Pasukan Ganas Menghancurkan Upacara Suci


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #15)

Prosesi itu berjalan perlahan dan khidmat melintasi karpet merah menuju kaki panggung. Menjelang tiba di kaki panggung, para penari pengiring menyebar kesamping kiri dan kanan panggung, disusul pembawa sesaji yang kemudian meletakkan sesaji memenuhi anak tangga, menyisakan bagian tengah sebagai jalan. 

Ketika pengusung tandu tiba di kaki tangga, dengan perlahan tandu diturunkan oleh para pembawanya. Anak Langit turun dari tandu lalu melangkah menaiki tangga satu persatu menuju singgasana di puncak panggung. Disana ia berdiri menghadap umat lalu mendekapkan kedua tangannya di depan dahi sambil menggoyang-goyangkan sebagai tanda hormat. 

Para warga menyambutnya dengan menggumamkan:
“Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma!”

Setelah para pemegang panji-panji menempatkan diri mereka di depan kaki panggung, pemimpin upacara kemudian melakukan pendupaan di sekitar panggung itu. Asap kayu cendana yang wangi membawa suasana semakin khidmat serta magis.

Tibalah acara memanjatkan doa-doa pujian. Seakan tanpa komando umat secara serempak menggumamkan doa-doa yang terdengar begitu syahdu dan menambah suasana semakin magis. Bumi seolah tergetar oleh kekuatan doa yang dipanjatkan dengan sepenuh hati oleh seluruh peserta. Serangga dan binatang lainnya terdiam membisu, sementara udara pun tidak berani bergerak mengusik dedaunan. Bahkan gemericik air di sungai pun seakan segan untuk memperdengarkan suaranya. Semuanya diam dan tenang. Semuanya khusuk mendengarkan doa-doa itu.

Semuanya...? Ternyata tidak..!!

Diluar gerbang padepokan itu melaju serombongan pasukan berkuda dengan kecepatan tinggi menuju ke dalam padepokan yang sedang hening. Dipimpin oleh seorang pangeran muda yang penuh semangat, pasukan itu menerjang garang menuju pendopo agung. Jaira, nama pangeran itu adalah seorang pemuda yang pandai dan masih kerabat bangsawan, tetapi sangat ambisius. Dia selalu bersikap proaktif dan sering mengambil inisiatif berani untuk mengejar ambisinya, menjadi Panglima Besar negeri Klapa Getir.

“Cepat!! Tangkap Anak Langit. Jangan biarkan dia lolos!!” teriaknya.

Kuda-kuda itu menerjang berbagai benda yang dilaluinya. Umbul-umbul dan bermacam perhiasan di sepanjang jalan menuju pendopo agung rusak berantakan dilanggar dengan bringas. Tanpa basa-basi mereka merangsek masuk ke arena upacara, menginjak orang-orang yang, karena sedang khusuk berdoa, tak sadar akan kedatangan mereka. Tetapi, ketika rasa kesakitan dan derap kaki binatang-binatang perkasa itu menenggelamkan getar doa mereka, terjadilah kepanikan yang luar biasa. Orang-orang berlarian kian kemari saling menabrak satu dengan yang lain. Para wanita menjerit histeris. Anak-anak berteriak-teriak memanggil-manggil ibu-bapak mereka, bingung dan ketakutan seperti anak ayam kehilangan induknya.

“Cepat, tangkap orang diatas panggung itu! Dia Anak Langit!” perintah pangeran Jaira.

Pasukan berkuda itu segera melabrak garang maju menuju panggung. Tetapi ketika mereka sampai di dekat panggung, kakek Bulesak yang berdiri di salah satu anak tangga, menghentikan mereka dengan kharisma dan wibawanya yang tinggi..

“Berhenti disitu!" perintah si kakek tegas.

Sontak para prajurit menarik kekang kuda mereka dan berhenti terdorong oleh getar suara kakek Bulesak yang penuh kharisma. 

"Kenapa Nak Pangeran mengganggu ritual kami?!” tanyanya berwibawa.
“Kakek Bulesak!  Aku diperintahkan untuk menangkap Anak Langit! Dia akan membawa bencana di negeri ini. Cepat serahkan orang diatas singgasana itu!” lantangnya.
“Dia bukan Anak Langit. Dia hanyalah satu warga kami. Silakan periksa sendiri kalau tidak percaya.”

Kakek Bulesak memberi tanda agar ‘Anak Langit’ itu turun dari singgasananya dan datang mendekat kepadanya.  Jaira juga turun dari kudanya dan datang mendekat. Kakek Bulesak meminta “Anak Langit” membuka cadarnya. Dan ketika cadar itu disingkap terdengar seruan tertahan dari peserta upacara yang masih berani berada disitu.

Ohhh..Parjit!!!” seru hadirin dengan suara tertahan.

Parjit adalah salah satu warga Padepokan Kalbusih dan santri di pertapaan itu. Semua warga mengenal dan menyukainya karena sikapnya yang ringan tangan, sering membantu mereka dalam segala hal. Parjit tidak mengenal kata “Tidak” jika diminta tolong oleh siapapun.

“Nah, Nak Pangeran,.. Semua orang mengenalnya sebagai Parjit. Dia memang warga dan santri disini,” kata kakek Bulesak dengan tenang sambil membuat gerakan tubuh seperti akan meninggalkan tempat itu sebagai pertanda mengusir Jaira dan pasukan pengacaunya itu.

“Tunggu sebentar kakek Bule!” bentak pangeran muda Jaira.

Ia berusaha dengan keras mengatasi kharisma kakek bule itu.

“Orang ini memang bukan Anak Langit, tetapi ‘orang kami’ mengetahui dan melihatnya sendiri kalau Anak Langit memang telah datang kesini. Kami tahu ciri-cirinya! Dimana kalian sembunyikan dia?!” sergahnya.

Menghadapi anak muda yang penuh ambisi dan memiliki kekuasaan seperti ini, kakek Bulesak merasa tidak perlu menyembunyikan kedatangan Anak Langit. Malah mungkin dengan mengetahui kedatangannya orang-orang pemerintah akan menjadi takut dan lebih berhati-hati atau mengurangi kebiasaan jahat mereka memeras rakyat.

“Dia tidak ada disini. Sebagai Anak Langit dia bisa berada dimana saja dan kapan saja dia mau. Tak ada manusia yang bisa menghalanginya!” kata kakek Bulesak berwibawa.
“Omong kosong!!” hardiknya.

Lalu kepada pasukannya Jaira memberi perintah dengan lantang.
“Pasukan! Geledah seluruh sudut padepokan ini, cari Anak Langit sampai dapat!!” perintah Jaira.

Pasukan itu segera bergerak menggeledah setiap rumah dan bangunan. Bersama kudanya, mereka tanpa sopan santun memasuki halaman rumah penduduk, dan menyeret keluar penghuni yang berada di dalamnya.
Disana sini terdengar jerit tangis anak-anak yang ketakutan.

Pembaca perlu tahu bahwa adat di negeri Klapa Getir, jika memasuki halaman rumah seseorang, si penunggang harus turun dan kudanya harus dituntun. Tidak sopan jika masih berada di punggung kuda saat telah berada di halaman atau pekarangan rumah orang lain. Etika ini berkembang karena pada umumnya disamping rumah, pada tempat yang terbuka, sering terdapat sumur tempat cuci dan mandi yang dibatasi oleh dinding setinggi leher orang dewasa. Sumur itu digunakan secara umum oleh beberapa penghuni rumah disekitarnya. Kontak sosial diantara para wanita, secara intens terjadi disini, saat mencuci bersama, mandi atau sekedar mengambil air. Dari atas punggung seekor kuda, bila berada didekat situ, tentu anda dapat melihat aktivitas mereka tanpa terhalang. Dan itu tentu tidak sopan!

Pasukan berkuda itu malang melintang memeriksa seluruh sudut Padepokan Kalbusih, termasuk setiap sumur yang ada. Dulatah, salah seorang prajurit muda belia terlihat paling getol memeriksa sumur. Tentu harapan utamanya bukan menemukan Anak Langit di sumur-sumur itu, melainkan bisa melihat pemandangan aduhai yang tak mungkin didapatnya dalam keadaan normal karena tabu. Ini kesempatan yang baik menurutnya, sekalian sambil menyelam minum air.

Setelah sekian lama mengobrak-abrik setiap sudut padepokan tanpa hasil, pasukan itu kembali ke halaman pendopo agung untuk melapor kepada pangeran muda Jaira. Mengetahui pasukannya pulang dengan tangan hampa, gemeretak gigi pangeran muda itu menahan marah. Hatinya gusar bukan kepalang.

“Kakek Bule!!” geramnya. “Kau telah menipuku mentah-mentah dengan upacara palsumu ini. Aku sebagai alat negeri Klapa Getir telah kau perdayai. Itu berarti kau telah melawan petugas negeri. Untuk itu kau harus dihukum mati!” katanya dengan keras.

Terdengar desah tertahan dari warga dan santri yang berada disana.
“Tetapi akan kuberi keringanan bila kau menyerahkan Anak Langit itu segera!” kata Jaira dengan pongahnya.
“Baik, kalau begitu kehendakmu anak muda,” jawab kakek Bulesak dengan tenang dan penuh wibawa.
“Tiga hari dari sekarang temui aku di gua Pintu Suargi. Dari Ujung padepokan ini ikuti tanda kain kuning sebagai penunjuk jalan kesana. Disana akan kuserahkan Anak Langit kepadamu.”
“Baik kakek Bule. Tetapi jangan coba-coba menipuku sekali lagi! Akan kubunuh semua penduduk padepokan ini dan kubakar habis seluruh isinya! Mengerti?!!”
“Oooohhh!”

Terdengar desah putus asa dari para warga Padepokan Kalbusih mendengar ancaman mengerikan itu.

“Ayo anak-anak, kita cabut!!” perintah Jaira kepada pasukannya.

Pasukan itu berbalik dan pergi memacu kudanya meninggalkan Padepokan Kalbusih yang kini sudah tidak rapi dan asri seperti pagi sebelumnya. Hiasan dan umbul-umbul yang semula membuat indah, kini teronggok berantakan merusak pemandangan. Tanaman palawija porak poranda diterjang kaki-kaki kuda yang melanggar dengan bringas.

Kakek Bulesak segera menyuruh para santrinya memberikan pertolongan kepada orang-orang yang terluka akibat terinjak kuda atau kena pukul pasukan Jaira itu. Para ibu sibuk menenangkan anak-anaknya yang sedari tadi ketakutan. Untunglah anak-anak itu segera bisa ditenangkan oleh orang tua mereka, tetapi kini ketakutan itu ganti bersemayam dalam dada orang dewasa dan semakin menjadi-jadi karena ancaman Jaira untuk menghabisi mereka semua.

“Bagaimana ini kakek Bulesak?” tanya seorang santri senior mewakili perasaan para penduduk.

Wajah para penduduk penuh was-was dan melemparkan pandangan penuh harap kepada kakek tua itu. Tak terbersit sedikitpun untuk menyalahkan orang tua itu karena kedatangan Anak Langit juga menjadi dambaan mereka. Namun siapa sangka kalau kedatangannya itu juga membawa ancaman bagi keselamatan mereka.


Bagaimana nasib kakek Bulesak dan seluruh penduduk Padepokan Kalbusih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA