Setan Hutan Jadi Guru Angkuso

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #50 )


“Saya Setan Hutan dan biasa bermain-main dengan harimau-harimau di hutan itu. Itu yang dilihat mereka. Saya hanya main-main dengan harimau saya,” jawab Lugasi enteng.

“Kami punya beberapa harimau disini. Apa kamu bisa memperlihatkan cara bermainmu itu?” tanya Hobijo.

“Kalau bisa, apa taruhannya?” tanya Lugasi.

“Apa yang kau minta?” tantang Hobijo.

“Setiap kali berhasil saya tangkap, akan saya lepaskan kembali ke hutan. Dan tuan harus membayar saya sesuai harga setiap ekor macan,” tantang Lugasi.

“Uang tak masalah bagiku. Tapi macan itu kesayangan aku dan putraku. Jangan dilepas,” tawar Hobijo.

“Kan, tuan Hobijo bisa menyuruh para pemburu ini menangkap lagi,” jawab Lugasi.

“Ya, tapi itu perlu waktu. Bagaimana kalau tidak dilepas tetapi setiap tangkapan saya bayar dua kali lipat? Sama saja, kan?!” tawar Hobijo.

“Ya, itu sama saja. Tetapi macan itu juga kesayangan saya sebagai mainan di hutan. Dan sekarang sudah makin sedikit yang tersisa disana,” Lugasi tak mau mengalah.

Tiba-tiba Angkuso muncul disitu. Ia sudah mendengar pembicaraan itu dari ruang sebelah.

“Baik! Kita coba dulu satu ekor macan yang ditangkap untuk dilepas. Kan belum tentu dia bisa melakukannya, ayah?” kata Angkuso.

“Kau benar juga anakku! Bisa saja ia membual. Mari kita mulai!” ajak Hobijo.

Para pembantu Hobijo segera menyiapkan pagar khusus yang sudah biasa dipakai untuk mengelilingi halaman yang luas itu jika ada permainan harimau. Sementara persiapan dilakukan, Lugasi minta disediakan makanan dan tuak sebagai syaratnya. Ia lalu melahapnya dengan nikmat.

Tiba saatnya pertunjukan itu digelar. Lugasi memasuki arena dengan enteng dan jenaka. Ia langsung menuju tengah arena lalu berjongkok santai sambil menggigit-gigit batang rumput seakan tidak mempedulikan bahaya yang mengancam. Angkuso lalu memerintahkan pembantunya mengeluarkan seekor macan dewasa yang paling besar dan kuat serta belum diberi makan.

 Binatang itu segera masuk ke arena itu, berlari ke kiri dan ke kanan dengan ekor yang menjuntai dan mata waspada. Begitu melihat calon korbannya yang sedang jongkok dan seakan tidak mengetahui kehadirannya, harimau itu segera memburu untuk menerkamnya. Para penonton menahan napas. Mereka berpikir anak muda itu akan dilumat oleh harimau itu tanpa ampun. Namun, bukan hanya mereka saja yang kecele. Harimau itupun tertipu. Ia tidak mengira saat cakarnya hampir mengoyak tubuh Lugasi, tiba-tiba saja mangsanya itu menggelinding menjauhinya. Ia mengejarnya lagi tapi mangsanya mengelinding sambil berbelok. Ia mengangkat kedua kaki depannya seperti gerakan menampar namun mangsanya menggelinding lebih dahulu. Beberapa kali seperti itu, mirip kucing mengejar bola yang diikat dan ditarik kekiri dan ke kanan. Akhirnya harimau itu diam, mungkin kelelahan, dan Lugasi kembali jongkok dengan santainya.

Ia lalu menggoda harimau itu dengan beringsut maju, sambil menirukan geramannya. Binatang itu menjadi marah mendengar ada yang menirukan geramannya dan menggodanya. Direndahkan kakinya sedikit dan menerkam dengan lompatan panjang. Tetapi mangsanya telah melenting keatas dan ketika binatang itu mendarat, Lugasi telah menemplok di punggungnya dan mendekap lehernya. Binatang buas itu kaget tetapi tidak sempat memberontak karena diam-diam urat lehernya telah ditotok oleh Lugasi. Harimau itu menggelosor bersama penunggangnya. Matanya memandang marah, tetapi tubuhnya tak bisa digerakkannya. Lugasi menepuk-nepuk kepalanya seakan sedang berbicara kepada binatang itu.

Ia lalu berdiri dan menepuk-nepuk tangannya menandakan pekerjaannya telah selesai. Lugasi lalu keluar menuju Hobijo dan meminta bayarannya. Tuan tanah itu memberikan taruhannya sambil berdecak kagum.

“Anak muda, kau sungguh hebat. Bagaimana kalau kita bekerja sama?” kata Hobijo.

“Maksud bapak?” tanya Lugasi sambil mengantungi uang taruhan itu.

“Kita akan mengadakan pertunjukan ini setiap akhir pekan. Kau akan menerima bayaran sebesar itu setiap kali pertunjukan, tetapi harimaunya jangan dilepas,” ajak Hobijo.

“Aku tidak terlalu perlu uang. Kenapa tidak kalian saja yang melakukannya? Bukankah kalian sudah melihat caraku melakukannya? Tinggal tirukan saja, beres kan!? Hihi..hi!” lawab Lugasi seenaknya.

Angkuso tertarik mendengar kata-kata Lugasi itu.

“Saudara Setan Hutan, kau kuangkat jadi saudara dan guruku kalau mau mengajarkanku menangkap harimau seperti itu,” kata Angkuso sambil memberi hormat layaknya seorang murid kepada guru.

“Ah, ide yang bagus!” seru Hobijo. “Kau akan menjadi anakku juga. Tempat ini akan menjadi rumahmu juga. Bagaimana anak muda, kau mau kan?” desaknya.

“Hmm, aku tidak punya banyak waktu untuk melatih, lagi pula syaratnya kulihat tidak kalian punyai,” kata Lugasi jual mahal.

“Sebutkan syaratnya, akan kami penuhi!” kata Hobijo.

“Pertama, kalian harus mencintai alam, makhluk hidup termasuk harimau. Kulihat harimau disini kurus-kurus dan beberapa diantaranya terluka. Itu tidak boleh terjadi!” tegas Lugasi.

“Kami akan penuhi. Kami tidak akan melakukannya lagi. Begitukan Angkuso?” tanya Hobijo.

“Iya, ayah. Saya sanggup!” kata Angkuso mantap.

“Tentu saja kalau kalian mencintai mereka, maka nantinya harimau-harimau itu harus dilepas kembali kalau kalian sudah menguasai ilmunya. Toh, setiap saat bisa kalian tangkap dan bermain-main dengan mereka. Sanggup?” tekan Lugasi.

“Ya, tentu. Kami sanggup!” jawab Angkuso.

“Kedua, kalian harus membebaskan hutang kedua pemburu ini dan menjadikan mereka teman berlatih saudara Angkuso. Latihan ini berat sehingga perlu teman berlatih untuk saling mendorong semangat. Jangan buat jarak diantara kalian bertiga. Sanggup?”

“Tidak jadi masalah. Mulai sekarang hutang kedua kakak-beradik pemburu ini, Huntaro dan Huntari, saya nyatakan lunas!” kata Hobijo.

“Saya juga sanggup menjadikan mereka teman berlatih,” kata Angkuso.

“Bagus! Yang ketiga, kalian harus berlatih keras! Saya hanya akan memberikan arahan dalam tiga hari dan akan pergi melakukan tugas saya yang lain. Selama saya pergi kalian harus melakukan latihan tanpa henti. Tiada hari tidak latihan tanpa alasan yang benar. Kalau itu dilanggar, kalian akan gagal. Saya akan pergi sekitar seratus hari dan kembali melihat kemajuan kalian. Sanggup?”

“Ya, kami sanggup!” kata Angkuso dan kedua pemburu itu.

“Bagus! Yang keempat, kalian harus bermurah hati kepada orang lain, terutama orang miskin dan rakyat disekitar, karena mereka juga pemilik alam ini termasuk hutan dan harimaunya. Kalau nanti kalian sudah memiliki ilmu itu dan membuat pertunjukan, maka sebagian harus kalian sisihkan untuk mereka. sanggup?”

“Ya..yaya..Saya kira saya mengerti. Kami sanggup memenuhinya!” kata Hobijo.

“Baik! Kalau begitu kita akan membuat upacara janji itu, dihadapan para harimau disana. Karena itu siapkan segala perlengkapan doa yang diperlukan. Dan juga setelah itu kita berpesta sedikit karena besok pagi kita akan mulai latihan yang berat!”

“Baik, akan segera kami persiapkan. Tapi, kami harus menyebut apa terhadap nak guru ini?” tanya Hobijo.

“Tadi sobat Angkuso telah menyebutku dengan Setan Hutan, saya pikir itu nama yang bagus. Panggil saja dengan singkatannya, Sehut. Hihi..hi!” jawabnya jenaka.

“Baiklah kalau begitu, nak guru Sehut.” kata Hobijo.

Sore itu mereka melakukan upacara membuat janji dengan khidmat untuk memulai sikap dan cara hidup yang baru demi sebuah tujuan yang lebih jauh dan mulia, meski saat itu Hobijo dan keluarganya belum memahami dampak dari perubahan sikap yang mereka janjikan saat itu. Sebuah perubahan besar akan terjadi dalam hidup Hobijo dan keluarganya dimulai dengan perubahan sikap yang mereka ikrarkan itu.

Keesokan harinya sejak matahari belum menampakkan diri, Sehut telah memulai pelatihannya dengan latihan dasar yakni menggelindingkan tubuh. Mereka bertiga diajaknya ke sisi bukit dibalik rumah Hobijo yang berlereng cukup landai di bagian barat dan lebih curam di sebelah timurnya.

Pada awalnya mereka mencoba pada lereng landai itu. Begitu mencoba menggelinding meluncur beberapa puluh meter ke bawah, akibatnya bukan main. Mereka tidak mampu berdiri bahkan muntah-muntah. Tetapi Sehut tidak memberi ampun. Mereka dipaksa untuk mencoba dan mencoba lagi. Beberapa kali mereka muntah-muntah sebelum ia membuka rahasianya.

“Kalian melawan kehendak alam. Kalian tidak mengikuti apa yang dimaui oleh alam. Alam ingin kalian berputar, maka kalian juga harus ikut berputar. Bukan hanya diri kalian yang berputar, tetapi hati dan pikiran kalian harus mengikuti irama alam itu,” omel Sehut.

Ia membiarkan mereka beristirahat sejenak, lalu memulai lagi latihan menjadi bola manusia itu. Meski sudah diberi resepnya ternyata tidak mudah mempraktekkannya. Kepala mereka masih sering berputar-putar dan perut mereka mual.

Hebatnya, Angkuso sama sekali tidak menunjukkan kemanjaannya sebagai anak seorang kaya. Ia tetap mencoba tanpa mengeluh, meski para pembantunya dari jauh melihat sambil mengusap air mata.

Selepas makan siang tubuh mereka hampir tidak bisa berjalan tegak. Pinggang mereka terasa sakit dan punggung mereka lecet-lecet. Tetapi Sehut bahkan menyuruh mereka memakai tebing yang lebih curam serta permukaan yang tidak rata. Disini tubuh mereka berkali-kali membentur keras benda-benda yang menghalangi. Tetapi Sehut seakan tidak peduli. Mereka disuruh berlatih hingga hari menjelang gelap. Tak ada keluhan tidak pula semangat yang kendor. Mereka tahu ilmu yang akan diperoleh nantinya akan sangat tinggi dan dapat dibanggakan.

Esoknya pola latihan tidak berubah. Mereka harus terus berlatih hingga tidak merasakan lagi nyeri dan sakit karena benturan dan gesekan dengan benda-benda keras. Badan mereka seakan mati rasa, tetapi mereka tetap bisa mengendalikan tubuh mereka dengan baik. Ini mereka rasakan setelah dua hari penuh berlatih dan berlatih menggelindingkan tubuh. Kalau pada malam yang pertama sekujur tubuh mereka terasa remuk redam dan nyeri, pada hari kedua semuanya hilang begitu saja. Tubuh mereka mulai membiasakan diri dengan kondisi yang dialami.

Hari ketiga Lugasi atau Sehut kembali membawa mereka ke tebing itu. Mereka diharuskan terus berlatih menggelinding tetapi dengan mencoba sejauh mungkin terus menggelinding pada permukaan yang datar di bawah tebing. Bila tadinya mereka hanya mengandalkan tarikan gravitasi untuk menggelinding, kini mereka harus menggunakannya sebagai modal untuk memacu lebih jauh, dengan menambahkan tenaga dari diri mereka. Sehut memberi semangat setiap kali mereka berhasil menambah jauh jarak gelinding yang ditempuh. Ia juga meminta ketiga muridnya saling memberi semangat saat ada yang bisa lebih jauh jarak tempuhnya. Bahkan ketika yang lain melebihi jarak yang ditempuh, yang kalah harus memberi pujian kepada yang mengalahkannya. Mereka diharuskan saling menghargai dan memberi semangat.

Pada sore sehabis latihan yang berat itu, Sehut berkata kalau mulai besok mereka harus berlatih sendiri hingga mereka bisa menggelindingkan diri dengan kecepatan tinggi dari tempat yang datar, tidak menggunakan kekuatan gravitasi. Kecepatan itu harus lebih cepat dari gerakan macan. Sebelum mencapai itu ia tidak akan memberi tambahan ilmu baru. Mereka harus saling membantu untuk mencapai keahlian itu.

Malam harinya Hobijo membuat pesta untuk melepaskan Sehut. Mereka mendoakan agar Sehut berhasil dalam perjalanannya. Mereka meminta Sehut agar segera bisa kembali setelah menyelesaikan tugasnya. Sebaliknya, Sehut  meminta mereka berjuang untuk bisa menguasai ilmu menggelinding cepat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA