Perahu pengejar itu kini sudah tampak lebih jelas.
Lajunya jauh lebih cepat karena dibantu dengan layar. Beberapa saat kemudian orang-orang
di dalamnya samar-samar sudah pula mulai terlihat sosoknya. Tampaknya mereka
sudah tidak sabar, karena hampir semuanya berdiri. Perahu itu semakin mendekat.
Selang
beberapa waktu lagi jaraknya tinggal sekitar satu kilometer. Suasana semakin
tegang di perahu Andragi dan kawan-kawan. Anak setan pun mulai mengelus-elus
kapak anehnya.
Perahu itu semakin mendekat. Kini tinggal sekitar
lima ratus meter lagi. Terdengar sorak-sorai mereka lamat-lamat, menyeramkan.
Para pembantu Paldrino mendekap erat kedua anaknya mencoba menenangkan mereka.
Istri Paldrino berangkulan dengan kedua pembantu wanitanya.
“Saya kira ada yang bisa saya lakukan,” kata
Andragi.
Ia lalu merogoh salah satu saku di dalam
ranselnya. Dirabanya benda yang ada disitu. Ia melongokkan kepalanya memastikan
keadaan benda itu siap digunakan.
Kini perahu para pengejar tinggal sekitar tiga
ratus meter jaraknya. Teriakan mereka semakin mendirikan bulu roma. Para wanita
dan anak-anak mulai menangis.
“Pak Paldrino dan kawan-kawan, juga sobat Anak
Setan,” kata Andragi. “Saya akan mencoba menggunakan kekuatan saya untuk
menghentikan mereka. Tetapi pada saat itu semuanya harap merunduk dan menutup
telinganya rapat-rapat, karena akan terdengar suara letusan yang keras.”
“Baik sobatku,” jawab Paldrino. “Anak Setan,
tolong ikuti permintaan sobat kita ini!” katanya tegas.
Meski bingung tak mengerti, Anak Setan adalah
orang yang patuh dan sangat menghormati orang tua. Apalagi ini permintaan
seorang wedana yang dikaguminya, bahkan oleh gurunya juga.
“Baik, pak Wedana!” jawabnya mantap.
Perahu para pengejar itu tinggal seratus lima
puluh meter lagi. Orang-orang diatasnya tidak hanya berteriak-teriak, tetapi
juga mengacung-acungkan berbagai senjata ditangan mereka. Andragi mulai
menghitung mundur, di dalam hati.
“Seratus meter.., sembilan puluh.., delapan puluh..,
tujuh puluh.., enam puluh..., Lalu,..
“Semuanya merunduk! teriak Andragi.
Mereka semua merunduk.
“Lima puluh.., empat puluh.. Lalu....
“Semuanya tutup telinga!” perintahnya.
“Tiga puluh..., dan ia mulai membidik sasarannya.
Dan tiba-tiba...
“Doorr!....Dooorrr!...Doorrr!!” terdengar tiga
letusan dalam selang waktu tertentu.
Bunyi letusan itu disambut dengan gema yang susul
menyusul dari tebing-tebing di pantai. Andragi telah menembak dengan pistol
pada tiga sasaran di bagian haluan yang berada sedikit dibawah permukaan air.
Mendengar letusan dan gema yang susul menyusul itu,
para pengejar terdiam. Mereka sempat melihat ada kilatan api ditangan
satu-satunya orang yang berdiri di perahu yang mereka kejar.
“O..o..rang i..tu membuat ki..lat dan
gun..gun..tur!” kata mereka tergagap.
Mereka terkejut dan hanya bisa diam. Perahunyapun
mulai melambat tanpa mereka sadari. Tiba-tiba perahu itu mulai condong ke
depan.
“Perahu kita bocor!” teriak seseorang.
“Cepat gulung layar!” perintah pemimpinnya.
Mereka segera tersadar melihat air mulai masuk ke
dalam perahu, sementara dorongan layar membuat perahu mereka menungging.
“Cepat turunkan layar, sebelum perahu terbalik!
Tambal bocornya! Buang airnya keluar!” perintah pimpinannya panik.
Mereka tidak tahu di mana bocornya karena bagian
itu tertutup oleh palka. Mereka hanya bisa berusaha membuang air yang terus
masuk ke perahu itu. Sekarang perahu mereka itu sudah tidak bergerak ke depan,
dan mulai terombang-ambing. Pelan tetapi pasti perahu itu mulai miring dan
merendah.
Andragi segera sadar kalau ia lupa melepaskan
perintahnya. Ditepuknya bahu Paldrino.
“Pak Paldrino, sekarang sudah aman,” katanya
sambil menunjuk perahu pengejar yang mulai tenggelam.
Paldrino lalu menepuk yang lain, demikian
seterusnya dan mereka semua ternganga gembira. Anak Setan tidak habis mengerti
apa yang terjadi dengan para perompak itu.
“Apa yang terjadi dengan mereka? Apa mereka
diserang hantu Danau ini?” tayanya bingung.
“Itu karena kesaktian sobat kita ini,” kata
Paldrino. “Nanti ia akan ceritakan rahasianya. Saya sendiri tidak tahu.”
“Oh, hebat sekali!” kata Anak Setan memberi hormat.
Andragi
segera membalasnya.
“Tolong-tolong..., kami ...tenggelam!” kata para
perampok itu melambai-lambaikan tangan.
“Rasakan perbuatan kalian sendiri!” teriak Anak
Setan menjawab mereka.
Perahu itu akhirnya tidak tertolong. Pelan-pelan
menjadi miring dan akhirnya terguling. Semua penumpangnya tumpah ke dalam
danau, berenang menyelamatkan diri menuju pantai yang bertebing-tebing curam
itu.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Hari sebentar
lagi akan gelap,” kata Paldrino.
Mereka melanjutkan perjalanan sampai akhirnya
mencapai tempat bekal mereka disimpan. Disana mereka memutuskan untuk bermalam
sebelum memulai penyeberangan esok hari. Menurut perhitungan mereka, sekalipun
para perompak itu berhasil mendarat, mereka sudah kelelahan dan tidak punya nyali
lagi untuk menyerang lawan yang memiliki kesaktian tidak terduga. Karena itu merekapun
tidur dengan lelapnya, sementara yang bergantian menjaga dibekali mata setan
jika sesuatu terjadi.
Esoknya mereka segera bersiap melakukan penyeberangan.
Sementara mereka sarapan Anak Setan tidak kuat menahan rasa penasarannya.
“Kemarin itu, apa sebenarnya yang terjadi pak
Wedana?” tanyanya tetapi matanya lebih tertuju kepada Andragi.
“Baiklah, akan saya jelaskan. Nama saya Andragi.
Sobat sekalian mulai sekarang sebaiknya memanggil saya dengan nama Andragi.
Hindari sedapat mungkin menggunakan semua sebutan yang diberikan kepada saya
supaya tugas kita tidak terganggu,” kata Andragi.
“Hmmm, saya tidak mengerti, hihi..” kata Anak
Setan.
“Biarlah saya yang menjelaskan,” sela Paldrino.
“Sobat Andragi ini adalah pemuda yang memiliki
macam-macam kesaktian di luar pengetahuan kita. Dia bisa membakar air,
mengeluarkan api naga dari mulutnya, bisa melihat benda yang sangat jauh, bisa
membuat petir dan guntur, serta macam-macam kesaktian lain yang saya sendiri
belum semuanya tahu,” kata Paldrino.
“Ya,ya..Kemarin saya juga heran kok sobat Andragi
bisa tahu mereka akan datang dan jumlahnya persis lima belas orang. Hebat
sekali..hihihi...,” puji Anak Setan kagum.
“Ya, sobat kita ini memiliki banyak alat dan
banyak pengetahuan yang kita belum bisa memikirkannya. Tetapi yang penting dia
punya tugas besar di negeri Klapa Getir ini karena dia memiliki hati yang mulia,”
kata Paldrino.
“Oh, bukan main. Seperti dewa dari
kahyangan..hihii..”
“Tugas mulia itu membantu rakyat, dengan
menegakkan keadilan, memerangi keserakahan dan perbuatan kotor yang telah
membuat negeri kita carut marut seperti sekarang. Kami-kami ini bersedia
mengikutinya untuk memulai melakukan tugas itu,” jelas Paldrino lagi.
“Cocok! Saya suka itu. Kalau boleh saya mau
bergabung juga,” pinta Anak Setan tanpa perlu diajak.
“Oh, tentu boleh. Makin banyak yang bergabung akan
makin baik tentunya,” jawab Andragi.
“Tetapi sobat Anak Setan masih punya tugas yang
harus diselesaikan dulu, bukan?” tanya Paldrino.
“Oh, iya betul! Saya hampir lupa hihihi.. Kalau
begitu, saya akan ke Buntung dulu mencari orang tua saya baru nanti bergabung.
Tapi bergabungnya dimana?” kata Anak Setan.
“Kami juga belum tahu akan berada dimana. Tetapi
kalau nanti akan bergabung, Anak Setan bisa datang ke Gunung Kembar menemui
empat sobat kita ini dan pimpinannya sobat Jotiwo dan Gadamuk. Mereka akan kami
kabari dimana keberadaan kami,” jawab Paldrino.
“Oh, iya, saya hampir lupa hihi.. Bukankah sedang
ada perang di Gunung Kembar? Makanya saya ke sini dulu, tidak langsung ke
Buntung. Bukannya takut, tetapi kapak saya ini gatal kalau melihat pasukan
pemerintah. Saya ingat nasib bapak dan ibu saya,” katanya sedih
“Sekarang perang itu sudah selesai. Kami ikut
bersama pasukan Gunung Kembar berperang melawan pasukan pemerintah itu. Dan
mereka kami kalahkan,” kata Paldrino menghibur Anak Setan.
“Syukurlah. Rasakan hihihi...! Kalau tahu, pasti
saya akan membantu pasukan Gunung Kembar,” katanya ceria lagi.
“Karena sudah tidak ada perang, Anak Setan bisa
langsung dari sini ke Buntung. Tetapi kami punya tiga permintaan,” kata
Paldrino.
“Jangankan hanya tiga, sepuluh pun akan saya
penuhi kalau saya sanggup usahakan. Apa itu, pak?” tanya Anak Setan.
“Yang pertama, jangan pernah bilang kalau sobat Anak
Setan pernah bertemu sobat Andragi dan kami. Perang itu atau segala peristiwa
yang menghebohkan di Buntung maupun Rajapurwa terjadi karena tidak lepas dari
keberadaan sobat Andragi. Kalau nanti sobat Anak Setan mendengar orang
membicarakan tentang Anak Langit, Pemuda Pembakar Air, atau Pendekar Api Naga,
atau Tuan Mata Setan, pura-pura tidak
tahu saja. Semua itu julukan yang diberikan kepada sobat Andragi terkait dengan
kesaktian sobat Andragi,” kata Paldrino.
“Oohh.Hebat! Baik, pak wedana,” jawab Anak Setan.
“Yang kedua, jangan pernah menyebut atau mengakui
kalau sobat Andragi itu sama dengan Anak Langit atau gelar-gelar yang lain.
Biarlah itu hanya kita yang tahu.”
“Ya, saya mengerti, pak Wedana.”
“Yang ketiga, ijinkan kami memanggil nama Anak Setan
yang sebenarnya, Lugasi, biar tidak memancing keributan karena dikait-kaitkan
dengan Anak Langit.”
“Hihi, Lugasi. Nama yang aneh! Baiklah, moga-moga
saya tidak lupa menoleh kalau dipanggil. hihihi..” kata Lugasi.
“Nah, sekarang kita harus berpisah disini.
Hati-hati membawa dirimu sobat Lugasi,” kata Paldrino.
“Apa tidak sebaiknya saya ikut mengantar sampai ke
seberang?” tanya Lugasi.
“Saya kira tidak perlu. Bersama sobat Andragi dan
kawan-kawan, kami yakin bisa mengatasi rintangan.”
“Tapi, saya masih ingin belajar banyak dari pak
Wedana dan sobat Andragi. Ijinkan sampai di seberang saja. Setelah itu saya
akan pergi,” pintanya.
“Baiklah, kalau sobat Lugasi berkeras.
Tapi hanya sampai di seberang. Ingat tugas muliamu!” nasihat Paldrino.
“Saya berjanji, pak Wedana!” kata
Lugasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.