Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #04)
Itulah peristiwa yang dialaminya seminggu yang lalu.
Kemarin pagi motor
kesayangannya diledakkan dan karena itu pula tadi pagi ia harus melarikan diri setelah
kehilangan segalanya. Dan kini tubuhnya berada entah dimana, menggeletak di
tempat yang gelap dan sunyi. Sendiri ...!
Badannya masih terasa lemah untuk bergerak. Pikirannya melayang kemanan-mana.
Tanpa disadarinya terlintaslah rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang kemudian memaksa dirinya mengambil keputusan besar dalam hidupnya, menghilangkan diri dengan meninggalkan tempat kehidupannya selama ini. Gambaran kejadian-kejadian itu terbayang nyata seperti video yang diputar ulang.
Tanpa disadarinya terlintaslah rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang kemudian memaksa dirinya mengambil keputusan besar dalam hidupnya, menghilangkan diri dengan meninggalkan tempat kehidupannya selama ini. Gambaran kejadian-kejadian itu terbayang nyata seperti video yang diputar ulang.
Ini dimulai 2 bulan yang lalu.
Suatu hari ia mengungkapkan adanya kejanggalan dalam pembelian barang-barang persediaan yang nilainya ratusan juta rupiah. Barang-barang itu selalu saja tercantum di dalam anggaran lembaga mereka dalam jumlah dan besaran yang relatif sama. Dari catatan yang ia telusuri, terbukti hal itu sudah berjalan bertahun-tahun. Sudah dua tahun sejak ia bekerja disini, selalu ia dapati mata anggaran untuk barang-barang itu. Keanehannya terletak pada jumlah dan harga yang relatif sama, seakan tidak pernah ditinjau atau diperbaharui. Padahal barang-barang itu tidak tergolong barang yang cepat rusak atau Fast Movig Parts.
Suatu hari ia mengungkapkan adanya kejanggalan dalam pembelian barang-barang persediaan yang nilainya ratusan juta rupiah. Barang-barang itu selalu saja tercantum di dalam anggaran lembaga mereka dalam jumlah dan besaran yang relatif sama. Dari catatan yang ia telusuri, terbukti hal itu sudah berjalan bertahun-tahun. Sudah dua tahun sejak ia bekerja disini, selalu ia dapati mata anggaran untuk barang-barang itu. Keanehannya terletak pada jumlah dan harga yang relatif sama, seakan tidak pernah ditinjau atau diperbaharui. Padahal barang-barang itu tidak tergolong barang yang cepat rusak atau Fast Movig Parts.
Merasa ada yang aneh, ia
diam-diam menandai semua barang yang selalu tercantum dalam pembelian
persediaan itu. Ini harus dilakukan dengan hati-hati sekali, ikan biar dapat, serampang jangan pukah. Tidak boleh sampai ketahuan dan tertangkap basah.
Saat pembelian barang persediaan telah selesai dilakukan, diam-diam pula ia memeriksa kembali tempat penyimpanannya. Satu per satu ditelitinya, tetapi tidak dijumpainya satupun barang baru, alias yang tidak bertanda. Semuanya memiliki tanda tersembunyi yang telah dibuatnya.
Saat pembelian barang persediaan telah selesai dilakukan, diam-diam pula ia memeriksa kembali tempat penyimpanannya. Satu per satu ditelitinya, tetapi tidak dijumpainya satupun barang baru, alias yang tidak bertanda. Semuanya memiliki tanda tersembunyi yang telah dibuatnya.
“Aneh!" pikirnya.
"Mustinya ada barang baru yang tak bertanda. Kenapa yang ada hanya yang bertanda..?? Jangan-jangan pembelian itu hanya fiktif belaka. Kuitansinya ada tapi barang yang dibeli ya yang itu-itu juga, barang yang sama." selidiknya.
"Hmmmm...., Akan kubuka keanehan ini. Tetapi sebaiknya kutunggu satu atau dua kali pembelian lagi biar kuat pembuktiannya,” pikirnya.
"Mustinya ada barang baru yang tak bertanda. Kenapa yang ada hanya yang bertanda..?? Jangan-jangan pembelian itu hanya fiktif belaka. Kuitansinya ada tapi barang yang dibeli ya yang itu-itu juga, barang yang sama." selidiknya.
"Hmmmm...., Akan kubuka keanehan ini. Tetapi sebaiknya kutunggu satu atau dua kali pembelian lagi biar kuat pembuktiannya,” pikirnya.
Ternyata dugaannya tidak sepenuhnya benar.
Pada pembelian berikutnya ia mendapati ada sebagian barang tidak bertanda, tetapi jumlahnya tidak sebesar jumlah yang tercantum dalam kuitansi pembelian.
Pada pembelian berikutnya ia mendapati ada sebagian barang tidak bertanda, tetapi jumlahnya tidak sebesar jumlah yang tercantum dalam kuitansi pembelian.
“Wah, pintar juga mereka." kagumnya.
"Ini pasti agar terlihat ada kegiatan pembelian secara nyata. Dari tempat bongkar muat memang ada barang yang benar-benar datang. Kalau begitu akan kita lihat sekali lagi. Yang baru datang ini akan kuberi tanda juga,” ia membatin.
"Ini pasti agar terlihat ada kegiatan pembelian secara nyata. Dari tempat bongkar muat memang ada barang yang benar-benar datang. Kalau begitu akan kita lihat sekali lagi. Yang baru datang ini akan kuberi tanda juga,” ia membatin.
Dugaannya menjadi bulat saat pembelian berikutnya
dilakukan.
Didapatinya barang-barang itu semuanya bertanda. Berarti tidak ada barang baru yang masuk.
Didapatinya barang-barang itu semuanya bertanda. Berarti tidak ada barang baru yang masuk.
“Data yang kuperlukan sudah cukup. Mereka memang
melakukan pembelian fiktif atau kurang dari yang semestinya. Aku akan melaporkannya
dalam rapat nanti, tanpa menuduh siapapun. Hanya fakta-fakta berdasarkan
data-data ini saja yang akan kusampaikan!” tekadnya.
Pada rapat bulanan berikutnya, ia menyampaikan laporannya
secara terbuka.
“Bapak pimpinan dan para peserta rapat yang saya
hormati,” ia memulainya.
Awalnya kata-kata yang keluar agak tersendat. Namun setelah beberapa saat
ia mampu menguasai dirinya dan dengan lancar mengisahkan hasil temuannya secara
rinci.
Di tengah uraiannya itu, tiba-tiba suasana rapat berubah menjadi tegang. Semua mata peserta menatap tajam ke arahnya, terutama pimpinan tertinggi lembaga tempat dia bekerja. Wajah si boss tampak memerah pertanda menahan amarah. Dahinya berkerut disertai dengan tulang pipi yang bergoyang-goyang akibat geligi gerahamnya saling beradu.
Di tengah uraiannya itu, tiba-tiba suasana rapat berubah menjadi tegang. Semua mata peserta menatap tajam ke arahnya, terutama pimpinan tertinggi lembaga tempat dia bekerja. Wajah si boss tampak memerah pertanda menahan amarah. Dahinya berkerut disertai dengan tulang pipi yang bergoyang-goyang akibat geligi gerahamnya saling beradu.
“Terima kasih atas laporannya, saudara Andragi,” kata si
boss. “Selama ini kita tidak pernah mengetahui kejadian ini dan juga tidak
pernah mendengar hal jujur seperti ini. Ini sangat memalukan..!!” katanya
sambil menggebrak meja.
Semua kepala tertunduk, tak ada yang berani menatap mata
si boss yang menyala-nyala.
“Saya sendiri akan turun tangan menangani perkara ini!
Kita akan selesaikan secara tuntas! Siapapun yang bertindak merugikan akan
mendapat hukumannya!” matanya menyapu seluruh peserta rapat.
Peluh dingin terasa mengalir di punggung peserta rapat.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Andragi. Bukankah si boss justru
berterimakasih atas laporannya itu.
“Sekali lagi terima kasih saudara Andragi,” kata si boss.
Peluh terlihat menghiasi wajahnya yang bundar akibat
kelebihan lemak.
Dengan penuh rasa lega Andragi melangkah ke luar rapat
dan meneruskan pekerjaannya. Tetapi belum seberapa lama, Jira menghampirinya.
“Hei bung, ada kabar baik nih,” kata Jira memancing
perhatiannya.
“Kabar baik apaan?” tanyanya menduga-duga.
Dalam hati Andragi berpikir, mungkin ada kaitannya dengan rapat tadi. Siapa tahu ia
akan mendapat promosi.
“Nanti saja aku ceritakan. Yang penting habis kerja kamu
datang ke rumahku, ok?” undangnya.
“Apaan sih? Kasih tahu aja sekarang!” desaknya
penasaran.
“Tidak! Dan kamu harus datang!” tuntut Jira.
Ada nada berat serta tegas yang menjadi ciri Jira jika
ada sesuatu yang serius.
“Dan,.. tolong jangan bawa Nina!” bisik Jira, sama
tegasnya.
Nina adalah pacarnya yang juga teman sekantor mereka,
tetapi di lain Bagian. Gadis itu mulai dekat dengannya setahun yang lalu. Wajahnya
lembut, dengan perpaduan antara cantik, manis dan klasik dengan dagu yang bagai lebah bergantung. Seperti campuran
antara kelembutan Jawa, klasik India dan kecantikan Sunda. Kulitnya kuning langsat dengan tungkai yang panjang berhiaskan betis bagai perut padi.
Tubuhnya termasuk agak sedikit tinggi untuk ukuran etnis melayu, 167 cm. Gadis
yang cantik dan lembut. Kedua hal itulah yang membuatnya jatuh cinta.
Dan
tampaknya ia tidak bertepuk sebelah tangan. Nina juga secara jelas
menunjukkan cintanya dengan segala perhatian dan kelembutan yang selalu
diberikan oleh gadis itu kepadanya.
“Heh! Ngelamunin Nina ya?” kata Jira menyadarkannya.
“Jangan lupa, nanti sore!” tegasnya sambil beranjak pergi.
“Ok!” jawabnya singkat, masih terbelit oleh teka-teki sobatnya
itu.
“Kabar baik apa ya? Kenapa Nina tidak boleh ikut?” ia
bertanya-tanya dalam hati.
“Dan nada bicaranya jelas menandakan ada sesuatu yang
sangat penting. Kenapa pula ia tidak mau beritahu sekarang? Ada-ada saja si
Jira itu! Pening aku dibuatnya!” gerutunya.
Sisa hari kerja itu lebih banyak diisinya dengan
memikirkan teka-teki itu. Dicobanya menemui Jira, tapi yang bersangkutan tak
ada di tempat. Tampaknya sengaja menghindar darinya. Rasa penasaran menggumpal
di dadanya, gatal tapi tak bisa digaruk..
Selepas kerja ia segera memacu motornya menuju rumah
Jira.
Seakan mengerti maksud tuannya, motor itupun meliuk-liuk di kerapatan lalu lintas dengan lincahnya. Kuda besi ini memang selalu setia menemaninya kemanapun, tanpa pernah protes dan sakit terbatuk-batuk. Sebaliknya ia juga begitu sayang dengan tunggangannya ini dan karenanya selalu setia merawatnya.
Hubungan antara keduanya bagai kuku dengan daging, begitu dekat dan menyatu seakan ada dua jiwa yang saling memahami kebutuhan satu sama lain. Tak pernah saling mengecewakan. Bahkan Nina pun tidak selekat ini hubungannya (Tentu saja, motor ini kan setiap hari dinaikinya).
Seakan mengerti maksud tuannya, motor itupun meliuk-liuk di kerapatan lalu lintas dengan lincahnya. Kuda besi ini memang selalu setia menemaninya kemanapun, tanpa pernah protes dan sakit terbatuk-batuk. Sebaliknya ia juga begitu sayang dengan tunggangannya ini dan karenanya selalu setia merawatnya.
Hubungan antara keduanya bagai kuku dengan daging, begitu dekat dan menyatu seakan ada dua jiwa yang saling memahami kebutuhan satu sama lain. Tak pernah saling mengecewakan. Bahkan Nina pun tidak selekat ini hubungannya (Tentu saja, motor ini kan setiap hari dinaikinya).
Hubungan yang begitu istimewa dengan sepeda motornya itu terjadi
karena motor itu adalah satu-satunya pemberian benda berharga untuk ukuran
keluarga mereka, dari mendiang ayah dan ibunya sebelum keduanya wafat.
Mereka
memang berasal dari keluarga miskin, sangat miskin malah. Hidup seperti umang-umang, karena miskinnya. Ayahnya hanyalah pegawai rendahan di
sebuah kantor pemerintah dengan gaji yang terbilang hanya cukup untuk setengah
bulan. Sisanya harus ditutupi dengan berjualan makanan yang dilakukan oleh
mendiang ibunya. Namun begitu, kedua orangtuanya bertekad kuat menyekolahkan
anaknya hingga perguruan tinggi demi memperbaiki masa depan mereka.
Sedikit
demi sedikit, tanpa sepengetahuan dirinya, ayah dan ibunya menyisihkan uang
untuk ditabung dengan cara menyisihkan berbagai kebutuhan diri mereka yang
penting semisal pakaian dan obat-obatan. Jika sakit menerpa, kedua orangtuanya
itu berusaha menahannya atau menyembuhkan tanpa mengeluarkan biaya pembeli
obat. Tentu sakitnya sering berlama-lama menumpang dalam tubuh mereka.
Bertahun-tahun mereka melakukan itu demi melihat anak mereka dapat bersekolah
tinggi seperti anak-anak orang berada.
Dan ketika ia dinyatakan lulus sebagai sarjana
di bidang teknik dan manajemen industri, ayah dan ibunya mengambil seluruh
tabungannya selama bertahun-tahun lalu membeli sebuah sepeda motor sebagai hadiah
kepada putra mereka.
“Ini Bapak dan Ibu berikan kepadamu sebagai bekal kamu
bekerja,.." ucap bapaknya.
"Ini satu-satunya benda berharga dalam hidup kita yang bisa bapak dan ibu berikan untuk kamu...
Selama ini kamu tidak pernah mendapat benda berharga dari kami dan kamu juga tidak pernah merepotkan kami dengan permintaan. Terimakasih nak atas kebaikan kamu. Kamu adalah anak yang baik, dan teruslah menjadi orang yang baik,” ayah menarik napas dalam-dalam lalu melepaskannya dengan bebas seakan terbebas juga beban yang selama ini menghimpit di dalam tubuhnya.
"Ini satu-satunya benda berharga dalam hidup kita yang bisa bapak dan ibu berikan untuk kamu...
Selama ini kamu tidak pernah mendapat benda berharga dari kami dan kamu juga tidak pernah merepotkan kami dengan permintaan. Terimakasih nak atas kebaikan kamu. Kamu adalah anak yang baik, dan teruslah menjadi orang yang baik,” ayah menarik napas dalam-dalam lalu melepaskannya dengan bebas seakan terbebas juga beban yang selama ini menghimpit di dalam tubuhnya.
“Dan lulusnya kamu dari perguruan tinggi adalah hadiah
terindah yang paling berharga yang pernah bapak dan ibu dapatkan selama hidup.
Dan itu tidak datang dari orang lain, tetapi dari kamu, anak kami. Terimakasih
ya nak,.., dan maafkan kami atas kemiskinan yang harus kamu jalani selama ini..”
ayahnya mengakhiri sambil mengusap kepalanya yang tenggelam dalam pelukan
ibunya.
Hanya satu minggu setelah kelulusannya itu, ayah
tercintanya menghembuskan nafas yang terakhir. Ia pergi dalam senyum menandakan
telah usai menunaikan tugas sucinya yang maha berat yakni mempersiapkan
putranya menyongsong masa depannya sendiri dengan sebaik-baiknya.
“Tugasku yang maha berat telah selesai kujalankan, kini
ijinkan aku untuk beristirahat,” begitu kira-kira kesan yang tertanam kuat di
hatinya.
Meski merasa sangat kehilangan, ia tidak merasa sedih yang dalam atas
kepergian ayahnya. Malah seakan orang tuanya itu berbisik kepadanya,
“Teruslah berjuang demi aku!”
Motor itu kini merupakan benda pengganti kehadiran ayah
dan ibunya. Ia selalu mengajaknya berbicara seakan berbicara dengan ayah atau
ibunya sendiri. Dan percaya atau tidak, ayah atau ibunya memang terasa hadir
disana menjawab apa yang dibicarakannya.
Sesayat sebelanga juga, meskipun hanya motor tapi terasa kedua orang tuanya hadir disitu. Oleh karena itu, ia selalu memperlakukan motornya dengan begitu istimewa. Tidak sekalipun pernah dibiarkannya parkir di tempat yang panas atau tidak dilindungi oleh penutup yang khusus dibuatkan oleh ibunya. Tidak pernah pula ia membiarkan motornya tidak di lap atau dibersihkan dengan teliti sehabis dipakainya. Bahkan di rumahnya motor itu memiliki kamar tersendiri, yakni kamar mendiang ayah dan ibunya. Siapapun pasti dengan segera dapat membedakan motornya dengan motor yang lain karena mendapat sentuhan tangan yang penuh perhatian dan kasih.
Sesayat sebelanga juga, meskipun hanya motor tapi terasa kedua orang tuanya hadir disitu. Oleh karena itu, ia selalu memperlakukan motornya dengan begitu istimewa. Tidak sekalipun pernah dibiarkannya parkir di tempat yang panas atau tidak dilindungi oleh penutup yang khusus dibuatkan oleh ibunya. Tidak pernah pula ia membiarkan motornya tidak di lap atau dibersihkan dengan teliti sehabis dipakainya. Bahkan di rumahnya motor itu memiliki kamar tersendiri, yakni kamar mendiang ayah dan ibunya. Siapapun pasti dengan segera dapat membedakan motornya dengan motor yang lain karena mendapat sentuhan tangan yang penuh perhatian dan kasih.
Satu bulan setelah kematian ayahnya, ia mendapatkan
pekerjaan yang tetap digelutinya hingga sekarang. Ia merasa cocok dengan
pekerjaannya, karena sesuai dengan bidang ilmu yang ia tekuni selama kuliah.
Hal itu disampaikannya kepada ibunya, dan juga kepada motornya, yang dianggapnya mewakili ayahnya.
“Jadi kamu telah mendapatkan pekerjaan yang sesuai, nak?”
tanya ibunya.
“Betul, bu. Saya sangat menyukainya. Dan mulai sekarang
ibu tidak perlu berjualan makanan lagi karena penghasilan kita cukup untuk
hidup seperti selama ini,” jawabnya.
“Syukurlah kalau begitu. Ibu kini bisa beristirahat.”
Tak disangka kata-kata ibunya itu ternyata bermakna lebih
jauh, karena sebulan kemudian orang tua yang senantiasa membanting tulang itu
benar-benar beristirahat untuk selama-lamanya. Ibunya pergi dengan meninggalkan
senyum yang paling indah yang pernah dilihatnya selama hidup. Keindahan senyum
terakhir ibunya itu menjadi hadiah terakhir bagi dirinya, sedikit banyak
memupus rasa sedih kehilangan orang yang telah melahirkannya.
Ia tahu, ibunya
pergi dalam kebahagiaan. Bahkan dalam meninggal pun seorang ibu tetap
memberikan kebahagiaan bagi puteranya. Memang benar, surga berada di
telapak kaki ibu, begitu yang dirasakannya. Ia merasa kehilangan tetapi
tidak terlalu bersedih.
Akan kehilangan apa lagi yang menunggunya?
episode#3 mana nih?.Oom.....Kok lompat ke #4
BalasHapusEpisode #03: Begini Rasanya Mati. Sorry, tadinya tertulis #02 tapi sekarang sudah dibetulkan, thankyou.
BalasHapusBtw, cara lain untuk memilih episode yg ingin dibaca: silakan klik no.episode di bagian kanan atas halaman ini atau bagian bawah halaman beranda. thx.