Setelah Lugasi berlalu, kakek Blakitem dengan
ramah mengajak mereka keluar menemui para perampok itu. Sementara itu di luar
sana Lugasi sudah minta seorang santri mengantarnya ke seberang danau ke tempat
pekerjaan besar mereka di desa yang baru di bangun.
“Oh, jadi kalian orang-orang dari desa Kenteng?
Sekarang, apa yang kalian inginkan?” tanya kakek Blakitem.
“Kami pasrah pada kakek, hukuman apapun yang harus
kami terima,” jawab juru bicara mereka, si orang yang lebih tua itu.
“Tidak, tidak! Saya tidak berhak menghukum kalian!
Yang berhak adalah hakim negeri Poruteng atas nama negara untuk menghukum kalian,
karena kalian telah melanggar peraturan negeri ini,” jawab kakek Blakitem.
“Tolong kakek yang baik. Kasihanilah kami.
Janganlah kami diserahkan kepada yang berwajib, pamong negeri. Kami akan mati
di penjara,” kata juru bicara itu menghiba-hiba.
Mereka dapat membayangkan hukuman cambuk yang
mengerikan akan mendera punggung dan kaki mereka hingga kulit dan dagingnya
menyerupai bubur. Hiiii...!!
“Kasihanilah kami, kakek. Kami bersedia melakukan
apa saja asal jangan diserahkan kepada yang berwajib,” pintanya lagi.
“Tahukah kalian, apa yang sedang dikerjakan para
sobat dan santri disini sehingga memerlukan beras dan untuk apa hasilnya
nanti?” tanya kakek Blakitem.
“Kami tidak tahu kakek,” jawabnya lirih. “Kami
tidak tahu untuk apa pekerjaan itu nantinya,” jawab juru bicara itu.
“Ketahuilah, bahwa semua pekerjaan besar itu nanti
hasilnya untuk kalian para penduduk miskin di Kenteng. Para sobat ini bekerja
sendiri, yang semestinya kalian bantu. Bukan malah merampoknya! Mereka belum
mengajak kalian karena tahu kalian hanya mau melihat hasilnya dulu sebelum
tertarik untuk ikut membantu. Kalian sungguh sangat tidak tahu berterimakasih
kalau mulai sekarang kalian tidak membantunya. Mungkin saja hasilnya tidak
sesuai yang diharapkan, tetapi manusia wajib berusaha!” kata kakek Blakitem.
“Ampun kakek Blakitem. Kalau begitu perintahkan
kami membantu pekerjaan ini. Kami akan menurut,” jawab juru bicara itu.
“Tidak! Aku dan para sahabat disini tidak akan
memerintahkan itu. Semua itu terpulang pada niat dan kemauan hati setiap orang.
Kalian bebas menentukan apa yang akan kalian lakukan!” kata kakek Blakitem
sambil memberi isyarat kepada para santri untuk membebaskan ikatan yang melilit
tangan mereka.
Para santri segera membebaskan ikatan tangan para
perampok itu.
“Nah, sekarang kalian bebas! Silakan pergi kemana
kalian suka. Tak ada yang akan menghalangi kalian!” kata kakek Blakitem sambil
beranjak masuk ke pendopo
Seluruh santri dan para sobat mengikuti beliau
melangkah masuk ke pendopo membiarkan para perampok itu bebas.
Para perampok itu terbengong-bengong tak mengerti.
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Bagaimana ini?” tanya seseorang diantara mereka.
“Aku akan ikut membantu mereka!” kata anak muda
yang tadi menyesali nasibnya tiba-tiba, sambil beranjak melangkah menuju
pendopo.
“Aku juga!” kata orang yang lain, lebih kepada
dirinya sendiri.
Satu-persatu mereka melangkah masuk ke dalam
pendopo dengan sopan. Di dalam sudah tidak nampak kakek Blakitem. Andragi dan
kawan-kawan menghadapi mereka.
“Ijinkan kami ingin membantu tuan-tuan, kalau
boleh. Kami menyesal telah membuat repot selama ini. Kami sekarang tahu untuk
siapa semua pekerjaan itu,” kata anak muda yang pertama kali menyatakan ingin
membantu.
“Kalau kalian memang berniat, kami akan senang
menerimanya. Tetapi harap semua ingat, tidak ada yang memaksa kalian. Kalian
boleh datang dan pergi sesuka hati kalian. Tak akan ada yang menghalangi!”
jawab Andragi.
“Kami paham dan berniat membantu dengan tekad kami,”
kata si juru bicara.
Mereka begitu tersentuh dengan sikap dan perlakuan
kakek Blakitem dan para sobatnya ini. Mereka merasa sungguh-sungguh menyesal.
“Baiklah, kalau demikian. Kalian sekarang boleh
pulang. Besok pagi kami menanti kalian disini dan bersama-sama kita akan pergi
ke lokasi pekerjaan kita. Sementara itu tinggalkan teman kalian yang luka itu
untuk kami rawat. Katakan kepada keluarganya apa yang terjadi,” kata Paldrino.
Mereka pun lalu minta diri setelah berulang kali
mengucapkan terimakasih. Andragi lalu membantu merawat orang yang buntung itu.
Disiramnya dengan obat luka untuk menghindarkannya dari infeksi.
Esok harinya ke empat
belas orang mantan perampok itu telah datang, pagi-pagi benar. Bersama-sama
mereka menyeberangi danau menuju lokasi desa baru itu. Setiba disana
teman-teman mereka segera melaporkan bahwa Maber dan Maras telah hilang
melarikan diri begitu mengetahui para perampok itu tertangkap. Dikemudian hari ternyata mereka bersekongkol dengan pejabat
korup yang berambisi untuk menguasai desa baru itu.
Sejak hari itu mereka
dapat memusatkan perhatian sepenuhnya pada usaha membawa kincir raksasa itu.
Bahkan kini dengan mendapat empat belas tambahan tenaga, meskipun juga
kehilangan dua orang. Oh, ada satu lagi tambahan tenaga yang sangat berarti
yakni si Anak Setan, Lugasi.
Dengan susah payah,
langkah demi langkah kincir raksasa itu akhirnya berhasil mereka bawa hingga ke
tepi sungai. Mereka lalu membangun tempat kedudukan yang kuat untuk menyangga
poros kincir yang terbuat dari galih kayu keras yang telah tua serta dilapisi lempengan
besi dan diolesi gemuk pelicin. Tiang-tiang besar menyangga tempat kedudukan
poros itu sekaligus sebagai penyangga anjungan yang menghubungkan kincir dengan
tepi sungai. Tentu bibir sungai itu harus di gali sekitar 1 meter dan lebar satu setengah
meter sebagai pintu menuju anjungan.
Setelah itu barulah
mereka mengangkat kincir raksasa itu dengan hati-hati dan meletakkan pada
posisinya, dalam keadaan di rem dengan sebatang bambu yang melintang. Setelah
benda itu berdiri dengan mantap, mereka lalu membuat penyangga diatas anjungan
guna meletakkan bak penampungan air dan talang besar terbuat dari papan-papan
tebal, hingga mencapai bibir sungai dan berujung persis diatas parit yang telah
dibuat oleh Dwisa dan kawan-kawan.
Pada hari ke seratus empat puluh lima persiapan kincir itu telah
selesai sempurna. Kini saatnya menyaksikan keajaiban dari hasil kerja keras
mereka selama ini. Hari itu sengaja mereka mengundang kakek Blakitem untuk
memimpin doa dan meresmikan beroperasinya benda pertama yang ada di negeri
Klapa Getir.
“Saudara-saudaraku semua.
Hari ini kita akan menyaksikan sebuah keajaiban yang kalian ciptakan sendiri.
Ini membuktikan bahwa keajaiban bisa dibuat oleh kita, bukan karena hanya
menunggu Dewa Yang Maha Agung memberikan dengan cuma-cuma. Keajaiban ini akan
membawa perubahan sangat besar bagi kehidupan kita dan semoga membawa pada
perbaikan yang lebih baik pada kehidupan kita dan anak-cucu kita,” sambut kakek
Blakitem.
“Sekarang, dengan
mengucapkan syukur kepadaNya mari kita jalankan karya agung kalian ini!”
lanjutnya.
Beberapa orang segera
membebaskan bambu penghalang putar dan... begitu terbebas, kincir itu mulai
berputar dengan lancar dan cukup cepat sambil membawa sejumlah air di
kotak-kotak airnya. Semua mata terpana mengikuti gerak kotak pertama yang berisi
air. Setiba diatas kotak itu menumpahkan isinya ke bak penampung air diikuti
dengan kotak-kotak lain
yang susul menyusul dengan cepat.
“Horee!! Kita berhasil!”
seru mereka girang bukan kepalang.
Air pun memancur deras di
ujung talang, tumpah ke dalam parit. Sebagian besar dari mereka segera berlari
ke bawah ujung talang itu dan tanpa basa-basi masuk ke parit guna merasakan
guyuran air deras yang menimpa tubuh mereka. Sorak sorai dan derai tawa mereka
sahut menyahut, menandakan rasa gembira yang berlimpah.Dalam kegembiraan itu
banyak diantara mereka yang mencucurkan air mata, terharu. Hilang segala penat
dan sakit.
Segera mereka sadar dan
tanpa komando mendatangi Andragi, yang sedang tersenyum haru, dan mengangkatnya
beramai-ramai lalu menceburkannya ke parit di bawah pancuran deras air.
Paldrino, Loyo dan Brewok pun mendapatkan perlakuan yang sama.
Mereka semua bergembira!
Diam-diam, santri petugas
makanan dibantu para perawat kebun telah menyiapkan kenduri istimewa dan dibawa
ke tempat itu. Setelah puas menikmati air pancur deras itu mereka lalu berdoa
dan berkenduri melahap dengan nikmat makanan yang sengaja dibuat lebih mewah
dari biasanya. Tak habis-habisnya mereka bersyukur dan memuji, sambil memandangi
roda raksasa itu berputar indah mengangkat air dan menumpahkannya ke talang.
Kini tinggal meneruskan
pembuatan parit dan talang agar air bisa sampai ke desa baru mereka. Selepas
makan, dengan gairah yang tinggi mereka segera menyusuri parit, mengikuti
aliran air hingga tiba di ujung yang perlu disambung dengan talang. Tak perlu
perintah, mereka langsung membuat penyangga dan memasang talang pipa-pipa besar
buatan Primasa dan rekan-rekannya. Diujung yang lain sebagian dari mereka
meneruskan penggalian parit. Semua bekerja dengan semangat tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.