Dewa Sekalipun Tak Pernah Membuat Perubahan



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #14)

Benar saja, setiba di pintu gerbang Padepokan Kalbusih seorang santri muda bergegas menghampirinya dan mengatakan kakek Bulesak sudah menantinya. Warga Padepokan Kalbusih yang mengetahui kedatangannya segera berteriak memberi tahu dan memanggil yang lain. Mereka datang mengerumuninya dan mengiringinya hingga tiba di kediaman kakek Bulesak, sambil tiada henti  mengucapkan rasa syukur mereka Anak Langit telah kembali. Rasa senang dan penuh harapan itu ibarat itik mendengarkan guntur. Bahkan anak-anak kecilpun tidak ketinggalan. Dengan kelucuan dan keluguannya, mereka berusaha mencuri-curi untuk menyentuhnya, dan bila berhasil mereka segera lari sambil berteriak-teriak dengan riang.

Sesampai di kediaman kakek Bulesak Andragi segera menuju ruang pribadi kakek Bulesak. Si orang tua sedang duduk bersila dengan wajah yang segar seperti biasa. Tidak tampak kegusaran tersirat di matanya. Hati Andragi menjadi agak tenang.

“Silakan duduk Anak Langit. Pertunjukan api naga tadi itu sungguh bagus. Lagi pula dalam ruang tertutup di tempat yang terpencil sehingga orang lain tidak perlu tahu,” katanya.
“Lho, kok kakek sudah tahu? Darimana?” tanya Andragi terheran-heran.
“Setelah bertapa seratus hari yang melelahkan, tentunya saya tidak ingin kehilangan apa yang telah saya dapatkan, bukan? Tukang tidak membuang kayu, begitulah,” jawab kakek secara tidak langsung.
“Kakek ini memang sungguh sakti,” pikir Andragi. “Dia menjagaku tanpa aku pernah tahu, apalagi terusik. Sungguh orang tua yang hebat!”

 “Tapi yang membuat saya gembira adalah sikap Anak Langit yang sungguh terpuji. Sikap seperti itulah yang kini jarang bisa ditemui di negeri ini. Tidak salah Dewa Maha Esa mengutus Anak Langit datang ke negeri kami ini,” lanjut kakek Bulesak.

Kata ‘mengutus’ dan kata-kata lain yang pernah didengar sebelumnya seperti ‘ mencari orang yang memiliki pandangan jauh kedepan’ membuat Andragi sangsi akan pandangan kakek Bulesak tentang siapakah dia sebenarnya, manusia ataukah dewa.

Karenanya ia lalu bertanya,
“Menurut kakek, siapakah aku ini sebenarnya?”
“Kau adalah Anak Langit, makhluk yang diturunkan dari langit,” jawab kakek Bulesak.
“Maksud saya, saya ini manusia, wadag, atau dewa?”

Kakek Bulesak menatapnya lurus-lurus dan wajahnya menunjukkan keseriusan dan kharismanya, lalu ia berkata:
“Baiklah, akan saya katakan sejujurnya. Kau adalah manusia, wadag biasa....... tetapi datang dari masa depan! Saya tidak tahu kau datang dari masa apa...., tetapi saya yakini bahwa kau adalah manusia biasa seperti kami..... tetapi memiliki pemahaman dan pengetahuan yang lebih maju tentang hidup dan kehidupan, dibanding kami disini, dimasa ini.....!” ia berhenti sejenak memberi waktu Andragi mencerna kata-katanya.

“Kau berasal dari kehidupan dimana segala kearifan, nilai-nilai kemanusiaan dan pengetahuan telah terkumpul dari masa kemasa...., termasuk masa kami sekarang...., dan dari segala penjuru bumi, serta telah teruji melalui halangan dan rintangan kehidupan selama berabad-abad............. Oleh karena itu, meski kau adalah manusia biasa, .....kau menjadi istimewa. Bukan karena kemampuan fisikmu..., melainkan lebih karena kekuatan nilai dan pengetahuan masa depan yang kau miliki!” kembali ia berhenti sejenak.

“Pengetahuan dan kearifan masa depan itu tentu telah membentuk cara pandang yang berbeda.... dengan yang kami miliki disini. Dan cara pandang yang berbeda itulah yang yang akan menjadi dasar pijakan melakukan perubahan......, perubahan kehidupan yang mendasar dan menyeluruh atas kekacauan negeri kami ini......" lanjut si kakek.

"Karena itulah kami senantiasa berdoa memohon agar diberikan pemimpin negeri yang memiliki pandangan maju dan berbeda, tetapi selama ini tak pernah terkabulkan....... Itulah sebabnya kami memohon agar dikirimkan Anak Langit,..... manusia bukan dari jaman kami......., untuk memimpin perubahan itu. Dan Puji Dewa Maha Tunggal, kini harapan itu telah dikabulkan dengan kedatangan Anak Langit!” jelasnya.

“Tetapi saya kan bukan dewa?” sanggah Andragi.
“Justru itulah! Perubahan tidak bisa dipaksakan dari  pihak lain..... Manusia harus melakukan perubahan oleh manusia juga. .....Tidak akan pernah ada Dewa yang mau turun ke bumi dalam bentuk aslinya untuk memperbaiki kehidupan manusia....... Roh dan kearifan kedewaannya itulah yang menitis ke dalam wadag manusia......, dan si wadag memimpin dan mengajak manusia lain mengikuti nilai dan perilaku yang dianutnya, dengan berbagai tantangan dan rasa sakit...... Dengan begitu para pengikutnya akan memiliki rasa percaya diri kalau mereka akan mampu melakukannya. Dan dilain pihak, para penentangnya tidak bisa berdalih seperti “terang saja dia bisa, dia kan dewa, sedang kita hanya manusia biasa,” kakek Bulesak berhenti sejenak lalu ia melanjutkan.
“Kalau seorang dewa mampu membuat hujan, maka pengikutnya tidak akan pernah berusaha membuat hujan, karena sebagai manusia biasa mereka sadar tak kan mungkin memiliki kesaktian dewa. Tetapi hingga sekarang tidak pernah ada orang melihat dewa memamerkan kebolehannya membuat hujan, kan? Dan hasilnya.....? Bukankah di dunia Anak Langit, manusia telah bisa membuat hujan....?”
“Lho, kok kakek tahu?” tanya Andragi heran.
“Dan, mereka itu manusia biasa bukan?!”
“Betul, kek, mereka manusia biasa seperti saya.”
“Dalam penerawangan saya, di dunia kalian manusia biasapun juga sudah bisa terbang...., betulkah?”
“Benar kek. Di dunia kami, jika seseorang ingin pergi jauh ia akan terbang, menggunakan pesawat atau kapal terbang. Yang terbang orang biasa dan yang membuat kapal terbangnya juga orang biasa,” jawab Andragi.
“Berarti benar keyakinan saya! Orang biasa pun bisa membuat hasil yang luar biasa!” tegas si kakek.
“Saya setuju kek! Bahkan sejak kecil kami diajarkan demikian. Kebetulan saya membawa sebuah buku yang berjudul “Semua Orang Bisa Hebat”. Buku itu selalu menjadi pegangan saya karena memuat banyak kearifan untuk kita bisa membuat sesuatu secara hebat.
“Oooo, keyakinan dan kearifan masa depan yang luar biasa!” seru kakek Bulesak.
“Saya membawanya serta kemari, kalau kakek berkenan saya akan memberikannya kepada kakek.”
“Saya akan senang sekali, terimakasih Anak Langit. Moga-moga saya bisa membacanya. Tulisan kalian tentu berbeda dengan yang kami punya.”
Lama kedua orang berbeda generasi dan berbeda jaman itu berbincang-bincang lama. Andragi semakin menaruh hormat kepada kakek tua itu yang sangat pandai lagi bijaksana laksana ikan terkilat jala tiba serta tahu di angin berkisar. 

Tanpa terasa waktu telah menjelang siang. Kakek Bulesak mengajak Andragi makan siang lalu berjalan-jalan mengelilingi Padepokan Kalbusih sambil melihat segala persiapan perayaan syukuran kedatangan Anak Langit. Semua orang tua muda, laki perempuan dan anak-anak tampak bersemangat bekerja dan bergembira. Celoteh riang penuh harapan masa depan yang baik terdengar disana-sini. Andragi merasa berbesar hati dan diam-diam mencatat semua itu dalam hati. Dan dia berjanji untuk berusaha tidak mengecewakan mereka.

Keesokan harinya menjelang jam 10.00 pagi, tetabuhan musik berirama magis bergaung menyusuri setiap pelosok padepokan, seakan memanggil para penghuni agar segera menuju ke tempat upacara ritual. Berbondong-bondong warga Padepokan Kalbusih bergegas mendatangi pendopo agung. Tampak jelas semua orang berusaha menggunakan pakaian terbaik mereka, sambil membawa berbagai persembahan berupa makanan dan buah-buahan yang ditata apik. Para wanita berjalan beriringan satu dengan yang lain menyusuri jalan-jalan setapak dari rumah-rumah mereka yang jaraknya agak jauh dari pendopo.

Seluruh sudut Padepokan Kalbusih telah dihiasi dengan berbagai umbul-umbul berwarna warni. Pekarangan rumah dan jalan-jalan telah dibersihkan dan terlihat rapi. Tanah lapang didepan pendopo agung telah pula dihiasi berbagai umbul-umbul. Di salah satu sisinya yang berhadapan dengan pendopo telah dibuat panggung besar bersusun anak tangga berlapis-lapis. Dari pintu pendopo hingga kaki panggung telah digelar karpet merah. Diatasnya diletakkan sebuah singgasana berwarna emas dengan bantalan beludru berwarna ungu. Dibelakang singgasana berderet berbagai simbol keagamaan dengan pusatnya sebuah gambar merpati putih dengan sayap terkembang. Disamping kiri kanan singgasana diletakkan patung besar, yang satu berbentuk gajah duduk sambil memegang tasbih, yang satunya berbentuk burung hantu yang sedang memegang kitab ilmu pengetahuan.

Tepat jam 10.00 pagi prosesi dimulai. 
Diawali dengan hentakan gong yang menggema muncul para penari pembuka jalan diiringi dengan musik yang mengalun syahdu. Di belakangnya menyusul iring-iringan para wanita yang membawa berbagai sesajian diatas kepala mereka. Setelah itu tampak empat orang pemuda mengusung tandu kursi yang diatasnya duduk Anak Langit yang hanya mengenakan kain putih melilit sederhana ditubuhnya, tetapi di kepalanya bertengger sejenis mahkota. Wajahnya ditutupi dengan semacam cadar yang nantinya akan dibuka sebagai simbol kedatangannya. Dibelakang Anak Langit berbaris para santri yang membawa panji-panji dan lambang-lambang keagamaan. Setelah itu muncul pemimpin upacara yang tidak lain adalah kakek Bulesak. Ia menggunakan jubah biru berhiaskan simbol-simbol keagamaan berwarna keemasan. Tangan kanannya menggenggam tongkat panjang yang ujungnya berhiaskan ukiran burung merpati, sedangkan tangan kiringa mengempit gulungan papirus yang berisi tulisan tentang kebijakan hidup. Dibelakangnya menyusul para pembawa dupa dan terakhir para penari pengiring. Suasana yang terbangun sungguh khidmat.


Apakah upacara penyambutan akan berjalan mulus? Apa yang akan terjadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA