Jurus Petir Anak Langit Tenggelamkan Perahu

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #45 )


Perahu pengejar itu kini sudah tampak lebih jelas. Lajunya jauh lebih cepat karena dibantu dengan layar. Beberapa saat kemudian orang-orang di dalamnya samar-samar sudah pula mulai terlihat sosoknya. Tampaknya mereka sudah tidak sabar, karena hampir semuanya berdiri. Perahu itu semakin mendekat.

 Selang beberapa waktu lagi jaraknya tinggal sekitar satu kilometer. Suasana semakin tegang di perahu Andragi dan kawan-kawan. Anak setan pun mulai mengelus-elus kapak anehnya.

Perahu itu semakin mendekat. Kini tinggal sekitar lima ratus meter lagi. Terdengar sorak-sorai mereka lamat-lamat, menyeramkan. Para pembantu Paldrino mendekap erat kedua anaknya mencoba menenangkan mereka. Istri Paldrino berangkulan dengan kedua pembantu wanitanya.

“Saya kira ada yang bisa saya lakukan,” kata Andragi.

Ia lalu merogoh salah satu saku di dalam ranselnya. Dirabanya benda yang ada disitu. Ia melongokkan kepalanya memastikan keadaan benda itu  siap digunakan.

Kini perahu para pengejar tinggal sekitar tiga ratus meter jaraknya. Teriakan mereka semakin mendirikan bulu roma. Para wanita dan anak-anak mulai menangis.

“Pak Paldrino dan kawan-kawan, juga sobat Anak Setan,” kata Andragi. “Saya akan mencoba menggunakan kekuatan saya untuk menghentikan mereka. Tetapi pada saat itu semuanya harap merunduk dan menutup telinganya rapat-rapat, karena akan terdengar suara letusan yang keras.”

“Baik sobatku,” jawab Paldrino. “Anak Setan, tolong ikuti permintaan sobat kita ini!” katanya tegas.

Meski bingung tak mengerti, Anak Setan adalah orang yang patuh dan sangat menghormati orang tua. Apalagi ini permintaan seorang wedana yang dikaguminya, bahkan oleh gurunya juga.

“Baik, pak Wedana!” jawabnya mantap.

Perahu para pengejar itu tinggal seratus lima puluh meter lagi. Orang-orang diatasnya tidak hanya berteriak-teriak, tetapi juga mengacung-acungkan berbagai senjata ditangan mereka. Andragi mulai menghitung mundur, di dalam hati.

“Seratus meter.., sembilan puluh.., delapan puluh.., tujuh puluh.., enam puluh..., Lalu,..

“Semuanya merunduk! teriak Andragi.

Mereka semua merunduk.

“Lima puluh.., empat puluh.. Lalu....

“Semuanya tutup telinga!” perintahnya.

“Tiga puluh..., dan ia mulai membidik sasarannya.

Dan tiba-tiba...

“Doorr!....Dooorrr!...Doorrr!!” terdengar tiga letusan  dalam selang waktu tertentu.

Bunyi letusan itu disambut dengan gema yang susul menyusul dari tebing-tebing di pantai. Andragi telah menembak dengan pistol pada tiga sasaran di bagian haluan yang berada sedikit dibawah permukaan air.

Mendengar letusan dan gema yang susul menyusul itu, para pengejar terdiam. Mereka sempat melihat ada kilatan api ditangan satu-satunya orang yang berdiri di perahu yang mereka kejar.

“O..o..rang i..tu membuat ki..lat dan gun..gun..tur!” kata mereka tergagap.

Mereka terkejut dan hanya bisa diam. Perahunyapun mulai melambat tanpa mereka sadari. Tiba-tiba perahu itu mulai condong ke depan.

“Perahu kita bocor!” teriak seseorang.

“Cepat gulung layar!” perintah pemimpinnya.

Mereka segera tersadar melihat air mulai masuk ke dalam perahu, sementara dorongan layar membuat perahu mereka menungging.

“Cepat turunkan layar, sebelum perahu terbalik! Tambal bocornya! Buang airnya keluar!” perintah pimpinannya panik.

Mereka tidak tahu di mana bocornya karena bagian itu tertutup oleh palka. Mereka hanya bisa berusaha membuang air yang terus masuk ke perahu itu. Sekarang perahu mereka itu sudah tidak bergerak ke depan, dan mulai terombang-ambing. Pelan tetapi pasti perahu itu mulai miring dan merendah.

Andragi segera sadar kalau ia lupa melepaskan perintahnya. Ditepuknya bahu Paldrino.

“Pak Paldrino, sekarang sudah aman,” katanya sambil menunjuk perahu pengejar yang mulai tenggelam.

Paldrino lalu menepuk yang lain, demikian seterusnya dan mereka semua ternganga gembira. Anak Setan tidak habis mengerti apa yang terjadi dengan para perompak itu.

“Apa yang terjadi dengan mereka? Apa mereka diserang hantu Danau ini?” tayanya bingung.

“Itu karena kesaktian sobat kita ini,” kata Paldrino. “Nanti ia akan ceritakan rahasianya. Saya sendiri tidak tahu.”

“Oh, hebat sekali!” kata Anak Setan memberi hormat.

 Andragi segera membalasnya.

“Tolong-tolong..., kami ...tenggelam!” kata para perampok itu melambai-lambaikan tangan.

“Rasakan perbuatan kalian sendiri!” teriak Anak Setan menjawab mereka.

Perahu itu akhirnya tidak tertolong. Pelan-pelan menjadi miring dan akhirnya terguling. Semua penumpangnya tumpah ke dalam danau, berenang menyelamatkan diri menuju pantai yang bertebing-tebing curam itu.

“Ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Hari sebentar lagi akan gelap,” kata Paldrino.

Mereka melanjutkan perjalanan sampai akhirnya mencapai tempat bekal mereka disimpan. Disana mereka memutuskan untuk bermalam sebelum memulai penyeberangan esok hari. Menurut perhitungan mereka, sekalipun para perompak itu berhasil mendarat, mereka sudah kelelahan dan tidak punya nyali lagi untuk menyerang lawan yang memiliki kesaktian tidak terduga. Karena itu merekapun tidur dengan lelapnya, sementara yang bergantian menjaga dibekali mata setan jika sesuatu terjadi.

Esoknya mereka segera bersiap melakukan penyeberangan. Sementara mereka sarapan Anak Setan tidak kuat menahan rasa penasarannya.

“Kemarin itu, apa sebenarnya yang terjadi pak Wedana?” tanyanya tetapi matanya lebih tertuju kepada Andragi.

“Baiklah, akan saya jelaskan. Nama saya Andragi. Sobat sekalian mulai sekarang sebaiknya memanggil saya dengan nama Andragi. Hindari sedapat mungkin menggunakan semua sebutan yang diberikan kepada saya supaya tugas kita tidak terganggu,” kata Andragi.

“Hmmm, saya tidak mengerti, hihi..” kata Anak Setan.

“Biarlah saya yang menjelaskan,” sela Paldrino.

“Sobat Andragi ini adalah pemuda yang memiliki macam-macam kesaktian di luar pengetahuan kita. Dia bisa membakar air, mengeluarkan api naga dari mulutnya, bisa melihat benda yang sangat jauh, bisa membuat petir dan guntur, serta macam-macam kesaktian lain yang saya sendiri belum semuanya tahu,” kata Paldrino.

“Ya,ya..Kemarin saya juga heran kok sobat Andragi bisa tahu mereka akan datang dan jumlahnya persis lima belas orang. Hebat sekali..hihihi...,” puji Anak Setan kagum.

“Ya, sobat kita ini memiliki banyak alat dan banyak pengetahuan yang kita belum bisa memikirkannya. Tetapi yang penting dia punya tugas besar di negeri Klapa Getir ini karena dia memiliki hati yang mulia,” kata Paldrino.

“Oh, bukan main. Seperti dewa dari kahyangan..hihii..”

“Tugas mulia itu membantu rakyat, dengan menegakkan keadilan, memerangi keserakahan dan perbuatan kotor yang telah membuat negeri kita carut marut seperti sekarang. Kami-kami ini bersedia mengikutinya untuk memulai melakukan tugas itu,” jelas Paldrino lagi.

“Cocok! Saya suka itu. Kalau boleh saya mau bergabung juga,” pinta Anak Setan tanpa perlu diajak.

“Oh, tentu boleh. Makin banyak yang bergabung akan makin baik tentunya,” jawab Andragi.

“Tetapi sobat Anak Setan masih punya tugas yang harus diselesaikan dulu, bukan?” tanya Paldrino.

“Oh, iya betul! Saya hampir lupa hihihi.. Kalau begitu, saya akan ke Buntung dulu mencari orang tua saya baru nanti bergabung. Tapi bergabungnya dimana?” kata Anak Setan.

“Kami juga belum tahu akan berada dimana. Tetapi kalau nanti akan bergabung, Anak Setan bisa datang ke Gunung Kembar menemui empat sobat kita ini dan pimpinannya sobat Jotiwo dan Gadamuk. Mereka akan kami kabari dimana keberadaan kami,” jawab Paldrino.

“Oh, iya, saya hampir lupa hihi.. Bukankah sedang ada perang di Gunung Kembar? Makanya saya ke sini dulu, tidak langsung ke Buntung. Bukannya takut, tetapi kapak saya ini gatal kalau melihat pasukan pemerintah. Saya ingat nasib bapak dan ibu saya,” katanya sedih

“Sekarang perang itu sudah selesai. Kami ikut bersama pasukan Gunung Kembar berperang melawan pasukan pemerintah itu. Dan mereka kami kalahkan,” kata Paldrino menghibur Anak Setan.

“Syukurlah. Rasakan hihihi...! Kalau tahu, pasti saya akan membantu pasukan Gunung Kembar,” katanya ceria lagi.

“Karena sudah tidak ada perang, Anak Setan bisa langsung dari sini ke Buntung. Tetapi kami punya tiga permintaan,” kata Paldrino.

“Jangankan hanya tiga, sepuluh pun akan saya penuhi kalau saya sanggup usahakan. Apa itu, pak?” tanya Anak Setan.

“Yang pertama, jangan pernah bilang kalau sobat Anak Setan pernah bertemu sobat Andragi dan kami. Perang itu atau segala peristiwa yang menghebohkan di Buntung maupun Rajapurwa terjadi karena tidak lepas dari keberadaan sobat Andragi. Kalau nanti sobat Anak Setan mendengar orang membicarakan tentang Anak Langit, Pemuda Pembakar Air, atau Pendekar Api Naga, atau Tuan Mata Setan,  pura-pura tidak tahu saja. Semua itu julukan yang diberikan kepada sobat Andragi terkait dengan kesaktian sobat Andragi,” kata Paldrino.

“Oohh.Hebat! Baik, pak wedana,” jawab Anak Setan.

“Yang kedua, jangan pernah menyebut atau mengakui kalau sobat Andragi itu sama dengan Anak Langit atau gelar-gelar yang lain. Biarlah itu hanya kita yang tahu.”

“Ya, saya mengerti, pak Wedana.”

“Yang ketiga, ijinkan kami memanggil nama Anak Setan yang sebenarnya, Lugasi, biar tidak memancing keributan karena dikait-kaitkan dengan Anak Langit.”

“Hihi, Lugasi. Nama yang aneh! Baiklah, moga-moga saya tidak lupa menoleh kalau dipanggil. hihihi..” kata Lugasi.

“Nah, sekarang kita harus berpisah disini. Hati-hati membawa dirimu sobat Lugasi,” kata Paldrino.

“Apa tidak sebaiknya saya ikut mengantar sampai ke seberang?” tanya Lugasi.

“Saya kira tidak perlu. Bersama sobat Andragi dan kawan-kawan, kami yakin bisa mengatasi rintangan.”

“Tapi, saya masih ingin belajar banyak dari pak Wedana dan sobat Andragi. Ijinkan sampai di seberang saja. Setelah itu saya akan pergi,” pintanya.

“Baiklah, kalau sobat Lugasi berkeras. Tapi hanya sampai di seberang. Ingat tugas muliamu!” nasihat Paldrino.

“Saya berjanji, pak Wedana!” kata Lugasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA