Kita kembali ke Kotaraja dimana Kepala Negeri akan memberi penghargaan kepada Adipati Rajapurwa, Jaira. Dia memanggil Uyada, seorang menteri Klapa Getir.
“Pastikan Asipati
Rajapurwa meminum tuak kerajaan ini dan disaksikan oleh seluruh peserta jamuan
pesta pemberian penghargaan ini,..” kata Sudoba.
“Baik, tuanku Kepala
Negeri. Akan saya pastikan itu terjadi,..” jawab Uyada.
Dua hari kemudian Uyada
terlihat berangkat menuju Rajapurwa dengan diiringi pasukan pengawal yang kuat.
Ia tidak mau kejadian perampokan hadiah perkawinan Kepala Negeri itu terjadi
lagi terhadapnya. Perjalanan menuju Rajapurwa dama sekali tidak mengalami
hambatan meski memakan waktu 4 hari lamanya.
Setiba di Rajapurwa
mereka disambut dalam upacara resmi oleh Adipati Jaira lengkap dengan
pasukannya yang ikut dalam pertempuran mengalahkan ‘perampok’ gunung Kembar. Rakyat
Rajapurwa berduyun-duyun hadir karena merasa bangga wilayahnya mendapat
pengghargaan dari Kepala Negeri. Mereka sudah diberitahu sebelumnya tentang hal
itu melalui berita dari mulut ke mulut yang diawali dari paguyuban Kapisan di
warung tempat Lugasi dan warga berkumpul.
Alun-alun di depan
Kadipaten itu terisi penuh dengan adanya pasukan pengawal dari Kotaraja,
pasukan Rajapurwa serta rakyat yang memadati sisi kiri, kanan dan depan
kadipaten. Sungguh meriah suasana hari itu. Para tamu duduk di panggung persis
di depan kadipaten dan menghadap ke alun-alun. Hadir pula disitu Gubernur
Landipa, Mateko yang membawahi kadipaten Rajapurwa.
“Saudara-saudara sekalian
warga Rajapurwa, Kepala Negeri Klapa Getir mengucapkab terimakasih atas
keberhasilan Kadipaten Rajapurwa menumpas perampok ganas Gunung Kembar. Karena
itu Kepala Negeri Sudoba berkenan menganugerahkan penghargaan kepada adipati
Rajapurwa atas keberhasilan ini,..” pidato Uyada.
“Horeeee,..!! Hidup Rajapurwa,... Hidup Adipati Jaira,..!!”
teriak warga.
“Atas nama Kepala Negeri
Klapa Getir saya menyerahkan seperangkat hadiah termasuk tuak kerajaan dalam
kendi khusus yang harus diminum sebagai tanda menerima penghargaan Kepala
Negeri ini,..” lanjut Uyada.
Uyada lalu menyerahkan
kendi tuak kerajaan dengan hikmad dan mengancungkan tinggi-tinggi ke arah warga
yang menyambutnya dengan epukan dan teriakan bangga.
“Hidup Rajapurwa,...Hidup
Adipati Jaira,..” teriak rakyat.
“Silakan dibuka dan
diminum, adipati,..!!” kata Uyada dengan nada mendesak.
Jaira memandang mata
Uyada yang tajam menusuk, jelas menuntut agar dia segera meminum tuak kerajaan
itu. Dengan tegar Jaira melambaikan sebelah tangannya meminta warga diam.
Rakyatpun segera menghentikan teriakan mereka dan terdiam, memandang dengan
takjub bagaimana Adipati mereka akan membuka tutup kendi lalu minum tuak
kerajaan mewakili rakyat Rajapurwa.
“Rakyat Rajapurwa
semua,...” kata Jaira.
“Dengan ini kita menerima
penghargaan ini dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kepala
Negri Sudoba yang disampaikan melalui menteri Uyada.,..” lanjutnya.
“Tetapi sebelum saya
meminumnya kita harus memberi kehormatan kepada Gubernur Landipa, Tuanku Mateko
untuk meminumnya terlebih dahulu karena Rajapurwa berada di bawah propinsi
Landipa,..” lanjut Jaira.
“Horee,...!! Hidup
Landipa,... hidup gubernur Mateko,..” teriak rakyat seperti ada yang memberi
komando.
Gubernur Mateko diminta
maju oleh Jaira dan seorang ajudan memberikannya sebuah cangkir. Jaira lalu
membuka kendi kerajaan itu dan dengan perlahan-lahan menuangkan isinya ke dalam
cangkir ditangan gubernur Mateko hingga penuh. Semua mata memandang dengan
tajam, juga Uyada yang sebenarnya ingin mencegah tetapi suasana dan situasi
sudah tidak memungkinkan...
Dengan wajah sumringah
gubernur Mateko mengangkat cangkir ke atas lalu meminumnya seteguk-seteguk
hingga habis diiringi dengan tepuk tangan meriah rakyat Rajapurwa yang
menyaksikan. Hanya menteri Udaya yang terlihat tegang,..
“Hidup Lamdipa
!!,...Hidup Gubernur Mateko,..!!” teriak massa.
Dalam kegemuruhan itu
tiba-tiba Gubernur Mateko jatuh tersungkur. Jaira yang berada di dekatnya
langsung meletakkan kendi kerajaan dan meraih tubuh gubernur Mateko. Diangkatnya
kepala Mateko, wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal serta mulutnya
berbusa. Tak berapa lama kepalanya terkulai, mati.
Rakyat pun mendadak
terdiam menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kerumunan
warga,
“Suruh utusan itu
minum,..!! suruh Uyada minum,..!!
Sambil teriak itu massa
maju merangsek ke arah panggung dari segala arah. Pasukan pengawal Uyada
bergerak untuk melindungi Uyada tapi mereka segera bergadapan dengan pasukan
Rajapurwa yang menghadangnya. Tak terelakkan lagi terjadi pertempuran antara
kedua pasukan dalam kekacauan itu.
Rakyat yang menyerbu ke
panggung dengan garang mengeroyok Uyada dan para pendampingnya. Diantara mereka
terdapat Lugasi yang dengan cepat menotok Uyada kemudian para pemdampingnya
agar mudah diringkus oleh massa sehingga tidak jatuh korban diantara rakyat
karena para utusan itu tentu memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi.
Dengan cepat mereka
mencekoki para utusan itu dengan tuak kerajaan dari kendi yang diletakkan oleh
Jaira. Tidak berapa lama mereka sudah kelojotan meregang nyawa.
Lepas dari situ Lugasi
langsung bergabung dengan pasukan yang sedang bertempur untuk membantu pasukan
Rajapurwa. Pertempuran itu segera menjadi timpang dengan adanya Lugasi. Bahkan
sebagian rakyat bukannya takut tapi berjaga-jaga di sekelilingnya. Jika ada
pasukan pengawal yang terjatuh di dekat mereka, langsung mereka meringkusnya,
tetapi kalau pasukan Rajapurwa yang terjatuh di dekat mereka, mereka lindungi.
Akhirnya pasukan pengawal dari Kotaraja menyerah. Banyak dari mereka yang
terluka dan sebagian terbunuh.
Setelah suasana mereda, Jaira tampil di
panggung dan menghadap ke arah pasukan pengawal. Matanya tajam dengan pandangan
menikam diikuti rahangnya mengatup rapat.
“He, kalian ,... pasukan
pengawal,..!! Siapa pimpinan kalian he,..!!??”
“Saya, tuanku,.. Saya
Racuga,..” jawab Racuga.
“Kau dan pasukanmu lihat
sendiri apa yang terjadi disini... Pulang dan laporkan apa yang kalian lihat
sebenar-benarnya,...!!” kata Jaira lantang.
“Kami tak bisa pulang
dengan kekalahan,.. Kami harus melawan sampai mati,..” jawab Racuga.
“Tapi,.. kenapa kalian
menyerah ,..??” kejar Jaira.
“Banyak dari kami yang
tertotok dan diringkus,..” jawab Racuga.
“Baik,.. kami akan
lepaskan totokan kalau kalian memang ingin mati,..!!”
Dengan satu isyarat dari
Jaira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan mengelinding diantara prajurit
pasukan pengawal membebaskan totokan di tubuh mereka satu persatu. Gerakannya
yang begitu lincah membuat semua yang memandang terkagum-kagum. Tidak lain
tidak bukan dia Lugasi yang dijuluki Anak Setan.
“Nah, pasukanmu sudah
tidak tertotok lagi. Mari kita bertempur sampai mati,..” tantang Jaira.
Racuga dan pasukannya
diam membeku. Rupanya nyali mereka jadi ciut melihat pasukan Rajapurwa yang
sudah bersiap tempur dan disampingnya ada Anak Setan yang punya gerakan sangat
cepat serta rakyat Rajapurwa yang siap
meringkus mereka.
“Kenapa kaian diam
saja,..he..!!??” sergah Jaira.
“Kami tak bisa
kemana-mana,... Kami mohon perlindungan Adipati,..” jawab Racuga.
“Hmmm, perkara ini
menjadi rumit. Tapi,.. baiklah. Kalian akan kami tempatkan di Gunung Kembar.
Disana sudah ada sawah dan ladang yang bisa kalian kerjakan untuk hidup. Tapi
untuk sementara semua perlengkapan perang kalian kami sita,..” jawab Jaira.
Begitulah.. Prajurit
pasukan pengawal itu diantar oleh pasukan Rajapurwa ke gunung Kembar untuk
memulai hidup baru mereka sebagai rakyat biasa.
Jaira juga mengirim
seorang utusan ke Kotaraja melaporkan semua kejadian itu kepada pamannya
Perdana Menteri Jukamu. Dengan dahi berkerut Jukamu membaca surat Jaira.
“Hmmm,... Memang tidak
bisa dihindarkan situasi ini. Bagaimanapun Jaira punya hak untuk tetap hidup,
tidak mati oleh minuman laknat itu,..” kata Jukamu.
“Begini,.. Bilang sama
Adipati Jaira kalau ceritanya adalah karena menteri Uyada memang sengaja mau
membunuh gubernur Landipa Mateko karena dia memang ingin menjadi gubernur
disana. Kita tahu penghasilan dan kekuasaan seorang gubernur seperti Landipa
jauh lebih besar dibanding menteri yang posisinya tidak begitu penting seperti
Uyada. Dia sengaja menukar kendi tuak dengan yang beracun. Tapi dia tidak
menduga kalau reaksi rakyat Rajapurwa seperti itu.,... Kau mengerti,..??” tanya
Jukamu.
“Saya mengerti tuanku,..”
jawab utusan jaira sambil mohon diri kembali ke Rajapurwa.
Esoknya Jukamu segera
menghadap Kepala Negeri Sudoba melaporkan apa yang terjadi terhadap menteri
Uyada di Rajapurwa. Muka Sudoba tegang dan rahangnya kencang menahan marah.
(pasti kau sudah memberi
tahu keponakanmu itu kalau tuak itu beracun, Sudoba membatin)
“Namaku bisa rusak kalau orang
mengira tuak beracun yang kuberikan sebagai penghargaan kepada orang yang sudah
berjasa,..apa kata dunia,..??” kata Sudoba.
“Tidak tuanku, orang tahu
kalau itu ulah Uyada yang memang berniat membunuh gubernur Landipa karena dia
ingin mendapatkan tempat itu, tetapi reaksi rakyat Rajapurwa ternyata mereka
sangat mencintai adipati mereka sehingga justru memaksa Uyada minum tuak
beracun itu. Pasukan pengawal mencoba melindungi tapi tak berdaya melawan
ribuan rakyat yang memenuhi alun-alun itu,..” jelas Jukamu.
(Hmmm, kau coba menakuti
aku dengan bilang kalau keponakanmu itu dicintai rakyatnya, batin Sudoba)
“Hmmm, sebaiknya begitu.
Aku akan pastikan dengan mengirim orangku nanti sebagai calon penggganti
gubernur yang baru,..” kata Sudoba.
(Dasar kepala batu, dia
akan menekan Jaira untuk mendukung calon dari pusat yang dia restui. Pasti
kerabat dekatnya, pikir Jukamu)
“Siapakah yang akan tuan
kirim kesana,..??” tanya Jukamu.
“Nanti pada saatnya kita akan
tahu,..” jawab Sudoba.
Jukamu lalu minta diri
kembali ke kediamannya.
Sedangkan Sudoba segera
mengumpulkan orang-orang terdekatnya untuk membahas langkah yang sebaiknya
mereka lakukan untuk menekan Jaira dan meloloskan calon mereka terpilih nantinya
menjadi gubernur Landipa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.