“Saya Setan Hutan dan biasa bermain-main dengan
harimau-harimau di hutan itu. Itu yang dilihat mereka. Saya hanya main-main
dengan harimau saya,” jawab Lugasi enteng.
“Kami punya beberapa harimau disini. Apa kamu bisa
memperlihatkan cara bermainmu itu?” tanya Hobijo.
“Kalau bisa, apa taruhannya?” tanya Lugasi.
“Apa yang kau minta?” tantang Hobijo.
“Setiap kali berhasil saya tangkap, akan saya
lepaskan kembali ke hutan. Dan tuan harus membayar saya sesuai harga setiap
ekor macan,” tantang Lugasi.
“Uang tak masalah bagiku. Tapi macan itu
kesayangan aku dan putraku. Jangan dilepas,” tawar Hobijo.
“Kan, tuan Hobijo bisa menyuruh para pemburu ini
menangkap lagi,” jawab Lugasi.
“Ya, tapi itu perlu waktu. Bagaimana kalau tidak
dilepas tetapi setiap tangkapan saya bayar dua kali lipat? Sama saja, kan?!”
tawar Hobijo.
“Ya, itu sama saja. Tetapi macan itu juga
kesayangan saya sebagai mainan di hutan. Dan sekarang sudah makin sedikit yang
tersisa disana,” Lugasi tak mau mengalah.
Tiba-tiba Angkuso muncul disitu. Ia sudah
mendengar pembicaraan itu dari ruang sebelah.
“Baik! Kita coba dulu satu ekor macan yang
ditangkap untuk dilepas. Kan belum tentu dia bisa melakukannya, ayah?” kata
Angkuso.
“Kau benar juga anakku! Bisa saja ia membual. Mari
kita mulai!” ajak Hobijo.
Para pembantu Hobijo segera menyiapkan pagar
khusus yang sudah biasa dipakai untuk mengelilingi halaman yang luas itu jika
ada permainan harimau. Sementara persiapan dilakukan, Lugasi minta disediakan
makanan dan tuak sebagai syaratnya. Ia lalu melahapnya dengan nikmat.
Tiba saatnya pertunjukan itu digelar. Lugasi
memasuki arena dengan enteng dan jenaka. Ia langsung menuju tengah arena lalu
berjongkok santai sambil menggigit-gigit batang rumput seakan tidak
mempedulikan bahaya yang mengancam. Angkuso lalu memerintahkan pembantunya
mengeluarkan seekor macan dewasa yang paling besar dan kuat serta belum diberi
makan.
Binatang
itu segera masuk ke arena itu, berlari ke kiri dan ke kanan dengan ekor yang
menjuntai dan mata waspada. Begitu melihat calon korbannya yang sedang jongkok
dan seakan tidak mengetahui kehadirannya, harimau itu segera memburu untuk
menerkamnya. Para penonton menahan napas. Mereka berpikir anak muda itu akan
dilumat oleh harimau itu tanpa ampun. Namun, bukan hanya mereka saja yang
kecele. Harimau itupun tertipu. Ia tidak mengira saat cakarnya hampir mengoyak
tubuh Lugasi, tiba-tiba saja mangsanya itu menggelinding menjauhinya. Ia
mengejarnya lagi tapi mangsanya mengelinding sambil berbelok. Ia mengangkat
kedua kaki depannya seperti gerakan menampar namun mangsanya menggelinding
lebih dahulu. Beberapa kali seperti itu, mirip kucing mengejar bola yang diikat
dan ditarik kekiri dan ke kanan. Akhirnya harimau itu diam, mungkin kelelahan,
dan Lugasi kembali jongkok dengan santainya.
Ia lalu menggoda harimau itu dengan beringsut
maju, sambil menirukan geramannya. Binatang itu menjadi marah mendengar ada
yang menirukan geramannya dan menggodanya. Direndahkan kakinya sedikit dan
menerkam dengan lompatan panjang. Tetapi mangsanya telah melenting keatas dan
ketika binatang itu mendarat, Lugasi telah menemplok di punggungnya dan
mendekap lehernya. Binatang buas itu kaget tetapi tidak sempat memberontak
karena diam-diam urat lehernya telah ditotok oleh Lugasi. Harimau itu
menggelosor bersama penunggangnya. Matanya memandang marah, tetapi tubuhnya tak
bisa digerakkannya. Lugasi menepuk-nepuk kepalanya seakan sedang berbicara
kepada binatang itu.
Ia lalu berdiri dan menepuk-nepuk tangannya
menandakan pekerjaannya telah selesai. Lugasi lalu keluar menuju Hobijo dan
meminta bayarannya. Tuan tanah itu memberikan taruhannya sambil berdecak kagum.
“Anak muda, kau sungguh hebat. Bagaimana kalau
kita bekerja sama?” kata Hobijo.
“Maksud bapak?” tanya Lugasi sambil mengantungi
uang taruhan itu.
“Kita akan mengadakan pertunjukan ini setiap akhir
pekan. Kau akan menerima bayaran sebesar itu setiap kali pertunjukan, tetapi
harimaunya jangan dilepas,” ajak Hobijo.
“Aku tidak terlalu perlu uang. Kenapa tidak kalian
saja yang melakukannya? Bukankah kalian sudah melihat caraku melakukannya?
Tinggal tirukan saja, beres kan!? Hihi..hi!” lawab Lugasi seenaknya.
Angkuso tertarik mendengar kata-kata Lugasi itu.
“Saudara Setan Hutan, kau kuangkat jadi saudara
dan guruku kalau mau mengajarkanku menangkap harimau seperti itu,” kata Angkuso
sambil memberi hormat layaknya seorang murid kepada guru.
“Ah, ide yang bagus!” seru Hobijo. “Kau akan menjadi
anakku juga. Tempat ini akan menjadi rumahmu juga. Bagaimana anak muda, kau mau
kan?” desaknya.
“Hmm, aku tidak punya banyak waktu untuk melatih,
lagi pula syaratnya kulihat tidak kalian punyai,” kata Lugasi jual mahal.
“Sebutkan syaratnya, akan kami penuhi!” kata
Hobijo.
“Pertama, kalian harus mencintai alam, makhluk
hidup termasuk harimau. Kulihat harimau disini kurus-kurus dan beberapa
diantaranya terluka. Itu tidak boleh terjadi!” tegas Lugasi.
“Kami akan penuhi. Kami tidak akan melakukannya
lagi. Begitukan Angkuso?” tanya Hobijo.
“Iya, ayah. Saya sanggup!” kata Angkuso mantap.
“Tentu saja kalau kalian mencintai mereka, maka
nantinya harimau-harimau itu harus dilepas kembali kalau kalian sudah menguasai
ilmunya. Toh, setiap saat bisa kalian tangkap dan bermain-main dengan mereka.
Sanggup?” tekan Lugasi.
“Ya, tentu. Kami sanggup!” jawab Angkuso.
“Kedua, kalian harus membebaskan hutang kedua
pemburu ini dan menjadikan mereka teman berlatih saudara Angkuso. Latihan ini
berat sehingga perlu teman berlatih untuk saling mendorong semangat. Jangan
buat jarak diantara kalian bertiga. Sanggup?”
“Tidak jadi masalah. Mulai sekarang hutang kedua
kakak-beradik pemburu ini, Huntaro dan Huntari, saya nyatakan lunas!” kata
Hobijo.
“Saya juga sanggup menjadikan mereka teman
berlatih,” kata Angkuso.
“Bagus! Yang ketiga, kalian harus berlatih keras!
Saya hanya akan memberikan arahan dalam tiga hari dan akan pergi melakukan
tugas saya yang lain. Selama saya pergi kalian harus melakukan latihan tanpa
henti. Tiada hari tidak latihan tanpa alasan yang benar. Kalau itu dilanggar,
kalian akan gagal. Saya akan pergi sekitar seratus hari dan kembali melihat
kemajuan kalian. Sanggup?”
“Ya, kami sanggup!” kata Angkuso dan kedua pemburu
itu.
“Bagus! Yang keempat, kalian harus bermurah hati
kepada orang lain, terutama orang miskin dan rakyat disekitar, karena mereka
juga pemilik alam ini termasuk hutan dan harimaunya. Kalau nanti kalian sudah
memiliki ilmu itu dan membuat pertunjukan, maka sebagian harus kalian sisihkan
untuk mereka. sanggup?”
“Ya..yaya..Saya kira saya mengerti. Kami sanggup
memenuhinya!” kata Hobijo.
“Baik! Kalau begitu kita akan membuat upacara
janji itu, dihadapan para harimau disana. Karena itu siapkan segala
perlengkapan doa yang diperlukan. Dan juga setelah itu kita berpesta sedikit
karena besok pagi kita akan mulai latihan yang berat!”
“Baik, akan segera kami persiapkan. Tapi, kami
harus menyebut apa terhadap nak guru ini?” tanya Hobijo.
“Tadi sobat Angkuso telah menyebutku dengan Setan
Hutan, saya pikir itu nama yang bagus. Panggil saja dengan singkatannya, Sehut.
Hihi..hi!” jawabnya jenaka.
“Baiklah kalau begitu, nak guru Sehut.” kata
Hobijo.
Sore itu mereka melakukan upacara membuat janji
dengan khidmat untuk memulai sikap dan cara hidup yang baru demi sebuah tujuan
yang lebih jauh dan mulia, meski saat itu Hobijo dan keluarganya belum memahami
dampak dari perubahan sikap yang mereka janjikan saat itu. Sebuah perubahan besar
akan terjadi dalam hidup Hobijo dan keluarganya dimulai dengan perubahan sikap
yang mereka ikrarkan itu.
Keesokan harinya sejak matahari belum menampakkan
diri, Sehut telah memulai pelatihannya dengan latihan dasar yakni
menggelindingkan tubuh. Mereka bertiga diajaknya ke sisi bukit dibalik rumah
Hobijo yang berlereng cukup landai di bagian barat dan lebih curam di sebelah
timurnya.
Pada awalnya mereka mencoba pada lereng landai
itu. Begitu mencoba menggelinding meluncur beberapa puluh meter ke bawah, akibatnya
bukan main. Mereka tidak mampu berdiri bahkan muntah-muntah. Tetapi Sehut tidak
memberi ampun. Mereka dipaksa untuk mencoba dan mencoba lagi. Beberapa kali
mereka muntah-muntah sebelum ia membuka rahasianya.
“Kalian melawan kehendak alam. Kalian tidak
mengikuti apa yang dimaui oleh alam. Alam ingin kalian berputar, maka kalian
juga harus ikut berputar. Bukan hanya diri kalian yang berputar, tetapi hati
dan pikiran kalian harus mengikuti irama alam itu,” omel Sehut.
Ia membiarkan mereka beristirahat sejenak, lalu
memulai lagi latihan menjadi bola manusia itu. Meski sudah diberi resepnya
ternyata tidak mudah mempraktekkannya. Kepala mereka masih sering
berputar-putar dan perut mereka mual.
Hebatnya, Angkuso sama sekali tidak menunjukkan
kemanjaannya sebagai anak seorang kaya. Ia tetap mencoba tanpa mengeluh, meski
para pembantunya dari jauh melihat sambil mengusap air mata.
Selepas makan siang tubuh mereka hampir tidak bisa
berjalan tegak. Pinggang mereka terasa sakit dan punggung mereka lecet-lecet.
Tetapi Sehut bahkan menyuruh mereka memakai tebing yang lebih curam serta
permukaan yang tidak rata. Disini tubuh mereka berkali-kali membentur keras
benda-benda yang menghalangi. Tetapi Sehut seakan tidak peduli. Mereka disuruh berlatih
hingga hari menjelang gelap. Tak ada keluhan tidak pula semangat yang kendor.
Mereka tahu ilmu yang akan diperoleh nantinya akan sangat tinggi dan dapat
dibanggakan.
Esoknya pola latihan tidak berubah. Mereka harus terus berlatih hingga
tidak merasakan lagi nyeri dan sakit karena benturan dan gesekan dengan
benda-benda keras. Badan mereka seakan mati rasa, tetapi mereka tetap bisa
mengendalikan tubuh mereka dengan baik. Ini mereka rasakan setelah dua hari
penuh berlatih dan berlatih menggelindingkan tubuh. Kalau pada malam yang
pertama sekujur tubuh mereka terasa remuk redam dan nyeri, pada hari kedua
semuanya hilang begitu saja. Tubuh mereka mulai membiasakan diri dengan kondisi
yang dialami.
Hari ketiga Lugasi atau Sehut kembali membawa mereka
ke tebing itu. Mereka diharuskan terus berlatih menggelinding tetapi dengan
mencoba sejauh mungkin terus menggelinding pada permukaan yang datar di bawah
tebing. Bila tadinya mereka hanya mengandalkan tarikan gravitasi untuk menggelinding,
kini mereka harus menggunakannya sebagai modal untuk memacu lebih jauh, dengan
menambahkan tenaga dari diri mereka. Sehut memberi semangat setiap kali mereka
berhasil menambah jauh jarak gelinding yang ditempuh. Ia juga meminta ketiga
muridnya saling memberi semangat saat ada yang bisa lebih jauh jarak tempuhnya.
Bahkan ketika yang lain melebihi jarak yang ditempuh, yang kalah harus memberi pujian
kepada yang mengalahkannya. Mereka diharuskan saling menghargai dan memberi
semangat.
Pada sore sehabis latihan yang berat itu, Sehut berkata
kalau mulai besok mereka harus berlatih sendiri hingga mereka bisa
menggelindingkan diri dengan kecepatan tinggi dari tempat yang datar, tidak
menggunakan kekuatan gravitasi. Kecepatan itu harus lebih cepat dari gerakan
macan. Sebelum mencapai itu ia tidak akan memberi tambahan ilmu baru. Mereka
harus saling membantu untuk mencapai keahlian itu.
Malam harinya Hobijo membuat pesta untuk
melepaskan Sehut. Mereka mendoakan agar Sehut berhasil dalam perjalanannya. Mereka
meminta Sehut agar segera bisa kembali setelah menyelesaikan tugasnya. Sebaliknya,
Sehut meminta mereka berjuang untuk bisa
menguasai ilmu menggelinding cepat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.