Mengajak Risnadu Bergabung ke Markas Kasjur

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #99)

Balmis dan Codet memutuskan segera kembali ke Kasjur untuk melaporkan kejadian itu. Mereka tiba di penyeberangan Satange di pinggir sungai Priga sore hari.

“Selamat sore tuan Balmis,.. Apakah tuan mau menginap dulu atau langsung menyeberang,..??” tanya Satange.

“Ya, kami langsung saja menyeberang,..” jawab Balmis.

Mereka langsung menyeberang dan meneruskan perjalanan ke Selonto, Tanpa singgah di Selonto mereka bergegas menuju pondok persinggahan ketika malam telah larut. Mereka tidak perlu naik ke markas Kasjur karena Andragi dan pimpinan Kasjur ada di pondok persinggahan. Sebagaimana diketahui mereka sedang membangun desa baru di luar hutan itu. Tanpa membuang waktu mereka langsung melaporkan apa yang terjadi di Megalung.

“Tampaknya keadaan akan segera berubah. Kita tidak tahu apa reaksi gubernur Marsidu atas kematian anaknya adipati Cadipa. Mungkin dia akan mengirim pasukan untuk mengejar pembunuh anaknya, Saya menduga pasukannya akan menguasai Megalung dan tidak mempercayai Prajurit maupun Pamong Negeri Megalung,..” kata Andragi.

“Kalau begitu kedudukan Risnadu dan prajuritnya bisa berada dalam bahaya,..??” kata Brewok.

“Ya, besar kemungkinan begitu. Karena itu ada beberapa hal yang harus kita kerjakan segera,..” kata Andragi.

“Apa sajakah itu,,..??” tanya Loyo.

“Yang pertama kita harus bisa menjalin hubungan dengan Risnadu dan menawarkan tempat ini kalau mereka terpaksa menyingkir. Kekuatan mereka tentu akan sangat membantu pertahanan disini. Bagaimanapun juga tempat ini cepat atau lambat akan diketahui keberadaannya dan bisa dituduh sebagai tempat persembunyian para pembunuh Cadipa,....” jelas Andragi.

“Ya, orang pemerintah pasti akan mencari kambing hitam dan harus ada yang diserang. Jadi mungkin sekali tempat ini akan dijadikan sasaran tuduhan dan di serang,..” kata Prasa yang tahu benar tabiat orang pemerintah.

“Risnadu itu dulu anak buah saya. Dalam posisinya seperti sekarang saya kira saya bisa berhubungan dengan dia,..” kata Prasa.

“Baiklah, .. sobat Prasa akan melakukan itu.  Siapa yang menemani,..??” tanya Andragi.

“Saya juga kenal dengan Risnadi, Biar saya menemani kakang Prasa,..” jawab Pratur.

“Baiklah,.. Besok pagi sobat berdua bisa berangkat,..” kata Andragi.

“Apa tugas berikutnya,..” tanya Loyo.

“Yang kedua, kita juga harus mencari orang-orang yang paling menderita terdampak dari pemerasan yang dilakukan oleh Adipati Cadipa. Mereka pasti akan dicurigai dan bisa dituduh telah membunuh Cadipa karena sakit hati. Ajak mereka menyingkir kesini. Kita tak bisa tinggal diam kalau mereka dikejar-kejar,..” jelas Andragi.

“Saya bisa melakukan itu,.. Saya kenal beberapa keluarga yang jadi miskin karena perlakuan Cadipa,..” kata Rampoli.

“Baik, .. Sobat Rampoli bisa ditemani sobat Laja supaya kalau ada sesuatu yang mendesak sobat Laja bisa cepat kabari kami,..” jawab Andragi.

“Tentu kita harus cepat persiapkan tempat disini,..” kata Brewok.

“Betul,.... Itu tugas ketiga kita. Kita harus percepat kerja kita disini agar bisa menampung mereka yang datang,...” jelas Andragi.

“Dan tugas ke empat yaitu mulai membangun benteng pertahanan di markas Kasjur,..” lanjut Andragi.

“Apakah seperti di Gunung Kembar,..??” tanya Prasa.

“Ya,  betul... Sobat Prati, Prama dan Prawa yang pernah berada di Gunung Kembar bisa memimpin membuat pertahanan disana,..” jawab Andragi.

“Pembagian tugas yang rapi. Saya dan Huntaro akan belajar banyak cara membangun desa baru disini,..” kata Huntari.

“Silakan sobat Huntari dan Huntaro. Tentu bantuan sobat berdua juga akan sangat bermanfaat,..” kata Andragi.

“Oh iya, .. tolong sobat Rampoli beritahu sobat Satange untuk menanam pohon-pohon yang tinggi agar pondok persinggahan itu tidak mudah terlihat dari jalan,..” lanjut Andragi.

Keesokan harinya pembagian tugas itu dilaksanakan. Rampoli, Laja, Prasa dan Pratur berangkat menuju Megalung. Adapun Prati, Prawa dan Prama kembali ke markas Kasjur untuk membangun benteng pertahanan. Sedangkan Andragi, Brewok, Loyo, Ba;mis, Codet, Huntari dan Huntaro tetap ditempat itu untuk terus membangun desa baru yang mereka namakan Hardeba.

Di Hardeba, parit dan jalan sudah terbentuk, tinggal merapikan nantinya. Beberapa rumah juga sudah berdiri berikut sumur dan kamar mandi serta WC yang memakai “leher angsa” penghilang bau dari  tembikar yang dibuat oleh Loyo yang dipelajarinya dari para santri di Harjagi.

Yang membedakan adalah sebidang lahan luas disediakan untuk membuat sebuah rumah panggung besar guna menampung banyak orang yang datang sementara rumah-rumah yang dibangun belum mencukupi. Dua puluh lima orang ditugaskan membangun rumah besar itu, sementara 25 yang lainnya membantu Andragi dan Brewok mengerjakan ladang.

Selain menanam singkong ajaib seperti di Harjagi, Andragi juga meminta membuat ladang jagung karena cepat menghasilkan. Ada juga ladang sayuran dan buah-buahan. Sedangkan tanaman bumbu bisa ditanam di pekarangan rumah masing-masing.

Adapun Prati, Prawa dan Prama beserta 25 orang prajurit termasuk Juritma mulai membuat rencana membangun menara pengawasan yang tinggi di 8 penjuru, kemudian berbagai jebakan di tempat-tempat tertentu serta pagar-pagar tinggi dan kokoh yang memisahkan markas dengan pondok-pondok tempat tinggal keluarga dan sawah ladang mereka. Ini dimaksudkan jika ada serangan, para penghuni bisa masuk dan berlidung di area dalam pagar.

Sementara itu Rampoli. Laja, Prasa dan Pratur menjelang petang telah sampai di penyeberangan sungai Priga. Satange dan seorang kawannya yang kebetulan ada di sisi itu segera neyambut mereka dengan ramah.

“Mari tuan, selamat datang,.. Mari langsung naik,..” sapanya.

Diatas perahu Satange bercerita kalau telah terjadi pembunuhan adipati Cadipa di Megalung.

“Apakah suasana disana gawat,..??” tanya Prasa.

“Sepertinya begitu karena prajurit dan Pamong Negeri gencar mengejar pembunuhnya yang lari entah kemana,..” jawab Satange.

“Oh,.. pembunuhnya belum tertangkap,..??” tanya Rampoli.

“Belum tuan, katanya orang-orang yang sakit hati kepada adipati itu yang membunuhnya, tapi siapa,... kan banyak yang sakit hati,..” jawab Satange.

“Kenapa begitu,..?? tanya Prasa.

“Yah, katanya banyak yang menderita atau jatuh miskin karena hartanya diperas atau hasil panen seperempat harus diserahkan ke pemerintah,.. Kami rakyat miskin tidak begitu tahu soal itu,..” jelas Satange.

Setiba di seberang sungai mereka memutuskan bermalam di pondok persinggahan yang dibangun Satange atas bantuan Andragi dan kawan-kawan. Tanpa disuruh istri Satange langsung memasak makanan buat para tamunya dengan bahan makanan yang selalu disiapkan untuk para tuan penolongnya yang memang sering menyeberang dan sengaja meminta dia mendirikan pondok penginapan ini.

“Sobat Andragi, tabib sakti itu, berpesan sebaiknya menanam pohon yang tinggi supaya pondok ini tidak mudah terlihat dari jalan. Dan jangan pernah cerita kalau kami sering menginap disini. Kita tidak pernah tahu niat jahat seseorang,..” kata Rampoli.

“Baiklah tuan, saya akan menanam batang-batang pohon yang tinggi seperti bambu atau yang lain,...” jawab Satange.

“Ini sekedar titipan dari tabib sakti itu,..” kata Rampoli menyerahkan sejumlah keping uang.

“Ini terlalu banyak tuan,..” kata Satange menolak.

“Simpan saja, mungkin suatu saat berguna. Memang jangan dibelanjakan sekarang semuanya karena akan mengundang kecurigaan,..” jelas Rampoli.

Esok harinya ke empat orang itu meneruskan perjalanan mereka ke Megalung berdua-dua dalam jarak tertentu seperti tidak saling mengenal. Tak ada halangan berarti menghadang mereka di sepanjang perjalanan. Setiba di Megalung Rampoli dan Laja memisahkan diri berjalan menuju pemukiman penduduk sedangkan Prasa dan Pratur langsung menuju markas prajurit Megalung.

Di depan gerbang markas prajurit mereka dihentikan oleh penjaga.

“Apa maksud kedatangan kalian kisanak,..??” tanya seorang penjaga.

“Kami ingin menghadap komandan Risnadu untuk melaporkan,..” jawab Prasa.

“Melaporkan soal apa,...??”

“Tak bisa disini kisanak, ini soal penting,..” jawab Prasa.

“Iya,.. tetapi sebut dulu soal apa,..!!” kata penjaga itu tegas.

“Tak bisa disini,... Biarlah kami masuk dulu,..” kata Prasa.

“Enak saja,..! Sebut keperluanmu sebelum kutendang kalian,..!!” bentak penjaga dengan nada marah.

Terjadi ketegangan di depan pintu gerbang itu. Mau tidak mau Prasa terpaksa menyebutkan keperluannya.

“Hmm,.. soal pembunuhan Adipati Cadipa,..” jawab Prasa setengah berbisik.

“Apa,..!! betulkah,..??” tanya penjaga itu kaget.

“Teman-teman,.. kepung kedua orang ini,..!!” seru penjaga itu kepada teman-temannya.

Serentak beberapa orang prajurit mengepung Prasa dan Pratur dengan pedang terhunus.

“Ringkus kedua orang ini dan kita paksa untuk mengaku,..!!” kata penjaga yang tadi.

Tidak ada pilihan lain bagi Prasa dan Pratur selain bersiap diri menghadapi para pengeroyok mereka. Dengan mengambil posisi beradu punggung, Prasa dan Pratur menggenggam pedang dengan sikap waspada. Para prajurit mulai melangkah berputar pelan-pelan mengelilingi keduanya.

Tiba-tiba dua orang prajurit yang berada di depan masing-masing melompat menyerang dengan gerakan menusuk, namun dengan cekatan Prasa dan Pratur menangkis sambil melompat ke samping kanan sekaligus menyerang orang yang terdekat. Tak ayal pertekelahian pun pecah dengan kerasnya. Serangan dari para penjaga yang mengeroyok bertubi-tubi datang silih berganti namun dengan tenang dilayani oleh Prasa dan Pratur. Posisi mereka dengan sikap adu punggung itu sangat sulit ditembus dan mereka selalu bisa kembali ke posisi itu setiap kali bergerak menghindar atau setelah menyerang.

Sejauh ini setiap serangan prajurit pengepung selalu mampu dihindari atau ditangkis oleh Prasa dan Pratur. Bahkan sesekali mereka sempat mendesak para pengeroyoknya. Tentu tak heran karena sebagai bekas pimpinan prajurit disitu mereka juga yang mengajarkan gerakan-gerakan dan pola serangan para prajurit itu.

“He,.. Tunggu dulu,..!! seru Prasa. “Kalian tak perlu sibuk meringkus kami dan belum tentu kalian bisa,... Antar saja kami ke dalam dan temukan kami dengan komandan Risnadu, sebelum ada yang jatuh korban disini,..!!” kata Prasa.

“Jangan takut teman-teman,.. ayo ringkus mereka,..!” kata seorang prajurit.

“Eh,.. kau Tejor, cepat kasih tahu komandan Risnadu,..!! sergah Pratur kepada prajurit yang baru berkata tadi.

“Eh,... kok kau tahu namaku,..??  Siapa kau,..!!??” tanya Tejor tergagap.

“Aku tahu hampir semua prajurit disini. Juga Komandan Risnadu,..Cepat antar kami kepadanya,,!!” perintah Pratur.

Seperti terpesona Tejor membuka pintu samping gerbang dan mereka membawa masuk Prasa dan Pratur ke pos dalam markas, dan meminta keduanya menunggu. Tejor lalu melapor ke komandan jaga, yang segera berjalan ke dalam suatu ruangan. Beberapa saat kemudian komandan jaga datang dan menyuruh Tejor membawa masuk Prasa dan Pratur ke ruangan yang tadi dia masuki. Ternyata didalam ruangan itu ada Risnadu yang memandang tajam kedua tamu tak diundang itu.

Risnadu menduga keras jangan-jangan kedua orang ini hanya akan mencari keuntungan dari pembunuhan itu atau mau memfitnah musuhnya dan meminjam tangan prajurit untuk menghukum lawannya. Tidak mungkin kalau laporan mereka ini benar karena dia sendiri dan prajuritnya yang membunuh adipati Cadipa.

“He,... benarkah kalian ingin melaporkan pembunuh Adipati Cadipa,..!!??” tanya Risnadu sedikit membentak.

Bukannya menjawab, pelan-pelan Prasa dan Pratur membuka ikat kepala mereka dan menggantikannya dengan ikat kepala prajurit Megalung yang dulu mereka pakai.

Dengan terbelalak Risnadu memandang tak berkedip kedua orang itu.

“Komandan Sarji,...komandan,.. bukankah komandan sudah,..??” tanyanya terputut-putus karena terkejut.

“Ya benar,, Saya Sarji dan ini komandan Tursina,.. Kami masih hidup dan telah berganti nama... Panggil saya Prasa dan ini sobat Pratur,.. jawab Prasa.

Prasa lalu menjelaskan semua kejadian yang dia dan ke empat kawannya alami saat gagal mengawal harta hadiah ulang tahun Kepala Negeri hingga mereka memilih bergabung dengan Andragi dan kawan-kawannya.

“Jadi kami sudah menduga keras akan dihukum berat kalau gagal dalam pengawalan itu seperti yang sobat Risnadu alami bersama pasukannya,..” jelas Prasa.

“Yah,... memang itu yang kami alami,... kata Risnadu.

“Beberapa hari yang lalu dua sobat kami mengamati markas ini dan mengetahui persis apa yang dilakukan sobat Risnadu dan pasukannya terhadap adipati Cadipa,..” kata Prasa.

“Heh,..!! Apakah mereka itu yang masuk kesini dan mengaku kerabat kakang Sarji,..??” tanya Risnadu.

“Ya, betul,.. Keduanya telah melaporkan kepada pimpinan kami di markas Kasjur apa yang mereka lihat disini dan kami diutus menemui sobat Risnadu,..” jawab Prasa.

Hati Risnadu tercekat mendengar kalau ada yang tahu tentang siapa pembunuh Adipati Cadipa itu. Jangan-jangan kedua orang ini datang untuk memerasnya dan meminta harta rampasan dari rumah Adipati Cadipa. Hatinya jadi gelisah.

“Hmmm,.. apakah selain mereka ada yang tahu,..??” tanya Risnadu.

“Kami tidak tahu,... kami berharap tidak ada. Tetapi sobat Risnadu tetap harus berjaga-jaga karena bisa saja Gubernur Gurada mempersalahkan sobat Risnadu soal itu. Bahkan menuduh sebagai pembunuhnya dengan alasan balas dendam karena sakit hati,..” jawab Prasa.

Risnadu memandang tajam. Otaknya berpikir keras bagaimana menghadapi situasi ini.

“Tapi jangan kuatir. Kami di markas Kasjur selalu siap membantu Sobat Risnadu dan rakyat Megalung yang tertindas oleh keserakahan adipati Cadipa. Jika terjadi sesuatu sobat Risnadu dan pasukannya bisa mengungsi ke markas Kasjur dan membangun pertahanan disana,..” jelas Prasa.

Hati Risnadu menjadi sedikit lega mendengar penjelasan Prasa itu. Dia sebenarnya sudah menimbang-nimbang pula kemungkinan akan jadi sasaran dipersalahkan oleh Gubernur Gurada karena harus ada orang yang dipersalahkan dalam pembunuhan yang menimpa anak kesayangannya itu.

“Oh, terimakasih banyak kakang. Tetapi saya belum tahu dimana markas Kasjur itu berada,..” kata Risnadu.

“Tidak Jauh dari sini. Kami ada di seberang sungai Priga. Ada baiknya sobat Risnadu mengutus satu dua orang mengikuti kami ke markas Kasjur untuk melihatnya dulu,..” tawar Prasa.

“Baiklah,... Saya akan suruh orang kepercayaan saya ikut kakang berdua ke markas Kasjur,..” jawab Risnadu menyetujui.

Malam itu Prasa dan Pratur diminta menginap di markas prajurit Megalung itu oleh Risnadu dan keesokan paginya dia menyuruh dua orang prajuritnya mengikuti Prasa dan Pratur kembali ke Maekas Kasjur.

Adipati Cadipa Tewas Dibunuh Risnadu

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #98 )

-------------------------

Kita tinggalkan dulu Kepala Negeri Sudoba yang sedang berunding. Kita menengok Markas Kasjur dimana Andragi sedang menata kehidupan baru disana setelah semua bekas prajurit terkumpul dan anak istri mereka berangsur-angsur berhasil dijemput satu persatu oleh suami mereka sesuai dengan jadwal yang sudah diatur oleh bekas pimpinan mereka masing-masing.

Markas Kasjur sudah bisa menghidupi para penghuninya. Dengan bantuan Loyo, Brewok, Balmis dan Codet yang pernah membangun Harjagi dan Kenteng, mereka membangun pedesaan bagi para keluarga bekas prajurit persis di bawah markas Kasjur, di perut bukit. Sawah dan ladang mulai menghijau, tertata rapi, dikelilingi pepohonan besar pembatas desa itu dengan hutan yang mengelilinginya.

Parit-parit dibuat untuk menyalurkan air melalui tengah desa terus  ke kolam-kolam ikan, sawah dan ladang. Setiap rumah dimodali dengan sepasang sapi, 2 pasang kambing dan beberapa ekor ayam dan itik. Sedangkan kolam ikan, sawah dan ladang dikelola bersama dengan pengaturan kelompok yang disiplin seperti saat ketika mereka masih menjadi prajurit.

Melihat tempat itu sudah hidup, Andragi mulai memikirkan bagaimana mengembalikan harta yang mereka rampas di dekat Kalisunggi dikembalikan kepada rakyat Megalung yang telah diperas. Dia merundingkan gagasannya dengan para pimpinan markas Kasjur, termasuk Laja yang sudah tiba pula dari perjalanan panjangnya ke Markas Sontoloyo.

“Kita harus mencari korban pemerasan yang hidupnya menjadi susah akibat pemerasan itu dan mengajaknya pindah ke lembah di luar Selonto dekat dengan pondok persinggahan kita di dekat hutan itu,..” kata Andragi.

“Tetapi tempat itu belum ada apa-apa, masih hutan dan padang perdu,..” kata Prasa.

“Sobat Prasa benar,.. karena itu kita kita akan bangun sebuah desa disana seperti yang pernah kami lakukan di Harjagi. Sobat Loyo, Brewok, Balmis dan Codet yang pernah disana bisa membantu menjelaskan. Intinya kita ajak mereka dan kita modali untuk hidupbeberapa bulan sampai mereka bisa panen dan hidup seperti desa kita Kasjur ini.,..” kata Andragi.

“Tiga bulan pertama dari sekarang kita akan bangun satu desa dan sebuah ladang lengkap dengan parit seperti gambar ini,..” lanjut Andragi.

Angragi lalu menunjukkan gambar denah yang mirip dengan yang dibuat untuk desa Harjagi. Diputuskan 50 orang bekas prajurit akan membuat desa baru itu, bergantian setiap minggu. Para pimpinan prajutrit akan memimpin kelompok kerja membabat hutan, membuat parit, jalan, area ladang dan sawah.

Sementara itu Balmis dan Codet yang ditugaskan mengamati Megalung mendengar kalau para prajurit yang kalah perang mendapatkan hukuman fisik dan di penjara selama 2-3 minggu. Rakyat menjadi resah dan merasa hal itu tidak adil. Bagaimanapun mereka telah berjuang hidup mati mempertahankan sepotong nyawa mereka. Rakyat juga merasakan beban hidup yang semakain berat karena adipati Cadipa menaikkan pajak lagi guna mengumpulkan hadiah kepada Kepala Negeri untuk ulang tahun berikutnya.

“Hmmm, kelihatannya terjadi gejolak disini,..” kata Balmis.

“Apakah kita harus segera melaporkan ini,..??” tanya Codet.

“Jangan dulu,.. sebaiknya kita tahu lebih jauh dulu,..” jawab Balmis.

“Bagaimana caranya, .. apa hanya ke pasar cari berita dan menunggu,..??” cecar Codet.

“Kita akan cari tahu dari dalam markas prajurit. Dari sana kita akan tahu apa yang akan terjadi,..” jawab Balmis.

Mereka lalu mencari cara masuk ke dalam markas prajurit yaitu dengan berpura-pura sebagai kerabat istri Prawa yang tewas dalam pengawalan hadiah ulang tahun Kepala Negeri. Mereka pun mendatangi markas prajurit Megalung saat hari belum siang. Di depan gerbang mereka ditanya prajurit yang bertugas jaga.

“Apa maksud kalian kesini,..??!!” tanya penjaga.

“Kami kerabat istri kakang komandan Tulawa yang tewas dalam pengawalan, mau mengunjungi,..” jawab Balmis.

(Tulawa adalah nama asli Prawa sebelum diganti oleh Andragi)

“He,.. setahu saya istrinya sudah pergi ke desanya,..” kata penjaga.

“Oh begitu,... Tapi biarlah kami melihat ke pondoknya,...” pinta Balmis.

“He,..!! Kau tak percaya padaku,..!!” bentak petugas itu.

“Ah,.. biarlah dia lihat sendiri biar puas,..” kata penjaga lain yang mendengar percakapan mereka.

“Ya sudah,..!! Kau antar sendiri mereka sana,..!!” katanya kesal.

Penjaga satunya lalu membawa mereka masuk melalui barak-barak prajurit menuju ke pondok para pimpinan prajurit.

“Harap maklum, teman saya itu lagi kesal hatinya. Kami semua juga lagi kesal,..” kata penjaga yang mengantar.

“Oh, maaf,... tapi mengapa,..??” tanya Balmis.

“Yah,... mungkin masih beruntung istri komandan Sarji yang sudah pergi dari sini,..” kata penjaga.

“Oh,... memangnya ada apa,..??” tanya Codet.

“Kami ini sudah berjuang setengah mati, pulang-pulang malah dihukum,.. “ keluhnya.

Tampak sekali kemarahan di wajahnya. Dan ketika berpapasan dengan prajurit lain dia terlihat memberi isyarat tertentu dan dijawab “siap” oleh yang berpapasan. Semua itu diamati dengan seksama oleh Balmis dan Codet, sehingga mereka pun bersikap waspada.

“Nah, itu dulu pondok Komandan Tulawa, sekarang sudah diisi komandan lain,..” kata penjaga iru.

Di depan pondok itu tampak 2 bocah bermain di halaman ditemani seorang perempuan sepertinya ibu mereka.

“Oh,... bukan istri kakang Tulawa,... Baiklah kami akan kembali saja,..” kata Balmis.

Dalam berjalan kembali menuju gerbang, suasana terlihat lengang. Tidak terlihat prajurit yang lalu lalang.

“Kenapa sepi disini ya,..??” tanya Balmis.

“Ya, ... semua orang pilih istirahat habis kena hukuman,..” jawab penjaga, dengan kata-kata yang dingin, terasa getir.

Sebelum sampai di pintu gerbang, tiba-tiba muncul komandan Risnadu, orang yang memimpin pulang pasukan yang kalah perang di gunung kembar dan mendapat hukuman yang paling berat.

“Bersiaplah,..!! Dengar,.. Mulai sekarang tidak ada yang diperbolehkan masuk,..mengerti,..!!??” perintahnya.

“Siap, komandan,..!!” jawab penjaga itu.

Balmis dan Codet segera meninggalkan gerbang dan kembali ke tempat mereka menginap.

“Tampaknya akan segera terjadi sesuatu ,, tapi apa ya,..??” tanya Codet.

“Ya, .. akan terjadi sesuatu,...Mari kita pindah penginapan yang mudah keluar dari Megalung menuju Selonto supaya tidak terjebak disini kalau terjadi kekacauan,..” kata Balmis.

Sore itu mereka pindah ke penginapan lain dan memutuskan untuk berjaga-jaga siapa tahu ada sesuatu yang terjadi. Mereka sepakat untuk bergantian tidur.

Saat itu di markas prajurit Risnadu mengumpulkan semua prajuritnya.

“Malam ini kita lakukan,.!! Semua berpakaian seperti warga biasa. Jangan bawa tanda-tanda prajurit. Semua siap,..??” tanya Risnadu.

“Siap,..komandan,..” jawab beberapa pimpinan prajurit hamir bersamaan.

Selepas tengah malam para prajurit dalam penyamaran itu bergerak diam-diam menuju kediaman adipati Cadipa dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka langsung mengepung rapat kediaman itu untuk tidak membiarkan ada yang bisa lolos. Malam yang gelap sengaja dipilih agar penyamaran mereka tidak mudah diketahui.

Terdengar suitan burung malam yang agak panjang dari biasanya. Sebenarnya itu adalah  sebuah isyarat. Pelan-pelan gerbang terbuka sedikit.  Rupanya penjaga gerbang adalah prajurit dari markas mereka juga yang sengaja dikirim untuk menjadi penjaga pada malam itu. Begitu melihat gerbang sedikit terbuka dengan cepat pasukan dalam samaran itu memasuki bagian dalam kediaman adipati lalu menyebar ke semua sudut.

Dengan sebuah teriakan nyaring Risnadu memberi aba-aba untuk menyerang, mendobrak pintu dan membakar.

“Serang,..!! Dobrak,..!! Bakar,..!!” teriaknya.

“Bunuh Adipati penghisap darah rakyat,..!! Jangan biarkan ada satupun yang lolos,..!!” perintahnya

Serentak terdengar pintu didobrak, gemeretak api mulai membakar benda-benda yang mudah terbakar serta teriakan pembakar semangat berbaur hiruk pikuk. Tidak ada perlawanan berarti dari para pengawal adipati, bahkan terkesan mereka menghindar tidak melawan. Yang kalang kabut seperti ayam kehilangan induk lari menyelamatkan diri adalah para pelayan dan pembantu pribadi keluarga Adipati Cadipa.

Risnadu diiringi pasukannya langsung masuk ke bagian dalam kediaman  dan mendobrak pintu kamar pribadi Cadipa yang kedapatan meringkuk coba melindungi anak dan istrinya.

“He.., siapa kalian,..!!??” Cadipa mencoba memgertak.

Bukannya jawaban yang didapat tetapi tebasan pedang dari Risnadu disusul oleh anak buahnya yang ramai-ramai menghabisi semua anggota keluarga adipati Megalung itu.

 “Ambil semua benda berharga dan uang yang ada untuk bekal perjuangan kita selanjutnya,...!!” perintah Risnadu.

Dengan cepat mereka menguras harta benda yang ada sementara api sudah hampir menyapu seluruh bangunan. Mereka dengan sigap kembali ke markas prajurit dan setiba disana langsung berganti dengan pakaian prajurit. Sebagian besar segera masuk ke dalam sel tahanan.

Pada saat itu Kepala Pamong Negeri Megalung, Pariga, mendapat laporan dari anak buahnya yang bertugas jaga kalau terlihat kebakaran besar di arah kediaman Adipati Cadipa.

“He,... apakah yang terjadi,..?? Siapkan pasukan, kita menuju kesana,..!!” perintah Pariga.

Para Pamong Negeri segera dikumpulkan lalu bersama-sama menuju kediaman Adipati Megalung. Tetapi dia tidak menjumpai seorangpun disana, hanya api dan asap yang mengganas dan sudah melahap semua bangunan yang ada.

“Heran,... Kenapa tak ada satupun orang memadamkan api,..??” tanya Pariga.

“Kenapa tidak ada pasukan prajurit Megalung datang melindungi Adipati,..??”  cetus Pariga bertanya-tanya.

Karena tak ada yang bisa dilakukan disini, dia mengajak anak buahnya menuju markas prajurit. Di depan gerbang dia dihentikan oleh prajurit penjaga.

“He,... apa kalian tak melihat rumah Adipati terbakar,..!!??” tanya Pariga marah.

“Kami melihatnya,..” jawab penjaga.

“Lalu, kenapa kalian tidak datang menololong Adipati,..!!??” bentaknya.

“Hampir semua prajurit dan pimpinan prajurit sedang dalam masa hukuman. Mereka tidak boleh keluar dari sel,..” jawab penjaga.

“Kalau begitu lepaskan komandan disini. Ada hal penting yang harus dilakukan,..!!” perintah Pariga.

Penjaga membiarkan Pariga diikuti anak buahnya masuk dan segera berlari ke salah satu sel tahanan. Agak lama ia mengetuk-ngetuk pintu sel baru membukanya. Dari dalam muncul Risnadu seperti baru bangun dari tidur. Mereka terlihat bercakap-cakap sebentar lalu bergegas menemui Kepala Pamong Negeri.

“Selamat malam Kepala Pamong Negeri,..” sapa Risnadu.

“Ya, selamat malam Komandan. Ada hal penting yang harus segera kita kerjakan,..” kata Pariga.

“Maaf, saya masih dalam masa hukuman, tidak boleh keluar dari dalam sel tahanan,..” lawab Risnadu.

“Lupakan itu komandan, karena baru saja kediaman Adipati Cadipa dibakar habis. Banyak mayat hangus ditemukan disana. Kita tidak tahu apakah adipati terbunuh atau masih hidup,..” jelas Pariga.

“Apakah sudah ada yang tertangkap,..??” tanya Risnadu.

“Itulah yang harus kita kerjakan,.. Kami tak menemui seorangpun disana,.. Mari kita kerjasama mencari dan menangkap pelakunya,..” kata Pariga.

 “Hmmm,.. baiklah,... Saya akan menyiapkan prajurit saya,..” jawab Risnadu.

“Terimakasih,... saya akan kembali ke tempat kejadian untuk memeriksa,..” kata Pariga.

Hari menjelang fajar ketika sepasukan prajurit dibawah pimpinan Risnadu memacu kudanya menuju tempat kejadia. Bersamaan dengan itu keluar juga beberapa pasukan dipimpin seorang pimpinan prajurit berjalan menyebar ke berbagai pelosok kota Megalung.

Megalung bagai kota mati. Tidak tampak seorangpun keluar rumah meski hari mulai pagi. Rupanya kebakaran besar semalam telah diketahui semua warga dan mereka memilih menutup rapat-rapat pintu rumah mereka dan memilih diam di rumah.

Codet yang mendapat giliran berjaga segera membangunkan Balmis yang baru saja tertidur saat dia mendengar suara orang ribut di luar penginapan dan melihat sendiri cahaya terang diikuti asap hitam membubung di kejauhan.

“Benarkan,... malam ini terjadi sesuatu,..” bisik Codet.

“Ssssst,..!! Kecilkan suaramu,,!!”  kata Balmis sambil menyikut.

“Dimana itu ya,..!!??” terdengar seseorang bertanya keras-keras.

“Mungkin di dekat alun-alun sana,..” jawab orang lain menduga-duga.

Terdengar gunjingan orang-orang itu yang ramai menduga-duga apa yang terjadi. Ketika matahari mulai tinggi, Balmis dan Codet memutuskan untuk pergi ke pasar dan mendekat ke alun-alun. Ternyata rakyat sudah banyak yang berani keluar karena mendengar kabar kalau kota Megalung sudah aman dikuasai oleh pasukan pemerintah. Para pembunuh sudah melarikan diri keluar dari Megalung. Korban yang terbunuh adalah Adipati Cadipa dan keluarganya serta semua penghuni kediaman itu.

“Hmmm,.. kelihatannya warga tidak merasa sedih atas kematian Adipati mereka,...” kata Balmis.

“Malah cenderung senang dan lega, menurutku,..” timpal Codet.

“Ya, kau benar,... Aku juga melihatnya begitu,..” kata Balmis.

Jaira Terhindar dari Racun Mematikan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #97 )

Kita kembali ke Kotaraja dimana Kepala Negeri akan memberi penghargaan kepada Adipati Rajapurwa, Jaira. Dia memanggil Uyada, seorang menteri Klapa Getir.

“Pastikan Asipati Rajapurwa meminum tuak kerajaan ini dan disaksikan oleh seluruh peserta jamuan pesta pemberian penghargaan ini,..” kata Sudoba.

“Baik, tuanku Kepala Negeri. Akan saya pastikan itu terjadi,..” jawab Uyada.

Dua hari kemudian Uyada terlihat berangkat menuju Rajapurwa dengan diiringi pasukan pengawal yang kuat. Ia tidak mau kejadian perampokan hadiah perkawinan Kepala Negeri itu terjadi lagi terhadapnya. Perjalanan menuju Rajapurwa dama sekali tidak mengalami hambatan meski memakan waktu 4 hari lamanya.

Setiba di Rajapurwa mereka disambut dalam upacara resmi oleh Adipati Jaira lengkap dengan pasukannya yang ikut dalam pertempuran mengalahkan ‘perampok’ gunung Kembar. Rakyat Rajapurwa berduyun-duyun hadir karena merasa bangga wilayahnya mendapat pengghargaan dari Kepala Negeri. Mereka sudah diberitahu sebelumnya tentang hal itu melalui berita dari mulut ke mulut yang diawali dari paguyuban Kapisan di warung tempat Lugasi dan warga berkumpul.

Alun-alun di depan Kadipaten itu terisi penuh dengan adanya pasukan pengawal dari Kotaraja, pasukan Rajapurwa serta rakyat yang memadati sisi kiri, kanan dan depan kadipaten. Sungguh meriah suasana hari itu. Para tamu duduk di panggung persis di depan kadipaten dan menghadap ke alun-alun. Hadir pula disitu Gubernur Landipa, Mateko yang membawahi kadipaten Rajapurwa.

“Saudara-saudara sekalian warga Rajapurwa, Kepala Negeri Klapa Getir mengucapkab terimakasih atas keberhasilan Kadipaten Rajapurwa menumpas perampok ganas Gunung Kembar. Karena itu Kepala Negeri Sudoba berkenan menganugerahkan penghargaan kepada adipati Rajapurwa atas keberhasilan ini,..” pidato Uyada.

“Horeeee,..!!  Hidup Rajapurwa,... Hidup Adipati Jaira,..!!” teriak warga.

“Atas nama Kepala Negeri Klapa Getir saya menyerahkan seperangkat hadiah termasuk tuak kerajaan dalam kendi khusus yang harus diminum sebagai tanda menerima penghargaan Kepala Negeri ini,..” lanjut Uyada.

Uyada lalu menyerahkan kendi tuak kerajaan dengan hikmad dan mengancungkan tinggi-tinggi ke arah warga yang menyambutnya dengan epukan dan teriakan bangga.

“Hidup Rajapurwa,...Hidup Adipati Jaira,..” teriak rakyat.

“Silakan dibuka dan diminum, adipati,..!!” kata Uyada dengan nada mendesak.

Jaira memandang mata Uyada yang tajam menusuk, jelas menuntut agar dia segera meminum tuak kerajaan itu. Dengan tegar Jaira melambaikan sebelah tangannya meminta warga diam. Rakyatpun segera menghentikan teriakan mereka dan terdiam, memandang dengan takjub bagaimana Adipati mereka akan membuka tutup kendi lalu minum tuak kerajaan mewakili rakyat Rajapurwa.

“Rakyat Rajapurwa semua,...” kata Jaira.

“Dengan ini kita menerima penghargaan ini dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kepala Negri Sudoba yang disampaikan melalui menteri Uyada.,..” lanjutnya.

“Tetapi sebelum saya meminumnya kita harus memberi kehormatan kepada Gubernur Landipa, Tuanku Mateko untuk meminumnya terlebih dahulu karena Rajapurwa berada di bawah propinsi Landipa,..” lanjut Jaira.

“Horee,...!! Hidup Landipa,... hidup gubernur Mateko,..” teriak rakyat seperti ada yang memberi komando.

Gubernur Mateko diminta maju oleh Jaira dan seorang ajudan memberikannya sebuah cangkir. Jaira lalu membuka kendi kerajaan itu dan dengan perlahan-lahan menuangkan isinya ke dalam cangkir ditangan gubernur Mateko hingga penuh. Semua mata memandang dengan tajam, juga Uyada yang sebenarnya ingin mencegah tetapi suasana dan situasi sudah tidak memungkinkan...

Dengan wajah sumringah gubernur Mateko mengangkat cangkir ke atas lalu meminumnya seteguk-seteguk hingga habis diiringi dengan tepuk tangan meriah rakyat Rajapurwa yang menyaksikan. Hanya menteri Udaya yang terlihat tegang,..

“Hidup Lamdipa !!,...Hidup Gubernur Mateko,..!!” teriak massa.

Dalam kegemuruhan itu tiba-tiba Gubernur Mateko jatuh tersungkur. Jaira yang berada di dekatnya langsung meletakkan kendi kerajaan dan meraih tubuh gubernur Mateko. Diangkatnya kepala Mateko, wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal serta mulutnya berbusa. Tak berapa lama kepalanya terkulai, mati.

Rakyat pun mendadak terdiam menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kerumunan warga,

“Suruh utusan itu minum,..!! suruh Uyada minum,..!!

Sambil teriak itu massa maju merangsek ke arah panggung dari segala arah. Pasukan pengawal Uyada bergerak untuk melindungi Uyada tapi mereka segera bergadapan dengan pasukan Rajapurwa yang menghadangnya. Tak terelakkan lagi terjadi pertempuran antara kedua pasukan dalam kekacauan itu.

Rakyat yang menyerbu ke panggung dengan garang mengeroyok Uyada dan para pendampingnya. Diantara mereka terdapat Lugasi yang dengan cepat menotok Uyada kemudian para pemdampingnya agar mudah diringkus oleh massa sehingga tidak jatuh korban diantara rakyat karena para utusan itu tentu memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi.

Dengan cepat mereka mencekoki para utusan itu dengan tuak kerajaan dari kendi yang diletakkan oleh Jaira. Tidak berapa lama mereka sudah kelojotan meregang nyawa.

Lepas dari situ Lugasi langsung bergabung dengan pasukan yang sedang bertempur untuk membantu pasukan Rajapurwa. Pertempuran itu segera menjadi timpang dengan adanya Lugasi. Bahkan sebagian rakyat bukannya takut tapi berjaga-jaga di sekelilingnya. Jika ada pasukan pengawal yang terjatuh di dekat mereka, langsung mereka meringkusnya, tetapi kalau pasukan Rajapurwa yang terjatuh di dekat mereka, mereka lindungi. Akhirnya pasukan pengawal dari Kotaraja menyerah. Banyak dari mereka yang terluka dan sebagian terbunuh.

 Setelah suasana mereda, Jaira tampil di panggung dan menghadap ke arah pasukan pengawal. Matanya tajam dengan pandangan menikam diikuti rahangnya mengatup rapat.

“He, kalian ,... pasukan pengawal,..!! Siapa pimpinan kalian he,..!!??”

“Saya, tuanku,.. Saya Racuga,..” jawab Racuga.

“Kau dan pasukanmu lihat sendiri apa yang terjadi disini... Pulang dan laporkan apa yang kalian lihat sebenar-benarnya,...!!” kata Jaira lantang.

“Kami tak bisa pulang dengan kekalahan,.. Kami harus melawan sampai mati,..” jawab Racuga.

“Tapi,.. kenapa kalian menyerah ,..??” kejar Jaira.

“Banyak dari kami yang tertotok dan diringkus,..” jawab Racuga.

“Baik,.. kami akan lepaskan totokan kalau kalian memang ingin mati,..!!”

Dengan satu isyarat dari Jaira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan mengelinding diantara prajurit pasukan pengawal membebaskan totokan di tubuh mereka satu persatu. Gerakannya yang begitu lincah membuat semua yang memandang terkagum-kagum. Tidak lain tidak bukan dia Lugasi yang dijuluki Anak Setan.

“Nah, pasukanmu sudah tidak tertotok lagi. Mari kita bertempur sampai mati,..” tantang Jaira.

Racuga dan pasukannya diam membeku. Rupanya nyali mereka jadi ciut melihat pasukan Rajapurwa yang sudah bersiap tempur dan disampingnya ada Anak Setan yang punya gerakan sangat cepat serta rakyat Rajapurwa yang  siap meringkus mereka.

“Kenapa kaian diam saja,..he..!!??” sergah Jaira.

“Kami tak bisa kemana-mana,... Kami mohon perlindungan Adipati,..” jawab Racuga.

“Hmmm, perkara ini menjadi rumit. Tapi,.. baiklah. Kalian akan kami tempatkan di Gunung Kembar. Disana sudah ada sawah dan ladang yang bisa kalian kerjakan untuk hidup. Tapi untuk sementara semua perlengkapan perang kalian kami sita,..” jawab Jaira.

Begitulah.. Prajurit pasukan pengawal itu diantar oleh pasukan Rajapurwa ke gunung Kembar untuk memulai hidup baru mereka sebagai rakyat biasa.

Jaira juga mengirim seorang utusan ke Kotaraja melaporkan semua kejadian itu kepada pamannya Perdana Menteri Jukamu. Dengan dahi berkerut Jukamu membaca surat Jaira.

“Hmmm,... Memang tidak bisa dihindarkan situasi ini. Bagaimanapun Jaira punya hak untuk tetap hidup, tidak mati oleh minuman laknat itu,..” kata Jukamu.

“Begini,.. Bilang sama Adipati Jaira kalau ceritanya adalah karena menteri Uyada memang sengaja mau membunuh gubernur Landipa Mateko karena dia memang ingin menjadi gubernur disana. Kita tahu penghasilan dan kekuasaan seorang gubernur seperti Landipa jauh lebih besar dibanding menteri yang posisinya tidak begitu penting seperti Uyada. Dia sengaja menukar kendi tuak dengan yang beracun. Tapi dia tidak menduga kalau reaksi rakyat Rajapurwa seperti itu.,... Kau mengerti,..??” tanya Jukamu.

“Saya mengerti tuanku,..” jawab utusan jaira sambil mohon diri kembali ke Rajapurwa.

Esoknya Jukamu segera menghadap Kepala Negeri Sudoba melaporkan apa yang terjadi terhadap menteri Uyada di Rajapurwa. Muka Sudoba tegang dan rahangnya kencang menahan marah.

(pasti kau sudah memberi tahu keponakanmu itu kalau tuak itu beracun, Sudoba membatin)

“Namaku bisa rusak kalau orang mengira tuak beracun yang kuberikan sebagai penghargaan kepada orang yang sudah berjasa,..apa kata dunia,..??” kata Sudoba.

“Tidak tuanku, orang tahu kalau itu ulah Uyada yang memang berniat membunuh gubernur Landipa karena dia ingin mendapatkan tempat itu, tetapi reaksi rakyat Rajapurwa ternyata mereka sangat mencintai adipati mereka sehingga justru memaksa Uyada minum tuak beracun itu. Pasukan pengawal mencoba melindungi tapi tak berdaya melawan ribuan rakyat yang memenuhi alun-alun itu,..” jelas Jukamu.

(Hmmm, kau coba menakuti aku dengan bilang kalau keponakanmu itu dicintai rakyatnya, batin Sudoba)

“Hmmm, sebaiknya begitu. Aku akan pastikan dengan mengirim orangku nanti sebagai calon penggganti gubernur yang baru,..” kata Sudoba.

(Dasar kepala batu, dia akan menekan Jaira untuk mendukung calon dari pusat yang dia restui. Pasti kerabat dekatnya, pikir Jukamu)

“Siapakah yang akan tuan kirim kesana,..??” tanya Jukamu.

“Nanti pada saatnya kita akan tahu,..” jawab Sudoba.

Jukamu lalu minta diri kembali ke kediamannya.

Sedangkan Sudoba segera mengumpulkan orang-orang terdekatnya untuk membahas langkah yang sebaiknya mereka lakukan untuk menekan Jaira dan meloloskan calon mereka terpilih nantinya menjadi gubernur Landipa.

KOMENTAR ANDA