Selama dua hari Andragi mematangkan rencananya. Ia
membuat dua gambar besar di dinding ruang pertemuan yang biasa mereka gunakan. Pada
gambar yang pertama ia membagi area menjadi lima bagian utama yakni desa, sawah,
ternak, ladang dan industri. Di luar itu adalah daerah suaka berupa hutan dan segala isinya yang tidak boleh dijamah.
(gambar disimpan di draft blogger)
Seluruh kegiatan harus disesuaikan dengan
tempatnya masing-masing. Desa adalah tempat orang-orang hidup bermasyarakat,
bersosialisasi atau kegiatan lain diluar empat bidang kegiatan tadi. Karena itu
ia lalu juga menggambar secara rinci peta desanya. Gambar itu seperti peta
perumahan yang biasa kita lihat di perusahaan pengembang perumahan masa kini,
lengkap dengan jalan dan parit-paritnya.
Desa baru itu kira seluas 600 x 1000 meter, dibagi
menjadi delapan kluster (dalam gambar diatas hanya terlihat empat kluster) dan
setiap kluster terdiri atas delapan belas kapling, dilengkapi dengan 6 buah
sumur dan tiga buah taman. Setiap kapling memiliki luas rata-rata 30x40 meter dan hanya boleh didirikan
bangunan maksimal dua per tiga luas kapling. Dengan demikian daya tampung
maksimal sebuah kapling ditentukan sebanyak 12 orang. Ini bisa menampung sebuah
keluarga besar. Dan setiap kapling harus memiliki jamban atau septik tank
sendiri sebesar 3x3x3 meter. Setiap kapling juga harus memiliki saluran
pembuangan air cucian ke parit di depan atau di pinggir jalan.
(gambar disimpan di draft blogger)
Adapun parit-parit itu sendiri dihubungkan dengan gorong-gorong atau jembatan di
bawah setiap jalan yang memotongnya dan bermuara pada sebuah saluran besar yang
menyambung ke sungai sebagai tempat pembuangan akhir.
“Jadi, tampaknya kita harus membuat
saluran-saluran air itu lebih dulu baru boleh membangun yang lain. Begitukah?”
tanya Paldrino, saat ia menerangkan gambarnya.
“Benar pak Paldrino. Prinsipnya kita harus
membangun prasarananya dulu seperti saluran air dan jalan, secara proporsional.
Jadi, mulai dari yang bawah dulu baru boleh bangun yang diatasnya atau yang
lebih tinggi,” jawab Andragi.
“Oh, kalau begitu sebelum mendirikan rumah harus
dibuat dulu sumur, jamban dan saluran-saluran airnya,” kata Loyo.
“Benar, sobat Loyo. Sebelum itu beres jangan
mendirikan rumahnya. Hasilnya akan kumuh karena orang segera sibuk dengan
pekerjaan yang lain dan lupa membuatnya,” jawab Andragi.
“Wah, kelihatannya akan menjadi pekerjaan yang
besar dan lama. Bagaimana kita memulainya?” tanya Paldrino.
“Ya, dan perlu tenaga yang banyak. Saya pikir kita
jangan terlalu terburu-buru dalam mengerjakannya. Biarlah itu berjalan secara
normal tetapi dengan rencana yang jelas ini saya yakin akan segera menarik
minat para pemukim itu untuk membantu, asal mereka melihat manfaatnya. Tetapi
sebaiknya rencana ini kita minta persetujuan kakek Blakitem dulu. Bagaimanapun,
beliau yang memiliki wilayah ini,” kata Andragi.
“Ya, saya menangkap maksudnya. Tetapi adakah cara
untuk segera menunjukkan mereka manfaat itu?” tanya Paldrino.
“Kalau kakek Blakitem setuju, maka saya pikir kita
akan menggarap ladang terlebih dahulu. Saya memiliki sedikit ilmu untuk membuat
hasil ladang yang hebat dalam enam bulan ke depan,” kata Andragi.
“Wah, saya ingin segera membantu menggarap ladang
yang hebat itu!” kata Brewok.
Bedul Brewok memang selalu bergairah bila ada
sesuatu hal hebat yang akan dibuat Andragi.
Tujuan pengembaraannya dulu juga di dorong oleh rasa ingin tahu yang
besar terhadap ilmu-ilmu hebat yang dimiliki orang lain.
Sedang mereka asyik berbicara itu, tiba-tiba pintu
rumah itu diketuk dan terdengar salam dari kakek Blakitem. Loyo segera berlari
membukakan pintu dan mempersilakan orang tua itu masuk.
“Hoho..! Primasa memberi tahu saya kalau Anak
Langit sudah membuat rencana besar yang digambarkan di dinding dan katanya
sangat menarik untuk saya ketahui,” kata kakek itu.
“Betul kakek Blakitem. Saya mohon maaf telah menggambar
dinding rumah ini dengan arang,” kata Andragi.
“Hoho.., itu tidak menjadi soal. Kan bisa dilabur
lagi kalau sudah tidak perlu. Tetapi gambar apakah itu?” tanya kakek Blakitem.
Andragi menjelaskan dengan runtut mulai dari
gambaran besarnya hingga detil-detil setiap simbol yang digambarkan. Orang tua
itu manggut-manggut.
“Kelihatannya menarik dan bagus. Sebuah masyarakat
baru akan lahir dari sini. Hmmm, kerja yang besar. Tentunya kalian perlu tambahan
banyak tenaga untuk itu,” katanya.
“Betul kakek. Tetapi kami pikir kami akan berupaya
dengan apa yang kami miliki ini dulu. Kalau hasilnya mulai tampak, akan datang
orang-orang untk bergabung,” jawab Paldrino.
“Ya,,ya, ya. Tetapi saya akan menyuruh sebagian besar santri saya untuk ikut dalam kegiatan
ini sebagai tempat mereka belajar hal-hal yang baru yang tidak bisa saya
ajarkan atau diperoleh dimanapun di negeri Klapa Getir ini. Ijinkan mereka
membantu kalian,” kata kakek Blakitem.
Terimakasih kakek, atas kebaikan hati kakek,” kata
Andragi dengan gembira. “Kami sangat senang jika para santri dapat membantu.”
“Nah, kalau begitu mulai besok mereka akan siap
disini. Saya pamit dulu sekarang,” kata si kakek.
Mereka lalu meneruskan rencana memulainya. Hal
pertama yang akan dilakukan besok adalah memasang patok-patok pada setiap sudut
area, terutama area ladang serta
patok-patok pada sudut-sudut area desa khususnya pada kluster yang paling dekat
dengan area ladang. Pekerjaan ini tidak mudah karena mencakup area yang luas
dan sebagian berhutan, bertanah tanah
lembek dan penuh semak.
Esok harinya, pagi-pagi benar para santri telah
berkumpul di depan rumah penginapan Andragi. Jumlah mereka tiga puluh dua orang. Sebagian telah membawa berbagai
perlengkapan kerja, alat masak dan bahan makanan. Sebagian lagi segera
mempersiapkan beberapa sampan untuk menyeberangi danau. Rupanya kakek Blakitem
telah memikirkan hingga kebutuhan-kebutuhan kecil namun vital itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.