Kerinduan Yang Terobati

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #65 )


Mereka lalu pergi ke markas Pamong Negeri. Di pintu gerbang, Loyo, Brewok dan para santri diminta tunggu diluar sementara petugas itu melapor ke atasannya. Atasannya itu yang kemudian menyampaikan surat yang sengaja ditulis oleh Paldrino untuk iparnya. Diguldo segera membuka dan membacanya. Matanya tidak berkedip memeriksa baris demi baris kalimat yang rapi terjalin.

“Hmm, ada berapa orang yang mengantar surat ini?” tanyanya.

“Kata petugas yang mengantar, mereka berempat,” jawab anak buahnya.

“Kalau begitu suruh mereka masuk dan antar langsung kemari,” perintahnya.

Petugas itu segera menuju ke gerbang diikuti petugas pengantar tadi dan mempersilakan Loyo dan kawan-kawannya masuk. Petugas pengantar itu segera kembali ke posnya.

“Silakan, silakan saudara-saudaraku!” sapa Diguldo ramah.

Kepada bawahannya ia berkata, “Kau boleh kembali ke tempatmu, mereka familiku dari Kotaraja,” kata Diguldo kepada anak buahnya itu

Petugas itu segera keluar dari ruang kerja komandannya.

“Kalian tentu Loyo, Brewok dan para santri kakek Blakitem seperti ditulis dalam surat ini,” kata Diguldo.

“Betul, pak. Saya dan sobat Brewok ini mendampingi pak Wedana sejak dari Buntung. Sekarang pak Wedana ada bersama para santri ini di Batutok. Istri beliau sudah sangat rindu dengan istri pak Diguldo,” jawab Loyo.

“Ya, tentu! Istri saya juga sudah sangat rindu dengan saudara kembarnya. Jadi benar yang dikatakan oleh Lugasi, si Anak Setan itu,” kata Diguldo.

“Lugasi, si Anak Setan?! Dimana Pak Diguldo bertemu dengannya?” tanya Brewok yang sedari tadi diam saja.

“Kami sekeluarga ditolongnya saat dikeroyok para perampok di Dogean. Karena mengira istri saya adalah istri wedana Paldrino dia langsung menolong kami dan menghajar para perampok itu hingga banyak yang buntung tangannya. Dia juga bilang kalau baru saja berpisah dengan rombongan kalian yang sedang menuju Poruteng. Istri saya menjadi sangat gembira. Tetapi mengingat peristiwa yang menimpa wedana Paldrino, saya harus hati-hati untuk mencari tahu keberadaannya. Untung akhirnya hari ini kalian datang. Saya akan segera memberi tahu istri saya. Kalian harus ikut masuk ke ruang belakang rumah kami agar bisa bercerita panjang lebar tentang saudara kembarnya. Mau, kan?” pintanya.

Mereka mengangguk. Diguldo lalu memanggil kepala keamanannya dan mengatakan agar ia tidak boleh digannggu dulu berhubung mau menemani familinya yang telah datang dari jauh. Ia lalu mengajak ke empat orang itu ke rumah pribadinya dan langsung menuju bagian belakang. Dilihatnya istrinya sedang bermain bersama anak-anaknya. Wanita itu terperanjat melihat kedatangan suaminya diiringi empat orang yang tak dikenalnya.

“Jangan terkejut istriku. Ada kabar gembira buatmu, buat kita semua!” kata Diguldo.

“Mari silakan duduk. Kau istriku, harus juga duduk bersama kami,” katanya.

Setelah semuanya duduk, ia lalu mengulurkan surat itu kepada istrinya.

“Bacalah surat ini,” katanya lagi sambil mengulurkan surat itu.

Dengan gemetar istrinya menerima surat itu dan membaca. Beberapa saat kemudian ia pun terisak-isak sambil memeluk kedua anaknya yang tiba-tiba ikut menangis tanpa tahu sebabnya. Diguldp dan yang lain terharu melihat peristiwa itu. Ia segera memeluk istrinya dan menepuk-nepuk bahunya. Istrinya tersenyum memandangi para tamu itu. Kedua anaknya pun segera menghentikan tangisnya. Mereka bingung dengan kelakuan ibunya.

“Benarkah,?! Benarkah dia ada disini?!” tanya si istri gembira.

“Benar, nyonya. Kami tinggal bersama pak wedana dan keluarganya,” jawab Loyo.

“Duh, Dewa Yang Maha Tunggal. Terimakasih, terimakasih!” katanya sambil mendekapkan kedua tangannya ke dadanya, lalu memeluk kedua anaknya lagi.

“Bagaimana keadaannya? Kuruskah dia? Bagaimana keponakan-keponakanku? Baik-baikkah mereka? Tidak susahkah hidupnya? Kenapa dia tidak kesini? Aduh, bagaimana ya rupanya sekarang....?”

Begitu banyak pertanyaan yang mencerocos keluar dari mulutnya. Betapa tidak! Peristiwa pembakaran rumah adiknya itu sampai ke telinganya tanpa tahu apakah saudaranya itu selamat atau tidak. Berita yang beredar mengatakan wedana Paldrino dan seluruh keluarganya turut hangus terbakar.

Dengan sabar Loyo menjelaskan satu persatu peristiwa yang terjadi, mulai dari pembakaran rumah itu hingga perjalanan menuju Batutok. Cerita itu cocok dengan yang dikatakan Lugasi, si Anak Setan.

“Oh, syukurlah. Kita semua ditolong oleh orang-orang hebat. Saya yakin dia pasti baik-baik saja sekarang,” katanya gembira.

Tak henti-hentinya ia tersenyum.

“Oh, oh maaf! Saya sampai lupa menyambut tamu-tamu terhormat kita dengan sepantasnya.”

Wanita itu lalu berlari ke dalam memanggil para pelayannya dan meminta mereka segera menyajikan makanan dan minuman yang terbaik. Setelah itu ia segera kembali menemui mereka.

“Kapan ya saya bisa bertemu dengan mereka?” tanyanya.

“Ya, saya akan pikirkan caranya. Bagaimanapun, wedana Paldrino tidak boleh diketahui oleh umum masih hidup,” kata Diguldo. “Adakah usul dari para sobat?” tanyanya.

“Menurut pak Paldrino, sekembali kami ke Batutok melaporkan keadaan pak Diguldo dan keluarga, kami akan mengantar saudara kembar nyonya  lima belas atau dua puluh hari dari sekarang, berpura-pura seakan mengantar famili nyonya dari Kotaraja. Menurut beliau, Pak wedana dan pak Diguldo sebaiknya jangan saling bertemu dulu,” jawab Loyo.

“Saya kira itu ide yang baik. Kalau begitu kalian bisa menginap dulu di rumah kami ini,” kata Diguldo.

“Terimakasih, tetapi kami sebaiknya segera kembali ke Batutok. Banyak pekerjaan yang menunggu kami disana. Kami akan bilang kepada para petugas disini kalau akan mengurusi dagangan kami,” jawab Loyo.

Istri Diguldo segera menulis surat untuk saudara kembarnya dan dititipkan kepada empat orang utusan itu. Mereka segera pamit dan langsung pulang ke Batutok melalui arah pasar kawedanan itu agar dikira sedang mengurusi barang dagangan mereka.

Setiba di Batutok, mereka langsung menyampaikan surat itu kepada istri Paldrino yang gembira dan terharu membaca kabar dari saudara kembarnya. Seperti saudaranya itu, wanita ini juga melancarkan pertanyaan yang bertubi-tubi tentang keadaan saudara kembar dan keluarganya. Setelah puas barulah ia meminta mereka mengabarkan kepada suaminya di seberang danau. Merekapun segera menyeberang danau dan bergegas menemui pak wedana Paldrino, meski hari telah larut malam. Pak Paldrino gembira mendengar kabar itu dan meminta mereka segera beristirahat setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan.

Esoknya mereka kembali melakukan pekerjaan besar mereka. Pak Paldrino tampak lebih bersemangat. Yang lain pun tertular virus semangat itu.

Pada hari ke lima puluh lima pipa-pipa tembikar itu telah berhasil dibuat dan telah dibakar, sementara segala bahan bangunan pun telah siap pula. Sumur yang digali juga sudah mengeluarkan air yang bagus pada kedalaman 8 meter. Andragi meminta maaf karena berniat mengganti pipa bambu dengan pipa tembikar yang lebih tahan lama. Tetapi para santri itu justru lebih bernafsu menggantinya, mengingat itu hal baru yang menarik minat mereka. Terutama ketika melihatnya memasang pipa leher angsa untuk wc jongkok. Mereka kini tahu, itulah caranya untuk menahan bau tidak sedap dari lubang yang nantinya akan berisi kotoran manusia.

Pada hari ke enam puluh lima mereka telah memiliki sebuah rumah contoh yang apik, berlantai kayu dengan enam buah kamar serta ruang tamu. Setiap kamar telah pula dilengkapi dengan tempat tidur dan lemari yang rancangannya dibuat oleh Andragi. Bahkan gantungan baju pun sudah pula tersedia. Rumah itu telah dilengkapi pula dengan sebuah dapur dan kamar mandi cuci di bangunan yang terpisah, sebuah sumur serta kolong luas yang multi fungsi. Kolong ini juga bisa dipakai sebagai ruang makan terbuka, atau tambahan kamar bila diperlukan. Tetapi Paldrino mengusulkan agar boleh di buat lebih dari dua kamar disana, karena fungsi utamanya adalah tempat bersosialisasi.

Kini Andragi, Paldrino, Brewok, Loyo dan sebagian santri telah dapat menempati rumah itu. Mereka bisa berunding lebih nyaman di ruang tamu ataupun di kolong rumah yang alasnya sengaja dilapisi papan dan sebagian ditutupi dinding papan setinggi dada orang dewasa.

Ketika menatap ke ladang, tampak pohon singkong mereka telah semakin rimbun dan seluruh kapling pertama ladang itu subur ditumbuhi tanaman singkong baru mereka. Para santri memutuskan untuk membuka kapling ladang baru sambil menunggu langkah berikutnya yang sedang disusun oleh Andragi dan Paldrino. Dalam lima hari mereka telah memiliki ladang kedua yang siap ditanami. Kedua santri perawat kebun itu mengajari yang lain cara menyambung batang singkong yang berlainan jenis itu. Hanya dalam tiga hari ladang kedua itu telah penuh ditanami batang-batang singkong gabungan. Kini dua orang lagi ditugaskan merawatnya sementara dua perawat sebelumnya akan mulai membuka ladang ke tiga bersama rekan-rekan yang lain. Ladang yang pertama sudah tidak memerlukan perawatan khusus lagi, hanya sesekali perlu disiram atau disiangi jika rumput telah terlalu tinggi.

Sebenarnya saat menunggu itu, Paldrino dan kawan-kawannya sedang mempersiapkan perjalanan istri beserta kedua anaknya menuju Poruteng guna menemui saudara kembarnya. Loyo, Brewok dan beberapa orang santri utama akan menemani wanita itu berjalan dimuka, sedangkan enam orang santri yang lain akan mengiringi dengan jarak tertentu di belakang mereka. Bagaimanapun juga mereka tidak ingin mengambil resiko terjadi sesuatu sehingga penantian panjang kedua saudara kembar itu menjadi berantakan. Mereka bisa membayangkan kerinduan yang begitu mendalam diatara keduanya mengingat peristiwa-peristiwa yang telah menimpa mereka.

Perjalanan mereka ternyata aman-aman saja. Tidak perlu diceritakan panjang lebar tentang pertemuan yang penuh haru itu. Isak tangis dan sukacita menjadi satu. Rasa terimakasih yang bertubi-tubi diterima oleh Loyo dan kawan-kawannya. Sementara itu rombongan kedua segera pulang setelah melihat mereka tiba dengan selamat. Tiga hari kemudian Loyo dan rombongannya telah pula kembali ke Batutok. Pak Paldrino dan yang lain lega dan gembira mendengar berita sukacita itu. Kini mereka bisa lebih berkonsentrasi pada pekerjaan besar mereka.

Leher Angsa Penghilang Bau Busuk

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #64 )


Loyo juga merancang rumah panggung dari kayu seperti gambar dibawah ini. tetapi oleh Andragi diusulkan agar kolong rumah dibuat lebih tinggi sekitar 2 meter sebagai tempat orang bersosialisasi tanpa sungkan, serta berbagai kegiatan anak-anak. Tentu untuk itu tiang penyangganya perlu ditambah agar kokoh.

 (gambar disimpan di draft blogger)

Pekerjaan untuk itu segera mereka lalukan keesokan harinya. Selain itu Andragi juga meminta empat orang membantunya menyiapkan lahan untuk rumah pertama yang akan dibuat. Mereka dimintanya menggali jamban berukuran 3x3 meter dengan kedalaman 3 meter. Letaknya harus cukup jauh dari lokasi sumur yang nanti akan dibuat. Jamban itu kemudian ditutup dengan tembok rapat yang menyembul keluar setinggi satu meter, agar tidak diinjak orang, serta dipasang pipa tegak dari bambu setinggi 3 meter untuk pembuangan gas. Karena tidak mempergunakan semen, tembok itu dibuat dari tanah liat dan batu kali. Tidak lupa mereka membuat saluran menuju jamban dengan pipa bambu betung, bambu tua yang besar, yang ditanam dengan kedalaman 30 cm yang terhubung ke wc yang nanti akan dibuat. Di dekat wc dibuat kamar mandi cuci dan dari kamar mandi cuci itu juga dibuat sebuah saluran pipa bambu betung yang menuju parit di depan dan juga ditanam sdalam 30 cm. Pekerjaan itu mereka selesaikan hanya dalam empat hari.

Sementara itu, pohon singkong mereka telah tumbuh menyembulkan daun-daun segar. Tunas-tunas yang tumbuh di bawah sambungan dipotes agar memaksanya tumbuh diatas sambungan. Kedua perawatnya gembira melihat perkembangan ini, meski mereka belum tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian.

Pada hari ke lima puluh, parit pembuangan itu selesai dikerjakan dan juga jembatannya. Andragi dengan bangga melihat hasil kerja Loyo dan para santri yang mulai menambahkan keindahan dalam proyek mereka. Para santri yang lainpun bergantian mencoba dua jembatan berjejer yang cantik namun kokoh itu.

Keesokan harinya, mereka semua berkonsentrasi mulai mengerjakan pembuatan rumah dan menggali sumur. Sementara itu Andragi sudah mulai memikirkan bagaimana membuat wc yang sehat. Di dalam benaknya harus ada semacam saluran berbentuk leher angsa agar bau kotoran tidak menyebar keluar. Ketika pikiran itu ia utarakan, Primasa mengatakan bahwa mereka bisa membuat tembikar. Mungkin itu bisa membantu.

Dengan gembira Andragi menyambut ide itu, namun pembicaraan mereka terhenti karena pada hari itu kakek Blakitem berkunjung ke lokasi itu. Ia kagum dengan kerja keras mereka tetapi sedikit heran kenapa ubi kayu hutan yang ditanam. Kedua santri pengurusnya menjelaskan secara gamblang.

“Ah, rupanya kita akan mendapat ilmu yang baru. Saya berdoa semoga membawa perubahan yang besar bagi kesejahteraan orang-orang itu, yang sekarang tampak semakin menderita kekurangan bahan pangan,” katanya.

Mendengar itu, Andragi, Paldrino, Loyo dan Brewok segera berunding. Mereka memiliki cukup banyak uang dari pemberian Jotiwo dan Gadamuk setelah berhasil mengalahkan pasukan Rajapurwa tempo hari.

“Kakek Blakitem, kami memiliki sejumlah uang untuk membeli bahan pangan. Kalau orang-orang di pemukiman itu mau ikut bekerja disini mereka bisa mendapat makan dan bahan makanan untuk keluarga mereka. Bagaimana menurut kakek?” tanya Andragi.

“Ah, hati yang mulia. Saya kira itu jalan yang baik sekalian memancing mereka mulai bergabung kesini. Saya akan bicara dengan Kepala Desa Kenteng. Terimakasih atas bantuannya,” kata kakek Blakitem.

“Sama-sama kakek. Apakah kami boleh meminta bantuan para santri untuk membeli bahan makanan itu nanti?” tanya Andragi lagi.

“Tentu, tentu saja boleh. Mereka tahu dimana bisa mendapatkannya dengan harga yang baik,” jawab kakek Blakitem.

Andragi lalu meminta Loyo dan Brewok mengajak dua orang santri untuk pergi ke Poruteng guna membeli bahan pangan, berupa beras dan jagung. Mereka dibekali uang yang cukup untuk membeli seratus karung. Agar tidak mencolok, si pedagang diminta mengantar setiap hari satu atau dua karung ke Batutok. Disana mereka akan dibayar. Selain itu Loyo dan Brewok diminta mencari tahu tentang ipar Pak Paldrino, Pamong Negeri Diguldo dan terutama istrinya.

Mereka segera berangkat bersama kakek Blakitem yang akan menuju Kenteng. Dari sana mereka akan meneruskan ke Poruteng. Sementara itu Andragi segera melanjutkan rencananya membuat tembikar dengan Primasa. Ia meminta Primasa membuat pipa yang menekuk seperti leher angsa dan pipa lurus seperti gambar di bawah ini.

  (gambar disimpan di draft blogger)

Pipa lurus itu berdiameter 20 cm dan panjang 1,2 meter atau boleh lebih panjang sedikit jika masih mungkin membuatnya. Primasa menyanggupinya dan bersama dua orang santri mereka pergi mencari tanah liat dan mulai membentuk model kedua pipa aneh itu.

Esok harinya semua telah siap bekerja sesuai tugas masing-masing, ketika mereka kedatangan 12 orang penduduk pemukiman kumuh yang bersedia membantu mereka sekedar mendapat makan dan bahan makanan untuk keluarganya yang kelaparan. Meskipun mereka belum tahu tujuan seutuhnya, mereka percaya kepada kakek Blakitem pekerjaan ini akan membuat mereka lebih sejahtera nantinya.

Untuk mengerjakan rumah perdana itu, pekerjaan yang berat adalah memotong batang kayu dan menggergajinya sesuai bentuk yang diinginkan semisal balok berbagai ukuran, papan, kaso, pasak, sirap dan sebagainya. Selain itu menggali sumur juga membutuhkan tenaga yang tidak sedikit.  Dua orang disuruh mencari ijuk untuk pembuat tali. Tetapi dengan jumlah tenaga yang bertambah, tugas mereka menjadi lebih ringan dan cepat. Sore harinya ke dua belas orang itu diberi 4 batok beras untuk dibawa pulang. Mereka diminta datang lagi esoknya, dan juga hari-hari seterusnya.

Sementara itu kita ikuti perjalanan Loyo dan kawan-kawannya ke Poruteng. Tanpa kesulitan mereka bisa mendapatkan pedagang beras di kota kawedanan itu. Setelah harga disepakati, pedagang itu menyanggupi mengantarnya setiap hari sebanyak satu atau dua karung ke Batutok. Beres mengurus pembelian bahan pangan, Loyo dan Brewok langsung menuju ke pos Pamong Negeri yang dulu pernah didatanginya saat menangkap pencopet. Disana mereka temui petugas yang sama, yang sebenarnya tidak mengingat Loyo, karena waktu itu yang menangkap si pencopet adalah kawannya yang dari Gunung Kembar. Karena dia tidak ingat wajah orang Gunung Kembar itu, Loyo bersikap sok tahu saja.

“Selamat siang pak Pamong Negeri. Apa kabar pak? Kami yang dulu menangkap pencopet dan menyerahkan ke bapak,” kata Loyo.

“Ah, saudara. Apa khabar? Apa kau berhasil menangkap pencopet lagi?”

“Kabar baik. Kami tidak menangkap pencopet. Kami kebetulan sedang berada disini dan teringat kepada bapak petugas Pamong Negeri. Karena itu kami sengaja mampir kesini,” jawab Loyo.

“Oh, begitu. Adakah yang bisa saya bantu di kota kecil kami ini?” tanya petugas itu mencium ada urusan tentunya kedua orang ini menemuinya.

“Kebetulan kami baru dari Kotaraja dan seorang kenalan menitipkan surat untuk saudaranya, komandan Pamong Negeri Diguldo. Bisakah sobat mengantar kami menemui beliau agar kami bisa menyampaikan surat ini?” kata Loyo sambil memperlihatkan surat itu dan sejumlah uang perak dibaliknya.

Melihat kilauan uang itu, petugas pamong negeri itu menelan air liur.

“Kalau hanya menyampaikan surat saja tidak masalah,” katanya. “Tetapi kalian harus menunggu di luar dulu sebelum diperbolehkan masuk ke rumah komandan. Mari ikut saya,” katanya sambil meraih surat itu berikut uang logam yang diicarnya.

Membuat Ladang dan Parit

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #63 )


Setelah mendapat penjelasan dari Andragi dan Paldrino, mereka segera berangkat. Para santri membagi diri untuk tugas-tugas pematokan  karena mereka lebih mengenali daerah itu. Primasa memimpin para santri, sedangkan Dwisa membawa Andragi, Paldrino, Brewok dan Loyo serta tiga empat orang santri ke tempat yang diperkirakan menjadi kluster pertama yang akan dibuat, yang berdekatan dengan area ladang. Disana mereka mendirikan gubuk sebagai tempat berteduh, memasak dan menyimpan peralatan kerja.

Karena medan yang sulit dan sangat luas, Andragi meminta agar pekerjaan pematokan dikonsentrasikan dulu pada area desa dan ladang. Ternyata pekerjaan itu dapat mereka selesaikan hingga sore hari. Mereka lalu memutuskan untuk kembali dulu ke Batutok guna mempersiapkan berbagai peralatan yang masih perlu dibawa. Juga berbagai perlengkapan lain, karena mulai besok sebagian besar akan menginap di gubug atau bedeng di lokasi itu.

Hari kedua pekerjaan dikonsentrasikan pada pembuatan alur jalan dan parit yang mengelilingi kluster pemukiman dengan cara membabat pohon dan tetumbuhan. Pekerjaan itu tidak mudah karena banyak pepohonan besar yang harus ditebang. 

Sementara yang lain sibuk menebang...

Tampak dua orang santri mengendap-endap memasuki hutan yang lebih dalam. Gerakan mereka sangat mencurigakan seakan sedang bersiap akan melakukan penyerangan. Melihat hal itu para santri yang lain segera menghentikan pekerjaan mereka, menunggu apa yang akan terjadi. Semuanya diam dan tegang...!.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan keras dari dalam hutan.

“Uiiiik! Uiiiik!” diikuti langkah-langkah kaki orang berlari.

“Horee!!” teriak para santri yang tadi diam menunggu, ketika melihat kedua rekannya keluar dari hutan sambil menggotong seekor celeng berukuran besar.

Rupanya kedua santri itu memang bertugas menjadi penyedia makanan bagi rekan-rekannya yang bekerja, termasuk berburu binatang, menangkap ikan serta mencari sayuran dan buah-buahan hutan yang bisa dimakan untuk seluruh pekerja. Adapun beras mereka bawa dari pesanggrahan Batutok. Dengan begitu semuanya bisa berjalan dengan lancar.

Meski pekerjaan membabat alas itu cukup berat, tetapi dengan semangat yang tinggi, dalam sembilan belas hari sudah terbentuk alur selebar 4 meter mengelilingi dan membagi area itu menjadi delapan kluster, walaupun disana-sini masih banyak pohon-pohon besar yang belum ditebang. Mereka memang berkonsentrasi pada kluster pertama yang dekat dengan area ladang.

Pada hari ke dua puluh Andragi meminta pak Paldrino memimpin merapikan kluster pertama sedangkan ia dan sebagian santri mulai membuka petak ladang yang pertama. Luas petak itu sekitar setengah lapangan sepak bola. Dengan demikian, seluruh area ladang itu dapat dibuat sekitar 400 petak, lebih banyak dari jumlah kapling rumah seluruh desa baru itu nantinya.  Mereka mulai membabat pepohonan dan semak tetapi  disana-sini tetap menyisakan beberapa pohon besar sebagai peneduh.

Pada hari ke dua puluh delapan, mereka telah memiliki sepetak ladang yang lumayan rapi, meski akar-akar pohon besar disana sini masih kuat menancap ditanah tetapi telah cukup banyak tanah kosong yang didapat dan subur tertutup humus. Dilain pihak, kluster pertama juga sudah terlihat rapi. Jalur jalan dan bakal parit telah terbentuk lumayan rata, pepohonan dan semak di area bakal kapling telah ditebang habis dan hanya menyisakan pada area taman.

Pada hari ke tiga puluh satu Andragi hanya memerlukan lima orang santri serta Brewok untuk membantunya di ladang, sedangkan sisanya diminta bergabung dengan pak Paldrino untuk meneruskan pembuatan kluster pertama. Brewok dan ke lima santri itu dimintanya membuat lubang berukuran 1x1x1 meter sebanyak mungkin dengan jarak masing-masing 1 meter. Dalam dua hari ke enam orang itu berhasil membuat 20 lubang.

Pada hari ke tiga puluh tiga ia memanggil mereka.

“Sobat Brewok dan para santri, terimakasih. Kalian telah menjalankan tugas dengan baik. Kini saatnya kita mulai menciptakan hasil ladang yang hebat,” katanya.

Mata mereka berbinar-binar, penuh optimisme.

 “Tugas kalian selanjutnya adalah mengisi lubang-lubang itu dengan humus, yaitu dedaunan yang sudah membusuk dan tanah yang subur hingga tiga per empatnya. Setelah itu sebagian dari kalian pergi ke desa mencari batang-batang ubi kayu atau singkong terbaik yang masih segar dan sebagian lagi mencari batang ubi kayu hutan yang banyak terdapat di hutan ini. Ukurannya sebesar ini,” katanya sambil mempertemukan ujung jempol tangannya dengan ujung jari telunjuknya.

“Oh, ya. Jangan lupa membawa contoh umbi singkongnya yang termasuk besar,” lanjutnya.

Pekerjaan itu terbilang ringan. Pada sore hari itu juga mereka berhasil mengumpulkan batang-batang singkong segar dan ubi kayu hutan cukup banyak, setelah sebelumya mengisi lubang-lubang dengan humus dan tanah subur. Juga sekeranjang umbi singkong. Ternyata rata-rata singkong Klapa Getir hanya bergaris tengah 2 hingga 3 cm, sama atau agak lebih kecil dari pada singkong di jaman kini yang biasa kita makan.

 Sementara itu kelompok pak Paldrino tengah memulai membuat parit yang mengelilingi kluster pertama. Parit itu berukuran 1  meter dengan kedalaman 1 meter. Pekerjaan ini tidak mudah karena banyak akar pohon besar yang masih menancap dan juga sering menemui bongkahan batu besar. Tetapi semuanya tampak bersemangat, karena tidak ada paksaan yang mengancam mereka. Semua antusias karena ingin melihat hasil pekerjaan yang baru pertama kali mereka lakukan.

Pada hari ke tiga puluh lima Andragi menjelaskan proyek singkongnya.

“Kita akan menggabungkan tanaman singkong dengan ubi kayu hutan. Caranya dengan memotong bagian atas batang singkong dan bagian bawah batang ubi kayu hutan secara miring, lalu kedua potongan miring itu disatukan dan diikat kuat-kuat. Setelah itu di tanam seperti biasa di dalam lubang yang sudah disediakan. Awas jangan sampai terbalik! Batang singkong yang ditanam, bukan batang ubi kayu hutan!” jelas Andragi.

“Perhatikan umbi singkong kita ini. Ukurannya hanya sebesar ini. Simpanlah ini untuk kita bandingkan nanti. Sisanya yang satu keranjang itu boleh direbus untuk di makan semua orang yang bekerja,” tambah Andragi.

“Berapa panjang kedua batang itu masing-masing?” tanya seorang santri.

“Cukup satu setengah jengkal masing-masing. Jelas ya?” tanyanya.

Mereka mengangguk dan segera mengerjakan permintaan Andragi itu. Hari itu juga pekerjaan itu selesai mereka kerjakan, bahkan sisa waktunya digunakan untuk membuat lubang-lubang baru. Andragi lalu meminta mereka menyiramnya dan sejak hari itu menugaskan dua orang untuk merawat tanaman baru mereka serta memperbanyaknya. Yang lain dimintanya bergabung dengan rekan-rekan mereka membuat parit di kluster pertama.

Pada hari ke empat puluh satu parit itu selesai dikerjakan sepenuhnya mengelilingi kluster pertama.

“Kemana air dari parit ini nantinya di alirkan?” tanya Paldrino.

“Dari kluster ini kita alirkan melalui tengah-tengah area ladang dan untuk sementara dibuang disana pada bagian lembah. Nantinya, saat sudah cukup tenaga kita akan teruskan mengalirkannya ke sungai yang terdekat,” jawab Andragi.

“Baiklah, besok kita mulai membuat parit membelah area ladang. Juga membuat jembatan diatas parit yang memotong jalan. Tentunya parit pembuangan itu harus lebih besar dari parit kluster,” kata Paldrino.

“Benar, pak. Kita buat selebar dua meter dan dalamnya satu setengah meter,” jawab Andragi.

“Kalau begitu, harus ada sebagian yang mengerjakan kayu guna membuat jembatan,” kata Paldrino.

“Ijinkan saya membantu mengerjakan kayu. Saya tahu sedikit soal pengerjaan kayu,” pinta Loyo.

“Bagus, kalau begitu! Karena selain untuk membuat jembatan, kelompok ini harus juga menyiapkan kayu-kayu untuk membuat rumah contoh. Sobat Loyo bisa membantu saya merencanakan jembatan dan bentuk rumah dengan menggunakan kayu yang telah banyak kita tebang itu,” kata Andragi.

Malam itu juga Andragi dibantu Loyo merancang jembatan kayu seperti tampak pada gambar di bawah ini.

(gambar disimpan dalam draft blogger)

 Jembatan itu bisa dirangkai lebih dahulu lalu tinggal dipasang pada tempatnya. Panjangnya 3 meter dan lebarnya 2 meter. Karena lebar jalan sekitar 6 meter, maka akan ada dua jembatan yang dipasang berjejer dan berjarak satu meter. Sederhana dan tampak indah.

Membangun Desa Baru Dari Awal

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #62 )


Selama dua hari Andragi mematangkan rencananya. Ia membuat dua gambar besar di dinding ruang pertemuan yang biasa mereka gunakan. Pada gambar yang pertama ia membagi area menjadi lima bagian utama yakni desa, sawah, ternak, ladang dan industri. Di luar itu adalah daerah suaka
berupa hutan dan segala isinya yang tidak boleh dijamah.

 (gambar disimpan di draft blogger)

Seluruh kegiatan harus disesuaikan dengan tempatnya masing-masing. Desa adalah tempat orang-orang hidup bermasyarakat, bersosialisasi atau kegiatan lain diluar empat bidang kegiatan tadi. Karena itu ia lalu juga menggambar secara rinci peta desanya. Gambar itu seperti peta perumahan yang biasa kita lihat di perusahaan pengembang perumahan masa kini, lengkap dengan jalan dan parit-paritnya.

Desa baru itu kira seluas 600 x 1000 meter, dibagi menjadi delapan kluster (dalam gambar diatas hanya terlihat empat kluster) dan setiap kluster terdiri atas delapan belas kapling, dilengkapi dengan 6 buah sumur dan tiga buah taman. Setiap kapling memiliki luas rata-rata 30x40 meter dan hanya boleh didirikan bangunan maksimal dua per tiga luas kapling. Dengan demikian daya tampung maksimal sebuah kapling ditentukan sebanyak 12 orang. Ini bisa menampung sebuah keluarga besar. Dan setiap kapling harus memiliki jamban atau septik tank sendiri sebesar 3x3x3 meter. Setiap kapling juga harus memiliki saluran pembuangan air cucian ke parit di depan atau di pinggir jalan.

(gambar disimpan di draft blogger)

Adapun parit-parit itu sendiri dihubungkan dengan gorong-gorong atau jembatan di bawah setiap jalan yang memotongnya dan bermuara pada sebuah saluran besar yang menyambung ke sungai sebagai tempat pembuangan akhir.

“Jadi, tampaknya kita harus membuat saluran-saluran air itu lebih dulu baru boleh membangun yang lain. Begitukah?” tanya Paldrino, saat ia menerangkan gambarnya.

“Benar pak Paldrino. Prinsipnya kita harus membangun prasarananya dulu seperti saluran air dan jalan, secara proporsional. Jadi, mulai dari yang bawah dulu baru boleh bangun yang diatasnya atau yang lebih tinggi,” jawab Andragi.

“Oh, kalau begitu sebelum mendirikan rumah harus dibuat dulu sumur, jamban dan saluran-saluran airnya,” kata Loyo.

“Benar, sobat Loyo. Sebelum itu beres jangan mendirikan rumahnya. Hasilnya akan kumuh karena orang segera sibuk dengan pekerjaan yang lain dan lupa membuatnya,” jawab Andragi.

“Wah, kelihatannya akan menjadi pekerjaan yang besar dan lama. Bagaimana kita memulainya?” tanya Paldrino.

“Ya, dan perlu tenaga yang banyak. Saya pikir kita jangan terlalu terburu-buru dalam mengerjakannya. Biarlah itu berjalan secara normal tetapi dengan rencana yang jelas ini saya yakin akan segera menarik minat para pemukim itu untuk membantu, asal mereka melihat manfaatnya. Tetapi sebaiknya rencana ini kita minta persetujuan kakek Blakitem dulu. Bagaimanapun, beliau yang memiliki wilayah ini,” kata Andragi.

“Ya, saya menangkap maksudnya. Tetapi adakah cara untuk segera menunjukkan mereka manfaat itu?” tanya Paldrino.

“Kalau kakek Blakitem setuju, maka saya pikir kita akan menggarap ladang terlebih dahulu. Saya memiliki sedikit ilmu untuk membuat hasil ladang yang hebat dalam enam bulan ke depan,” kata Andragi.

“Wah, saya ingin segera membantu menggarap ladang yang hebat itu!” kata Brewok.

Bedul Brewok memang selalu bergairah bila ada sesuatu hal hebat yang akan dibuat Andragi.  Tujuan pengembaraannya dulu juga di dorong oleh rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu-ilmu hebat yang dimiliki orang lain.

Sedang mereka asyik berbicara itu, tiba-tiba pintu rumah itu diketuk dan terdengar salam dari kakek Blakitem. Loyo segera berlari membukakan pintu dan mempersilakan orang tua itu masuk.

“Hoho..! Primasa memberi tahu saya kalau Anak Langit sudah membuat rencana besar yang digambarkan di dinding dan katanya sangat menarik untuk saya ketahui,” kata kakek itu.

“Betul kakek Blakitem. Saya mohon maaf telah menggambar dinding rumah ini dengan arang,” kata Andragi.

“Hoho.., itu tidak menjadi soal. Kan bisa dilabur lagi kalau sudah tidak perlu. Tetapi gambar apakah itu?” tanya kakek Blakitem.

Andragi menjelaskan dengan runtut mulai dari gambaran besarnya hingga detil-detil setiap simbol yang digambarkan. Orang tua itu manggut-manggut.

“Kelihatannya menarik dan bagus. Sebuah masyarakat baru akan lahir dari sini. Hmmm, kerja yang besar. Tentunya kalian perlu tambahan banyak tenaga untuk itu,” katanya.

“Betul kakek. Tetapi kami pikir kami akan berupaya dengan apa yang kami miliki ini dulu. Kalau hasilnya mulai tampak, akan datang orang-orang untk bergabung,” jawab Paldrino.

“Ya,,ya, ya. Tetapi saya akan menyuruh sebagian  besar santri saya untuk ikut dalam kegiatan ini sebagai tempat mereka belajar hal-hal yang baru yang tidak bisa saya ajarkan atau diperoleh dimanapun di negeri Klapa Getir ini. Ijinkan mereka membantu kalian,” kata kakek Blakitem.

Terimakasih kakek, atas kebaikan hati kakek,” kata Andragi dengan gembira. “Kami sangat senang jika para santri dapat membantu.”

“Nah, kalau begitu mulai besok mereka akan siap disini. Saya pamit dulu sekarang,” kata si kakek.

Mereka lalu meneruskan rencana memulainya. Hal pertama yang akan dilakukan besok adalah memasang patok-patok pada setiap sudut area, terutama area ladang  serta patok-patok pada sudut-sudut area desa khususnya pada kluster yang paling dekat dengan area ladang. Pekerjaan ini tidak mudah karena mencakup area yang luas dan sebagian berhutan, bertanah tanah  lembek dan penuh semak.

Esok harinya, pagi-pagi benar para santri telah berkumpul di depan rumah penginapan Andragi. Jumlah mereka tiga puluh dua orang. Sebagian telah membawa berbagai perlengkapan kerja, alat masak dan bahan makanan. Sebagian lagi segera mempersiapkan beberapa sampan untuk menyeberangi danau. Rupanya kakek Blakitem telah memikirkan hingga kebutuhan-kebutuhan kecil  namun vital itu. 

Tabib Sakti Pengusir Makhluk Halus

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #61 )


“Baik, saya percayakan tugas itu kepada kawan-kawan. Kasihan mereka yang menderita itu. Kehidupan mereka hancur karena banyak yang telah patah semangat setelah penghidupan mereka dihancurkan oleh para penguasa yang serakah dan bengis serta musibah yang seakan akrab dengan kehidupan mereka. Pikirkan juga bagaimana membangun semangat hidup mereka,” kata kakek Blakitem.

Banyak hal yang mereka bicarakan setelah itu. Andragi dan rekan-rekannya mendapat gambaran yang cukup jelas tentang daerah si kakek. Persoalan tampaknya saling kait-berkait, tetapi yang jelas mereka harus bisa menolong orang yang sakit lebih dahulu. Satu demi satu, yang mendesak yang didahulukan. Andragi berniat sedapat mungkin bisa membantu mengobati penyakit yang biasa timbul di daerah yang kumuh. Mereka sepakat untuk segera bekerja.

Esoknya mereka membagi kelompok menjadi dua, Andragi dan Loyo ditemani oleh Dwisa akan menuju pemukiman kumuh, sedangkan pak Paldrino dan Bedul Brewok akan ditemani oleh Primasa melihat-lihat seluruh wilayah kakek Blakitem. Andragi membawa semua obat-obatan yang dimilikinya dan sebagian alat-alatnya yang mungkin diperlukan. Loyo dan Dwisa menawarkan diri membantu membawakan ranselnya.

Kedua rombongan itu menggunakan perahu untuk menyeberangi danau dan dari seberang sana mereka berpisah. Rombongan Andragi langsung menuju ke pemukiman kumuh setelah sebelumnya memberi tahu Kepala Desa Kenteng tentang kedatangan mereka. Dengan senang hati Kepala Desa mengantar mereka ke tempat itu, sambil membawa reramuan pemberian kakek Blakitem.

Begitu memasuki mulut pemukiman kumuh itu, bau tidak sedap segera menyambut mereka. Udaranya terasa tidak sesegar udara di luar pemukiman. Jalan yang sempit dan kotor serta rumah-rumah mereka yang dibuat seadanya tidak memberi ruang yang cukup bagi anak-anak mereka beraktivitas. Sampah menumpuk di parit yang airnya enggan mengalir. Ayam, kambing dan binatang lain hidup menyatu dengan manusia.

Wajah-wajah lesu tak bergairah tersembul dari balik daun pintu manakala mereka lewat. Beberapa orang tampak acuh tak acuh dengan kehadiran mereka. Disana-sini sampah tampak berserakan.

Baru saja mereka melewati beberapa deretan rumah, tiba-tiba terdengar seorang ibu berteriak histeris menangisi anaknya yang tampaknya bertambah parah sakitnya. Para penduduk hanya menoleh, seakan sudah tahu apa yang akan terjadi, tanpa bisa berbuat apa-apa. Anak itu akan segera mati.

Andragi bergegas memburu ke dalam rumah tempat wanita itu menangis. Begitu pintu dikuaknya, tercium menyengat bau muntah bercampur dengan kotoran manusia dalam ruang yang sempit dan gelap. Ia segera menutup hidungnya dengan sehelai kain. Ia melihat tubuh seorang anak lelaki enam tahun tergolek lemas tak berdaya. Matanya menatap tak berkedip, suhu badannya panas tinggi. Disampingnya berceceran muntah dan bekas kotoran berupa cairan. Ibu anak itu hanya bisa melolong sedih sambil mengelus-elus kepala anaknya yang sudah tidak memberi reaksi apa-apa. Sementara ayahnya hanya menatap dari kejauhan, pasrah. Tampaknya ia sudah memutuskan untuk segera mempersiapkan kuburan bagi anak laki-lakinya itu.

“Mari saya bantu bu!” kata Andragi.

Ia segera membopong anak itu keluar rumah. Dibaringkannya tubuh yang demam itu pada sebuah papan yang terletak di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Ia lalu meminta Loyo mengambil air bersih dari sumur terdekat, membersihkan tubuhnya kemudian meminta ibunya mengganti pakaian anak itu dengan yang bersih. Dari dalam kotak P3K-nya, Andragi mengeluarkan kapsul obat yang berisi bensin. Sebenarnya ia ingin mencari alkohol tetapi tak dipunyainya. Dengan menggunakan kapas, dioleskannya cairan bensin itu di leher dan ketiak anak itu untuk meredakan demamnya.

 Penguapan yang cepat dari bensin itu sangat membantu mendinginkan suhu tubuh si sakit. Berkali-kali hal itu dilakukan, juga dengan mengompres dahinya menggunakan air dingin. Selang beberapa saat kemudian suhu badan anak itu mulai agak turun dan bola matanya mulai bergerak-gerak. Anak itu mulai sadar. Tak lama kemudian kepalanya sudah bisa menoleh, menyusul tangannya bisa digerakkan. Ibunya menangis gembira melihat perubahan itu! Dan para tetangga pun mulai berdatangan, menonton.

Andragi lalu mengeluarkan obat anti demam serta anti muntaber lalu meminumkannya kepada si anak. Juga ia meminta bapak anak itu mencarikan air kelapa muda. Berbeda dengan sebelumnya, kini dengan semangat lelaki itu segera memanjat pohon kelapa di belakang rumahnya dan memetik  tiga buah kelapa muda lalu membelah dan mengambil airnya. Andragi segera meminumkannya kepada si sakit. Tujuannya agar menawarkan racun di perutnya dan tidak kehabisan cairan tubuh.

Sementara itu rupanya obat anti demamnya segera bekerja dan suhu tubuh anak itu kini  berangsur normal kembali. Andragi lalu meminta ibu si anak mencari kunyit dan kapur sirih. Kunyit itu dimintanya di haluskan dan dicampur dengan kapur sirih lalu dioleskan ke perut si sakit sebanyak-banyaknya dan dibebatnya. Kurang dari satu jam kemudian terdengar anak itu mengeluarkan kentut.

“Ah, syukurlah. Dia akan sembuh!” kata Andragi yakin. “Beri dia air kelapa muda sesering mungkin supaya tidak kehabisan cairan tubuhnya dan membunuh racun-racun yang ada di perutnya. Juga sedikit kopi pahit,” anjurnya.

“Terima kasih tuan muda,” kata ibu si anak.

Orang-orang yang berkerumun melihatnya kagum. Sebagian ada yang berlari mengabarkan saudaranya tentang adanya tabib sakti. Akibatnya berdatanganlah para tetangga memintanya mengobati keluarga mereka yang sakit. Dengan sabar Andragi melayani mereka yang ternyata semuanya menderita diare. Karena tidak memiliki oralit ia memberi minum larutan garam dan gula sebagai penggantinya. Juga air kelapa muda dan menganjurkan agar berusaha memasukkan makanan ke tubuh si sakit.

Ia lalu meminta Kepala Desa memberitahu semua warga untuk membuat jendela yang besar agar udara segar dan sinar matahari masuk ke dalam rumah dengan bebas. Tentu sulit bagi Andragi untuk menjelaskan sebab dari penyakit itu. Di jaman itu mereka belum mengenal virus, bakteri dan kuman penyakit yang menyebabkan mereka sakit. Ia hanya bisa mengatakan kalau makhluk-makhluk halus yang jahat telah masuk ke dalam rumah mereka dan tidak mau keluar. Mereka akan keluar jika siang hari dan akan masuk jika malam hari. Karena penduduk mengira itu untuk mengusir roh jahat yang telah masuk ke rumah-rumah mereka, mereka bersedia melakukannya.  Ia juga meminta mereka agar tidak  buang air besar sembarangan serta rajin membersihkan diri.

Selama tiga hari berturut-turut Andragi bersama Loyo dan Dwisa tinggal di tempat Kepala Desa demi memberi bantuan pengobatan. Hasilnya cukup baik. Mereka yang sakit berangsur sembuh dan yang jatuh sakit semakin sedikit. Penduduk merasa sangat berterimakasih atas kehadiran tiga orang dari pesanggrahan kakek Blakitem itu. Mereka sendiri sekarang tahu apa yang yang harus dilakukan jika penyakit itu datang.

Sekembalinya ke pesanggrahan Batutok, Andragi mulai menyusun rencananya. Berdasarkan informasi yang digambarkan oleh pak Paldrino ia memilih daerah di seberang danau sebagai daerah pemukiman baru. Secara panjang lebar ia menjelaskan rencana besarnya yang pada intinya menciptakan tujuan dan tatanan kehidupan yang baru bagi masyarakat kecil yang miskin itu. Sasaran jangka pendeknya tentulah perbaikan ekonomi mereka, tetapi secara mendasar harus sudah disiapkan rencana utuhnya yang saling menunjang dengan kesehatan. Kalau dua hal ini sudah tercapai, niscaya lebih mudah untuk mengajak mereka mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang lebih baik.

“Tetapi, bagaimana mengajak mereka pindah sebelum mereka melihat buktinya?” tanya Paldrino.

“Pak Paldrino benar. Kita harus memulainya sendiri dulu. Kita bangun diri kita dulu hingga orang lain melihat hasilnya dan tertarik untuk bergabung. Dari situ kita bisa menetapkan nilai-nilai yang kita anut,” jawab Andragi.

“Saya percaya sobat Andragi mempunyai ilmu hebat masa depan tentang pertanian atau peternakan!” kata Loyo.

“Ah, tidak banyak, karena saya tidak secara khusus mempelajarinya. Tetapi kita bisa mencobanya dari yang pernah saya lihat,” jawab Andragi.

“Saya akan membantu sekuat tenaga saya untuk itu!” kata Brewok.

“Kami juga!” kata yang lain serempak.

Melihat Bencana Sebagai Peluang

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #60 )

Enam

Beledug Poruteng



Kita kembali melihat perjalanan Andragi dan rombongannya.

Tentu anda masih ingat, setelah berpisah dengan Lugasi, mereka menuju Poruteng dan dari sana ke desa Kenteng. Dari desa itu mereka diantar oleh seorang anak menuju pesanggrahan Batutok, tempat kediaman kakek Blakitem.

Memasuki wilayah itu, dari sebuah bukit yang agak tinggi mereka melihat dengan jelas di hadapan mereka berdiri dengan gagah dinding- dinding gunung batu karang yang menjulang tinggi seakan tembok raksasa yang memisahkan dunia mereka berada dengan dunia di baliknya, yakni wilayah provinsi Landipa. Sedangkan di arah sebaliknya, dimana mereka berada, terhampar dataran luas yang sebagian hijau subur penuh pepohonan, sebagian berupa hamparan hijau tetumbuhan perdu, sebagian berupa areal yang berwarna-warni penuh teumbuhan beraneka warna, dan tampak pula sebuah telaga berwarna biru tersembul diantara pepohonan. Betul-betul kombinasi alam yang unik. Tembok gunung batu raksasa itu seakan sebagai pelindung alam di depannya agar tidak terusik.

Mereka terus berjalan melewati dataran dan lembah yang subur  itu hingga akhirnya mulai memasuki kaki gunung batu karang. Memasuki kaki gunung itu, di sekeliling mereka hanya ada batu dan batu, meski sebenarnya dibalik bebatuan itu tersembunyi petak-petak tanah subur yang terhalang dinding-dinding batu. Akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan seperti pendopo yang terbentuk dari batu karang alami. Ada tangga-tangga batu menuju  kesana yang seakan-akan memang disediakan oleh alam.

Setiba disana mereka dijemput oleh seorang santri yang mengantar mereka ke sebuah ruangan dalam gua batu alam yang tampak kokoh namun asri. Anak yang mengantar mereka segera mohon diri, tetapi ditahan oleh santri muda itu.

“Tunggu dulu, adikku. Ada oleh-oleh dari kakek Blakitem untuk warga di desamu. Dan juga untukmu,” kata santri itu.

Ia mempersilakan mereka duduk lalu masuk ke dalam. Sesaat kemudian ia keluar dan membawa dua buah bungkusan.

“Ini oleh-oleh dari kakek Blakitem. Di dalam bungkusan ini ada obat-obatan untuk orang yang sakit perut dan demam. Berikan itu kepada Kepala Desa Kenteng. Sedangkan bungkusan yang satu ini berisi makanan dan minuman yang telah dicampur ramuan, untuk kamu. Kamu boleh memakannya dimana kamu suka,” kata santri itu.

“Terimakasih kakak dan kakek Blakitem. Saya mohon diri sekarang,” jawab anak itu.

Ia segera meninggalkan tempat itu setelah mendapatkan ucapan terimakasih dari Andragi dan rombongannya. Santri itu kembali ke dalam guna menyiapkan minuman bagi tamunya. Sesaat kemudian muncul seorang pria tua berambut hitam panjang dengan sosok yang masih tegap meski kulitnya yang berwarna hitam legam telah sangat keriput, tak bisa menyembunyikan umurnya yang sudah sangat tua.

“Selamat datang, selamat datang tamu-tamuku, “ kata kakek hitam itu. “Saya Blakitem, sahabat kakek Bulesak. Sudah lama saya menunggu kedatangan pak Paldrino, Anak Langit, Loyo, Bedul Brewok serta keluarga pak Paldrino semua,” kata kakek Blakitem sambil melihat mereka satu persatu kala menyebut nama-nama mereka.

Mereka heran, bagaimana mungkin kakek hitam ini bisa mengetahui mereka satu-persatu, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

 “Terimakasih kakek Blakitem,” kata Paldrino. “Kami dianjurkan kakek Bulesak untuk datang kemari meminta perlindungan dari kakek Blakitem.”

“Hohoho...Tidak!  Tidak demikian!” sergah kakek Blakitem. “Saya tidak bisa melindungi kalian! Justru kalianlah yang harus melindungi kami!” matanya melotot.

Andragi dan kawan-kawan menjadi ciut melihat perangai kakek Blakitem yang katanya murah hati itu. Kenapa kini dia tidak mau menolong mereka?

“Kami mohon maaf,” kata Paldrino. “Kami hanyalah orang-orang yang harus melarikan diri mencari tempat yang aman dari kejaran pasukan pemerintah. Kami tidak bermaksud menyusahkan kakek Blakitem atau orang lain,” jelas Paldrino.

“Nah, itu betul! Hohoho!” katanya sembari tertawa. “Perlindungan hanya bisa dilakukan oleh diri kalian sendiri, tidak oleh siapa-siapa. Semangat itu perlu kita tanam dalam diri kita. Dan melihat sosok kalian, justru kalian bisa melindungi dan membantu orang lain yang menderita. Saya mengharapkan itu!” jelasnya.

Diam-diam Andragi mulai memahami arah maksud kakek Blakitem.

“Maaf, kakek Blakitem,” sela Andragi. “Untuk maksud itu kami datang kemari, tetapi kami memerlukan tempat berpijak. Mungkin untuk sementara kami boleh menumpang tidur di tanah kakek Blakitem,” kata Andragi.

“Hohoho..! Tanah ini milik Sang Pencipta, bukan milikku! Manusia sajalah yang menciptakan batas-batas sebagai tanda kepemilikannya karena sifatnya yang rakus. Kalian boleh menggunakannya, memeliharanya dan membangunnya. Tetapi jangan merusaknya! Sang Pemilik tentu tidak senang jika miliknya dirusak bukan? Sebaliknya Dia tentu senang jika milikNya dirawat dan dibangun demi kebaikan seluruh kehidupan yang telah diciptakanNya. hohoho..!” jelas kakek Blakitem.

“Terimakasih kakek Blakitem,” kata Paldrino. “Kami akan berusaha sebaik dan sekuat tenaga kami.”

“Nah, sekarang kita semua makan siang dulu. Setelah itu kalian, terutama para anak-anak dan wanita bisa beristirahat di tempat yang telah kami persiapkan. Nanti sore saya akan mengajak kalian melihat-lihat daerah ini dan sekitarnya agar kita bisa merencanakan apa yang bisa kalian perbuat,” kata kakek itu.

Mereka lalu diajak ke ruangan makan dan diperkenalkan dengan beberapa santri senior yang diminta berkumpul oleh kakek Blakitem. Mereka semua tampak ramah dan menyenangkan.

“Apa gerangan yang menahan kalian, sehingga baru tiba sekarang?” tanya kakek Blakitem setelah selesai makan.

Paldrino menceritakan dengan rinci semua kejadian yang mereka alami di Gunung Kembar, di Rajapurwa hingga pertemuan mereka dengan Anak Setan. Kakek Blakitem tampak tersenyum gembira mendengar pengalaman mereka, terutama sikap mereka yang suka menolong sesama, termasuk sikap si Anak Setan pemuda pendek gemuk itu.

“Mungkin benar, kalian memang telah dipilih oleh Dewa Yang Maha Esa untuk melakukan perubahan di negeri yang kacau ini. Kau, Anak Langit, tentu memiliki pengetahuan yang sangat maju dan berguna bagi pembaruan yang lebih baik. Saya sependapat dengan kakek Bulesak! Kami mengharapkan kalian bisa berbuat banyak,” kata kakek Blakitem.

Setelah mereka makan,  dua orang santri,  Primasa dan Dwisa, mengantar mereka keluar melalui pintu lain di bagian samping belakang gua itu. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan yang begitu indah di bawah kaki mereka. Diantara bebatuan yang keras itu terhampar lembah subur dan bukit-bukit landai seakan menempel pada batu-batu karang. Di depannya terbentang sebuah danau biru yang terlihat sepotong saat mereka berjalan dari desa Kenteng tadi. Para santri mengajak mereka ke bukit-bukit landai persis di bawah gua. Disana, menempel pada bukit-bukit karang, sederetan rumah yang berjarak rapi satu dengan lainnya. Diantara rumah-rumah itu terdapat taman dan pepohonan yang tertata rapi dan asri.

“Kami memiliki tiga tempat seperti ini di bagian lain gunung karang ini. Sebagian dari kami tinggal disini, sedangkan yang lain di dua tempat itu atau di bangunan pesanggrahan tadi. Pak Paldrino dan keluarga bisa menempati   satu rumah yang di tengah itu, sedangkan yang lain silakan menggunakan tiga buah rumah di sampingnya. Kami menempati rumah-rumah yang paling luar,” kata santri Primasa.

“Terimakasih, sobat Primasa,” kata Andragi.

Mereka lalu membagi tempat sesuai anjuran Primasa dan kemudian beristirahat. Sore harinya seperti sudah dijanjikan, kakek Blakitem datang dan mengajak Paldrino, Andragi, Loyo dan Brewok, ditemani oleh Primasa dan Dwisa. Mereka menuju tepi danau dan dari sana memandang ke arah desa Kenteng. Sambil duduk di bawah sebuah pohon yang rindang, kakek Blakitem menceritakan keadaan di daerah pemukiman yang banyak dihuni para pendatang yang miskin dan tersingkir itu.

“Sekarang daerah pemukiman disana itu telah menjadi kumuh, kotor dan banyak penyakit. Mereka terlalu miskin untuk memelihara dan mengatur kehidupan mereka sendiri. Aku sendiri hanya bisa menyediakan tempat itu tanpa mampu memberikan yang lebih baik dari itu. Semula kehidupan mereka di pemukiman itu agak lumayan dan sudah mulai membaik, tetapi bencana banjir yang menimpa pemukiman itu telah menghancurkan semua yang sudah mereka awali. Sekarang Kepala Desa Kenteng sedang mencoba membantu mereka agar bisa kembali seperti sebelum banjir, tetapi kebanyakan mereka sudah patah semangat hidupnya karena berkali-kali terkena musibah dalam hidupnya. Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka, menurut kawan-kawan sekalian?” tanya kakek Blakitem.

“Mungkin kita harus menatanya dari awal lagi,” jawab Andragi.

“Maksud nak Andragi?” tanya kakek Blakitem.

“Menurut saya, ada baiknya kita tidak perlu berusaha mengembalikan kepada keadaan seperti sebelumnya. Keadaan yang sudah porak poranda itu harus menyadarkan mereka untuk memulai sesuatu yang baru dengan tujuan yang baru. Bagaimanapun juga keadaan sudah tidak seperti dulu lagi. Karena itu kita harus mempersiapkan ulang pemukiman mereka, merencanakan dengan seksama tata wilayah yang sehat serta merencanakan ulang kehidupan ekonomi mereka,” jawab Andragi.

“Wah, saya tidak paham itu,” kata kakek Blakitem.

Ia memandang tajam ke arah Andragi.

 “Tetapi kedengarannya menarik soal merencanakan ulang kehidupan ekonomi mereka. Saya sungguh sependapat dengan hal itu. Bukankah kita diajarkan untuk melihat sebuah bencana atau penderitaan sebagai sebuah kesempatan untuk berubah? Ah, saya sendiri kenapa jadi lupa dengan nasihat yang sering saya berikan kepada para santri, terutama kepada murid saya yang seorang itu!” kata kakek Blakitem sambil mengetuk-ngetukkan keningnya denga jari telunjuknya.

“Murid yang mana, kakek?” tanya Andragi.

“Ah, lupakan saja dia!” kata kakek itu menepis pertanyaan Andragi.

“Ya, masalah ekonomi itulah masalah utama mereka,’ lanjut kakek Blakitem. “Saya tidak begitu paham soal kehidupan ekonomi. Sementara itu mereka hanya bertani dan beternak kecil-kecilan, tidak memiliki modal sama sekali. Sebagian malah menjadi pengemis atau atau lontang-lantung saja, sekarang. Adakah cara menolong mereka? Bagaimana cara membangun ulang kehidupan mereka?”

“Akan saya pikirkan sesuatu kakek. Tetapi ijinkan kami melihat keadaan mereka dan mempelajari keadaan alam di wilayah kakek ini. Mungkin ada yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka,” jawab Andragi.

Rencana Merampok Kembali Harta Milik Rakyat

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #59)


Sekitar dua belas pekan Lugasi tinggal di tempat itu, hingga suatu petang Hobijo kedatangan seorang tamu.  Rampoli namanya. Ia teman lama Hobijo dan masih saudara dengan Adipati Megalung yang diracun oleh orang-orang Jukamu demi memuluskan anak Gubernur Marsidu, Cadipa, menjadi Adipati Megalung. Ia membawa kabar penting tentang rencana Cadipa, yang sekarang sudah menjadi adipati Megalung, untuk mengirim hadiah kepada pamannya Kepala Negeri Klapa Getir, Sudoba dan kepada Perdana Menteri Jukamu.

“Saudara Rampoli, apa yang membawa anda ke tempat ini?” Tanya Hobijo.

“Bisakah, kita bicara berdua saja?” pinta Rampoli karena di ruangan itu ada Lugasi dan Angkuso.

“Kita bisa bicara disini bersama ke dua anak saya ini,” jawab Hobijo.

“Baiklah, saya bicara langsung saja, kata Rampoli mengalah.

Ia percaya betul kepada Hobijo.

“Sepeninggal mati saudara saya Adipati Megalung, keluarga almarhum hidup dalam tekanan dan ancaman. Seluruh harta benda keluarga dekat kami itu diambil paksa oleh Adipati baru itu. Rakyat juga diperas dengan upeti yang mahal. Kalau dulu setelah panen rakyat wajib menyerahkan seper enam belas dari hasil panennya kepada kadipaten, sekarang adipati baru menetapkan seper delapan dan diserahkan di muka, sebelum rakyat menghasilkan apa-apa. Banyak rakyat yang kemudian tidak berhasil panen sebanyak perkiraan semula menjadi semakin miskin, karena yang seper delapan dalam kenyataannya menjadi seper empat dari hasil sebenarnya.”

Ia berhenti menahan gejolak di hatinya.

“Sekarang kami tahu kalau hasil panen rakyat yang diambil paksa itu dimaksudkan untuk memberi hadiah kepada Kepala Negeri dan Perdana Menteri sebagai balas jasa telah memuluskannya menjadi Adipati. Kami merasa dirampok demi kesenangan mereka. Karena itu kami tidak bisa menerima perlakuan seperti itu!”

“Maksud saudara Rampoli?” tanya Hobijo.

“Kami akan merampok kembali harta kami, harta rakyat Megalung!” jawab Rampoli.

“Bagaimana menurut anakku Sehut?” Tanya Hobijo.

“Merampok rakyat tak berdosa adalah perbuatan tidak baik. Tetapi mengambil kembali dari si perampok bisa dibenarkan untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Ini sama seperti merobohkan pencopet di pasar dan mengambil paksa barang yang dicopetnya lalu memberikan kembali ke pemiliknya. Saudara Rampoli hanya akan mengembalikannya kepada pemiliknya bukan?” tanya Sehut.

“Benar! Itu maksud kami!” jawab Rampoli.

“Kalau begitu, sepatutnya kita dukung usaha saudara Rampoli,” kata Sehut.

“Baiklah, saya juga berpikir begitu,” kata Hobijo. “Tetapi apa rencana saudara Rampoli?”

“Mereka bisa saja lewat daerah sini lalu memasuki hutan menuju langsung ke Kotaraja atau bisa juga menuju kota Gurada lebih dahulu dan dari sana baru menuju Kotaraja lewat celah Empat Gunung atau lewat pantai yang agak jauh. Sebaiknya kalau mereka bisa kita cegat sebelum menuju kota Gurada,” Jelas Rampoli.

Mereka lalu berunding mencari cara yang terbaik. Tetapi Lugasi menyarankan agar keuarga Hobijo tidak perlu turut serta karena sedang membangun perbaikan kehidupan rakyat melalui pertunjukan harimau. Jangan sampai peristiwa ini menghancurkan usaha yang telah lama mereka persiapkan dengan berlatih begitu keras. Ia berjanji kepada Rampoli akan membantu sepenuhnya rencana Rampoli itu.

“Karena itu kita harus mencari tempat lain sebagai markas. Apakah saudara Rampoli punya tempat dimana kita bisa mempersiapkan rencana itu dengan tenang?”

“Saya kira kita bisa menggunakan tempat persembunyian saya selama ini di Batu Tiga. Tempat itu cukup terpencil, jauh dari tangan-tangan aparat pemerintah. Hanya ada satu dua penduduk yang saling berjauhan tempat tinggalnya,” jawab Rampoli.

Mereka berdua lalu minta diri menuju Batu Tiga. Hobijo meminjamkan mereka dua ekor kuda dan bekal uang yang lumayan banyak. Sebelum pergi, Lugasi berpesan agar kegiatan pertunjukan harimau itu harus terus dijalankan seperti selama ini.

“Baik nak Sehut. Kami juga akan tetap membagi hasilnya dengan penduduk setempat,” kata Hobijo.

“Terimakasih pak Hobijo. Semoga hasilnya akan selalu baik,” kata Lugasi.

Perjalanan menuju Batu Tiga memakan waktu satu hari. Menjelang tengah malam barulah mereka sampai di tempat persembunyian Rampoli. Rumah itu tidak terlalu besar tetapi terlindung dibalik kerimbunan pohon dan tebing-tebing batu yang mengelilinginya. Mereka langsung beristirahat, tidur. Keesokan harinya baru mereka membicarakan rencana mereka dengan tenang.

“Apa yang bisa kita berdua lakukan untuk merampok harta itu. Tentu mereka menggunakan pengawalan yang kuat,” tanya Rampoli.

“Ya, tentu kita berdua tidak cukup. Kita harus melibatkan beberapa orang yang sealiran dengan tujuan dan niat kita,” jawab Lugasi.

“Apakah saudara Sehut, mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Rampoli.

“Ya, beberapa. Tetapi berapa banyak yang harus terlibat tergantung dari cara apa yang akan kita gunakan dan berapa besar kekuatan pengawalan mereka. Kalau menggunakan kekerasan tentu perlu banyak tenaga jika pengawalannya kuat. Tetapi kalau kita gunakan dengan cara mengelabui, tentu tidak perlu banyak orang. Saya berpikir sebaiknya kita gunakan cara mengelabui saja,” jelas Lugasi.

“Bagaimana caranya?”

“Kita gunakan penyamaran sebagai pedagang makanan dan minuman pada tempat yang akan menjadi peristirahatan mereka. Tetapi yang perlu sebelumnya adalah mencari tahu rute perjalanan mereka dan kekuatan pengawalannya,” jawab Lugasi.

“Kalau saja kita bisa mencegat utusan mereka, Laja, mungkin kita bisa tahu rencana mereka. Sayangnya dia bisa berlari sangat cepat dan berjarak jauh. Biasanya ia akan mendahului rombongan untuk membawa pesan. Dia tinggal bersama gubernur Gurada, ayah adipati Cadipa. Saya menduga dia pasti suatu saat akan diutus untuk itu,” kata Rampoli.

“Orang yang berlari sangat cepat! Rasanya saya pernah melihatnya,” pikir Lugasi.

“Kapan pengiriman itu akan dilakukan?” tanya Lugasi.

“Sekitar seratus hari lagi, menjelang Kepala Negeri berulang tahun,” jawab Rampoli.

“Kalau begitu kita masih punya waktu. Bisakah sobat Rampoli berusaha mendekati Laja dan mencari tahu tentang pengiriman itu? Sementara itu saya akan mencari beberapa orang teman yang mumpuni,” kata Lugasi.

“Saya akan coba. Kalau begitu saya akan ke Gurada dan mencoba menjalin hubungan dengan Laja,” jawab Rampoli.

“Baik, tetapi jangan bertindak sendiri dulu. Kita bertemu disini lagi sekitar dua puluh hari menjelang ulang tahun Kepala Negeri atau delapan puluh hari dari sekarang,” kata Lugasi.

Mereka lalu berpisah. Lugasi berpikir ia harus segera menemui Anak Langit dan pak Paldrino untuk memenuhi janjinya bertemu dengan mereka setelah mencari tahu keberadaan keluarganya di Buntung. Meskipun ia tidak tahu pasti dimana mereka menetap, ia bertekad menuju Poruteng sesuai tujuan mereka saat sebelum berpisah dulu serta informasi dari teman-teman di Gunung Kembar.

Ia segera mengarahkan langkahnya menuju ke Guhari, tempat Hobijo. Dari sana berencana akan menyeberangi sungai Priga, di wilayah Dogean, lalu menuju warung pak Warku. Ia ingin melihat perkembangan usaha pak Warku sepergi dirinya. Setelah itu barulah ia menuju Poruteng dan mencari Diguldo, pamong negeri yang pernah ditolongnya saat dirampok dulu. Sebagai Pamong Negeri, Diguldo mungkin tahu keberadaan kawan-kawannya itu, apalagi istrinya adalah saudara kembar istri pak Paldrino.

   Perjalanan Lugasi tidak menemui rintangan yang berarti. Setelah mampir di rumah Hobijo dan meninggalkan pesan bagi para muridnya untuk terus membantu rakyat miskin dan melestarikan gunung dan penghuninya, ia menyeberangi sungai Priga di wilayah Dogean. Para perompak yang sering menyamar sebagai nelayan tidak berani mengusiknya karena tidak ingin bernasib seperti rekan-rekan mereka yang menjadi buntung tangan akibat berani mengganggu makhluk pendek dan bulat ini. Ia tiba di warung pak Warku saat hari menjelang malam. Pemilik warung itu sangat terkejut namun gembira bukan main saat melihatnya lagi. Dengan bangga ia memperkenalkan kepada para tamu yang ramai berkunjung disana tentang anak muda yang rajin dan ramah ini.

Ternyata sebagian dari mereka masih mengingatnya dengan baik dan menawarkan padanya untuk duduk di meja mereka. Perutnya yang memang lapar tidak menolak setiap ajakan itu, hingga ia menjadi benar-benar kekenyangan. Meski begitu ia tetap menerima ajakan para tamu satu persatu dengan ramah dan rendah hati. Tidak ada yang tidak menyukainya. Keberadaannya selalu membawa rasa tenteram dengan keceriaannya yang tulus dan alami.

Akhirnya, ia diminta oleh dua orang untuk duduk di meja mereka. Meski Lugasi meminta syarat ia tidak akan makan lagi, kedua orang itu tetap gembira dan ngotot memintanya. Ia pun duduk di meja mereka.

“Selamat datang Anak Setan. Sobat Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka menyampaikan salam untuk sobat,” kata seorang dari pengundanganya.

“Ah, salam kembali. Apa kalian dari sana?” tanya Lugasi.

“Kami berasal dari sana dan baru dari Poruteng diutus untuk mencari tahu keberadaan sobat kita dan kawan-kawannya yang dulu menyeberangi danau bersama sobat Anak Setan,” jawabnya.

“Oh, begitu? Kebetulan sekali! Aku memang sedang mencoba mencari tahu mereka. Apa kalian telah tahu dimana mereka tinggal?” tanya Lugasi.

Ia kini tahu kedua orang itu adalah anak buah dari Gunung Kembar, pimpinan Jotiwo dan Gadamuk. Rupanya kedua pimpinan itu sangat memperhatikan  keselamatan Anak Langit di negeri mereka ini, yang tentunya masih asing bagi Anak Langit.

“Ya, kami akhirnya bisa menjumpai mereka. Semuanya dalam keadaan baik. Mereka sedang mencoba membangun sebuah kehidupan baru disana,” jawab kawan satunya.

Mereka lalu menceritakan tempat tinggal Anak Langit dan kawan-kawannya di Batutok, dekat dengan desa Kenteng wilayah kawedanan Nunggalan, kadipaten Poruteng.

“Mereka sedang membangun sebuah komunitas baru bagi masyarakat miskin yang terpaksa menyingkir akibat pemiskinan dan tindak sewenang-wenang penguasa yang berpihak pada pemilik kekayaan. Masyarakat kecil itu tahu mereka bisa mendapat tempat berteduh di wilayah milik kakek Blakitem yang murah hati. Tetapi kehidupan mereka yang serba terbatas serta tiadanya pengaturan tata kehidupan yang baik telah menyebabkan tumbuhnya wilayah-wilayah kumuh dengan berbagai penyakit. Kakek Blakitem meminta Andragi dan pak Paldrino membantu masyarakat yang menderita itu, “ cerita kedua utusan Gunung Kembar itu.

“Ah, bagus. Kalau begitu saya bisa langsung menuju kesana besok,” kata Lugasi.

“Ya, sobat bisa pergi ke desa Kenteng dan bertanya arah tempat tinggal mereka,” jawab seorang utusan dari Gunung Kembar itu.

Esoknya, pagi-pagi sekali Lugasi telah mohon diri kepada pak Warku untuk meneruskan perjalanannya. Meskipun orang tua itu mencoba menahannya, ia tetap pada niatnya untuk segera melanjutkan perjalanan. Ia berjanji akan selalu mampir setiap kali melewati wilayah itu. Karena itu, Pak Warku hanya bisa memberinya banyak bekal makanan untuknya dan mendesaknya sarapan dulu sebelum berangkat.

Tak perlu diceritakan panjang lebar perjalanannya ke Kenteng. Ia tiba di di Poruteng dan segera mendapat penjelasan arah menuju desa Kenteng. Dalam perjalanan dari Poruteng ke desa Kenteng  itu, kerinduan untuk segera bertemu dengan anak muda yang memiliki segala ilmu aneh menyergapnya. Ia mencoba membayangkan wajah-wajah Andragi, pak Paldrino, Loyo, dan yang lainnya di tempat baru mereka. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, apa saja yang telah dilakukan oleh Anak Langit selama ini, keajaiban apa yang telah dibuatnya lagi, bagaimana dia membangun kehidupan baru masyarakat yang miskin, dan sebagainya, dan sebagainya.

Anda tentunya  ingin tahu juga apa yang dilakukan Andragi setelah bertemu kakek Blakitem. Memang, sebuah tugas besar telah disodorkan baginya oleh kakek yang murah hati itu. Ikuti kisahnya berikut ini..

KOMENTAR ANDA