Loyo juga merancang rumah
panggung dari kayu seperti gambar dibawah ini. tetapi oleh Andragi diusulkan
agar kolong rumah dibuat lebih tinggi sekitar 2 meter sebagai tempat orang
bersosialisasi tanpa sungkan, serta berbagai kegiatan anak-anak. Tentu untuk
itu tiang penyangganya perlu ditambah agar kokoh.
Pekerjaan untuk itu segera mereka lalukan keesokan
harinya. Selain itu Andragi juga meminta empat orang membantunya menyiapkan
lahan untuk rumah pertama yang akan dibuat. Mereka dimintanya menggali jamban
berukuran 3x3 meter dengan kedalaman 3 meter. Letaknya harus cukup jauh dari
lokasi sumur yang nanti akan dibuat. Jamban itu kemudian ditutup dengan tembok
rapat yang menyembul keluar setinggi satu meter, agar tidak diinjak orang,
serta dipasang pipa tegak
dari bambu setinggi 3 meter untuk pembuangan gas. Karena tidak mempergunakan
semen, tembok itu dibuat dari tanah liat dan batu kali. Tidak lupa mereka
membuat saluran menuju jamban dengan pipa bambu betung, bambu tua yang besar,
yang ditanam dengan kedalaman 30 cm yang terhubung ke wc yang nanti akan dibuat. Di dekat wc dibuat kamar mandi
cuci dan dari
kamar mandi cuci itu juga dibuat sebuah saluran pipa bambu betung yang menuju
parit di depan dan juga ditanam sdalam 30 cm. Pekerjaan itu mereka selesaikan
hanya dalam empat hari.
Sementara itu, pohon singkong mereka telah tumbuh
menyembulkan daun-daun segar. Tunas-tunas yang tumbuh di bawah sambungan
dipotes agar memaksanya tumbuh diatas sambungan. Kedua perawatnya gembira
melihat perkembangan ini, meski mereka belum tahu pasti apa yang akan terjadi
kemudian.
Pada hari ke lima puluh,
parit pembuangan itu selesai dikerjakan dan juga jembatannya. Andragi dengan
bangga melihat hasil kerja Loyo dan para santri yang mulai menambahkan
keindahan dalam proyek mereka. Para santri yang lainpun bergantian mencoba dua
jembatan berjejer yang cantik namun kokoh itu.
Keesokan harinya, mereka semua berkonsentrasi
mulai mengerjakan pembuatan rumah dan menggali sumur. Sementara itu Andragi sudah
mulai memikirkan bagaimana membuat wc yang sehat. Di dalam benaknya harus ada
semacam saluran berbentuk leher angsa agar bau kotoran tidak menyebar keluar.
Ketika pikiran itu ia utarakan, Primasa mengatakan bahwa mereka bisa membuat
tembikar. Mungkin itu bisa membantu.
Dengan gembira Andragi menyambut ide itu, namun
pembicaraan mereka terhenti karena pada hari itu kakek Blakitem berkunjung ke
lokasi itu. Ia kagum dengan kerja keras mereka tetapi sedikit heran kenapa ubi
kayu hutan yang ditanam. Kedua santri pengurusnya menjelaskan secara gamblang.
“Ah, rupanya kita akan mendapat ilmu yang baru.
Saya berdoa semoga membawa perubahan yang besar bagi kesejahteraan orang-orang
itu, yang sekarang tampak semakin menderita kekurangan bahan pangan,” katanya.
Mendengar itu, Andragi, Paldrino, Loyo dan Brewok
segera berunding. Mereka memiliki cukup banyak uang dari pemberian Jotiwo dan
Gadamuk setelah berhasil mengalahkan pasukan Rajapurwa tempo hari.
“Kakek Blakitem, kami memiliki sejumlah uang untuk
membeli bahan pangan. Kalau orang-orang di pemukiman itu mau ikut bekerja
disini mereka bisa mendapat makan dan bahan makanan untuk keluarga mereka.
Bagaimana menurut kakek?” tanya Andragi.
“Ah, hati yang mulia. Saya kira itu jalan yang
baik sekalian memancing mereka mulai bergabung kesini. Saya akan bicara dengan Kepala
Desa Kenteng. Terimakasih atas bantuannya,” kata kakek Blakitem.
“Sama-sama kakek. Apakah kami boleh meminta
bantuan para santri untuk membeli bahan makanan itu nanti?” tanya Andragi lagi.
“Tentu, tentu saja boleh. Mereka tahu dimana bisa
mendapatkannya dengan harga yang baik,” jawab kakek Blakitem.
Andragi lalu meminta Loyo dan Brewok mengajak dua
orang santri untuk pergi ke Poruteng guna membeli bahan pangan, berupa beras
dan jagung. Mereka dibekali uang yang cukup untuk membeli seratus karung. Agar
tidak mencolok, si pedagang diminta mengantar setiap hari satu atau dua karung
ke Batutok. Disana mereka akan dibayar. Selain itu Loyo dan Brewok diminta
mencari tahu tentang ipar Pak Paldrino, Pamong Negeri Diguldo dan terutama
istrinya.
Mereka segera berangkat bersama kakek Blakitem
yang akan menuju Kenteng. Dari sana mereka akan meneruskan ke Poruteng.
Sementara itu Andragi segera melanjutkan rencananya membuat tembikar dengan
Primasa. Ia meminta Primasa membuat pipa yang menekuk seperti leher angsa dan
pipa lurus seperti gambar di bawah ini.
Pipa lurus itu berdiameter 20 cm dan panjang 1,2
meter atau boleh lebih panjang sedikit jika masih mungkin membuatnya. Primasa
menyanggupinya dan bersama dua orang santri mereka pergi mencari tanah liat dan
mulai membentuk model kedua pipa aneh itu.
Esok harinya semua telah siap bekerja sesuai tugas
masing-masing, ketika mereka kedatangan 12 orang penduduk pemukiman kumuh yang
bersedia membantu mereka sekedar mendapat makan dan bahan makanan untuk
keluarganya yang kelaparan. Meskipun mereka belum tahu tujuan seutuhnya, mereka
percaya kepada kakek Blakitem pekerjaan ini akan membuat mereka lebih sejahtera
nantinya.
Untuk mengerjakan rumah perdana itu, pekerjaan
yang berat adalah memotong batang kayu dan menggergajinya sesuai bentuk yang
diinginkan semisal balok berbagai ukuran, papan, kaso, pasak, sirap dan
sebagainya. Selain itu menggali sumur juga membutuhkan tenaga yang tidak
sedikit. Dua orang disuruh mencari ijuk
untuk pembuat tali. Tetapi dengan jumlah tenaga yang bertambah, tugas mereka
menjadi lebih ringan dan cepat. Sore harinya ke dua belas orang itu diberi 4
batok beras untuk dibawa pulang. Mereka diminta datang lagi esoknya, dan juga
hari-hari seterusnya.
Sementara itu kita ikuti perjalanan Loyo dan
kawan-kawannya ke Poruteng. Tanpa kesulitan mereka bisa mendapatkan pedagang
beras di kota kawedanan itu. Setelah harga disepakati, pedagang itu menyanggupi
mengantarnya setiap hari sebanyak satu atau dua karung ke Batutok. Beres
mengurus pembelian bahan pangan, Loyo dan Brewok langsung menuju ke pos Pamong
Negeri yang dulu pernah didatanginya saat menangkap pencopet. Disana mereka
temui petugas yang sama, yang sebenarnya tidak mengingat Loyo, karena waktu itu
yang menangkap si pencopet adalah kawannya yang dari Gunung Kembar. Karena dia
tidak ingat wajah orang Gunung Kembar itu, Loyo bersikap sok tahu saja.
“Selamat siang pak Pamong Negeri. Apa kabar pak?
Kami yang dulu menangkap pencopet dan menyerahkan ke bapak,” kata Loyo.
“Ah, saudara. Apa khabar? Apa kau berhasil
menangkap pencopet lagi?”
“Kabar baik. Kami tidak menangkap pencopet. Kami
kebetulan sedang berada disini dan teringat kepada bapak petugas Pamong Negeri. Karena
itu kami sengaja mampir kesini,”
jawab Loyo.
“Oh, begitu. Adakah yang bisa saya bantu di kota
kecil kami ini?” tanya petugas itu mencium ada urusan tentunya kedua orang ini
menemuinya.
“Kebetulan kami baru dari Kotaraja dan seorang
kenalan menitipkan surat untuk saudaranya, komandan Pamong Negeri Diguldo. Bisakah
sobat mengantar kami menemui beliau agar kami bisa menyampaikan surat ini?”
kata Loyo sambil memperlihatkan surat itu dan sejumlah uang perak dibaliknya.
Melihat kilauan uang itu, petugas pamong negeri
itu menelan air liur.
“Kalau hanya menyampaikan surat saja tidak
masalah,” katanya. “Tetapi kalian harus menunggu di luar dulu sebelum diperbolehkan
masuk ke rumah komandan. Mari ikut saya,” katanya sambil meraih surat itu
berikut uang logam yang diicarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.