Setiaka Bergabung Dengan Pasukan Gunung Kembar

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #39)


Tetapi, mengapa pasukan bantuan pimpinan Adipati dan pasukan Munggur tidak kunjung muncul? Kenapa pula pasukan Gadamuk tidak mengejar pasukan Setiaka hingga sampai di tempat pasukan pemerintah yang bersembunyi? Rahasianya terletak pada peran tuan Mata Setan.

Ketika melalui teropongnya Andragi melihat Setiaka mempersiapkan pasukan jebakan dan pasukan pemancing ia mengusulkan agar disiapkan pasukan yang pura-pura terpancing. Pasukan itu dipimpin oleh Gadamuk, yang harus mengejar hanya sebatas kurang lebih dua kilometer saja lalu berbalik. Dan setelah itu ketika Andragi melihat Setiaka mengirimkan seseorang kembali ke arah pasukan yang bersembunyi dia berpendapat misinya pasti minta pasukan itu membatalkan rencana semula dan segera menyusul pasukan Setiaka yang sedang mengejar pasukan Gadamuk. Perhitungannya tepat!

Jotiwo kemudian mengusulkan untuk menangkap hidup-hidup seorang pasukan musuh dan menggunakan identitasnya untuk menghentikan datangnya pasukan bantuan itu. itulah sebabnya ketika pasukan Setiaka terjebak oleh terjangan batu-batu besar saat mereka mengejar musuh berikat kepala merah itu, mereka berhasil menangkap tiga orang prajurit pemerintah yang sengaja dibiarkan menerjang sebelum batu-batu itu digelindingkan. Dari ketiga orang itu diketahui bahwa mereka berasal dari kawedanan Talek dan semua prajurit dari Talek berada dalam pasukan Setiaka.

Jotiwo lalu mengutus seorang anak buahnya pergi menemui Adipati Rajapurwa dengan berpura-pura menjadi prajurit dari Talek itu. Disana ia mampu meyakinkan Adipati yang tanpa curiga menerima informasinya.

“Komandan Setiaka memerintahkan saya untuk menyampaikan agar pasukan bantuan menunggu disini dulu sebelum menyerang, karena pasukan pertama sedang mencoba menduduki salah satu pos musuh di bagian selatan markas mereka. Rencananya besok pagi sebelum fajar menyingsing pasukan bantuan menyerang dari arah yang berbeda dan bersama pasukan yang pertama menjepit musuh dari dua arah,” lapor utusan palsu itu.

“Oh, begitu. Kelihatannya sebagai rencana yang bagus. Bagaimana peluang menduduki pos yang di selatan itu tadi?” tanya Adipati.

“Saat saya berangkat tadi, pasukan kami telah hampir berhasil sepenuhnya karena banyak musuh yang berhasil kami pukul mundur ke atas gunung. Memang agak sulit karena medannya di penuhi oleh jebakan-jebakan tetapi bisa diatasi. Komandan Setiaka bermaksud malam ini mengirim beberapa orang untuk menyelidiki medan di bagian utara agar mudah menerobosnya. Karena itu saya ditugaskan untuk kembali lagi kesini menjemput pasukan Adipati dan memberitahu kearah mana serangan akan dilakukan.”

“Baiklah kalau begitu. Kami akan berkemah disini,” kata Adipati.

“Saya mohon ijin kembali ke kesatuan saya untuk melapor kepada Komandan Setiaka, dan menunggu perintah selanjutnya,” kata utusan palsu itu.

Adipati mengangguk dan utusan Jotiwo itu menggeblas kudanya kembali ke markasnya melapor kepada Jotiwo. Jotiwo lalu membentuk pasukan dibawah pimpinan Bedul Brewok sebagai pengganti pasukan bantuan pemerintah yang datang dari belakang serta pasukan dibawah pimpinan Gadamuk menyerang dari depan. Itulah sebabnya Setiaka kecele dan terjepit diantara pasukan musuh. Dengan cara itu Setiaka mudah dibekuk.

Kini Setiaka dengan tangan terikat dibawa ke markas Gunung Kembar. Sesampai disana Andragi segera menyongsongnya dan membuka ikatan yang membelenggunya. Dengan sopan Andragi memberi hormat kepadanya yang buru-buru dibalas juga dengan hormat oleh Setiaka.

“Saya adalah tawanan saudara-saudara dan siap mendapat hukuman mati. Kenapa saudara memberi hormat kepada saya?” katanya.

Setiaka tidak habis pikir, kenapa orang ini bersikap baik terhadapnya padahal ia telah menangkap dan membuatnya disiksa hebat di penjara.

“Pak Setiaka adalah aparat pemerintah dan seorang prajurit sejati yang harus kami hormati. Kami mohon maaf atas tindakan kami yang tidak sopan ini kepada Pak Setiaka,” kata Andragi.

“Saya juga mohon maaf atas perlakuan saya ini dan beberapa hari yang lalu terhadap saudara Setiaka,” kata Jotiwo sambil memberi hormat.

Setiaka membalas hormat itu. Hatinya bingung, ternyata orang-orang ini memperlakukannya dengan baik, bukan membunuhnya sebagai musuh. Apa maksud mereka sebenarnya, dan kenapa orang-orang baik seperti Jotiwo menjadi perampok.

“Saya juga minta maaf kepada saudara Setiaka. Nama saya Paldrino.”

“Pak Paldrino Wedana Buntung yang terkenal baik itu?” tanya Setiaka.

“Saya wedana Buntung kalau itu yang anda maksud.”

Buru-buru Setiaka memberi hormat kepada Paldrino.

“Tetapi, kenapa Pak Paldrino, dan Pak Jotiwo...”

Setiaka tidak meneruskan kata-katanya.

“Menjadi perampok maksud saudara Setiaka?” tanya Jotiwo. “Kami tidak sembarang merampok. Kami hanya merampok para pejabat yang korup demi sebuah perjuangan yang lebih panjang. Kami tak pernah dan tak akan menyakiti atau merugikan rakyat kecil yang tak berdosa,” jelasnya.

“Benar, pak Setiaka,” lanjut Paldrino. “Kami yang berada disini hanya karena terpaksa akibat diperlakukan secara keji dan tidak adil oleh orang-orang yang serakah dan haus kekuasaan.”

Setiaka merenung dalam-dalam. Ia lalu menghela napas panjang.

“Saya mengerti sekarang. Pak Jotiwo yang saya kenal di Kotaraja dulu adalah orang yang jujur dan setia tetapi kepada kami dikatakan beliau telah berkhianat. Sebenarnya dalam hati saya bertanya-tanya, tetapi itulah yang selalu dikatakan oleh atasan kami. Sedangkan Pak Paldrino saya dengar terbunuh akibat kebakaran baru-baru ini,” kata Setiadi.

Andragi lalu membimbing Setiaka menuju kursi para pimpinan dan memintanya duduk disana. Setiaka mencoba menolaknya tetapi Andragi dan kawan-kawan mendesaknya. Dengan sungkan ia menuruti desakan mereka itu. Jotiwo lalu memberikan kembali pedang dan segala perlengkapan perang milik Setiaka. Makanan dan minuman juga segera disediakan baginya.

Jotiwo, Paldrino dan Gadamuk lalu menceritakan kisah mereka sehingga harus memilih jalan ini.

“Lalu, apa yang ingin tuan-tuan saya lakukan?” tanya Setiaka dengan hormat..

“Kami tidak mengharuskan atau meminta apapun bagi pak Setiaka,” jawab Andragi. “Pak Setiaka bebas kembali ke kesatuannya atau terserah kemana saja yang dikehendaki.”

“Saya tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai orang yang kalah perang, saya seharusnya sudah mati disini,” jawab Setiaka.

“Saudara Setiaka bisa pulang ke kesatuannya lagi. Besok pagi kami akan melepas saudara kembali ke pasukan Adipati yang sedang menunggu di padang sana. Dan dari sana jika harus menyerang kami kembali, silakan lakukan. Itu tugas seorang prajurit. Kami tak akan menghalangi,” kata Jotiwo.

Setiaka heran mendengar ucapan Jotiwo itu. Bagaimana mungkin orang mau melepaskan tawanannya yang nantinya akan menyerangnya kembali. Apa yang menjadi perhitungan mereka? Mungkinkah karena mereka yakin akan bisa mengalahkannya lagi?

Melihat kebimbangan hati Setiaka, Andragi mencoba meyakinkannya.

“Kami berkata tulus. Kami tidak bermusuhan dengan pak Setiaka. Buktinya, kami juga melepaskan istri Adipati meski kemudian malah dia mencelakakan saya,” kata Andragi.

“Ya, saya percaya itu. Saya hanya bingung memperhitungkan posisi saya. Mungkin Pak Paldrino atau Pak Jotiwo bisa membantu saya melihat posisi saya,” jawab Setiaka.

“Baiklah,” jawab Paldrino.”Jika saudara Setiaka kembali ke Adipati maka saudara harus bisa meyakinkan Adipati kalau saudara berhasil melarikan diri dari kami. Untuk itu kami akan membantu melepaskan beberapa tawanan yang memang melihat saudara benar-benar ditangkap oleh kami. Tetapi setelah itu saudara harus memimpin pasukan dan menyerang kami lagi untuk menang. Kalau kalah maka dengan mudah Adipati mencuci tangan dengan berkilah saudara telah berkhianat sehingga pasukannya kalah. Apapun keadaannya, Adipati itu akan memperoleh kemenangan.”

“Ya, begitulah. Kita orang yang profesional akan selalu menjadi mainan politik para penguasa yang serakah, culas dan gila kekuasaan,” tambah Jotiwo.

Setiaka mengangguk-angguk. Dalam hati ia berpikir akan sulit bisa mengalahkan pasukan Gunung Kembar yang dipimpin oleh orang-orang pandai seperti ini. Apalagi dengan kehadiran pemuda Mata Setan ini. Jangan-jangan nama itu bukan pepesan kosong sehingga mampu mengetahui segala rencana yang dibuatnya.

“Saya tentu tidak akan punya hati untuk menyerang tuan-tuan lagi. Di alam baka saya tidak akan berani menghadap Dewa Maha Esa. Karena itu saya tidak akan kembali ke pasukan Adipati Rajapurwa. Saya mohon agar segera di hukum mati saja,” jawab Setiaka.

“Tidak saudara Setiaka. Masih ada jalan lain kalau saudara mau. Bergabunglah dengan kami dan bantu kami memimpin kelompok ini untuk berjuang dalam keadilan dan kebenaran. Atau saudara bisa kembali ke Rajapurwa nanti setelah kami mengalahkan pasukan Adipati dan mengatakan hanya saudara yang berhasil meloloskan diri,” kata Jotiwo.

Setiaka berpikir keras, menimbang berbagai hal dan kemungkinan.

“Pilihan yang terakhir itu bukan sifat seorang ksatria. Saya tidak bisa melakukan itu! Karena itu saya kira sebaiknya saya bergabung dengan tuan-tuan disini meskipun hanya sebagai penjaga kuda,” katanya.

Andragi segera mengangkat cawan tuak sebagai rasa syukur, diikuti oleh yang lainnya. Mereka lalu saling memberi hormat.

“Sobat Setiaka, mulai sekarang jangan sebut kami dengan tuan. Panggil saja dengan sebutan sobat,” kata Andragi.

“Baiklah para sobat sekalian. Saya mohon maaf atas perbuatan saya terhadap sobat Mata Setan,” kata Setiaka.

“Ah, lupakan itu. Itu sudah tugas sobat Setiaka sebagai komandan pasukan pemerintah,” jawab Andragi.

Setiaka tampak merenung dalam-dalam, lalu tiba-tiba ia berkata dengan penuh semangat,

“Saya punya usul untuk mengalahkan pasukan Adipati dan pasukan Munggur! Saya ingin menunjukkan rasa terimakasih saya!” kata Setiaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA