Leher Angsa Penghilang Bau Busuk

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #64 )


Loyo juga merancang rumah panggung dari kayu seperti gambar dibawah ini. tetapi oleh Andragi diusulkan agar kolong rumah dibuat lebih tinggi sekitar 2 meter sebagai tempat orang bersosialisasi tanpa sungkan, serta berbagai kegiatan anak-anak. Tentu untuk itu tiang penyangganya perlu ditambah agar kokoh.

 (gambar disimpan di draft blogger)

Pekerjaan untuk itu segera mereka lalukan keesokan harinya. Selain itu Andragi juga meminta empat orang membantunya menyiapkan lahan untuk rumah pertama yang akan dibuat. Mereka dimintanya menggali jamban berukuran 3x3 meter dengan kedalaman 3 meter. Letaknya harus cukup jauh dari lokasi sumur yang nanti akan dibuat. Jamban itu kemudian ditutup dengan tembok rapat yang menyembul keluar setinggi satu meter, agar tidak diinjak orang, serta dipasang pipa tegak dari bambu setinggi 3 meter untuk pembuangan gas. Karena tidak mempergunakan semen, tembok itu dibuat dari tanah liat dan batu kali. Tidak lupa mereka membuat saluran menuju jamban dengan pipa bambu betung, bambu tua yang besar, yang ditanam dengan kedalaman 30 cm yang terhubung ke wc yang nanti akan dibuat. Di dekat wc dibuat kamar mandi cuci dan dari kamar mandi cuci itu juga dibuat sebuah saluran pipa bambu betung yang menuju parit di depan dan juga ditanam sdalam 30 cm. Pekerjaan itu mereka selesaikan hanya dalam empat hari.

Sementara itu, pohon singkong mereka telah tumbuh menyembulkan daun-daun segar. Tunas-tunas yang tumbuh di bawah sambungan dipotes agar memaksanya tumbuh diatas sambungan. Kedua perawatnya gembira melihat perkembangan ini, meski mereka belum tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian.

Pada hari ke lima puluh, parit pembuangan itu selesai dikerjakan dan juga jembatannya. Andragi dengan bangga melihat hasil kerja Loyo dan para santri yang mulai menambahkan keindahan dalam proyek mereka. Para santri yang lainpun bergantian mencoba dua jembatan berjejer yang cantik namun kokoh itu.

Keesokan harinya, mereka semua berkonsentrasi mulai mengerjakan pembuatan rumah dan menggali sumur. Sementara itu Andragi sudah mulai memikirkan bagaimana membuat wc yang sehat. Di dalam benaknya harus ada semacam saluran berbentuk leher angsa agar bau kotoran tidak menyebar keluar. Ketika pikiran itu ia utarakan, Primasa mengatakan bahwa mereka bisa membuat tembikar. Mungkin itu bisa membantu.

Dengan gembira Andragi menyambut ide itu, namun pembicaraan mereka terhenti karena pada hari itu kakek Blakitem berkunjung ke lokasi itu. Ia kagum dengan kerja keras mereka tetapi sedikit heran kenapa ubi kayu hutan yang ditanam. Kedua santri pengurusnya menjelaskan secara gamblang.

“Ah, rupanya kita akan mendapat ilmu yang baru. Saya berdoa semoga membawa perubahan yang besar bagi kesejahteraan orang-orang itu, yang sekarang tampak semakin menderita kekurangan bahan pangan,” katanya.

Mendengar itu, Andragi, Paldrino, Loyo dan Brewok segera berunding. Mereka memiliki cukup banyak uang dari pemberian Jotiwo dan Gadamuk setelah berhasil mengalahkan pasukan Rajapurwa tempo hari.

“Kakek Blakitem, kami memiliki sejumlah uang untuk membeli bahan pangan. Kalau orang-orang di pemukiman itu mau ikut bekerja disini mereka bisa mendapat makan dan bahan makanan untuk keluarga mereka. Bagaimana menurut kakek?” tanya Andragi.

“Ah, hati yang mulia. Saya kira itu jalan yang baik sekalian memancing mereka mulai bergabung kesini. Saya akan bicara dengan Kepala Desa Kenteng. Terimakasih atas bantuannya,” kata kakek Blakitem.

“Sama-sama kakek. Apakah kami boleh meminta bantuan para santri untuk membeli bahan makanan itu nanti?” tanya Andragi lagi.

“Tentu, tentu saja boleh. Mereka tahu dimana bisa mendapatkannya dengan harga yang baik,” jawab kakek Blakitem.

Andragi lalu meminta Loyo dan Brewok mengajak dua orang santri untuk pergi ke Poruteng guna membeli bahan pangan, berupa beras dan jagung. Mereka dibekali uang yang cukup untuk membeli seratus karung. Agar tidak mencolok, si pedagang diminta mengantar setiap hari satu atau dua karung ke Batutok. Disana mereka akan dibayar. Selain itu Loyo dan Brewok diminta mencari tahu tentang ipar Pak Paldrino, Pamong Negeri Diguldo dan terutama istrinya.

Mereka segera berangkat bersama kakek Blakitem yang akan menuju Kenteng. Dari sana mereka akan meneruskan ke Poruteng. Sementara itu Andragi segera melanjutkan rencananya membuat tembikar dengan Primasa. Ia meminta Primasa membuat pipa yang menekuk seperti leher angsa dan pipa lurus seperti gambar di bawah ini.

  (gambar disimpan di draft blogger)

Pipa lurus itu berdiameter 20 cm dan panjang 1,2 meter atau boleh lebih panjang sedikit jika masih mungkin membuatnya. Primasa menyanggupinya dan bersama dua orang santri mereka pergi mencari tanah liat dan mulai membentuk model kedua pipa aneh itu.

Esok harinya semua telah siap bekerja sesuai tugas masing-masing, ketika mereka kedatangan 12 orang penduduk pemukiman kumuh yang bersedia membantu mereka sekedar mendapat makan dan bahan makanan untuk keluarganya yang kelaparan. Meskipun mereka belum tahu tujuan seutuhnya, mereka percaya kepada kakek Blakitem pekerjaan ini akan membuat mereka lebih sejahtera nantinya.

Untuk mengerjakan rumah perdana itu, pekerjaan yang berat adalah memotong batang kayu dan menggergajinya sesuai bentuk yang diinginkan semisal balok berbagai ukuran, papan, kaso, pasak, sirap dan sebagainya. Selain itu menggali sumur juga membutuhkan tenaga yang tidak sedikit.  Dua orang disuruh mencari ijuk untuk pembuat tali. Tetapi dengan jumlah tenaga yang bertambah, tugas mereka menjadi lebih ringan dan cepat. Sore harinya ke dua belas orang itu diberi 4 batok beras untuk dibawa pulang. Mereka diminta datang lagi esoknya, dan juga hari-hari seterusnya.

Sementara itu kita ikuti perjalanan Loyo dan kawan-kawannya ke Poruteng. Tanpa kesulitan mereka bisa mendapatkan pedagang beras di kota kawedanan itu. Setelah harga disepakati, pedagang itu menyanggupi mengantarnya setiap hari sebanyak satu atau dua karung ke Batutok. Beres mengurus pembelian bahan pangan, Loyo dan Brewok langsung menuju ke pos Pamong Negeri yang dulu pernah didatanginya saat menangkap pencopet. Disana mereka temui petugas yang sama, yang sebenarnya tidak mengingat Loyo, karena waktu itu yang menangkap si pencopet adalah kawannya yang dari Gunung Kembar. Karena dia tidak ingat wajah orang Gunung Kembar itu, Loyo bersikap sok tahu saja.

“Selamat siang pak Pamong Negeri. Apa kabar pak? Kami yang dulu menangkap pencopet dan menyerahkan ke bapak,” kata Loyo.

“Ah, saudara. Apa khabar? Apa kau berhasil menangkap pencopet lagi?”

“Kabar baik. Kami tidak menangkap pencopet. Kami kebetulan sedang berada disini dan teringat kepada bapak petugas Pamong Negeri. Karena itu kami sengaja mampir kesini,” jawab Loyo.

“Oh, begitu. Adakah yang bisa saya bantu di kota kecil kami ini?” tanya petugas itu mencium ada urusan tentunya kedua orang ini menemuinya.

“Kebetulan kami baru dari Kotaraja dan seorang kenalan menitipkan surat untuk saudaranya, komandan Pamong Negeri Diguldo. Bisakah sobat mengantar kami menemui beliau agar kami bisa menyampaikan surat ini?” kata Loyo sambil memperlihatkan surat itu dan sejumlah uang perak dibaliknya.

Melihat kilauan uang itu, petugas pamong negeri itu menelan air liur.

“Kalau hanya menyampaikan surat saja tidak masalah,” katanya. “Tetapi kalian harus menunggu di luar dulu sebelum diperbolehkan masuk ke rumah komandan. Mari ikut saya,” katanya sambil meraih surat itu berikut uang logam yang diicarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA