Tujuannya Baik, Caranya Tidak Baik


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #22)

Andragi lalu menghampiri obor yang telah disediakan, membawanya ke sisi gentong lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dengan gaya pelari yang membawa obor olimpiade. Kemudian, secara teatrikal disulutnya air di dalam gentong itu.

“Wusss!! Dan menyalalah air itu.
“Haaahhh??! seru para penonton itu terheran-heran.
“Horeeee, dia berhasil!!” teriak Sonto dan Loyo berbarengan memecahkan keheningan yang hanya sejenak terjadi akibat keheranan yang luar biasa itu.

Seketika itu juga berteriaklah para penduduk dengan gembira, terutama orang-orang yang akan terlunaskan hutang-hutangnya. Mereka berteriak sambil berjoget-joget, gembira. Bahkan ada yang melompat-lompat dan berguling-guling saking gembiranya seperti kuda lepas dari pingitan.

Tamakir terkejut bukan main! Lurah itu segera bergegas keatas panggung diikuti Sukadu dan beberapa centengnya untuk memastikan peristiwa itu. Tidak ada benda-benda lain disana, kecuali permukaan air yang menyala berkobar-kobar.

“Sudah terbukti. Saya menang!” kata Andragi.

Ia lalu meminta agar orang-orang itu mundur lagi karena ia akan mematikan api itu. Dikatakannya kalau air itu telah disucikan sehingga sayang kalau habis terbakar. Padahal ia memang harus segera melakukan itu karena sebentar lagi api akan mati setelah bensin habis terbakar. Ia menutup gentong air yang masih menyala itu dengan penutupnya rapat-rapat.

“Nah, saya minta bapak Pejabat Pemerintah itu membacakan bunyi keputusan perjanjiannya dengan keras supaya semua orang tahu. Setelah itu segera memberi tanda jempol sebagai saksinya!” kata Andragi tegas dan penuh wibawa.

Sukadu, Pejabat Pamong Negeri itu, menjadi ciut hati. Dia menoleh kepada Tamakir, tapi yang ditoleh tampak tertunduk menahan kecewa dan dongkol tidak terkira. Orang yang gila harta itu merasa seperti kehilangan segala-galanya, jatuh pailit dan miskin. Kalau tahu akan begini hasilnya, tentu dia lebih memilih kehilangan harga diri dari pada sepotong hartanya. Ia lalu menoleh kepada para centengnya, berharap mendapat dukunga mental, tetapi mereka berpura-pura tidak melihatnya.

Para tukang pukul yang biasanya sangar dan bengis itu juga sangat terpukul mental mereka melihat kesaktian yang bahkan belum pernah mereka dengar sebelumnya, apalagi melihatnya sendiri. Hati mereka gentar bukan main bagai kucing dibawakan lidi. Membayangkan pun tidak pernah terlintas dalam benak mereka, yang memang sangat jarang digunakan. Dalam hati mereka memilih tidak berurusan dengan orang yang satu ini.

Melihat keadaan itu, Sukadu tidak punya pilihan lain, selain menuruti permintaan Andragi. Ia lalu naik ke panggung dan membacakan bunyi perjanjian itu. Setelah itu ia lalu menorehkan tanda jempolnya pada kedua lembar ‘surat’ perjanjian yang akan membebaskan banyak orang dari kesengsaraan yang berkepanjangan akibat ulah Tamakir.

Begitu ia selesai membubuhkan cap jempolnya, maka meledaklah sorak-sorai penduduk desa yang ada disitu, terutama orang-orang yang telah terbebaskan dari hutang-hutangnya. Sonto segera berlari menemui kedua anak perempuannya dan memeluknya erat-erat.

“Maafkan ayah ya, nduk?” katanya serak seraya merangkul mereka. Matanya berkaca-kaca, dan akhirnya tumpah ketika terlihat istrinya datang menghampiri.

“Bapak..bapak....,” isak kedua gadis  kencur itu sambil mendekap erat Sonto. 
Istrinya pun segera direngkuh pula dalam pelukannya. Mereka berempat tenggelam dalam isak tangis bahagia yang begitu menyentuh.

Pemandangan serupa juga terjadi pada keluarga-keluarga lainnya, yang telah lama menanggung sedih melihat kebengisan Lurah dan kaki tangannya memperlakukan anggota keluarganya dengan kejam, tanpa belas kasihan. Kini mereka telah bebas da bersatu kembali.

“Pak Tamakir,” kata Andragi. “Cepat kembalikan seluruh harta orang-orang yang telah kau sita itu! Kalau tidak, aku akan membakar habis seluruh harta bendamu ini!” perintahnya, sambil tangannya mengarah ke bangunan yang selama ini menjadi mesin uangnya.
“Ba..ik, anak..muda. Akan saya serahkan sekarang,” katanya terbata-bata.

Ia lalu memerintahkan para pembantunya untuk mengembalikan sawah, ladang, hewan-hewan peliharaan ke pemilik aslinya. Semua itu disaksikan oleh Sukadu sebagai Pejabat Pamong Negeri, dan juga oleh khalayak ramai, hingga selesai.

Setelah memastikan semuanya beres, Andragi berpamitan dengan para warga desa yang mengelu-elukannya. Anak-anak kecil berlari-lari mengiringi kepergiannya bersama Loyo menuju arah ke Padepokan Kalbusih. Mereka sengaja mengambil jalan itu agar dikira menuju ke sana, tempat Loyo menjadi santri. Setelah melewati beberapa bukit dan hutan serta memastikan tidak ada yang menguntit, mereka lalu memotong jalan melalui hutan lebat menuju markas Sontoloyo.

Tetapi belum sempat mereka masuk ke dalam hutan, tiba-tiba sepelemparan batu di depan mereka sesosok tubuh tampak melayang turun dengan lincah dari atas sebuah pohon. Mereka segera menghentikan langkah. Ternyata orang itu tiada lain Dul Brewok! Loyo segera bersiap, berjaga-jaga menghadapi tukang pukul Tamakir itu. Tentu ia bermaksud membalaskan dendam Lurah serakah itu, pikirnya.

“Hei, tunggu! Mau kemana kalian masuk hutan itu?!” katanya.
“Itu urusan kami. Tetapi, kenapa saudara mencegat kami?” tanya Andragi.
“Oh, hoho..maaf...maaf... Tentu saja kalian salah sangka. Saya tidak bermaksud jahat terhadap kalian apalagi terhadap ‘Tuan Pembakar Air,” katanya sambil membungkuk dalam, menekuk kaki dan menyembah.
“Nama saya Bedul, orang biasa memangill saya Dul Brewok. Saya memang salah satu tukang pukul Tamakir, tetapi saya kesini bukan sebagai tukang pukul lurah itu. Saya datang sebagai seorang Bedul.”
“Lalu, apa maksud saudara Bedul kesini?” tanya Andragi.
“Tuan Pembakar Air..., saya bermaksud berguru kepada tuan. Saya diam-diam melarikan diri dari tempat perjudian setelah melihat kesaktian tuan. Apalagi ternyata tuan telah tahu kalau saya bersembunyi disini, sehingga segera berbelok masuk hutan. Padahal saya telah bersembunyi dengan baik diatas pohon yang lebat itu.”
“Bagaimana kami tahu kalau kamu tidak berniat jahat?” tanya Loyo.
“Baiklah, akan saya perlihatkan.”

Bedul lalu menghunus parang, belati dan cemeti yang dibawanya dan meletakkan benda-benda itu di tanah. Dengan tenang tanpa gerakan mengancam, ia lalu mundur menuju ke sebatang pohon. Pada batang itu dililitkannya tubuhnya dengan tali yang telah disiapkannya, dari kaki hingga ke dada dan diikatkannya kuat-kuat. Kedua tangannya yang masih bebas disilangkannya ke belakang batang itu.

“Silakan mengikat kedua tangan saya,” pintanya.

Loyo memandang Anak Langit, dan melihat Andragi mengangukkan kepalanya. Dengan hati-hati Loyo mendekati Bedul Brewok dari belakang lalu mengikat tangannya kuat-kuat dengan tali yang masih tersisa.

“Sekarang tuan bisa membunuh saya dengan mudah atau meninggalkan saya terikat disini. Saya tidak bisa apa-apa sekarang. Kalau tidak dimakan binatang buas atau ditemukan oleh orang lain, saya tentu akan mati kelaparan juga disini,” katanya.

Andragi memandang tajam ke Brewok. Melihat kesungguhan serta ketulusan hati Bedul Brewok, Andragi lalu melepaskan ikatan yang membelenggunya. Mereka bertiga lalu duduk dibawah sebatang pohon yang rindang. Kemudian Bedul Brewok mengisahkan alasannya ‘mencegat’ Andragi.

“Saya sebenarnya seorang pengembara yang berkelana kian kemari untuk mencari pengetahuan dan pengalaman. Saya datang dari jauh, daerah Medaun di wilayah timur. Karena tidak banyak yang saya dapatkan selama perjalanan saya selama ini, waktu sampai di desa Brangin saya memutuskan sebaiknya saya menunggu saja di tempat perjudian itu. Karena di tempat perjudian itu banyak yang datang dari berbagai tempat. Siapa tahu suatu ketika saya bertemu seorang sakti yang bisa memberi pelajaran kepada saya. Apalagi melihat kelicikan Tamakir, saya yakin suatu saat pasti ada orang yang berani menentangnya dan menunjukkan kesaktiannya. Saya lalu melamar sebagai tukung pukul disana. Setelah diuji bertarung dan mengalahkan para tukang pukul kepercayaannya, saya diterima dan diangkat jadi pemimpin mereka. Saya sendiri sebenarnya membenci keserakahan dan kekejaman yang terjadi disana, tetapi demi harapan saya itu, saya menutup mata pura-pura tidak tahu. Akhirnya hari ini harapan saya terkabulkan, saya melihat sendiri kesaktian tuan Pembakar Air. Itulah maksud saya menemui tuan Pembakar Air.”

“Oh, begitu... Baiklah,” kata Andragi. “Maksud sobat Bedul memang baik..., tetapi  caranya tidak bailk. Tak emas bungkal diasah."
"Maksud tuan Pembakar Air....?? tanya Bedul tak paham.
"Ya, sobat Bedul telah melakukan segala daya untuk mencapai tujuan sobat meskipun caranya salah. Dengan membiarkan ketidak-adilan terjadi di sekitar kita demi tercapainya maksud baik kita, sebenarnya telah membuat kita bersekongkol dengan kejahatan itu sendiri. Karena itu, tujuan kita itu menjadi tidak terpuji,” jelas Andragi.

“Saya sadar dan menyesal... Maafkan saya, Tuan Pembakar Air. Saya telah menghalalkan cara," kata Bedul penuh penyesalan.
"Karena itu saya diam-diam pergi dan datang kesini. Saya sudah tidak tahan menyaksikan ketidak-adilan itu, apalagi Tamakir sudah punya rencana busuk lainnya yang lebih besar. Ia berniat membunuh wedana Buntung diam-diam agar jabatan itu kosong, lalu ia akan ikut mencalonkan diri menjadi wedana baru. Sebagai orang kepercayaannya, hanya saya sendiri yang baru diberi tahu rencana busuknya itu,” kata Bedul Brewok.

Mendengar itu, Andragi berpikir sejenak.

“Kalau sobat Bedul memang berniat baik, saya tidak keberatan mengajarkan ilmu saya. Nanti  akan saya beritahu ilmu membakar air. Tetapi sebaiknya niat busuk lurah itu bisa kita gagalkan,” kata Andragi.
“Saya juga berniat begitu, tetapi tidak tahu harus berbuat apa karena sayalah yang disuruh melakukan itu.”
“Kalau begitu kita buat rencananya. Bagaimana?” tanya Andragi.

Bedul Brewok setuju dan rencana pun disusun. Setelah merasa rencana itu cukup meyakinkan, mereka lalu berpisah. Bedul Brewok kembali ke tempat perjudian Tamakir sedangkan Andragi dan Loyo mengambil jalan menuju Padepokan Kalbusih agar tidak menimbulkan tanda tanya dalam hati Bedul Brewok.

Bedul Brewok segera kembali ke tempat perjudian. 
Setibanya di tempat perjudian, ia langsung menuju ruang khusus Tamakir untuk menemuinya.

“Dari mana saja kau, Brewok?!” hardik bosnya itu.
“Anu.., Ki Lurah. Saya mengintai kemana perginya pemuda setan itu. Ternyata ia pergi menuju padepokan si kakek bule. Saya lalu mendahuluinya lewat jalan lain dan bersembunyi untuk menghadangnya dan berniat membokongnya. Tetapi meskipun saya telah bersembunyi dengan baik, ternyata ia tahu juga dan mengambil jalan lain menuju hutan. Saya lalu menguntitnya dari jauh dan memang ternyata ia menuju padepokan itu.”
”Sayang, kamu tidak berhasil membunuhnya. Tetapi paling tidak kita tahu dimana dia berada. Kita bisa susun rencana untuk menghabisinya,” kata Tamakir.
“Tetapi, bagaimana dengan rencana untuk  wedana Buntung, ki Lurah?”
“Itu yang utama! Kamu harus segera melakukannya dan tidak boleh gagal! Ingat, jangan sampai ada yang tahu itu ulah kita, mengerti!”
“Paham, ki Lurah. Segera saya kerjakan!” jawab Brewok.

Ia lalu mengajak dua orang anak buahnya untuk melaksanakan niat busuk bos mereka. Dipilihnya orang-orang yang terkenal paling bengis, keji, dan gemar menyiksa orang lain. Pendek kata orang yang paling tidak berperi kemanusiaan.

“Besok malam, kalian harus membakar rumah wedana Buntung hingga rata dengan tanah. Lakukan setelah lepas tengah malam saat semua orang sudah tidur lelap, Bunuh semua penghuni yang mencoba lolos, mengerti?!” tegas Brewok.
“Paham, juragan!” jawab mereka serempak.

Bagi kedua tukang pukul yang paling keji dan bengis itu, pekerjaan ini merupakan mainan yang menyenangkan. Seperti anjing berjumpa pasir, wajah kedua orang itu tampak berseri-seri dan terlihat nyata sangat antusias untuk mengerjakan tugas kotor ini.

Bedul Brewok lalu melaporkan kepada Tamakir atas rencananya itu.
“Bagus! Kerjakan dengan rapi dan tuntas!” perintahnya.
Esoknya, saat matahari baru muncul, Tamakir telah kedatangan tamu istimewa yang tak lain adalah Pangeran Muda Jaira. Rupanya berita tentang anak muda pembakar air telah tersebar luas dengan cepatnya hingga ke telinga komandan pasukan keamanan yang berkedudukan di Buntung itu.


Apakah rencana busuk Lurah Tamakir berjalan dengan baik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA