Mereka segera lego jangkar. Perahu itu menggunakan
layar, sehingga tidak perlu mendayung. Lugasi disuruh mengerjakan berbagai hal,
mulai dari memasak hingga memegang kemudi, sementara mereka bersantai sambil
makan dan minum.
Saat melayani mereka makan itu ia mencuri dengar pembicaraan mereka seputar membegal
rombongan pejabat dari Kotaraja.
“Siapa gerangan yang akan mereka rampok? pikirnya.
Ada sedikit rasa senang mendengar ada pejabat yang
akan dirampok. Tetapi dia tidak suka dengan sikap para perampok ini. Mereka ini
penjahat, bukan merampok untuk membela rakyat.
“Ah, aku tak peduli. Aku juga membenci para
pejabat yang korup itu,” katanya dalam hati.
“Hei, kau. Besok kau ikut kami membawa alat-alat
yang kami perlukan. Kalau tidak, kami akan cincang kau!” bentak seorang dari
mereka.
“Keliahatannya dagingnya enak kalau dibikin sate.
Hahaha!” timpal yang lain.
Dan mereka semua tertawa.
Lugasi jadi geram. Kalau saja mereka sedang tidak
diatas air, sudah ia lawan mereka. Ia hanya mengangguk menahan marahnya itu.
Ternyata perahu itu tidak sendirian. Di tengah
sungai mereka bertemu dengan perahu lain dan kemudian saling merapat. Dari
perahu yang satu muncul delapan kepala dan mereka saling bertegur sapa.
“Apa semua sudah lengkap dan siap?” tanya pimpinan
perahu yang ditumpanginya.
“Sudah juragan! Bahkan rute perjalanannyapun sudah
kami ketahui. Tapi mereka tampaknya akan dikawal oleh Pasukan Pamong Negeri
disini saat menyeberangi sungai ini,” jawab pimpinan perahu satunya.
“Kalau begitu kita begal sebelum mereka sampai di
tepi sungai!” kata si juragan.
“Betul, juragan. Di hutan perdu yang ada dua pohon
cemara tinggi itu tempat yang cocok. Disitu sepi dan jauh dari pedesaan. Kita
habisi mereka semua disana,” jawab rekannya.
“Ide yang bagus! Kalau begitu sekarang juga kita
harus ke seberang dan terus menuju hutan itu!” printah orang yang dipanggil
juragan.
Mereka tiba di seberang saat masih gelap dan
langsung berangkat menuju hutan dua cemara. Lugasi disuruh mengangkat beberapa
senjata cadangan mereka. Dalam hati ia dongkol tetapi karena jumlah mereka
banyak, ia terpaksa menuruti.
Mereka tiba disana saat matahari baru muncul dan
segera membuat sarapan pagi. Setelah itu mereka menyebar mengatur posisi penyergapan. Seorang diantaranya diperintahkan
memanjat pohon cermara untuk memantau keadaan. Setelah cukup lama diatas pohon cemara itu ia turun
dan melaporkan yang dilihatnya.
“Rombongan itu sudah tampak. Mereka terdiri dari
sekitar dua puluh orang. Dalam sepenanak nasi sudah akan sampai disini,” lapornya.
“Bagaimana keadaan disekitar sini?” tanya juragan.
“Sepi. Saya tak melihat siapapun,” jawabnya.
“Bagus! Meski kita kalah jumlah, kita bisa lakukan
sergapan secara mendadak dan buat suara yang gaduh agar kuda-kuda mereka
terkejut ketakutan. Serang dengan ganas dan jangan kasih kesempatan mereka
bersiap. Mengerti?!”
“Mengerti juragan,” jawab para anak buahnya.
Mereka lalu bersembunyi pada posisi yang telah
ditentukan. Tidak berapa lama kemudian si pemantau melaporkan rombongan itu
tinggal beberapa ratus meter saja. Mereka menanti dengan tidak sabar.
Rombongan itu tanpa curiga melangkah maju. Menurut
laporan, para perampok hanya beroperasi di sungai. Mereka hanya perlu khawatir
saat menyeberang nanti. Mereka bahkan berencana untuk istirahat sejenak di
bawah pohon cemara itu.
Namun, ketika itulah tiba-tiba terdengar teriakan perintah
menyerang diiringi suara riuh rendah berbagai bunyi-bunyian. Para pengawal
terperanjat dan kuda-kuda mereka menjadi sulit dikendalikan. Tanpa ampun para
perampok menyerang mereka dengan ganas. Mereka mencoba sekuat tenaga bertahan
dan melindungi pejabat yang dikawalnya, tetapi serangan yang mendadak itu
membuat gerakan mereka kacau balau. Dalam sekejap mereka telah kocar-kacir
serta banyak yang menjadi korban.
Melihat keunggulan ada di pihak mereka, si juragan
semakin bernafsu. Ia memerintahkan agar membunuh semua anggota rombongan itu.
Tiba-tiba seorang wanita lari keluar dari tandu yang menutupinya dan berteriak
minta tolong.
“Tahan! Jangan bunuh wanita itu! Tangkap dia untuk
saya!” perintah si juragan.
Dari luar arena pertempuran itu, Lugasi terbelalak melihat
wanita itu.
“Bagaimana mungkin istri pak Paldrino ada disini?”
pikirnya.
Dikucak-kucaknya matanya berulang-ulang dan tetap
saja wanita itu istri pak Wedana.
Meski sebenarnya ia tidak ingin ikut campur awalnya,
tetapi karena pak Paldrino orang yang dikenalinya dan sangat dihormatinya, ia
segera melompat keluar.
“Brenti!” teriaknya sambil melayangkan kapaknya
seperti bumerang.
Kapak itu kembali ke pemiliknya dengan
meninggalkan dua potong tangan yang terpisah dari badan dua orang perampok.
Para perampok terkejut bukan main.
“Tolong,
tuan pendekar. Selamatkan kami,” lolong wanita itu.
Pamong Negeri dan beberapa pasukan pengawal segera
merapat, mereka mendapat kesempatan untuk bersatu. Sementara itu para perampok
menjadi terhenti.
“Terimakasih tuan pendekar!” kata Pamong Negeri
itu yang tak lain adalah Diguldo.
“He! Kau budak busuk! Berani-beraninya menghalangi
kami. Minta mampus kau!” bentak si Juragan setelah berhasil menenangkan diri.
Wanita yang cantik itu telah membuat si juragan
tidak peduli bahaya yang
dihadapinya.
“Saya tidak perduli kalian mau merampok pejabat
pemerintah atau menyembelih mereka. Saya tidak akan menolong mereka. Kalau ada
pejabat pemerintah yang saya tolong, itu hanya pak Wedana Buntung, pak Paldrino..”
kata Lugasi.
“Jadi,
silakan bunuh mereka, aku tidak peduli! Tetapi jangan coba-coba menyentuh istri
pak Paldrino itu!” lanjutnya sambil menunjuk wanita itu.
“Jadi, tuan pendekar kenal istri pak Wedana
Paldrino? Saya saudara kembarnya, tuan! Dan itu suami saya!” kata wanita itu.
“Aaah, pantas saja saya bingung! Kemarin saya baru
saja berpisah dengan mereka dan beliau ke Poruteng. Masa ketemunya disini?
Hihi..hi!” katanya.
Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kalau begitu tak ada salahnya saya membantu pejabat
pemerintah kali ini,” lanjutnya.
Mendengar itu, si juragan meradang.
“Anak-anak! Serang mereka lagi dan bunuh juga
anjing kurap ini!” perintahnya.
Seketika pecah lagi pertempuran. Tetapi kali ini
pihak perampok yang menjadi bulan-bulanan kapak sakti Lugasi. Dalam sekejap dua
pertiga dari mereka kehilangan anggota tubuhnya, dan yang lain tertangkap. Tak
satupun yang berhasil melarikan diri.
“Nah, selesai!” kata Lugasi.
Para pengawal Diguldo segera mengikat tawanan yang
sehat dan merawat mereka yang terluka dengan membalut lukanya agar tidak
kehabisan darah.
“Terimakasih tuan penolong!” kata Diguldo.
Ia memberi hormat kepada Lugasi, yang lalu
membalas memberi hormat meski agak canggung. Selama ini ia enggan memberi
hormat para pejabat pemerintah.
“Nama saya Diguldo dan istri saya ini adalah
saudari kembar istri Wedana Paldrino yang tuan kenal. Siapakah nama tuan
penolong?”
“Saya tidak punya nama, tetapi orang memanggil
saya dengan Anak Setan. Hanya pak Paldrino dan kawan-kawannya yang memanggil
saya dengan nama Lugasi. Karena masih saudara dengan pak Wedana, pak Diguldo dan nyonya boleh memanggil dengan nama Lugasi..Hihi...hi!”
“Terimakasih tuan Lugasi. Tadi tuan bilang saudara
kembar saya akan ke Poruteng, benarkah?” tanya istri Diguldo.
“Ah, saya kelepasan omong. Tapi tolong
dirahasiakan! Itu hanya untuk pak Diguldo dan istri. Orang lain tidak boleh
tahu,” jawab Lugasi.
“Oh, Dewa Maha Esa, terimakasih! Terimakasih! Saya
akan bisa bertemu saudaraku,” kata wanita itu sambil terisak.
Kali ini ia menangis karena merasa gembira dan
terharu.
“Baik, pak Diguldo dan nyonya. Silakan urus para
perampok ini. Saya akan melanjutkan perjalanan saya. Selamat Tinggal!” katanya
langsung berlalu dari tempat itu.
Diguldo dan istrinya membungkuk hormat melepaskan
kepergian Lugasi.
Diguldo lalu memerintahkan seorang pengawalnya
untuk memberi tahu Pamong Negeri setempat tentang tertangkapnya para perampok.
Wedana kawedanan Dogean beserta sejumlah Pamong Negeri segera datang dan
membawa para perampok itu ke kawedanan Dogean. Diguldo hanya menceritakan mereka di bantu seorang pendekar misterius
yang tidak mau menyebut namanya, dan segera pergi setelah melumpuhkan para
perampok itu.
Setelah membereskan persoalan administrstif tentang
penangkapan perampok itu, Diguldo dan rombongan segera melanjutkan perjalanan
mereka. Para Pamong Negeri Dogean memberikan pengawalan ekstra saat
penyeberangan dan mengiringi mereka hingga jauh, sampai ke warung pak Warku.
Rombongan itu menginap disana dan terkesan dengan keramahan pelayanannya.
Saat hendak melanjutkan perjalanannya, Diguldo memberikan kesannya.
“Terimakasih atas pelayanannya, pak Warku. Saya
sangat terkesan dengan suasana ramah yang diperlihatkan para petugas disini.
Bagaimana pak Warku membina mereka?” tanaya Diguldo.
“Oh, terimakasih pak Pamong Negeri. Ini semua
berkat Anak Setan,” jawab pak Warku.
“Anak Setan? pemuda yang gemuk pendek itu?” tanya
Diguldo.
“Iya, pak! Apakah bapak Pamong Negeri tahu tentang
dia?” tanya pak Warku.
“Kami diselamatkan olehnya dari para perampok di
Dogean,” jawab Diguldo.
“Oh, syukurlah. Dia memang anak yang hebat dan
berhati mulia,” kata pak Warku.
“Tapi, apa yang dilakukannya disini?” tanya
Diguldo.
“Dia membantu warung ini dengan caranya yang ramah
tapi memiliki kemampuan yang hebat. Para pengunjung menjadi merasa nyaman dan
juga aman. Sejak itu warung ini makin banyak dikunjungi langganan. Karena itu
kami lantas meniru saja apa yang diperbuatnya. Sayang dia hanya tiga hari
berada disini,” kata pak Warku.
“Pemuda yang hebat dan suka menolong! Semoga dia menemukan
apa yang dicarinya,” kata Diguldo.
Ia lalu minta diri.
Rombongannya meneruskan perjalan ke Poruteng tanpa menemui halangan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.