Air yang Mengangkat Dirinya Sendiri Keatas

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #69)


Setelah Lugasi berlalu, kakek Blakitem dengan ramah mengajak mereka keluar menemui para perampok itu. Sementara itu di luar sana Lugasi sudah minta seorang santri mengantarnya ke seberang danau ke tempat pekerjaan besar mereka di desa yang baru di bangun.

“Oh, jadi kalian orang-orang dari desa Kenteng? Sekarang, apa yang kalian inginkan?” tanya kakek Blakitem.

“Kami pasrah pada kakek, hukuman apapun yang harus kami terima,” jawab juru bicara mereka, si orang yang lebih tua itu.

“Tidak, tidak! Saya tidak berhak menghukum kalian! Yang berhak adalah hakim negeri Poruteng atas nama negara untuk menghukum kalian, karena kalian telah melanggar peraturan negeri ini,” jawab kakek Blakitem.

“Tolong kakek yang baik. Kasihanilah kami. Janganlah kami diserahkan kepada yang berwajib, pamong negeri. Kami akan mati di penjara,” kata juru bicara itu menghiba-hiba.

Mereka dapat membayangkan hukuman cambuk yang mengerikan akan mendera punggung dan kaki mereka hingga kulit dan dagingnya menyerupai bubur. Hiiii...!!

“Kasihanilah kami, kakek. Kami bersedia melakukan apa saja asal jangan diserahkan kepada yang berwajib,” pintanya lagi.

“Tahukah kalian, apa yang sedang dikerjakan para sobat dan santri disini sehingga memerlukan beras dan untuk apa hasilnya nanti?” tanya kakek Blakitem.

“Kami tidak tahu kakek,” jawabnya lirih. “Kami tidak tahu untuk apa pekerjaan itu nantinya,” jawab juru bicara itu.

“Ketahuilah, bahwa semua pekerjaan besar itu nanti hasilnya untuk kalian para penduduk miskin di Kenteng. Para sobat ini bekerja sendiri, yang semestinya kalian bantu. Bukan malah merampoknya! Mereka belum mengajak kalian karena tahu kalian hanya mau melihat hasilnya dulu sebelum tertarik untuk ikut membantu. Kalian sungguh sangat tidak tahu berterimakasih kalau mulai sekarang kalian tidak membantunya. Mungkin saja hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, tetapi manusia wajib berusaha!” kata kakek Blakitem.

“Ampun kakek Blakitem. Kalau begitu perintahkan kami membantu pekerjaan ini. Kami akan menurut,” jawab juru bicara itu.

“Tidak! Aku dan para sahabat disini tidak akan memerintahkan itu. Semua itu terpulang pada niat dan kemauan hati setiap orang. Kalian bebas menentukan apa yang akan kalian lakukan!” kata kakek Blakitem sambil memberi isyarat kepada para santri untuk membebaskan ikatan yang melilit tangan mereka.

Para santri segera membebaskan ikatan tangan para perampok itu.

“Nah, sekarang kalian bebas! Silakan pergi kemana kalian suka. Tak ada yang akan menghalangi kalian!” kata kakek Blakitem sambil beranjak masuk ke pendopo

Seluruh santri dan para sobat mengikuti beliau melangkah masuk ke pendopo membiarkan para perampok itu bebas.

Para perampok itu terbengong-bengong tak mengerti. Mereka saling berpandangan satu sama lain.

“Bagaimana ini?” tanya seseorang diantara mereka.

“Aku akan ikut membantu mereka!” kata anak muda yang tadi menyesali nasibnya tiba-tiba, sambil beranjak melangkah menuju pendopo.

“Aku juga!” kata orang yang lain, lebih kepada dirinya sendiri.

Satu-persatu mereka melangkah masuk ke dalam pendopo dengan sopan. Di dalam sudah tidak nampak kakek Blakitem. Andragi dan kawan-kawan menghadapi mereka.

“Ijinkan kami ingin membantu tuan-tuan, kalau boleh. Kami menyesal telah membuat repot selama ini. Kami sekarang tahu untuk siapa semua pekerjaan itu,” kata anak muda yang pertama kali menyatakan ingin membantu.

“Kalau kalian memang berniat, kami akan senang menerimanya. Tetapi harap semua ingat, tidak ada yang memaksa kalian. Kalian boleh datang dan pergi sesuka hati kalian. Tak akan ada yang menghalangi!” jawab Andragi.

“Kami paham dan berniat membantu dengan tekad kami,” kata si juru bicara.

Mereka begitu tersentuh dengan sikap dan perlakuan kakek Blakitem dan para sobatnya ini. Mereka merasa sungguh-sungguh menyesal.

“Baiklah, kalau demikian. Kalian sekarang boleh pulang. Besok pagi kami menanti kalian disini dan bersama-sama kita akan pergi ke lokasi pekerjaan kita. Sementara itu tinggalkan teman kalian yang luka itu untuk kami rawat. Katakan kepada keluarganya apa yang terjadi,” kata Paldrino.

Mereka pun lalu minta diri setelah berulang kali mengucapkan terimakasih. Andragi lalu membantu merawat orang yang buntung itu. Disiramnya dengan obat luka untuk menghindarkannya dari infeksi.

Esok harinya ke empat belas orang mantan perampok itu telah datang, pagi-pagi benar. Bersama-sama mereka menyeberangi danau menuju lokasi desa baru itu. Setiba disana teman-teman mereka segera melaporkan bahwa Maber dan Maras telah hilang melarikan diri begitu mengetahui para perampok itu tertangkap. Dikemudian hari ternyata mereka bersekongkol dengan pejabat korup yang berambisi untuk menguasai desa baru itu.

Sejak hari itu mereka dapat memusatkan perhatian sepenuhnya pada usaha membawa kincir raksasa itu. Bahkan kini dengan mendapat empat belas tambahan tenaga, meskipun juga kehilangan dua orang. Oh, ada satu lagi tambahan tenaga yang sangat berarti yakni si Anak Setan, Lugasi.

Dengan susah payah, langkah demi langkah kincir raksasa itu akhirnya berhasil mereka bawa hingga ke tepi sungai. Mereka lalu membangun tempat kedudukan yang kuat untuk menyangga poros kincir yang terbuat dari galih kayu keras yang telah tua serta dilapisi lempengan besi dan diolesi gemuk pelicin. Tiang-tiang besar menyangga tempat kedudukan poros itu sekaligus sebagai penyangga anjungan yang menghubungkan kincir dengan tepi sungai. Tentu bibir sungai itu harus di gali sekitar 1 meter dan lebar satu setengah meter sebagai pintu menuju anjungan.

Setelah itu barulah mereka mengangkat kincir raksasa itu dengan hati-hati dan meletakkan pada posisinya, dalam keadaan di rem dengan sebatang bambu yang melintang. Setelah benda itu berdiri dengan mantap, mereka lalu membuat penyangga diatas anjungan guna meletakkan bak penampungan air dan talang besar terbuat dari papan-papan tebal, hingga mencapai bibir sungai dan berujung persis diatas parit yang telah dibuat oleh Dwisa dan kawan-kawan.

Pada hari ke seratus empat puluh lima persiapan kincir itu telah selesai sempurna. Kini saatnya menyaksikan keajaiban dari hasil kerja keras mereka selama ini. Hari itu sengaja mereka mengundang kakek Blakitem untuk memimpin doa dan meresmikan beroperasinya benda pertama yang ada di negeri Klapa Getir.

“Saudara-saudaraku semua. Hari ini kita akan menyaksikan sebuah keajaiban yang kalian ciptakan sendiri. Ini membuktikan bahwa keajaiban bisa dibuat oleh kita, bukan karena hanya menunggu Dewa Yang Maha Agung memberikan dengan cuma-cuma. Keajaiban ini akan membawa perubahan sangat besar bagi kehidupan kita dan semoga membawa pada perbaikan yang lebih baik pada kehidupan kita dan anak-cucu kita,” sambut kakek Blakitem.

“Sekarang, dengan mengucapkan syukur kepadaNya mari kita jalankan karya agung kalian ini!” lanjutnya.

Beberapa orang segera membebaskan bambu penghalang putar dan... begitu terbebas, kincir itu mulai berputar dengan lancar dan cukup cepat sambil membawa sejumlah air di kotak-kotak airnya. Semua mata terpana mengikuti gerak kotak pertama yang berisi air. Setiba diatas kotak itu menumpahkan isinya ke bak penampung air diikuti dengan kotak-kotak lain yang susul menyusul dengan cepat.

“Horee!! Kita berhasil!” seru mereka girang bukan kepalang.

Air pun memancur deras di ujung talang, tumpah ke dalam parit. Sebagian besar dari mereka segera berlari ke bawah ujung talang itu dan tanpa basa-basi masuk ke parit guna merasakan guyuran air deras yang menimpa tubuh mereka. Sorak sorai dan derai tawa mereka sahut menyahut, menandakan rasa gembira yang berlimpah.Dalam kegembiraan itu banyak diantara mereka yang mencucurkan air mata, terharu. Hilang segala penat dan sakit.

Segera mereka sadar dan tanpa komando mendatangi Andragi, yang sedang tersenyum haru, dan mengangkatnya beramai-ramai lalu menceburkannya ke parit di bawah pancuran deras air. Paldrino, Loyo dan Brewok pun mendapatkan perlakuan yang sama.

Mereka semua bergembira!

Diam-diam, santri petugas makanan dibantu para perawat kebun telah menyiapkan kenduri istimewa dan dibawa ke tempat itu. Setelah puas menikmati air pancur deras itu mereka lalu berdoa dan berkenduri melahap dengan nikmat makanan yang sengaja dibuat lebih mewah dari biasanya. Tak habis-habisnya mereka bersyukur dan memuji, sambil memandangi roda raksasa itu berputar indah mengangkat air dan menumpahkannya ke talang.

Kini tinggal meneruskan pembuatan parit dan talang agar air bisa sampai ke desa baru mereka. Selepas makan, dengan gairah yang tinggi mereka segera menyusuri parit, mengikuti aliran air hingga tiba di ujung yang perlu disambung dengan talang. Tak perlu perintah, mereka langsung membuat penyangga dan memasang talang pipa-pipa besar buatan Primasa dan rekan-rekannya. Diujung yang lain sebagian dari mereka meneruskan penggalian parit. Semua bekerja dengan semangat tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA