Anak Setan Melumpuhkan Perampok

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #48 )


Mereka segera lego jangkar. Perahu itu menggunakan layar, sehingga tidak perlu mendayung. Lugasi disuruh mengerjakan berbagai hal, mulai dari memasak hingga memegang kemudi, sementara mereka bersantai sambil makan dan minum.

Saat melayani mereka makan itu  ia mencuri dengar pembicaraan mereka seputar membegal rombongan pejabat dari Kotaraja.

“Siapa gerangan yang akan mereka rampok? pikirnya.

Ada sedikit rasa senang mendengar ada pejabat yang akan dirampok. Tetapi dia tidak suka dengan sikap para perampok ini. Mereka ini penjahat, bukan merampok untuk membela rakyat.

“Ah, aku tak peduli. Aku juga membenci para pejabat yang korup itu,” katanya dalam hati.

“Hei, kau. Besok kau ikut kami membawa alat-alat yang kami perlukan. Kalau tidak, kami akan cincang kau!” bentak seorang dari mereka.

“Keliahatannya dagingnya enak kalau dibikin sate. Hahaha!” timpal yang lain.

Dan mereka semua tertawa.

Lugasi jadi geram. Kalau saja mereka sedang tidak diatas air, sudah ia lawan mereka. Ia hanya mengangguk menahan marahnya itu.

Ternyata perahu itu tidak sendirian. Di tengah sungai mereka bertemu dengan perahu lain dan kemudian saling merapat. Dari perahu yang satu muncul delapan kepala dan mereka saling bertegur sapa.

“Apa semua sudah lengkap dan siap?” tanya pimpinan perahu yang ditumpanginya.

“Sudah juragan! Bahkan rute perjalanannyapun sudah kami ketahui. Tapi mereka tampaknya akan dikawal oleh Pasukan Pamong Negeri disini saat menyeberangi sungai ini,” jawab pimpinan perahu satunya.

“Kalau begitu kita begal sebelum mereka sampai di tepi sungai!” kata si juragan.

“Betul, juragan. Di hutan perdu yang ada dua pohon cemara tinggi itu tempat yang cocok. Disitu sepi dan jauh dari pedesaan. Kita habisi mereka semua disana,” jawab rekannya.

“Ide yang bagus! Kalau begitu sekarang juga kita harus ke seberang dan terus menuju hutan itu!” printah orang yang dipanggil juragan.

Mereka tiba di seberang saat masih gelap dan langsung berangkat menuju hutan dua cemara. Lugasi disuruh mengangkat beberapa senjata cadangan mereka. Dalam hati ia dongkol tetapi karena jumlah mereka banyak, ia terpaksa menuruti.

Mereka tiba disana saat matahari baru muncul dan segera membuat sarapan pagi. Setelah itu mereka menyebar mengatur posisi penyergapan. Seorang diantaranya diperintahkan memanjat pohon cermara untuk memantau keadaan. Setelah cukup lama diatas pohon cemara itu ia turun dan melaporkan yang dilihatnya.

“Rombongan itu sudah tampak. Mereka terdiri dari sekitar dua puluh orang. Dalam sepenanak nasi sudah akan sampai disini,” lapornya.

“Bagaimana keadaan disekitar sini?” tanya juragan.

“Sepi. Saya tak melihat siapapun,” jawabnya.

“Bagus! Meski kita kalah jumlah, kita bisa lakukan sergapan secara mendadak dan buat suara yang gaduh agar kuda-kuda mereka terkejut ketakutan. Serang dengan ganas dan jangan kasih kesempatan mereka bersiap. Mengerti?!”

“Mengerti juragan,” jawab para anak buahnya.

Mereka lalu bersembunyi pada posisi yang telah ditentukan. Tidak berapa lama kemudian si pemantau melaporkan rombongan itu tinggal beberapa ratus meter saja. Mereka menanti dengan tidak sabar.

Rombongan itu tanpa curiga melangkah maju. Menurut laporan, para perampok hanya beroperasi di sungai. Mereka hanya perlu khawatir saat menyeberang nanti. Mereka bahkan berencana untuk istirahat sejenak di bawah pohon cemara itu.

Namun, ketika itulah tiba-tiba terdengar teriakan perintah menyerang diiringi suara riuh rendah berbagai bunyi-bunyian. Para pengawal terperanjat dan kuda-kuda mereka menjadi sulit dikendalikan. Tanpa ampun para perampok menyerang mereka dengan ganas. Mereka mencoba sekuat tenaga bertahan dan melindungi pejabat yang dikawalnya, tetapi serangan yang mendadak itu membuat gerakan mereka kacau balau. Dalam sekejap mereka telah kocar-kacir serta banyak yang menjadi korban.

Melihat keunggulan ada di pihak mereka, si juragan semakin bernafsu. Ia memerintahkan agar membunuh semua anggota rombongan itu. Tiba-tiba seorang wanita lari keluar dari tandu yang menutupinya dan berteriak minta tolong.

“Tahan! Jangan bunuh wanita itu! Tangkap dia untuk saya!” perintah si juragan.

Dari luar arena pertempuran itu, Lugasi terbelalak melihat wanita itu.

“Bagaimana mungkin istri pak Paldrino ada disini?” pikirnya.

Dikucak-kucaknya matanya berulang-ulang dan tetap saja wanita itu istri pak Wedana.

Meski sebenarnya ia tidak ingin ikut campur awalnya, tetapi karena pak Paldrino orang yang dikenalinya dan sangat dihormatinya, ia segera melompat keluar.

“Brenti!” teriaknya sambil melayangkan kapaknya seperti bumerang.

Kapak itu kembali ke pemiliknya dengan meninggalkan dua potong tangan yang terpisah dari badan dua orang perampok.

Para perampok terkejut bukan main.

 “Tolong, tuan pendekar. Selamatkan kami,” lolong wanita itu.

Pamong Negeri dan beberapa pasukan pengawal segera merapat, mereka mendapat kesempatan untuk bersatu. Sementara itu para perampok menjadi terhenti.

“Terimakasih tuan pendekar!” kata Pamong Negeri itu yang tak lain adalah Diguldo.

“He! Kau budak busuk! Berani-beraninya menghalangi kami. Minta mampus kau!” bentak si Juragan setelah berhasil menenangkan diri.

Wanita yang cantik itu telah membuat si juragan tidak peduli bahaya yang dihadapinya.

“Saya tidak perduli kalian mau merampok pejabat pemerintah atau menyembelih mereka. Saya tidak akan menolong mereka. Kalau ada pejabat pemerintah yang saya tolong, itu hanya pak Wedana Buntung, pak Paldrino..” kata Lugasi.

 “Jadi, silakan bunuh mereka, aku tidak peduli! Tetapi jangan coba-coba menyentuh istri pak Paldrino itu!” lanjutnya sambil menunjuk wanita itu.

“Jadi, tuan pendekar kenal istri pak Wedana Paldrino? Saya saudara kembarnya, tuan! Dan itu suami saya!” kata wanita itu.

“Aaah, pantas saja saya bingung! Kemarin saya baru saja berpisah dengan mereka dan beliau ke Poruteng. Masa ketemunya disini? Hihi..hi!” katanya.

Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalau begitu tak ada salahnya saya membantu pejabat pemerintah kali ini,” lanjutnya.

Mendengar itu, si juragan meradang.

“Anak-anak! Serang mereka lagi dan bunuh juga anjing kurap ini!” perintahnya.

Seketika pecah lagi pertempuran. Tetapi kali ini pihak perampok yang menjadi bulan-bulanan kapak sakti Lugasi. Dalam sekejap dua pertiga dari mereka kehilangan anggota tubuhnya, dan yang lain tertangkap. Tak satupun yang berhasil melarikan diri.

“Nah, selesai!” kata Lugasi.

Para pengawal Diguldo segera mengikat tawanan yang sehat dan merawat mereka yang terluka dengan membalut lukanya agar tidak kehabisan darah.

“Terimakasih tuan penolong!” kata Diguldo.

Ia memberi hormat kepada Lugasi, yang lalu membalas memberi hormat meski agak canggung. Selama ini ia enggan memberi hormat para pejabat pemerintah.

“Nama saya Diguldo dan istri saya ini adalah saudari kembar istri Wedana Paldrino yang tuan kenal. Siapakah nama tuan penolong?”

“Saya tidak punya nama, tetapi orang memanggil saya dengan Anak Setan. Hanya pak Paldrino dan kawan-kawannya yang memanggil saya dengan nama Lugasi. Karena masih saudara dengan pak Wedana, pak Diguldo dan nyonya boleh memanggil dengan nama Lugasi..Hihi...hi!”

“Terimakasih tuan Lugasi. Tadi tuan bilang saudara kembar saya akan ke Poruteng, benarkah?” tanya istri Diguldo.

“Ah, saya kelepasan omong. Tapi tolong dirahasiakan! Itu hanya untuk pak Diguldo dan istri. Orang lain tidak boleh tahu,” jawab Lugasi.

“Oh, Dewa Maha Esa, terimakasih! Terimakasih! Saya akan bisa bertemu saudaraku,”  kata wanita itu sambil terisak.

Kali ini ia menangis karena merasa gembira dan terharu.

“Baik, pak Diguldo dan nyonya. Silakan urus para perampok ini. Saya akan melanjutkan perjalanan saya. Selamat Tinggal!” katanya langsung berlalu dari tempat itu.

Diguldo dan istrinya membungkuk hormat melepaskan kepergian Lugasi.

Diguldo lalu memerintahkan seorang pengawalnya untuk memberi tahu Pamong Negeri setempat tentang tertangkapnya para perampok. Wedana kawedanan Dogean beserta sejumlah Pamong Negeri segera datang dan membawa para perampok itu ke kawedanan Dogean. Diguldo hanya menceritakan  mereka di bantu seorang pendekar misterius yang tidak mau menyebut namanya, dan segera pergi setelah melumpuhkan para perampok itu.

Setelah membereskan persoalan administrstif tentang penangkapan perampok itu, Diguldo dan rombongan segera melanjutkan perjalanan mereka. Para Pamong Negeri Dogean memberikan pengawalan ekstra saat penyeberangan dan mengiringi mereka hingga jauh, sampai ke warung pak Warku. Rombongan itu menginap disana dan terkesan dengan keramahan pelayanannya.

Saat hendak melanjutkan perjalanannya, Diguldo memberikan kesannya.

“Terimakasih atas pelayanannya, pak Warku. Saya sangat terkesan dengan suasana ramah yang diperlihatkan para petugas disini. Bagaimana pak Warku membina mereka?” tanaya Diguldo.

“Oh, terimakasih pak Pamong Negeri. Ini semua berkat Anak Setan,” jawab pak Warku.

“Anak Setan? pemuda yang gemuk pendek itu?” tanya Diguldo.

“Iya, pak! Apakah bapak Pamong Negeri tahu tentang dia?” tanya pak Warku.

“Kami diselamatkan olehnya dari para perampok di Dogean,” jawab Diguldo.

“Oh, syukurlah. Dia memang anak yang hebat dan berhati mulia,” kata pak Warku.

“Tapi, apa yang dilakukannya disini?” tanya Diguldo.

“Dia membantu warung ini dengan caranya yang ramah tapi memiliki kemampuan yang hebat. Para pengunjung menjadi merasa nyaman dan juga aman. Sejak itu warung ini makin banyak dikunjungi langganan. Karena itu kami lantas meniru saja apa yang diperbuatnya. Sayang dia hanya tiga hari berada disini,” kata pak Warku.

“Pemuda yang hebat dan suka menolong! Semoga dia menemukan apa yang dicarinya,” kata Diguldo.

Ia lalu minta diri. Rombongannya meneruskan perjalan ke Poruteng tanpa menemui halangan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA