Pahlawan Hasil Rekayasa



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #24)



“Tidak usah banyak bicara. Anak-anak, bawa orang ini ke markas. Cambuk dia terus sampai dia mengaku,” perintah Jaira.

Orang itu terus menerus menerangkan dia hanya petani biasa yang tak tahu menahu. Seperti menggantang asap, mengukir langit, percuma saja petani itu menghiba. Ia segera diseret menuju markas pasukan Jaira. Disana bajunya dilepas. Punggung serta belakang paha maupun betisnya dicambuk dengan keras hingga kulitnya beset-beset, terkelupas memperlihatkan daging yang memerah berlumuran darah.

Dulatah yang menyaksikan penyiksaan itu merasa kasihan terhadap Apis. Ia tahu benar siapa Apis karena sering bertandang ke sekitar rumahnya untuk mengunjungi seorang gadis yang sedang diincarnya. Ia menganjurkan agar Apis segera mengaku saja dari pada harus menderita lebih parah. Ia membisikkan akan menolongnya dalam penjara nanti. Awalnya petani itu coba bertahan, tetapi setelah berkali-kali jatuh pingsan akibat penderitaan yang semakin berat, akhirnya petani malang itu terpaksa mengaku.

“Mustinya dari tadi saja, pak,” kata Dulatah menyesali.
“Begini saja pak. Bapak mengaku dipaksa oleh anak buah Pemuda Pembakar Air untuk membantu mereka memata-matai kegiatan pak Wedana. Kalau tidak bersedia, maka keluarga bapak akan dihabisi,” saran Dulatah.

Setelah bersedia mengaku dia lalu dihadapkan kepada Jaira. Keadaannya sangat menyedihkan, mendeprok lunglai. Tubuhnya seperti seonggok daging. Ia terpaksa harus di seret. Dihadapan Jaira ia mengaku sebagaimana disarankan oleh Dulatah. 

“Kalau begitu, besok kau harus memberi pengakuan di depan hakim wilayah sama seperti ini. Jika kau ingkar, keluargamu akan kami siksa dan kami bunuh! Tetapi kalau kamu tepati, kami akan membantumu selama kamu dipenjara. Juga kehidupan anak istrimu akan kami jamin. Mengerti?”

Merinding dan nyeri rasa hati Apis membayangkan siksaan yang akan diterima keluarganya, terutama membayangkan terhadap anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ia sadar kalau telah berada pada tempat yang salah dan pada waktu yang salah. Tidak ada pilihan lain baginya selain menyetujui tuntutan Jaira, maju kena, mundur kena. Dalam hati ia mengutuki peruntungannya yang buruk itu, sial bercampur malang.

“Saya mengerti Pangeran, dan berjanji tidak akan ingkar,” katanya pelan.
“Bagus! Kamu tidak perlu kuatir akan keselamatan anak istrimu,” katanya menghibur, tetapi bagi Apis lebih terdengar sebagai ancaman.

Jaira tampak puas.
Siang harinya ia segera melaporkan kejadian semalam di kantor Kawedanan. Di halaman kawedanan sudah berkerumun banyak orang yang ingin tahu kejadian sebenarnya. Masyarakat terkejut dan gempar karena dalam waktu yang berdekatan telah terjadi dua peristiwa yang menggegerkan. Pertama peristiwa taruhan membakar air yang membuat Lurah Tamakir harus membebaskan hutang-hutang para penduduk, dan sekarang ada pembakaran rumah wedana Paldrino. Suara seperti gaung sejuta lebah bergelombang memenuhi udara di halaman kawedanan itu.

Disana sudah hadir hakim wilayah Buntung. Juga Sukadu, komandan Pamong Negeri. Para lurah di dalam lingkungan kawedanan Buntung sebagian juga tampak disana. Diantara mereka tentu saja telah hadir Tamakir. Semua mata memandang kedatangan Jaira saat dia memasuki halaman kawedanan itu diiringi empat orang anak buahnya yang menandu lelaki tersangka dalam keadaan terikat. Dengan gagah, dada membusung, dia berjalan. Saat melewati barisan para lurah, matanya melirik penuh arti kepada lurah Tamakir. Yang dilirik pun mengangguk-angguk pelan penuh kepuasan, tanpa kentara.

Hakim wilayah kemudian membuka pertemuan itu dengan resmi.
“Adakah diantara hadirin yang ingin melapor?” tanyanya kepada hadirin.
Jaira berdiri. Membetulkan pakaiannya, bersiap untuk bicara.
“Yang mulia Hakim wilayah Buntung,” ia memulai. “Tadi malam telah terjadi penyerangan atas rumah Wedana Buntung, Paldrino, berupa pembakaran rumah hingga hancur luluh dan membunuh wedana Paldrino beserta seluruh isi rumah.”

Terdengar seruan tertahan dari hadirin. Diantara mereka ada yang mulai menangis tersedu-sedu. Mereka sedih, karena tahu betul wedana Paldrino orang yang baik, pemimpin yang dekat dengan rakyat.

“Saya dan pasukan saya berhasil membunuh para perusuh dan menangkap hidup-hidup satu orang dari mereka. Ini dia orang yang kami tangkap,” katanya sambil menunjuk lelaki tersangka itu, yang tidak lain adalah Apis.

Tiba-tiba dari tengah penonton terdengar teriakan.
“Hidup Pangeran Muda! Hidup Jaira!”
“Jaira pahlawan kita!!” 
"Hidup Pahlawan Kita!"
"Hidup Jaira!"    
                                   
Teriakan itu lalu disahuti oleh teriakan serupa dari beberapa tempat secara hampir berbarengan. Penonton pun akhirnya ikut meneriakkan dengan gemuruh.   Rupanya Tamakir telah menyuruh beberapa anak buahnya menyamar sebagai warga biasa dan bertugas meneriakkan yel-yel itu. Jaira tersenyum penuh kemenangan. Hatinya puas dan bangga. Dalam hati ia kagum atas kecerdikan Tamakir.

Hakim wilayah lalu menanyai tersangka tentang identitas dan keterlibatannya dalam peristiwa itu. Apis mengatakan persis seperti skenario yang diinginkan oleh Jaira.

“Karena tersangka telah mengaku, kirim dia ke penjara. Beri tanda kriminal pada lengan dan dadanya. Hukuman akan dijatuhkan setelah semua bukti dan saksi dibeberkan. Pamong Negeri bertugas memeriksa segala bukti dan mencari saksi secukupnya. Selain itu, diumumkan bahwa mulai saat ini Pemuda Pembakar Air dinyatakan sebagai buronan. Barang siapa melindungi atau menyembunyikan dia, akan dinyatakan sebagai penjahat dan harus ditangkap. Para kepala wilayah harus memasang pengumuman ini di tempat-tempat yang mudah dilihat orang banyak,” putus Hakim Wilayah.

Hakim lalu menutup pertemuan itu.

Di Negeri Klapa Getir, tanda kriminal adalah semacam tatoo atau cap pada tubuh seseorang yang dibuat dengan membakar lempengan besi hingga merah lalu men-cap-kannya ke bagian luar lengan dan dada terhukum. Dada dan lengan adalah bagian tubuh yang selalu terlihat karena tidak tertutup pakaian. Biasanya saat di-cap, terhukum akan jatuh pingsan kesakitan dan mengalami demam selama beberapa hari. Sebagai borgolnya, pada leher para kriminal dikalungkan lempengan kayu berbentuk bujur sangkar, yang dapat dibuka dengan kunci khusus. Tangan mereka tetap dapat bergerak bebas.
Kita tinggalkan dulu Jaira dan nasib Apis lelaki yang malang itu. 
Kita ikuti kemana perginya Bedul Brewok.

Setelah membakar bagian belakang rumah Wedana, Brewok segera menyelinap menghilang menuju suatu tempat di atas bukit terpencil yang telah ia tetapkan bersama Andragi dan  Loyo. Disana telah menunggu kedua orang itu serta pak Paldrino dan seluruh keluarga. Dari tempat yang tinggi itu mereka menyaksikan rona merah dan nyala api yang ganas. Hati Paldrino serasa hancur. Istrinya sejak tadi hanya bisa menangis tersedu-sedu. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa harta benda mereka yang dikumpulkan dengan jujur lenyap dalam sekejap. Meskipun demikian Paldrino segera dapat menguasai diri telah diselamatkan oleh Andragi dan kawan-kawannya. Yah, bagaimanapun juga masih lebih baik hidup daripada hangus terpanggang api disana.

“Terima kasih Anak Langit, Pak Loyo dan Pak Bedul. Tanpa pertolongan saudara bertiga niscaya saya dan keluarga telah menjadi abu disana,” katanya setelah Bedul Brewok tiba.

Paldrino  ingat saat tadi siang ia awalnya menolak untuk pergi. Ia tidak percaya kalau ada orang berniat jahat terhadap dirinya. Selama ini semua orang menyukainya karena ia selalu berlaku adil dan sangat penolong.

“Perkenalkan, saya Loyo santri dari Padepokan Kalbusih,” kata Loyo sambil memperlihatkan tasbih khas padepokannya.
“Ya, saya mengenali tasbih itu,” kata Wedana.
“Ini saudara Bedul Brewok, orang kepercayaan Tamakir,” lanjut Loyo sambil menunjuk rekannya yang brewok itu.
“Ya, saya pernah melihat saudara di tempat Tamakir,” jawabnya.
“Dan ini pemuda yang membakar air itu. Dia manusia yang datang bukan dari jaman ini tetapi dari masa depan,” lanjut Loyo.

Mata Wedana menatap tak yakin. 
Diamatinya pemuda itu baik-baik, tidak begitu saja percaya perkataan Loyo. Tak pernah terlintas dalam pikirannya kalau pemuda pembakar air itu makhluk asing. Bahkan dari apa yang dilihatnya, tak ditemukannya sesuatu yang berbeda pada fisik makhluk ini. Semuanya sama seperti manusia-manusia biasa di sekitarnya.

Untuk membuktikan kata-kata Loyo itu, Andragi lalu mempertunjukkan api naga seperti dilakukannya terhadap Sonto dan Loyo di markas Sontoloyo dulu. Betapa terkejutnya Wedana itu. Matanya terbeliak seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dikucak-kucaknya matanya berkali-kali. Bukan hanya dia seorang yang terguncang. Bedul Brewok pun tak kalah kagetnya hingga ia terlompat ke belakang. Hatinya semakin kagum terhadap kesaktian pemuda itu.

“Nah, semestinya kami dengan saudara Brewok ini berseteru, tetapi dia justru datang memberi tahu niat busuk Tamakir terhadap Pak Wedana,” jelas Loyo.

Bedul Brewok lalu menceritakan alasan dirinya sejak awal tiba di desa itu hingga akhirnya berharap bisa belajar kesaktian dari Pemuda Pembakar Air. Mereka juga bercerita tentang rencana mereka menyelamatkan Pak Wedana dari rencana jahat lurah tamak itu.

“Karena itu kami meminta Pak Wedana dan keluarga segera meninggalkan rumah ini sebelum terlambat. Kami telah mempersiapkan tempat persembunyian sementara. Disana, Pak Wedana telah ditunggu oleh kakek Bulesak,” pinta Loyo.

“Sebelum saya kemari, saya melihat Pangeran Muda Jaira datang mengunjungi lurah Tamakir. Saya sempat mencuri dengar sedikit kalau mereka mau bekerja sama menyingkirkan pak Wedana. Lurah itu memang sudah sejak lama ingin menjadi Wedana di Buntung,” sambung Brewok.

Mendengar rencana kerjasama itu hati Wedana menjadi kecut. Dia bisa melihat kesulitan besar yang akan dijumpainya menghadapi kelicikan kedua orang itu. Dengan uangnya, mereka akan melempar batu sembunyi tangan berbuat curang membeli semua pengakuan dan kesaksian palsu, memutar-balikkan fakta dan menjerumuskan orang lain. Mengingat akan hal itu, akhirnya ia memilih menerima saran ketiga orang yang baru dikenalnya itu.

“Kalau begitu Pak Wedana segera harus berkemas, Tak perlu membawa barang yang berat. Cukup harta berharga yang bisa di bawa dengan mudah,.” kata Andragi.

Keluarga itu segera berkemas. Enam orang pembantunya diminta untuk kembali ke asal mereka masing-masing tetapi mereka memilih ikut dengan Wedana yang baik hati itu. Disamping itu mereka takut suatu ketika akan diketahui oleh kaki tangan Tamakir atau Jaira dan menghabisi mereka.

Sementara mereka berkemas, Brewok, Andragi dan Loyo memasukkan beberapa anak kerbau dan sapi yang belum bertanduk ke dalam kamar-kamar keluarga. Binatang-binatang itu mereka beri makan sekenyang-kenyangnya agar tidak rewel. Tak lupa mereka memasukkan daun kecubung diantara pakan ternak-ternak itu agar mereka sedikit ‘teler’.

Setelah semuanya beres, Bedul Brewok segera pergi menuju Brangin untuk menemui kedua anak buahnya. Sementara itu yang lain menunggu hari gelap untuk kemudian secara diam-diam keluar meninggalkan rumah setelah memastikan tidak seorangpun mengetahui kepergian mereka.

Sampai disini, Paldrino menghela napasnya dalam-dalam. 
Melihat kemasygulan hati pria yang baik itu, Bedul Brewok mendekat.

“Saya mohon maaf Pak Wedana, karena telah membakar rumah Bapak.”
“Oh, tidak apa-apa,” kata Paldrino sambil menepuk bahu Brewok. “Saya justru harus berterima kasih kepada saudara bertiga,” jawabnya.

Loyo pun segera pula menghampiri.
“Mari, pak. Kita berangkat menemui kakek Bulesak.”

Mereka lalu meninggalkan tempat itu menuju markas Sontoloyo menerobos hutan dan lembah. Setelah melalui berbagai kesulitan akhirnya mereka tiba di pintu gua akar gantung itu. Disana telah menunggu kakek Bulesak yang dengan ramah menyambut rombongan yang lelah jasmani dan rohaninya. Setelah berbasa-basi sebentar dan mengisi perut mereka yang lapar, kakek Bulesak mempersilakan mereka untuk beristirahat. Keluarga Paldrino menempati sebuah ruang khusus yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh Andragi dan Loyo sebelum mereka berangkat ke Buntung.


Kelicikan Tamakir semakin menjadi-jadi. Siapa lagi yang menjadi korbannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA