Jaira Terhindar dari Racun Mematikan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #97 )

Kita kembali ke Kotaraja dimana Kepala Negeri akan memberi penghargaan kepada Adipati Rajapurwa, Jaira. Dia memanggil Uyada, seorang menteri Klapa Getir.

“Pastikan Asipati Rajapurwa meminum tuak kerajaan ini dan disaksikan oleh seluruh peserta jamuan pesta pemberian penghargaan ini,..” kata Sudoba.

“Baik, tuanku Kepala Negeri. Akan saya pastikan itu terjadi,..” jawab Uyada.

Dua hari kemudian Uyada terlihat berangkat menuju Rajapurwa dengan diiringi pasukan pengawal yang kuat. Ia tidak mau kejadian perampokan hadiah perkawinan Kepala Negeri itu terjadi lagi terhadapnya. Perjalanan menuju Rajapurwa dama sekali tidak mengalami hambatan meski memakan waktu 4 hari lamanya.

Setiba di Rajapurwa mereka disambut dalam upacara resmi oleh Adipati Jaira lengkap dengan pasukannya yang ikut dalam pertempuran mengalahkan ‘perampok’ gunung Kembar. Rakyat Rajapurwa berduyun-duyun hadir karena merasa bangga wilayahnya mendapat pengghargaan dari Kepala Negeri. Mereka sudah diberitahu sebelumnya tentang hal itu melalui berita dari mulut ke mulut yang diawali dari paguyuban Kapisan di warung tempat Lugasi dan warga berkumpul.

Alun-alun di depan Kadipaten itu terisi penuh dengan adanya pasukan pengawal dari Kotaraja, pasukan Rajapurwa serta rakyat yang memadati sisi kiri, kanan dan depan kadipaten. Sungguh meriah suasana hari itu. Para tamu duduk di panggung persis di depan kadipaten dan menghadap ke alun-alun. Hadir pula disitu Gubernur Landipa, Mateko yang membawahi kadipaten Rajapurwa.

“Saudara-saudara sekalian warga Rajapurwa, Kepala Negeri Klapa Getir mengucapkab terimakasih atas keberhasilan Kadipaten Rajapurwa menumpas perampok ganas Gunung Kembar. Karena itu Kepala Negeri Sudoba berkenan menganugerahkan penghargaan kepada adipati Rajapurwa atas keberhasilan ini,..” pidato Uyada.

“Horeeee,..!!  Hidup Rajapurwa,... Hidup Adipati Jaira,..!!” teriak warga.

“Atas nama Kepala Negeri Klapa Getir saya menyerahkan seperangkat hadiah termasuk tuak kerajaan dalam kendi khusus yang harus diminum sebagai tanda menerima penghargaan Kepala Negeri ini,..” lanjut Uyada.

Uyada lalu menyerahkan kendi tuak kerajaan dengan hikmad dan mengancungkan tinggi-tinggi ke arah warga yang menyambutnya dengan epukan dan teriakan bangga.

“Hidup Rajapurwa,...Hidup Adipati Jaira,..” teriak rakyat.

“Silakan dibuka dan diminum, adipati,..!!” kata Uyada dengan nada mendesak.

Jaira memandang mata Uyada yang tajam menusuk, jelas menuntut agar dia segera meminum tuak kerajaan itu. Dengan tegar Jaira melambaikan sebelah tangannya meminta warga diam. Rakyatpun segera menghentikan teriakan mereka dan terdiam, memandang dengan takjub bagaimana Adipati mereka akan membuka tutup kendi lalu minum tuak kerajaan mewakili rakyat Rajapurwa.

“Rakyat Rajapurwa semua,...” kata Jaira.

“Dengan ini kita menerima penghargaan ini dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kepala Negri Sudoba yang disampaikan melalui menteri Uyada.,..” lanjutnya.

“Tetapi sebelum saya meminumnya kita harus memberi kehormatan kepada Gubernur Landipa, Tuanku Mateko untuk meminumnya terlebih dahulu karena Rajapurwa berada di bawah propinsi Landipa,..” lanjut Jaira.

“Horee,...!! Hidup Landipa,... hidup gubernur Mateko,..” teriak rakyat seperti ada yang memberi komando.

Gubernur Mateko diminta maju oleh Jaira dan seorang ajudan memberikannya sebuah cangkir. Jaira lalu membuka kendi kerajaan itu dan dengan perlahan-lahan menuangkan isinya ke dalam cangkir ditangan gubernur Mateko hingga penuh. Semua mata memandang dengan tajam, juga Uyada yang sebenarnya ingin mencegah tetapi suasana dan situasi sudah tidak memungkinkan...

Dengan wajah sumringah gubernur Mateko mengangkat cangkir ke atas lalu meminumnya seteguk-seteguk hingga habis diiringi dengan tepuk tangan meriah rakyat Rajapurwa yang menyaksikan. Hanya menteri Udaya yang terlihat tegang,..

“Hidup Lamdipa !!,...Hidup Gubernur Mateko,..!!” teriak massa.

Dalam kegemuruhan itu tiba-tiba Gubernur Mateko jatuh tersungkur. Jaira yang berada di dekatnya langsung meletakkan kendi kerajaan dan meraih tubuh gubernur Mateko. Diangkatnya kepala Mateko, wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal serta mulutnya berbusa. Tak berapa lama kepalanya terkulai, mati.

Rakyat pun mendadak terdiam menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kerumunan warga,

“Suruh utusan itu minum,..!! suruh Uyada minum,..!!

Sambil teriak itu massa maju merangsek ke arah panggung dari segala arah. Pasukan pengawal Uyada bergerak untuk melindungi Uyada tapi mereka segera bergadapan dengan pasukan Rajapurwa yang menghadangnya. Tak terelakkan lagi terjadi pertempuran antara kedua pasukan dalam kekacauan itu.

Rakyat yang menyerbu ke panggung dengan garang mengeroyok Uyada dan para pendampingnya. Diantara mereka terdapat Lugasi yang dengan cepat menotok Uyada kemudian para pemdampingnya agar mudah diringkus oleh massa sehingga tidak jatuh korban diantara rakyat karena para utusan itu tentu memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi.

Dengan cepat mereka mencekoki para utusan itu dengan tuak kerajaan dari kendi yang diletakkan oleh Jaira. Tidak berapa lama mereka sudah kelojotan meregang nyawa.

Lepas dari situ Lugasi langsung bergabung dengan pasukan yang sedang bertempur untuk membantu pasukan Rajapurwa. Pertempuran itu segera menjadi timpang dengan adanya Lugasi. Bahkan sebagian rakyat bukannya takut tapi berjaga-jaga di sekelilingnya. Jika ada pasukan pengawal yang terjatuh di dekat mereka, langsung mereka meringkusnya, tetapi kalau pasukan Rajapurwa yang terjatuh di dekat mereka, mereka lindungi. Akhirnya pasukan pengawal dari Kotaraja menyerah. Banyak dari mereka yang terluka dan sebagian terbunuh.

 Setelah suasana mereda, Jaira tampil di panggung dan menghadap ke arah pasukan pengawal. Matanya tajam dengan pandangan menikam diikuti rahangnya mengatup rapat.

“He, kalian ,... pasukan pengawal,..!! Siapa pimpinan kalian he,..!!??”

“Saya, tuanku,.. Saya Racuga,..” jawab Racuga.

“Kau dan pasukanmu lihat sendiri apa yang terjadi disini... Pulang dan laporkan apa yang kalian lihat sebenar-benarnya,...!!” kata Jaira lantang.

“Kami tak bisa pulang dengan kekalahan,.. Kami harus melawan sampai mati,..” jawab Racuga.

“Tapi,.. kenapa kalian menyerah ,..??” kejar Jaira.

“Banyak dari kami yang tertotok dan diringkus,..” jawab Racuga.

“Baik,.. kami akan lepaskan totokan kalau kalian memang ingin mati,..!!”

Dengan satu isyarat dari Jaira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan mengelinding diantara prajurit pasukan pengawal membebaskan totokan di tubuh mereka satu persatu. Gerakannya yang begitu lincah membuat semua yang memandang terkagum-kagum. Tidak lain tidak bukan dia Lugasi yang dijuluki Anak Setan.

“Nah, pasukanmu sudah tidak tertotok lagi. Mari kita bertempur sampai mati,..” tantang Jaira.

Racuga dan pasukannya diam membeku. Rupanya nyali mereka jadi ciut melihat pasukan Rajapurwa yang sudah bersiap tempur dan disampingnya ada Anak Setan yang punya gerakan sangat cepat serta rakyat Rajapurwa yang  siap meringkus mereka.

“Kenapa kaian diam saja,..he..!!??” sergah Jaira.

“Kami tak bisa kemana-mana,... Kami mohon perlindungan Adipati,..” jawab Racuga.

“Hmmm, perkara ini menjadi rumit. Tapi,.. baiklah. Kalian akan kami tempatkan di Gunung Kembar. Disana sudah ada sawah dan ladang yang bisa kalian kerjakan untuk hidup. Tapi untuk sementara semua perlengkapan perang kalian kami sita,..” jawab Jaira.

Begitulah.. Prajurit pasukan pengawal itu diantar oleh pasukan Rajapurwa ke gunung Kembar untuk memulai hidup baru mereka sebagai rakyat biasa.

Jaira juga mengirim seorang utusan ke Kotaraja melaporkan semua kejadian itu kepada pamannya Perdana Menteri Jukamu. Dengan dahi berkerut Jukamu membaca surat Jaira.

“Hmmm,... Memang tidak bisa dihindarkan situasi ini. Bagaimanapun Jaira punya hak untuk tetap hidup, tidak mati oleh minuman laknat itu,..” kata Jukamu.

“Begini,.. Bilang sama Adipati Jaira kalau ceritanya adalah karena menteri Uyada memang sengaja mau membunuh gubernur Landipa Mateko karena dia memang ingin menjadi gubernur disana. Kita tahu penghasilan dan kekuasaan seorang gubernur seperti Landipa jauh lebih besar dibanding menteri yang posisinya tidak begitu penting seperti Uyada. Dia sengaja menukar kendi tuak dengan yang beracun. Tapi dia tidak menduga kalau reaksi rakyat Rajapurwa seperti itu.,... Kau mengerti,..??” tanya Jukamu.

“Saya mengerti tuanku,..” jawab utusan jaira sambil mohon diri kembali ke Rajapurwa.

Esoknya Jukamu segera menghadap Kepala Negeri Sudoba melaporkan apa yang terjadi terhadap menteri Uyada di Rajapurwa. Muka Sudoba tegang dan rahangnya kencang menahan marah.

(pasti kau sudah memberi tahu keponakanmu itu kalau tuak itu beracun, Sudoba membatin)

“Namaku bisa rusak kalau orang mengira tuak beracun yang kuberikan sebagai penghargaan kepada orang yang sudah berjasa,..apa kata dunia,..??” kata Sudoba.

“Tidak tuanku, orang tahu kalau itu ulah Uyada yang memang berniat membunuh gubernur Landipa karena dia ingin mendapatkan tempat itu, tetapi reaksi rakyat Rajapurwa ternyata mereka sangat mencintai adipati mereka sehingga justru memaksa Uyada minum tuak beracun itu. Pasukan pengawal mencoba melindungi tapi tak berdaya melawan ribuan rakyat yang memenuhi alun-alun itu,..” jelas Jukamu.

(Hmmm, kau coba menakuti aku dengan bilang kalau keponakanmu itu dicintai rakyatnya, batin Sudoba)

“Hmmm, sebaiknya begitu. Aku akan pastikan dengan mengirim orangku nanti sebagai calon penggganti gubernur yang baru,..” kata Sudoba.

(Dasar kepala batu, dia akan menekan Jaira untuk mendukung calon dari pusat yang dia restui. Pasti kerabat dekatnya, pikir Jukamu)

“Siapakah yang akan tuan kirim kesana,..??” tanya Jukamu.

“Nanti pada saatnya kita akan tahu,..” jawab Sudoba.

Jukamu lalu minta diri kembali ke kediamannya.

Sedangkan Sudoba segera mengumpulkan orang-orang terdekatnya untuk membahas langkah yang sebaiknya mereka lakukan untuk menekan Jaira dan meloloskan calon mereka terpilih nantinya menjadi gubernur Landipa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA