Jaira Berjanji Tidak Akan Menindas Rakyat

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #53)


Tangka segera membantu komandannya duduk bersila. Kepala Jaira yang masih pusing membuatnya tak mampu menyangga tubuhnya sendiri.

“Beri dia air putih. Dan bawakan sekantung air untukku!” perintahnya lagi.

Mereka segera melakukan apa yang dimintanya. Setelah meminumkan air putih, Lugasi lalu mengguyurnya dengan air dingin sambil menempeleng pipi kiri dan kanannya.  Tidak berapa lama kemudian wajah Jaira tampak mulai memerah pertanda kesadarannya mulai pulih. Pusing di kepalanya sudah mulai berkurang dan perutnya sudah kembali tidak bergolak. tetapi tubuhnya masih terasa lemas seakan tak bertulang.

“Sekarang, sebut namamu!” perintah Lugasi.

“Aku Jaira, komandan Pasukan Rajapurwa.” kata Jaira pelan.

“Bagus! Berarti kau sudah sadar!” kata Lugasi.

“Sekarang kau dengar baik-baik Jaira,” lanjutnya. “Kalau kau mau jadi Adipati, aku bisa membantumu tanpa perlu banyak tenaga dan biaya. Apa kau mendengarku?”

“Ya, saya bisa mendengar,” jawab Jaira.

 “Bagus! Aku tahu kalau kau sudah mendapat restu dari pusat. Tetapi tetap akan banyak biaya dan tenaga yang kau harus keluarkan untuk bisa memaksa rakyat memilihmu. Sedangkan dengan bantuanku kau tidak perlu semua itu, aku yang akan membuat rakyat memilih kamu. Kau Mengerti?!” hardik Lugasi.

Jaira mengangguk. Kesadarannya sudah sepenuhnya kembali.

Dia merasa ngeri dengan perangai anak muda aneh ini. Mungkin saja dia Anak Langit yang memiliki banyak kesaktian. Ia ingat pesan Jukamu, kalau tak bisa mengalahkan sebaiknya rangkul dia. Yang penting negeri tidak bergolak.

“Tetapi ada syaratnya dan sangat ringan! Kau mau dengar?” tanya Lugasi.

“Saya mendengarkan,” jawab Jaira.

“Syaratnya, mulai saat ini dan saat kau menjadi Adipati, kau  tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Tidak boleh menindas rakyat. Kau harus bertindak Adil. Hanya itu! Tetapi kalau kau mengingkarinya, aku dan pasukan silumanku akan menghancurkan lagi Rajapurwa seperti Adipati pendahulumu! Kau sanggup?” desak Lugasi.

Jaira mengangguk.

Dikepalanya yang penting jadi Adipati, dan gratis lagi. Lagi pula anak muda ini mungkin benar Anak Langit atau Tuan Mata Setan pemimpin pasukan Gunung Kembar. Dia tidak mau bernasib seperti bakal pendahulunya itu.

“Nah, kalau begitu, kau dan semua prajuritmu harus berbaris rapi dan menutup mata untuk membuat sumpah itu. Kau bersedia?!” tanya Lugasi.

“Ya, saya bersedia,” jawab Jaira.

“Bagus! Sekarang berbaris dan tutupi mata kalian dengan kain yang rapat-rapat!” perintahnya.

Mereka segera berbaris rapi, kecuali enam orang terluka yang pingsan kesakitan, lalu menutup mata mereka rapat-rapat. Setelah memastikan mata mereka semuanya tertutup rapat, Lugasi lalu memberi isyarat. Seketika itu juga bermunculan berpuluh-puluh kepala dari balik hutan di samping jalan itu tanpa menimbulkan suara. Dengan hati-hati mereka mendekat dan mengelilingi pasukan itu. Setelah semua berkumpul, Lugasi lalu memberi aba-aba.

“Nah, sekarang kau Jaira dan prajurit harus mengucap janji kalian. Kau harus mengucapkan dengan namamu ‘aku Jaira’ sedangkan para prajurit harus mengucapkan dengan ‘kami prajurit Klapa Getir’. Kalian harus menirukan dengan sungguh-sungguh. Mengerti?!” tanya Lugasi.

“Ya, kami mengerti!” jawab mereka serempak.

“Ya! Mulai!” perintahnya.

“Saya Jaira, berjanji,”

“Kami Prajurit Klapa Getir berjanji”

“Akan menjadi Adipati Rajapurwa yang adil,”

“Akan menjadi prajurit Klapa getir yang adil,”

“Tidak sewenang-wenang kepada rakyat”

“Tidak sewenang-wenang kepada rakyat”

“Tidak menindas dan memeras rakyat”

“Tidak menindas dan memeras rakyat”

“Semoga Dewa Maha Tunggal membimbing saya”

“Semoga Dewa Maha Tunggal membimbing kami”

“Demikian janji saya, Jaira”

“Demikian janji kami, parajurit Klapa Getir”

Begitu selesai mengucapkan janji mereka, tiba-tiba meledaklah sorak-sorai meriah dari rakyat yang mengelilingi mereka.

“Hidup Jaira! Hidup Adipati Rajapurwa! Hidup Prajurit Klapa getir!”

Dengan gugup mereka membuka mata, dan melihat di sekeliling mereka ada ratusan orang berkumpul disana.

“Hidup Adipati kita Jaira!” teriak Lugasi.

“Hidup Adipati kita Jaira!” teriak khalayak dengan gemuruh.

Jaira terheran-heran, ia tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi.

“Lihat Jaira! Rakyat akan mendukungmu jika kau memenuhi janjimu itu. Saat ini saja rakyat sudah mendukungmu begitu kau berjanji. Betul saudara-saudara?” tanyanya.

“Betul!!” teriak khalayak.

“Nah pangeran muda Jaira. Percayakan padaku dan seluruh orang disini kau akan memenangkan pemilihan Adipati tanpa harus bersusah payah memaksa dan mengeluarkan biaya. Saya jamin  seluruh rakyat akan memilihmu. Tapi pegang janjimu!” kata Lugasi lembut.

Jaira segera berlutut memberi hormat, diikuti seluruh prajuritnya.

“Terimakasih tuan muda. Saya mohon maaf atas kelancangan saya terhadap tuan muda. Saya sadar dan berjanji melindungi rakyat!” kata Jaira.

“Hidup pangeran muda Jaira!” seru rakyat dengan gairah.

Lugasi menghampiri  dan membimbingnya berdiri.

Jaira merasa terharu. Dia baru tahu rasanya mendapatkan dukungan rakyat. Sebuah perasaan yang menggetarkan, bahagia dalam rasa tanggung jawab, rasa terpanggil oleh orang-orang yang mendukungnya. Dia tak mengira sama sekali kalau akan mendapatkan jalan yang lebih mudah dan lebih menggetarkan hati karena merasa dibutuhkan.

Dia memberi hormat kepada khalayak dengan khidmat. Rakyatpun semakin bergairah mendukungnya. Muncul suatu kelekatan batin yang kuat diantara mereka.

“Tuan muda, ijinkan saya mengangkat tuan muda menjadi saudara dan guru saya,” pinta Jaira.

“Hihi..hi, Bagaimana mungkin saya jadi guru pangeran muda yang jauh lebih tua dari saya. Tetapi pangeran bisa menjadi kakak saya,”  jawab Lugasi.

Mereka berpelukan. Suasana haru bercampur gembira terasa melekat di semua hati yang hadir. Mereka lalu berpesta makan siang dengan bekal yang dibawa masing-masing. Jaira merasa nyaman berada di tengah rakyat, dan rakyat pun merasa memiliki pelindung mereka sekarang.

Setelah pesta yang sederhana itu, Lugasi berpamitan dengan kawan-kawannya karena ia akan ke Buntung meneruskan tugasnya. Ia berjanji akan segera kembali ke Rajapurwa untuk membantu Jaira memenangkan pemilihan Adipati secara semestinya. Khalayak dari Rajapurwa pun pulang ke rumah mereka dengan hati yang gembira.

Sementara itu Lugasi menuju Buntung bersama Jaira dan pasukannya. Prajurit yang terluka telah ditotok jalan darahnya hingga berhenti keluar dan dibalut dengan reramuan. Mereka tiba di markas pasukan kadipaten menjelang tengah malam.

“Pangeran Jaira, aku akan pergi mencari orangtuaku di kawedanan ini. Kalau sudah ketemu aku akan segera kembali ke Rajapurwa menyusulmu.” kata Lugasi.

“Tetapi beristirahatlah sejenak. Biar prajuritku yang ada menyiapkan makan dan pakaian ganti. Aku masih ingin dekat denganmu, adikku,” kata Jaira. “Dan aku minta jangan panggil aku dengan pangeran. Kita kan bersaudara!”

“Baiklah. Kebetulan perut bulat ini juga sudah minta diisi lagi.Hihi..hi!”

“Tapi aku harus menyebut apa, namamu? tanya Jaira.

“Hihi..hi! Kau kan sudah menyebutku dengan Anak Setan. Jadi panggil saja dengan nama itu Hihi..hi. Orang-orang biasa memanggilku dengan singkatannya, Aset,” jawab Lugasi.

“Baiklah, aku akan memanggilmu adikku Aset,” kata Jaira.

Mereka lalu makan dan minum tuak lontar sambil berbincang. Sebenarnya Jaira ingin sekali bertanya tentang hubungannya dengan Pemuda Pembakar Air yang menghebohkan Brangin tempo hari, tetapi ia tidak ingin adik barunya ini tersinggung atau tidak berkenan. Ia juga ingin memastikan apakah dia orang yang sama dengan Tuan Mata Setan karena menurut orang-orang di Rajapurwa Tuan Mata Setan berperawakan tinggi dan tampan sedangkan Anak Setan ini berperawakan pendek dan gemuk juga tidak dapat dikatakan tampan. Semua itu ditahannya saja di dalam hati. Namun akhirnya kesempatan itu datang, saat Aset sendiri yang membukanya.

“Kakak Jaira, tadi saya menyebut-nyebut Tuan Mata Setan dan Pasukan Siluman Gunung Kembar. Sebenarnya saya hanya murid Tuan Mata Setan yang ilmu saya tidak ada sekukunya beliau. Tuan Mata Setan tidak perlu mengeluarkan keringat untuk mengalahkan aku atau kakak Jaira,” kata Lugasi.

“Tetapi kenapa ia bisa ditangkap dan disiksa di penjara?” tanya Jaira.

“Apa yang kakak Jaira dengar saat dia ditangkap sampai disiksa?” tanya Lugasi.

Sebenarnya pertanyaan itu untuk memancing agar ia bisa menjawab pertanyaan Jaira. Ia sendiri belum dengar tentang kejadian itu.

“Dia ditangkap di keramaian pesta bunga lalu diadili dengan ditonton masyarakat yang datang berduyun-duyun. Istri Adipati menuduhnya sebagai kepala perampok dan dia dinyatakan bersalah dan dihukum cambuk di penjara. Tetapi pada malam harinya pasukan silumannya datang, membebaskan Tuan Mata Setan dengan menghancurkan kota, membakar habis rumah Adipati dan membunuh istrinya. Adipati diselamatkan oleh Setiaka, Komandan Pasukan Rajapurwa. Beberapa hari kemudian Adipati dan Setiaka dibantu pasukan dari Munggur menyerang markas mereka di Gunung Kembar tetapi Adipati tewas dan seluruh pasukan Rajapurwa beserta Setiaka hilang lenyap tak berbekas. Hanya pasukan Munggur yang selamat karena terpisah,” jelas Jaira.

“Itulah salah satu kehebatannya! Kalau kita masih takut sakit badan dan sakit hati akibat dihina sehingga harus mengeluarkan ilmu kita untuk mengalahkan lawan, Tuan Mata Setan tidak demikian. Ia rela disiksa dan dihinakan asalkan tidak menimbulkan korban rakyat banyak yang tidak berdosa. Karena itu dia tidak mengeluarkan kehebatannya saat ditangkap maupun diadili. Kalau saja dia mengeluarkan kehebatan ditengah keramaian pesta bunga itu tentu akan banyak korban berjatuhan, juga saat diadili. Dia tidak ingin kehebatannya akan membuat negeri ini gempar, karena itu bukan tujuannya,” jawab Lugasi cerdik.

“Apakah tujuannya itu?” tanya Jaira.

“Ia ingin menolong rakyat kecil terbebas dari penderitaan, terutama akibat penindasan dan perbuatan tidak adil. Karena itu, sebagai saudaraku kakak Jaira mesti melakukan tugas sebagai Adipati nanti dengan adil dan menolong rakyat kecil. Dengan begitu Tuan Mata Setan akan selalu membantu dan melindungi kakak Jaira, siapapun akan digilasnya. Tak perlu takut melawan para pejabat yang lebih tinggi kalau mereka menindas rakyat!”

“Ya, saya sadar dan berjanji,” kata Jaira.

 “Nah, saya harus segera pergi. Kakak Jaira harus segera juga kembali ke Rajapurwa.  Jangan heran kalau setiba disana kakak akan disambut hangat oleh penduduk. Tunjukkan kalau kakak Jaira adalah pelindung mereka, harapan mereka!” pesan Lugasi.

“Kenapa kita tidak sama-sama saja? Aku akan menunggumu.”

“Jangan, nanti kita tidak tahu seberapa besar dukungan mereka kepada kakak Jaira, jika ada aku. Siapa tahu mereka akan lebih mengelu-elukan aku. Hihi..hi!” katanya jenaka.

Jaira mengangguk-angguk. Anak ini sungguh cerdas, pikirnya.

“Baiklah, aku pergi dulu,” kata Lugasi sambil beranjak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA