Tetapi, mengapa pasukan bantuan pimpinan Adipati
dan pasukan Munggur tidak kunjung muncul? Kenapa pula pasukan Gadamuk tidak
mengejar pasukan Setiaka hingga sampai di tempat pasukan pemerintah yang
bersembunyi? Rahasianya terletak pada peran tuan Mata Setan.
Ketika melalui teropongnya Andragi melihat Setiaka
mempersiapkan pasukan jebakan dan pasukan pemancing ia mengusulkan agar
disiapkan pasukan yang pura-pura terpancing. Pasukan itu dipimpin oleh Gadamuk,
yang harus mengejar hanya sebatas kurang lebih dua kilometer saja lalu
berbalik. Dan setelah itu ketika Andragi melihat Setiaka mengirimkan seseorang
kembali ke arah pasukan yang bersembunyi dia berpendapat misinya pasti minta
pasukan itu membatalkan rencana semula dan segera menyusul pasukan Setiaka yang
sedang mengejar pasukan Gadamuk. Perhitungannya tepat!
Jotiwo kemudian mengusulkan untuk menangkap
hidup-hidup seorang pasukan musuh dan menggunakan identitasnya untuk
menghentikan datangnya pasukan bantuan itu. itulah sebabnya ketika pasukan
Setiaka terjebak oleh terjangan batu-batu besar saat mereka mengejar musuh
berikat kepala merah itu, mereka berhasil menangkap tiga orang prajurit
pemerintah yang sengaja dibiarkan menerjang sebelum batu-batu itu
digelindingkan. Dari ketiga orang itu diketahui bahwa mereka berasal dari
kawedanan Talek dan semua prajurit dari Talek berada dalam pasukan Setiaka.
Jotiwo lalu mengutus seorang anak buahnya pergi
menemui Adipati Rajapurwa dengan berpura-pura menjadi prajurit dari Talek itu.
Disana ia mampu meyakinkan Adipati yang tanpa curiga menerima informasinya.
“Komandan Setiaka memerintahkan saya untuk
menyampaikan agar pasukan bantuan menunggu disini dulu sebelum menyerang,
karena pasukan pertama sedang mencoba menduduki salah satu pos musuh di bagian
selatan markas mereka. Rencananya besok pagi sebelum fajar menyingsing pasukan
bantuan menyerang dari arah yang berbeda dan bersama pasukan yang pertama
menjepit musuh dari dua arah,” lapor utusan palsu itu.
“Oh, begitu. Kelihatannya sebagai rencana yang
bagus. Bagaimana peluang menduduki pos yang di selatan itu tadi?” tanya Adipati.
“Saat saya berangkat tadi, pasukan kami telah
hampir berhasil sepenuhnya karena banyak musuh yang berhasil kami pukul mundur
ke atas gunung. Memang agak sulit karena medannya di penuhi oleh
jebakan-jebakan tetapi bisa diatasi. Komandan Setiaka bermaksud malam ini
mengirim beberapa orang untuk menyelidiki medan di bagian utara agar mudah
menerobosnya. Karena itu saya ditugaskan untuk kembali lagi kesini menjemput
pasukan Adipati dan memberitahu kearah mana serangan akan dilakukan.”
“Baiklah kalau begitu. Kami akan berkemah disini,”
kata Adipati.
“Saya mohon ijin kembali ke kesatuan saya untuk
melapor kepada Komandan Setiaka, dan menunggu perintah selanjutnya,” kata
utusan palsu itu.
Adipati mengangguk dan utusan Jotiwo itu
menggeblas kudanya kembali ke markasnya melapor kepada Jotiwo. Jotiwo lalu
membentuk pasukan dibawah pimpinan Bedul Brewok sebagai pengganti pasukan
bantuan pemerintah yang datang dari belakang serta pasukan dibawah pimpinan Gadamuk
menyerang dari depan. Itulah sebabnya Setiaka kecele dan terjepit diantara
pasukan musuh. Dengan cara itu Setiaka mudah dibekuk.
Kini Setiaka dengan tangan terikat dibawa ke
markas Gunung Kembar. Sesampai disana Andragi segera menyongsongnya dan membuka
ikatan yang membelenggunya. Dengan sopan Andragi memberi hormat kepadanya yang
buru-buru dibalas juga dengan hormat oleh Setiaka.
“Saya adalah tawanan saudara-saudara dan siap
mendapat hukuman mati. Kenapa saudara memberi hormat kepada saya?” katanya.
Setiaka tidak habis pikir, kenapa orang ini
bersikap baik terhadapnya padahal ia telah menangkap dan membuatnya disiksa
hebat di penjara.
“Pak Setiaka adalah aparat pemerintah dan seorang
prajurit sejati yang harus kami hormati. Kami mohon maaf atas tindakan kami
yang tidak sopan ini kepada Pak Setiaka,” kata Andragi.
“Saya juga mohon maaf atas perlakuan saya ini dan
beberapa hari yang lalu terhadap saudara Setiaka,” kata Jotiwo sambil memberi
hormat.
Setiaka membalas hormat itu. Hatinya bingung,
ternyata orang-orang ini memperlakukannya dengan baik, bukan membunuhnya
sebagai musuh. Apa maksud mereka sebenarnya, dan kenapa orang-orang baik
seperti Jotiwo menjadi perampok.
“Saya juga minta maaf kepada saudara Setiaka. Nama
saya Paldrino.”
“Pak Paldrino Wedana Buntung yang terkenal baik
itu?” tanya Setiaka.
“Saya wedana Buntung kalau itu yang anda maksud.”
Buru-buru Setiaka memberi hormat kepada Paldrino.
“Tetapi, kenapa Pak Paldrino, dan Pak Jotiwo...”
Setiaka tidak meneruskan kata-katanya.
“Menjadi perampok maksud saudara Setiaka?” tanya Jotiwo.
“Kami tidak sembarang merampok. Kami hanya merampok para pejabat yang korup
demi sebuah perjuangan yang lebih panjang. Kami tak pernah dan tak akan
menyakiti atau merugikan rakyat kecil yang tak berdosa,” jelasnya.
“Benar, pak Setiaka,” lanjut Paldrino. “Kami yang
berada disini hanya karena terpaksa akibat diperlakukan secara keji dan tidak
adil oleh orang-orang yang serakah dan haus kekuasaan.”
Setiaka merenung dalam-dalam. Ia lalu menghela
napas panjang.
“Saya mengerti sekarang. Pak Jotiwo yang saya
kenal di Kotaraja dulu adalah orang yang jujur dan setia tetapi kepada kami
dikatakan beliau telah berkhianat. Sebenarnya dalam hati saya bertanya-tanya,
tetapi itulah yang selalu dikatakan oleh atasan kami. Sedangkan Pak Paldrino
saya dengar terbunuh akibat kebakaran baru-baru ini,” kata Setiadi.
Andragi lalu membimbing Setiaka menuju kursi para
pimpinan dan memintanya duduk disana. Setiaka mencoba menolaknya tetapi Andragi
dan kawan-kawan mendesaknya. Dengan sungkan ia menuruti desakan mereka itu. Jotiwo
lalu memberikan kembali pedang dan segala perlengkapan perang milik Setiaka.
Makanan dan minuman juga segera disediakan baginya.
Jotiwo, Paldrino dan Gadamuk lalu menceritakan
kisah mereka sehingga harus memilih jalan ini.
“Lalu, apa yang ingin tuan-tuan saya lakukan?”
tanya Setiaka dengan hormat..
“Kami tidak mengharuskan atau meminta apapun bagi
pak Setiaka,” jawab Andragi. “Pak Setiaka bebas kembali ke kesatuannya atau
terserah kemana saja yang dikehendaki.”
“Saya tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai orang
yang kalah perang, saya seharusnya sudah mati disini,” jawab Setiaka.
“Saudara Setiaka bisa pulang ke kesatuannya lagi.
Besok pagi kami akan melepas saudara kembali ke pasukan Adipati yang sedang
menunggu di padang sana. Dan dari sana jika harus menyerang kami kembali,
silakan lakukan. Itu tugas seorang prajurit. Kami tak akan menghalangi,” kata Jotiwo.
Setiaka heran mendengar ucapan Jotiwo itu.
Bagaimana mungkin orang mau melepaskan tawanannya yang nantinya akan
menyerangnya kembali. Apa yang menjadi perhitungan mereka? Mungkinkah karena
mereka yakin akan bisa mengalahkannya lagi?
Melihat kebimbangan hati Setiaka, Andragi mencoba
meyakinkannya.
“Kami berkata tulus. Kami tidak bermusuhan dengan
pak Setiaka. Buktinya, kami juga melepaskan istri Adipati meski kemudian malah
dia mencelakakan saya,” kata Andragi.
“Ya, saya percaya itu. Saya hanya bingung
memperhitungkan posisi saya. Mungkin Pak Paldrino atau Pak Jotiwo bisa membantu
saya melihat posisi saya,” jawab Setiaka.
“Baiklah,” jawab Paldrino.”Jika saudara Setiaka kembali
ke Adipati maka saudara harus bisa meyakinkan Adipati kalau saudara berhasil
melarikan diri dari kami. Untuk itu kami akan membantu melepaskan beberapa
tawanan yang memang melihat saudara benar-benar ditangkap oleh kami. Tetapi
setelah itu saudara harus memimpin pasukan dan menyerang kami lagi untuk
menang. Kalau kalah maka dengan mudah Adipati mencuci tangan dengan berkilah
saudara telah berkhianat sehingga pasukannya kalah. Apapun keadaannya, Adipati
itu akan memperoleh kemenangan.”
“Ya, begitulah. Kita orang yang profesional akan
selalu menjadi mainan politik para penguasa yang serakah, culas dan gila
kekuasaan,” tambah Jotiwo.
Setiaka mengangguk-angguk. Dalam hati ia berpikir
akan sulit bisa mengalahkan pasukan Gunung Kembar yang dipimpin oleh
orang-orang pandai seperti ini. Apalagi dengan kehadiran pemuda Mata Setan ini.
Jangan-jangan nama itu bukan pepesan kosong sehingga mampu mengetahui segala
rencana yang dibuatnya.
“Saya tentu tidak akan punya hati untuk menyerang
tuan-tuan lagi. Di alam baka saya tidak akan berani menghadap Dewa Maha Esa.
Karena itu saya tidak akan kembali ke pasukan Adipati Rajapurwa. Saya mohon
agar segera di hukum mati saja,” jawab Setiaka.
“Tidak saudara Setiaka. Masih ada jalan lain kalau
saudara mau. Bergabunglah dengan kami dan bantu kami memimpin kelompok ini
untuk berjuang dalam keadilan dan kebenaran. Atau saudara bisa kembali ke
Rajapurwa nanti setelah kami mengalahkan pasukan Adipati dan mengatakan hanya
saudara yang berhasil meloloskan diri,” kata Jotiwo.
Setiaka berpikir keras, menimbang berbagai hal dan
kemungkinan.
“Pilihan yang terakhir itu bukan sifat seorang
ksatria. Saya tidak bisa melakukan itu! Karena itu saya kira sebaiknya saya
bergabung dengan tuan-tuan disini meskipun hanya sebagai penjaga kuda,”
katanya.
Andragi segera mengangkat cawan tuak sebagai rasa
syukur, diikuti oleh yang lainnya. Mereka lalu saling memberi hormat.
“Sobat Setiaka, mulai sekarang jangan sebut kami
dengan tuan. Panggil saja dengan sebutan sobat,” kata Andragi.
“Baiklah para sobat sekalian. Saya mohon maaf atas
perbuatan saya terhadap sobat Mata Setan,” kata Setiaka.
“Ah, lupakan itu. Itu sudah tugas sobat Setiaka
sebagai komandan pasukan pemerintah,” jawab Andragi.
Setiaka tampak merenung dalam-dalam, lalu
tiba-tiba ia berkata dengan penuh semangat,
“Saya punya usul untuk mengalahkan
pasukan Adipati dan pasukan Munggur! Saya ingin menunjukkan rasa terimakasih
saya!” kata Setiaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.