambil jalan lain menuju hutan. Saya lalu menguntitnya dari jauh dan memang ternyata ia menuju padepokan itu.”
”Sayang, kamu tidak berhasil membunuhnya. Tetapi paling tidak kita tahu dimana dia berada. Kita bisa susun rencana untuk menghabisinya,” kata Tamakir.
“Tetapi, bagaimana dengan rencana untuk  wedana Buntung, ki Lurah?”
“Itu yang utama! Kamu harus segera melakukannya dan tidak boleh gagal! Ingat, jangan sampai ada yang tahu itu ulah kita, mengerti!”
“Paham, ki Lurah. Segera saya kerjakan!” jawab Brewok.

Ia lalu mengajak dua orang anak buahnya untuk melaksanakan niat busuk bos mereka. Dipilihnya orang-orang yang terkenal paling bengis, keji, dan gemar menyiksa orang lain. Pendek kata orang yang paling tidak berperi kemanusiaan.

“Besok malam, kalian harus membakar rumah wedana Buntung hingga rata dengan tanah. Lakukan setelah lepas tengah malam saat semua orang sudah tidur lelap, Bunuh semua penghuni yang mencoba lolos, mengerti?!” tegas Brewok.
“Paham, juragan!” jawab mereka serempak.

Bagi kedua tukang pukul yang paling keji dan bengis itu, pekerjaan ini merupakan mainan yang menyenangkan. Seperti anjing berjumpa pasir, wajah kedua orang itu tampak berseri-seri dan terlihat nyata sangat antusias untuk mengerjakan tugas kotor ini.

Bedul Brewok lalu melaporkan kepada Tamakir atas rencananya itu.
“Bagus! Kerjakan dengan rapi dan tuntas!” perintahnya.
Esoknya, saat matahari baru muncul, Tamakir telah kedatangan tamu istimewa yang tak lain adalah Pangeran Muda Jaira. Rupanya berita tentang anak muda pembakar air telah tersebar luas dengan cepatnya hingga ke telinga komandan pasukan keamanan yang berkedudukan di Buntung itu.


Apakah rencana busuk Lurah Tamakir berjalan dengan baik?

KOMENTAR ANDA