Tangka segera membantu komandannya duduk bersila.
Kepala Jaira yang masih pusing membuatnya tak mampu menyangga tubuhnya sendiri.
“Beri dia air putih. Dan bawakan sekantung air
untukku!” perintahnya lagi.
Mereka segera melakukan apa yang dimintanya.
Setelah meminumkan air putih, Lugasi lalu mengguyurnya dengan air dingin sambil
menempeleng pipi kiri dan kanannya. Tidak berapa lama kemudian wajah Jaira tampak
mulai memerah pertanda kesadarannya mulai pulih. Pusing di kepalanya sudah mulai
berkurang dan perutnya sudah kembali tidak bergolak. tetapi tubuhnya masih
terasa lemas seakan tak bertulang.
“Sekarang, sebut namamu!” perintah Lugasi.
“Aku Jaira, komandan Pasukan Rajapurwa.” kata
Jaira pelan.
“Bagus! Berarti kau sudah sadar!” kata Lugasi.
“Sekarang kau dengar baik-baik Jaira,” lanjutnya. “Kalau kau mau jadi
Adipati, aku bisa membantumu tanpa perlu banyak tenaga dan biaya. Apa kau
mendengarku?”
“Ya, saya bisa mendengar,” jawab Jaira.
“Bagus! Aku
tahu kalau kau sudah mendapat restu dari pusat. Tetapi tetap akan banyak biaya
dan tenaga yang kau harus keluarkan untuk bisa memaksa rakyat memilihmu.
Sedangkan dengan bantuanku kau tidak perlu semua itu, aku yang akan membuat
rakyat memilih kamu. Kau Mengerti?!” hardik Lugasi.
Jaira mengangguk. Kesadarannya sudah sepenuhnya
kembali.
Dia merasa ngeri dengan perangai anak muda aneh
ini. Mungkin saja dia Anak Langit yang memiliki banyak kesaktian. Ia ingat
pesan Jukamu, kalau tak bisa mengalahkan sebaiknya rangkul dia. Yang penting
negeri tidak bergolak.
“Tetapi ada syaratnya dan sangat ringan! Kau mau
dengar?” tanya Lugasi.
“Saya mendengarkan,” jawab Jaira.
“Syaratnya, mulai saat ini dan saat kau menjadi
Adipati, kau tidak boleh berlaku
sewenang-wenang terhadap rakyat. Tidak boleh menindas rakyat. Kau harus
bertindak Adil. Hanya itu! Tetapi kalau kau mengingkarinya, aku dan pasukan
silumanku akan menghancurkan lagi Rajapurwa seperti Adipati pendahulumu! Kau
sanggup?” desak Lugasi.
Jaira mengangguk.
Dikepalanya yang penting jadi Adipati, dan gratis
lagi. Lagi pula anak muda ini mungkin benar Anak Langit atau Tuan Mata Setan
pemimpin pasukan Gunung Kembar. Dia tidak mau bernasib seperti bakal
pendahulunya itu.
“Nah, kalau begitu, kau dan semua prajuritmu harus
berbaris rapi dan menutup mata untuk membuat sumpah itu. Kau bersedia?!” tanya
Lugasi.
“Ya, saya bersedia,” jawab Jaira.
“Bagus! Sekarang berbaris dan tutupi mata kalian
dengan kain yang rapat-rapat!” perintahnya.
Mereka segera berbaris rapi, kecuali enam orang
terluka yang pingsan kesakitan, lalu menutup mata mereka rapat-rapat. Setelah
memastikan mata mereka semuanya tertutup rapat, Lugasi lalu memberi isyarat.
Seketika itu juga bermunculan berpuluh-puluh kepala dari balik hutan di samping
jalan itu tanpa menimbulkan suara. Dengan hati-hati mereka mendekat dan
mengelilingi pasukan itu. Setelah semua berkumpul, Lugasi lalu memberi aba-aba.
“Nah, sekarang kau Jaira dan prajurit harus
mengucap janji kalian. Kau harus mengucapkan dengan namamu ‘aku Jaira’
sedangkan para prajurit harus mengucapkan dengan ‘kami prajurit Klapa Getir’.
Kalian harus menirukan dengan sungguh-sungguh. Mengerti?!” tanya Lugasi.
“Ya, kami mengerti!” jawab mereka serempak.
“Ya! Mulai!” perintahnya.
“Saya Jaira, berjanji,”
“Kami Prajurit Klapa Getir berjanji”
“Akan menjadi Adipati Rajapurwa yang adil,”
“Akan menjadi prajurit Klapa getir yang adil,”
“Tidak sewenang-wenang kepada rakyat”
“Tidak sewenang-wenang kepada rakyat”
“Tidak menindas dan memeras rakyat”
“Tidak menindas dan memeras rakyat”
“Semoga Dewa Maha Tunggal membimbing saya”
“Semoga Dewa Maha Tunggal membimbing kami”
“Demikian janji saya, Jaira”
“Demikian janji kami, parajurit Klapa Getir”
Begitu selesai mengucapkan janji mereka, tiba-tiba
meledaklah sorak-sorai meriah dari rakyat yang mengelilingi mereka.
“Hidup Jaira! Hidup Adipati Rajapurwa! Hidup
Prajurit Klapa getir!”
Dengan gugup mereka membuka mata, dan melihat di sekeliling
mereka ada ratusan orang berkumpul disana.
“Hidup Adipati kita Jaira!” teriak Lugasi.
“Hidup Adipati kita Jaira!” teriak khalayak dengan
gemuruh.
Jaira terheran-heran, ia tidak mengerti bagaimana
ini bisa terjadi.
“Lihat Jaira! Rakyat akan mendukungmu jika kau
memenuhi janjimu itu. Saat ini saja rakyat sudah mendukungmu begitu kau
berjanji. Betul saudara-saudara?” tanyanya.
“Betul!!” teriak khalayak.
“Nah pangeran muda Jaira. Percayakan padaku dan
seluruh orang disini kau akan memenangkan pemilihan Adipati tanpa harus
bersusah payah memaksa dan mengeluarkan biaya. Saya jamin seluruh rakyat akan memilihmu. Tapi pegang
janjimu!” kata Lugasi lembut.
Jaira segera berlutut memberi hormat, diikuti
seluruh prajuritnya.
“Terimakasih tuan muda. Saya mohon maaf atas
kelancangan saya terhadap tuan muda. Saya sadar dan berjanji melindungi rakyat!”
kata Jaira.
“Hidup pangeran muda Jaira!” seru rakyat dengan
gairah.
Lugasi menghampiri
dan membimbingnya berdiri.
Jaira merasa terharu. Dia baru tahu rasanya
mendapatkan dukungan rakyat. Sebuah perasaan yang menggetarkan, bahagia dalam
rasa tanggung jawab, rasa terpanggil oleh orang-orang yang mendukungnya. Dia
tak mengira sama sekali kalau akan mendapatkan jalan yang lebih mudah dan lebih
menggetarkan hati karena merasa dibutuhkan.
Dia memberi hormat kepada khalayak dengan khidmat.
Rakyatpun semakin bergairah mendukungnya. Muncul suatu kelekatan batin yang
kuat diantara mereka.
“Tuan muda, ijinkan saya mengangkat tuan muda
menjadi saudara dan guru saya,” pinta Jaira.
“Hihi..hi, Bagaimana mungkin saya jadi guru
pangeran muda yang jauh lebih tua dari saya. Tetapi pangeran bisa menjadi kakak
saya,” jawab Lugasi.
Mereka berpelukan. Suasana haru bercampur gembira
terasa melekat di semua hati yang hadir. Mereka lalu berpesta makan siang
dengan bekal yang dibawa masing-masing. Jaira merasa nyaman berada di tengah
rakyat, dan rakyat pun merasa memiliki pelindung mereka sekarang.
Setelah pesta yang sederhana itu, Lugasi
berpamitan dengan kawan-kawannya karena ia akan ke Buntung meneruskan tugasnya.
Ia berjanji akan segera kembali ke Rajapurwa untuk membantu Jaira memenangkan
pemilihan Adipati secara semestinya. Khalayak dari Rajapurwa pun pulang ke
rumah mereka dengan hati yang gembira.
Sementara itu Lugasi menuju Buntung bersama Jaira
dan pasukannya. Prajurit yang terluka telah ditotok jalan darahnya hingga
berhenti keluar dan dibalut dengan reramuan. Mereka tiba di markas pasukan
kadipaten menjelang tengah malam.
“Pangeran Jaira, aku akan pergi mencari orangtuaku
di kawedanan ini. Kalau sudah ketemu aku akan segera kembali ke Rajapurwa
menyusulmu.” kata Lugasi.
“Tetapi beristirahatlah sejenak. Biar prajuritku
yang ada menyiapkan makan dan pakaian ganti. Aku masih ingin dekat denganmu,
adikku,” kata Jaira. “Dan aku minta jangan panggil aku dengan pangeran. Kita
kan bersaudara!”
“Baiklah. Kebetulan perut bulat ini juga sudah
minta diisi lagi.Hihi..hi!”
“Tapi aku harus menyebut apa, namamu? tanya Jaira.
“Hihi..hi! Kau kan sudah menyebutku dengan Anak
Setan. Jadi panggil saja dengan nama itu Hihi..hi. Orang-orang biasa memanggilku
dengan singkatannya, Aset,” jawab Lugasi.
“Baiklah, aku akan memanggilmu adikku Aset,” kata
Jaira.
Mereka lalu makan dan minum tuak lontar sambil
berbincang. Sebenarnya Jaira ingin sekali bertanya tentang hubungannya dengan
Pemuda Pembakar Air yang menghebohkan Brangin tempo hari, tetapi ia tidak ingin
adik barunya ini tersinggung atau tidak berkenan. Ia juga ingin memastikan
apakah dia orang yang sama dengan Tuan Mata Setan karena menurut orang-orang di
Rajapurwa Tuan Mata Setan berperawakan tinggi dan tampan sedangkan Anak Setan
ini berperawakan pendek dan gemuk juga tidak dapat dikatakan tampan. Semua itu
ditahannya saja di dalam hati. Namun akhirnya kesempatan itu datang, saat Aset
sendiri yang membukanya.
“Kakak Jaira, tadi saya menyebut-nyebut Tuan Mata
Setan dan Pasukan Siluman Gunung Kembar. Sebenarnya saya hanya murid Tuan Mata
Setan yang ilmu saya tidak ada sekukunya beliau. Tuan Mata Setan tidak perlu
mengeluarkan keringat untuk mengalahkan aku atau kakak Jaira,” kata Lugasi.
“Tetapi kenapa ia bisa ditangkap dan disiksa di
penjara?” tanya Jaira.
“Apa yang kakak Jaira dengar saat dia ditangkap
sampai disiksa?” tanya Lugasi.
Sebenarnya pertanyaan itu untuk memancing agar ia
bisa menjawab pertanyaan Jaira. Ia sendiri belum dengar tentang kejadian itu.
“Dia ditangkap di keramaian pesta bunga lalu
diadili dengan ditonton masyarakat yang datang berduyun-duyun. Istri Adipati
menuduhnya sebagai kepala perampok dan dia dinyatakan bersalah dan dihukum
cambuk di penjara. Tetapi pada malam harinya pasukan silumannya datang,
membebaskan Tuan Mata Setan dengan menghancurkan kota, membakar habis rumah
Adipati dan membunuh istrinya. Adipati diselamatkan oleh Setiaka, Komandan
Pasukan Rajapurwa. Beberapa hari kemudian Adipati dan Setiaka dibantu pasukan
dari Munggur menyerang markas mereka di Gunung Kembar tetapi Adipati tewas dan
seluruh pasukan Rajapurwa beserta Setiaka hilang lenyap tak berbekas. Hanya
pasukan Munggur yang selamat karena terpisah,” jelas Jaira.
“Itulah salah satu kehebatannya! Kalau kita masih
takut sakit badan dan sakit hati akibat dihina sehingga harus mengeluarkan ilmu
kita untuk mengalahkan lawan, Tuan Mata Setan tidak demikian. Ia rela disiksa
dan dihinakan asalkan tidak menimbulkan korban rakyat banyak yang tidak
berdosa. Karena itu dia tidak mengeluarkan kehebatannya saat ditangkap maupun
diadili. Kalau saja dia mengeluarkan kehebatan ditengah keramaian pesta bunga itu
tentu akan banyak korban berjatuhan, juga saat diadili. Dia tidak ingin
kehebatannya akan membuat negeri ini gempar, karena itu bukan tujuannya,” jawab
Lugasi cerdik.
“Apakah tujuannya itu?” tanya Jaira.
“Ia ingin menolong rakyat kecil terbebas dari
penderitaan, terutama akibat penindasan dan perbuatan tidak adil. Karena itu,
sebagai saudaraku kakak Jaira mesti melakukan tugas sebagai Adipati nanti
dengan adil dan menolong rakyat kecil. Dengan begitu Tuan Mata Setan akan
selalu membantu dan melindungi kakak Jaira, siapapun akan digilasnya. Tak perlu
takut melawan para pejabat yang lebih tinggi kalau mereka menindas rakyat!”
“Ya, saya sadar dan berjanji,” kata Jaira.
“Nah, saya
harus segera pergi. Kakak Jaira harus segera juga kembali ke Rajapurwa. Jangan heran kalau setiba disana kakak akan
disambut hangat oleh penduduk. Tunjukkan kalau kakak Jaira adalah pelindung
mereka, harapan mereka!” pesan Lugasi.
“Kenapa kita tidak sama-sama saja? Aku akan
menunggumu.”
“Jangan, nanti kita tidak tahu seberapa besar
dukungan mereka kepada kakak Jaira, jika ada aku. Siapa tahu mereka akan lebih
mengelu-elukan aku. Hihi..hi!” katanya jenaka.
Jaira mengangguk-angguk. Anak ini sungguh cerdas,
pikirnya.
“Baiklah, aku pergi dulu,” kata Lugasi sambil
beranjak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.