Mereka lalu pergi ke markas Pamong Negeri. Di
pintu gerbang, Loyo, Brewok dan para santri diminta tunggu diluar sementara
petugas itu melapor ke atasannya. Atasannya itu yang kemudian menyampaikan
surat yang sengaja ditulis oleh Paldrino untuk iparnya. Diguldo segera membuka
dan membacanya. Matanya tidak berkedip memeriksa baris demi baris kalimat yang
rapi terjalin.
“Hmm, ada berapa orang yang mengantar surat ini?”
tanyanya.
“Kata petugas yang mengantar, mereka berempat,”
jawab anak buahnya.
“Kalau begitu suruh mereka masuk dan antar
langsung kemari,” perintahnya.
Petugas itu segera menuju ke gerbang diikuti
petugas pengantar tadi dan mempersilakan Loyo dan kawan-kawannya masuk. Petugas
pengantar itu segera kembali ke posnya.
“Silakan, silakan saudara-saudaraku!” sapa Diguldo ramah.
Kepada bawahannya ia berkata, “Kau boleh kembali
ke tempatmu, mereka familiku dari Kotaraja,” kata Diguldo kepada anak
buahnya itu
Petugas itu segera keluar dari ruang kerja
komandannya.
“Kalian tentu Loyo, Brewok dan para santri kakek
Blakitem seperti ditulis dalam surat ini,” kata Diguldo.
“Betul, pak. Saya dan sobat Brewok ini mendampingi
pak Wedana sejak dari Buntung. Sekarang pak Wedana ada bersama para santri ini
di Batutok. Istri beliau sudah sangat rindu dengan istri pak Diguldo,” jawab
Loyo.
“Ya, tentu! Istri saya juga sudah sangat rindu
dengan saudara kembarnya. Jadi benar yang dikatakan oleh Lugasi, si Anak Setan
itu,” kata Diguldo.
“Lugasi, si Anak Setan?! Dimana Pak Diguldo bertemu dengannya?” tanya Brewok yang sedari tadi diam saja.
“Kami sekeluarga ditolongnya saat dikeroyok para
perampok di Dogean. Karena mengira istri saya adalah istri wedana Paldrino dia
langsung menolong kami dan menghajar para perampok itu hingga banyak yang
buntung tangannya. Dia juga bilang kalau baru saja berpisah dengan rombongan
kalian yang sedang menuju Poruteng. Istri saya menjadi sangat gembira. Tetapi
mengingat peristiwa yang menimpa wedana Paldrino, saya harus hati-hati untuk
mencari tahu keberadaannya. Untung akhirnya hari ini kalian datang. Saya akan segera
memberi tahu istri saya. Kalian harus ikut masuk ke ruang belakang rumah kami
agar bisa bercerita panjang lebar tentang saudara kembarnya. Mau, kan?”
pintanya.
Mereka mengangguk. Diguldo lalu memanggil kepala
keamanannya dan mengatakan agar ia tidak boleh digannggu dulu berhubung mau
menemani familinya yang telah
datang dari jauh. Ia lalu mengajak ke empat orang itu ke rumah pribadinya dan
langsung menuju bagian belakang. Dilihatnya istrinya sedang bermain bersama
anak-anaknya. Wanita itu terperanjat melihat kedatangan suaminya diiringi empat
orang yang tak dikenalnya.
“Jangan terkejut istriku. Ada kabar gembira
buatmu, buat kita semua!” kata Diguldo.
“Mari silakan duduk. Kau istriku, harus juga duduk
bersama kami,” katanya.
Setelah semuanya duduk, ia lalu mengulurkan surat
itu kepada istrinya.
“Bacalah surat ini,” katanya lagi sambil
mengulurkan surat itu.
Dengan gemetar istrinya menerima surat itu dan
membaca. Beberapa saat kemudian ia pun terisak-isak sambil memeluk kedua
anaknya yang tiba-tiba ikut menangis tanpa tahu sebabnya. Diguldp dan yang lain
terharu melihat peristiwa itu. Ia segera memeluk istrinya dan menepuk-nepuk
bahunya. Istrinya tersenyum memandangi para tamu itu. Kedua anaknya pun segera
menghentikan tangisnya. Mereka bingung dengan kelakuan ibunya.
“Benarkah,?! Benarkah dia ada disini?!” tanya si
istri gembira.
“Benar, nyonya. Kami tinggal bersama pak wedana
dan keluarganya,” jawab Loyo.
“Duh, Dewa Yang Maha Tunggal. Terimakasih,
terimakasih!” katanya sambil mendekapkan kedua tangannya ke dadanya, lalu
memeluk kedua anaknya lagi.
“Bagaimana keadaannya? Kuruskah dia? Bagaimana
keponakan-keponakanku? Baik-baikkah mereka? Tidak susahkah hidupnya? Kenapa dia
tidak kesini? Aduh, bagaimana ya rupanya sekarang....?”
Begitu banyak pertanyaan yang mencerocos keluar
dari mulutnya. Betapa tidak! Peristiwa pembakaran rumah adiknya itu sampai ke
telinganya tanpa tahu apakah saudaranya itu selamat atau tidak. Berita yang
beredar mengatakan wedana Paldrino dan seluruh keluarganya turut hangus
terbakar.
Dengan sabar Loyo menjelaskan satu persatu
peristiwa yang terjadi, mulai dari pembakaran rumah itu hingga perjalanan
menuju Batutok. Cerita itu cocok dengan yang dikatakan Lugasi, si Anak Setan.
“Oh, syukurlah. Kita semua ditolong oleh orang-orang
hebat. Saya yakin dia pasti baik-baik saja sekarang,” katanya gembira.
Tak henti-hentinya ia tersenyum.
“Oh, oh maaf! Saya sampai lupa menyambut tamu-tamu
terhormat kita dengan sepantasnya.”
Wanita itu lalu berlari ke dalam memanggil para
pelayannya dan meminta mereka segera menyajikan makanan dan minuman yang
terbaik. Setelah itu ia segera kembali menemui mereka.
“Kapan ya saya bisa bertemu dengan mereka?”
tanyanya.
“Ya, saya akan pikirkan caranya. Bagaimanapun,
wedana Paldrino tidak boleh diketahui oleh umum masih hidup,” kata Diguldo.
“Adakah usul dari para sobat?” tanyanya.
“Menurut pak Paldrino, sekembali kami ke Batutok melaporkan
keadaan pak Diguldo dan keluarga, kami akan mengantar saudara kembar nyonya lima
belas atau dua puluh hari dari sekarang, berpura-pura seakan mengantar famili
nyonya dari Kotaraja. Menurut beliau, Pak wedana dan pak Diguldo sebaiknya
jangan saling bertemu dulu,” jawab Loyo.
“Saya kira itu ide yang baik. Kalau begitu kalian
bisa menginap dulu di rumah kami ini,” kata Diguldo.
“Terimakasih, tetapi kami sebaiknya segera kembali
ke Batutok. Banyak pekerjaan yang menunggu kami disana. Kami akan bilang kepada
para petugas disini kalau akan mengurusi dagangan kami,” jawab Loyo.
Istri Diguldo segera menulis surat untuk saudara
kembarnya dan dititipkan kepada empat orang utusan itu. Mereka segera pamit dan
langsung pulang ke Batutok melalui arah pasar kawedanan itu agar dikira sedang
mengurusi barang dagangan mereka.
Setiba di Batutok, mereka langsung menyampaikan
surat itu kepada istri Paldrino yang gembira dan terharu membaca kabar dari
saudara kembarnya. Seperti saudaranya itu, wanita ini juga melancarkan
pertanyaan yang bertubi-tubi tentang keadaan saudara kembar dan keluarganya.
Setelah puas barulah ia meminta mereka mengabarkan kepada suaminya di seberang
danau. Merekapun segera menyeberang danau dan bergegas menemui pak wedana
Paldrino, meski hari telah larut malam. Pak Paldrino gembira mendengar kabar
itu dan meminta mereka segera beristirahat setelah melakukan perjalanan yang
cukup melelahkan.
Esoknya mereka kembali melakukan pekerjaan besar
mereka. Pak Paldrino tampak lebih bersemangat. Yang lain pun tertular virus
semangat itu.
Pada hari ke lima puluh lima pipa-pipa tembikar itu telah berhasil dibuat dan telah dibakar, sementara segala bahan bangunan pun telah siap pula. Sumur yang digali juga sudah mengeluarkan air yang bagus pada kedalaman 8 meter. Andragi meminta maaf karena berniat mengganti pipa bambu dengan pipa tembikar yang lebih tahan lama. Tetapi para santri itu justru lebih bernafsu menggantinya, mengingat itu hal baru yang menarik minat mereka. Terutama ketika melihatnya memasang pipa leher angsa untuk wc jongkok. Mereka kini tahu, itulah caranya untuk menahan bau tidak sedap dari lubang yang nantinya akan berisi kotoran manusia.
Pada hari ke enam puluh lima
mereka telah memiliki sebuah rumah contoh yang apik, berlantai kayu dengan enam
buah kamar serta ruang tamu. Setiap kamar telah pula dilengkapi dengan tempat
tidur dan lemari yang rancangannya dibuat oleh Andragi. Bahkan gantungan baju
pun sudah pula tersedia. Rumah itu telah dilengkapi pula dengan sebuah dapur
dan kamar mandi cuci di bangunan yang terpisah, sebuah sumur serta kolong luas
yang multi fungsi. Kolong ini juga bisa dipakai sebagai ruang makan terbuka,
atau tambahan kamar bila diperlukan. Tetapi Paldrino mengusulkan agar boleh di
buat lebih dari dua kamar disana, karena fungsi utamanya adalah tempat
bersosialisasi.
Kini Andragi, Paldrino, Brewok, Loyo dan sebagian
santri telah dapat menempati rumah itu. Mereka bisa berunding lebih nyaman di
ruang tamu ataupun di kolong rumah yang alasnya sengaja dilapisi papan dan sebagian
ditutupi dinding papan setinggi dada orang dewasa.
Ketika menatap ke ladang, tampak pohon singkong mereka
telah semakin rimbun dan seluruh kapling pertama ladang itu subur ditumbuhi
tanaman singkong baru mereka. Para santri memutuskan untuk membuka kapling
ladang baru sambil menunggu langkah berikutnya yang sedang disusun oleh Andragi
dan Paldrino. Dalam lima hari mereka telah memiliki ladang kedua yang siap
ditanami. Kedua santri perawat kebun itu mengajari yang lain cara menyambung
batang singkong yang berlainan jenis itu. Hanya dalam tiga hari ladang kedua
itu telah penuh ditanami batang-batang singkong gabungan. Kini dua orang lagi
ditugaskan merawatnya sementara dua perawat sebelumnya akan mulai membuka
ladang ke tiga bersama rekan-rekan yang lain. Ladang yang pertama sudah tidak
memerlukan perawatan khusus lagi, hanya sesekali perlu disiram atau disiangi
jika rumput telah terlalu tinggi.
Sebenarnya saat menunggu itu, Paldrino dan
kawan-kawannya sedang mempersiapkan perjalanan istri beserta kedua anaknya
menuju Poruteng guna menemui saudara kembarnya. Loyo, Brewok dan beberapa orang
santri utama akan menemani wanita itu berjalan dimuka, sedangkan enam orang
santri yang lain akan mengiringi dengan jarak tertentu di belakang mereka.
Bagaimanapun juga mereka tidak ingin mengambil resiko terjadi sesuatu sehingga
penantian panjang kedua saudara kembar itu menjadi berantakan. Mereka bisa
membayangkan kerinduan yang begitu mendalam diatara keduanya mengingat
peristiwa-peristiwa yang telah menimpa mereka.
Perjalanan mereka ternyata aman-aman
saja. Tidak perlu diceritakan panjang lebar tentang pertemuan yang penuh haru
itu. Isak tangis dan sukacita menjadi satu. Rasa terimakasih yang bertubi-tubi
diterima oleh Loyo dan kawan-kawannya. Sementara itu rombongan kedua segera
pulang setelah melihat mereka tiba dengan selamat. Tiga hari kemudian Loyo dan
rombongannya telah pula kembali ke Batutok. Pak Paldrino dan yang lain lega dan
gembira mendengar berita sukacita itu. Kini mereka bisa lebih berkonsentrasi
pada pekerjaan besar mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.