Ancaman Makhluk Penguasa Hutan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #73 )


Padahal inilah yang dilakukan penjual singkong ajaib itu.

Lelaki itu memang sudah menduga dan berjaga-jaga kalau dia akan dikuntit orang saat pulang karena banyak yang ingin tahu darimana dia memperoleh singkongnya itu. Setelah keluar dari warung makan ia sengaja berbelok masuk ke rumah bordil dan dengan sedikit uang perak dia bisa meloloskan diri lewat pintu belakang, karena dibantu germo pemilik rumah bordil itu.

Begitu lepas dari pengamatan penguntitnya ia langsung bergegas kembali ke Kenteng melalui jalan yang tidak biasa. Ia memilih jalan-jalan tikus yang dipakai para pemburu binatang atau anak-anak gembala. Yang penting ia tahu arah kemana tujuannya. Menjelang malam ia sudah sampai di Kenteng.

Ia segera menemui Andragi di rumah yang dijadikan tempat berkumpul warga Kenteng selama membangun Kenteng Baru.

“Hai sobat Sutar, baru datang ya? Silakan masuk....” sapa Andragi ramah.

“Terimakasih sobat Andragi. Saya baru saja sampai dari Poruteng dan langsung kesini untuk melapor,” jawab Sutar si penjual singkong ajaib.

“Oh begitu. Silakan duduk dan minum dulu baru kita bicara,” kata Andragi.

Ia lalu memberi tanda agar Lugasi, Loyo dan Brewok ikut masuk dan mendengarkan laporan Sutar. Setelah meneguk minuman yang tersedia, mulailah Sutar bercerita.

“Ternyata benar dugaan sobat Andragi. Saya memang diikuti oleh orang yang ingin mengetahui asal singkong ajaib kita,” katanya.

“Sesuai saran sobat Andragi, saya langsung masuk ke rumah bordil, berpura-pura mencari hiburan disana lalu menyelinap keluar lewat pintu belakang tanpa diketahui oleh mereka,” lanjutnya.

“Bagus.., kata Andragi. Ada berapa orang yang mencoba menguntit sobat Sutar..?”

“Setahu saya ada 2 orang. Mereka terlihat sekali ingin membeli singkong ajaib tapi karena kehabisan kami berjanji ketemu lagi lusa di warung itu,” jelas Sutar.

“Hmmm, kalau begitu apa rencana kita sobat Lugasi..?” tanya Andragi.

“Hihi,,hi.., kita jebak saja kalau begitu,” jawab Lugasi enteng.

Mereka lalu merundingkan cara menjebak penguntit Sutar.

“Saya minta sobat Lugasi, Loyo dan Brewok membantu sobat Sutar menjebak mereka, tetapi ingat jangan mencelakai mereka karena kita belum tahu siapa yang menyuruh dan apa tujuannya,” kata Andragi.

“Baik sobat Andragi, akan kami kerjakan sebaik-baiknya.” jawab Lugasi.

Meskipun selalu tampak jenaka, namun Lugasi selalu bersungguh-sungguh bila melakukan tugas-tugas yang mulia.

Dua hari kemudian terlihat Sutar berjalan menuju Poruteng sambil membawa beberapa umbi singkong ajaib. Setiba di pasar ia langsung menuju warung makan untuk menemui Komir dan Kepos yang ternyata sudah menantinya.

“Kami kira kisanak tidak datang hari ini. Kami sudah lama menunggu,” kata Komir.

“Oh, maaf, saya harus pergi mengambil singkong dulu sebelum kesini.” jawab Sutar. “Ini barangnya, silakan.”

Transaksi jual beli terjadi dan Kepos diminta untuk membawa singkong ajaib itu ke rumahnya untuk di simpan.

Sementara itu Komir mencoba mengorek informasi dari Sutar dengan pura-pura ingin menjadi penjual singkong ajaib itu karena prospeknya bagus. Banyak orang yang ingin membeli karena ukurannya yang aduhai besarnya.

“Wah, kisanak akan menjadi pesaing saya nantinya disini,” kilah Sutar.

“Tentu tidak kisanak, saya akan menjual ditempat lain dan saya akan menyetor sebagian keuntungan untuk kisanak. Hitung-hitung saya membantu kisanak menjual singkong ajaib ini di tempat lain,” jawab Komir.

“Hmmm, kedengarannya menarik. Bagaimana perhitungannya,” tanya Sutar pura-pura tertarik.

Sementara itu Kepos sudah kembali dan bergabung lagi dalam pembicaraan itu.

“Begini kisanak, kita sama-sama pergi ke tempat singkong ajaib ini dan kisanak menentukan harga jualnya. Nah saya akan membayar 4 bagian kepada kisanak dan saya mendapat 6 bagian,” jelas Komir, otak dagangnya lumayan encer.

“Artinya, setiap singkong yang kisanak dapatkan dari sana saya akan mendapat 4 bagian, begitu..??” tanya Sutar menunjukkan mimik serakah.

“Ya begitu. Anggap saja sebagai upeti saya kepada kisanak karena jasa kisanak menunjukkan tempat asal singkong besar ini,” jawab Komir dengan senyum mengembang karena perangkapnya akan berhasil.

“Betul kisanak, saya juga mau membagi 4 bagian kepada kisanak. Jadi kisanak dapat 8 bagian dari kami berdua. Kisanak akan dapat bagian yang paling besar, Kami berdua masing-masing hanya dapat 6 bagian, sedangkan kisanak dapat 8 bagian dari kami. Belum lagi hasil kerja kisanak sendiri,” cerocos Kepos seperti burung beo birahi.

“Hmmm...ya, kelihatannya menarik, tapi .....” kata Sutar ragu.

“Tapi kenapa kisanak..??” kejar Komir.

“Tempatnya jauh di dalam hutan, dan hutannya angker karena ada penunggunya. Saya tidak tahu apakah penunggunya berkenan saya datang membawa teman atau tidak. Jangan-jangan saya juga nanti dilarang ke sana lagi,” sesal Sutar.

Komir buru-buru merogoh kantongnya dan memperlihatkan 3 keping uang perak, dan berkata,

“Ini, ada baiknya kita coba, Kami akan berusaha sesopan mungkin di wilayah kekuasaanya. Tidak bertindak gegabah mengganggu ketenangannya, kata Komir sambil menjejalkan koin perak itu ke tangan Sutar.

“Baiklah kita coba,” kata Sutar dengan mimik agak keberatan.

“Terimakasih, nama saya Komir.., Ini teman saya Kepos” kata Komir sambil bersalaman tanda mereka sudah sepakat.

“Nama saya Sutar,... Mari...,” jawab Sutar mengajak mereka jalan.

Mereka bertiga lalu pergi menuju ke arah Kenteng. Selama perjalanan tidak banyak yang mereka bicarakan atas permintaan Sutar demi tidak mengganggu ketenangan hutan di sekitar mereka. Sebelum memasuki desa Kenteng Sutar mengajak mereka berbelok ke kiri memasuki hutan yang tampak lebat penuh pepohonan besar dan kecil. Suasana sungguh hening dan terasa mencekam.

Hanya suara gemerisik langkah mereka dan tangan menyibak dedaunan yang terdengar. Sesekali Sutar menoleh ke kiri atau ke kanan seakan melihat atau mendengar sesuatu. Ini membuat Komir dan Kepos yang biasa tinggal di kota menjadi ciut nyali mereka. Terasa sesuatu yang hangat membasahi selangkangan Kepos.

“Oh emak, oh bapak doakanlah anakmu ini...,” ia komat-kamit.

Mereka berjalan cukup lama di dalam hutan itu hingga tiba di suatu batu cadas besar yang sebagian diselimuti oleh akar-akar pohon raksasa. Tempat ini terlihat lebih angker dan magis.

Dengan suara pelan Sutar mengatakan disekitar sini lah tempat ia mengambil singkong raksasa itu. Ia lalu mengajak Komir dan Kepos mengikutinya mencari pohon singkong raksasa itu.

Setelah beberapa saat mencari tiba-tiba Sutar menunjuk ke sebuah pohon yang batangnya sebesar paha orang dan dibagian bawahnya penuh ditutupi oleh dedaunan dan humus. Mereka menuju pohon itu.

“Ayo mulai menggali. Kisanak di sebelah sini, kisanak disebelah sana. Saya di sebelah sini,..” bisik Sutar sambil menunjuk bagiannya yang penuh ditutupi dedaunan dan humus.

Dengan semangat Komir dan Kepos menggali memakai golok senjata mereka. Demikian juga Sutar. Beberapa saat setelah Sutar membersihkan dedaunan dan mulai menggali ia menemukan umbi besar dan memotongnya dari akar pohon itu.

“Hei lihat, kita telah menemukannya..!!” teriaknya gembira. “Sini bantu aku menggali dan mengangkatnya.”

Mereka berdua segera bergabung dengan Sutar menggali singkong itu yang terasa tanahnya lebih empuk sehingga mudah digali. Ini membuat mereka semakin bersemangat ingin segera mengangkat singkong super besar itu. Sejurus kemudian singkong itu telah bisa mereka angkat ke luar.

“Horee...,Kita berhasil..!!” teriak Komir sambil mengangkat tinggi-tingggi singkong itu diikuti Kepos yang berjoget-joget gembira. Mereka lupa keangkeran hutan itu.

Saat itu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hitam menggelinding dengan cepat dan tahu-tahu singkong yang dipegang Komir terpotong menjadi dua. Bayangan itu menggelinding lagi dan singkong itu sudah terpotong-potong lagi, beberapa kali itu terjadi lalu bayangan itu melenting ke atas batu cadas dan berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya bulat pendek dengan rambut gondrong tak beraturan, Muka dan tubuhnya hitam menyeramkan.

Komir dan Kepos menggelosor jatuh terduduk tak kuat menopang  tubuhnya berdiri saking lemasnya, penuh ketakutan. Sementara itu tak terlihat Sutar disitu. Kemana ia pergi mereka berdua tak tahu.

“Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuiiii....,” terdengar lengkingan tinggi bernada marah dari makhluk hitam diatas cadas itu. Suara lengkingan itu menambah ketakutan Komir dan Kepos. Mereka rebah ketanah, tak kuat meski hanya sekedar duduk.

“He.. manusia-manusia bedebah dan tidak tahu diri. Tidak pernah menghormati dan memelihara hutan. Berani-beraninya kau datang kesini dan mau mengambil hartaku.... Berdoalah sebelum kucabut nyawa kalian...!!”

Dalam keputus-asaannya Kosim hanya bisa berucap,

“Ampun Tuanku, maafkanlah kami. Kami hanya sekedar orang suruhan....,” katanya menghiba.

“Sebut siapa yang menyuruh kalian sebelum kutebas leher kalian..!!” katanya mengancam. Dan tahu-tahu sebuah ranting besar terbabat putus persis diatas kepala mereka.

Ranting yang menimpa tubuhnya bagi Kepos seakan disambar geledek.

“Oh emak, matilah anakmu ini...,” gumamnya pelan hampir tak bersuara dengan celana basah kuyup ketakutan.

“Kami hanya suruhan Komandan Diguldo..,” jawab Komir ketakutan.

“Kamu disuruh apa ha..!!” bentak makhluk itu.

“Cari tahu dari mana asal singkong besar, tuanku...., ampunilah kami...,” jawab Komir menghiba.

“Pulang sana!! Pulang..!! Kasih tahu Komandanmu jangan pernah kesini lagi atau kubuat buntung kaki dan tangannya, juga istrinya dan siapa saja yang kesini lagi..!!’’

Makhluk itu segera menghilang begitu kata-kata itu lenyap. Sunyi dan hening tiba-tiba mencekam. Tak ada suara apapun. Hanya sunyi dan gelap, apalagi karena hari sudah merangkak malam.

Pelan-pelan Komir mengangkat kepalanya mencoba melihat kiri kanan. Tidak ada yang bergerak. Pelan-pelan dikumpulkam tenaganya untuk merangkak mendekati Kepos. Kawannya ini masih terbaring diam.

“Mungkinkah dia mati ketakutan..?” pikirnya.

Diguncang-guncangkan tubuh Kepos.

“Pos, Kepos... bangun Kepos..!!”

Tubuh itu menggeliat pelan. Rupanya dia jatuh pingsan ketakutan.

“Ampun... oh, jangan bunuh saya. Emak...” lirih suara Kepos.

“Bangun Kepos, kita diampuni. Kita tidak dibunuh. Ayo bangun dan kita ucapkan terima kasih,” ajak Komir.

Dengan susah payah mereka bangun, mengumpulkan tenaga untuk bersujud menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga karena nyawa mereka diampuni. Mereka berjanji untuk tidak akan datang lagi, dan akan melapor kepada Komandan Diguldo agar menuruti perintah penguasa hutan tempat asal singkong ajaib.

Tugas Rahasia dari Diguldo

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #72)

Sementara itu......

Peristiwa kemunculan singkong raksasa itu telah  membuat  banyak orang heboh membicarakannya, dan tak ayal berita itu sampai pula di telinga Kepala Pamong Negeri Poruteng, Diguldo.

Sebenarnya diam-diam Diguldo sudah tahu soal singkong raksasa itu dari laporan Loyo yang seringkali datang seakan seperti kerabat dekat dari Kotaraja yang berkunjung. Juga dari cerita istri Pak Paldrino, iparnya, yang sekarang tinggal bersama di rumahnya menemani saudara kembarnya itu.

Di pasar kota Poruteng, Petugas Pamong Negeri yang mendengar kegaduhan orang membicarakan singkong ajaib segera berinisiatif untuk melapor kepada Komandannya, Diguldo. Dia berharap bisa mendapatkan penghargaan dari komandan yang bersih ini. Hmm, memang sejak Diguldo menjadi Kepala Pamong Negeri di Poruteng tidak ada lagi penghasilan kotor hasil suap dan pemerasan yang dulu sering dia peroleh di pasar kota.

“Siapa tahu dapat sesuatu kalau kulaporkan soal singkong ini,” pikirnya.

Dia membulatkan hati menghadap Komandan Diguldo.

“Saudara Pamong Negeri, apa yang ingin saudara laporkan?” tanya Diguldo.

“Tuanku Komandan, nama saya Komir dan bertugas di pasar kota Poruteng. Tuanku, telah terjadi kegaduhan yang luar biasa di seantero kota Poruteng karena munculnya singkong ajaib yang dibawa pedagang dari luar kota”, lapor Pamong Negeri.

“Singkong Ajaib...!!?” tanya Diguldo pura-pura terkejut.

“Betul Tuanku. Besarnya luar biasa. Sepuluh kali ukuran singkong biasa.”

“Oh ya...??. Apakah kegaduhan itu mengancam ketenteraman hidup warga..?” tanya Diguldo.

“Sementara ini belum, Tuanku. Tapi semua orang ingin tahu darimana singkong itu berasal..”

“Darimana menurutmu..?, kejar Diguldo.

“Yang saya dengar, orang-orang itu mendapatkannya dengan susah payah jauh di tengah hutan.” jawab Komir.

“Bisakah kau menyelidiki asal singkong itu biar didapat kebenaran dari kabar burung itu. Dengan begitu kita bisa meredam segala kabar bohong dan kegaduhan yang ditimbulkannya.”

“Siap Tuanku, Saya akan mnyelidiki sampai tahu persis darimana asal singkong itu.” jawab Komir mantap.

Dia tahu kalau mendapat tugas khusus langsung dari Komandan Pamong Negeri wilayah itu berarti akan mendapat bekal yang cukup besar dan kalau berhasil akan mendapatkan penghargaan dan imbalan. Hati Komir jadi berbunga-bunga penuh semangat.

“Baik, saya tugaskan kau menyelidikinya. Lakukan secara diam-diam supaya tidak menimbulkan kegaduhan baru. Jangan sampai orang lain tahu kalau kita sedang menyelidiki. Jangan sampai para pedagang takut untuk berjualan singkong ajaib itu, Kau mengerti..!?”

“Siap, saya mengerti Tuanku,” jawab Komir agak kecut hatinya.

“Nah, terimalah uang ini sebagai bekal tugasmu. Kau hanya boleh mengajak satu orang sebagai teman menjalankan tugas ini. Tidak boleh lebih..!!,” tandas Diguldo.

“Siap, laksanakan..!! jawab Komir mantap.

Diguldo memang ingin tahu seberapa aman keberadaan Anak Langit dan iparnya Pak Paldrino berada. Jangan sampai gara-gara singkong ini keberadaan dan keamanan mereka menjadi terancam.

Sehabis melapor itu Komir segera bergegas menemui sobatnya Kepos seraya menunjukkan kepingan perak.

“Ayo ikut! Ini ada tugas dari Komandan,” katanya.

“Tugas dari Komandan Pamong Negeri..??, Hebat kau Komir..!!,”ujar Kepos dengan cepat tangannya menyambar kepingan perak itu.

“Tugas apa yang harus kita kerjalan..??, selidik Kepos ingin tahu.

“Tugas ringan, tapi rahasia!! RA..HA..SI..A !! Siapapun tak boleh tahu, Istrimu juga tidak boleh tahu!! Ngerti..??’ sergah Komir.

“Ya..ya.., tapi tugas apa Mir?” tanya Kepos.

“Ssssst, kecilkan suaramu!!” kata Komir sambil memalangkan jari telunjuk di bibirnya.

“Kita harus cari tahu dimana asal usul singkong ajaib itu didapat...” kata Komir berbisik, nyaris tak terdengar.

Mereka lalu menyusun rencana mengerjakan tugas itu.

“Bagaimana Pos, apa usulmu..?” tanya Komir.

“Gampang Mir, kita kuntit saja orang yang menjual singkong ajaib di pasar kemanapun dia pergi. Menurutku, kalau dagangannya sudah habis dia akan pulang atau pergi ke tempat singkong itu didapatnya.” jawab Kepos.

“Benar juga Pos. Encer juga otakmu..!” puji Komir.

Mereka lalu menuju pasar kota Poruteng, mencari penjual singkong ajaib. Segera mereka melihat orang yang menenteng sebatang singkong besar sambil cerita dengan bangga betapa besarnya singkong yang dipegangnya.

“He kisanak, apa kamu menjual singkong raksasa itu,” sapa Komir.

“Saya bukan penjualnya. Saya pembeli. Hebat ya, besar ya..!!,” jawab orang itu bangga.

“Dimana kamu membelinya? Mana orang yang menjualnya?” tanya Kepos penasaran.

“Uh sayang, hari sesiang ini sudah habis jualannya. Tuh, si penjual sedang makan di warung, yang pakai ikat kepala biru tua”, jawab orang tersebut.

Komir dan Kepos segera menyingkir dan diam-diam mendekati warung makan tanpa menarik perhatian orang. Mereka masuk dan duduk di dekat orang dengan ikat kepala biru. Merekapun memesan kopi dan makanan kesukaan Komir, juadah dan tempe bacem goreng.

“Mari kisanak,...” kata Komir membuka percakapan dengan orang berikat kepala biru itu, basa basi menawarkan kopinya.

“Oh ya terimakasih, silakan. Saya sudah minum tadi,” jawab orang yang ditanya.

“Sepertinya kisanak bukan orang sini, karena saya kenal baik semua orang yang sering kesini,” selidik Komir.

“Memang saya bukan dari sini. Saya kesini karena jual singkong ajaib,” jawabnya.

“Saya mau beli singkong itu, masih adakah? tanya Kepos.

“Hari ini sudah habis. Kalau mau dua hari lagi saya kesini bawa lagi.” 

"Baiklah, lusa sisakan satu buat saya beli,.." kata Komir,

"Baik, akan saya sisakan satu,.." jawab orang itu.

Mereka berdua segera mendahului keluar setelah mebayar harga makanan. Mereka menyeberang jalan, berbelok sedikit ke kanan dan berlindung dibalik sebuah pohon dan perdu untuk mengawasi penjual singkong ajaib itu.

Setelah menunggu cukup lama, keluarlah penjual singkong ajaib itu dan langsung berbelok ke kiri, tidak ke arah mereka.

“Ayo kita ikuti dia. Jangan terlalu dekat!,” kata Komir.

Setelah berjalan sekitar tujuh ratus meter, lelaki itu memasuki halaman sebuah rumah yang cukup baik dan menarik.

“Lho .., itukan rumah bordil..! Dasar lelaki rakus, baru dapat duit langsung cari hiburan buat burungnya,..” umpat Komir.

“Ayo kita ikut masuk aja,” ajak Kepos.

“Hush...!!,”  sergah Komir.

“Kita juga punya uang. Kalau ketemu kita bilang saja mau cari hiburan juga...hihi..hi..,” rayu Kepos.

“Tidak boleh..! Kita sedang tugas. Lagipula dia bisa pergi saat kita sedang asyik. Kita akan kehilangan buruan kita..!!” larang Komir tegas.

Kepos hanya bisa nyengir kuda. Mereka lalu mencari tempat perlindungan yang cocok untuk mengamati orang yang keluar masuk rumah bordil itu,

Lebih dari dua jam mereka menunggu, tidak terlihat batang hidung lelaki itu keluar dari pintu rumah bordil itu. Hingga menjelang hari gelap belum juga terlihat bayangannya.

“Ah... sialan benar orang itu,” keluh Kepos. “Dia enak-enak di dalam dalam pelukan bidadari sementara kita disini mulai kedinginan dan jadi santapan nyamuk..!”

“Hush...diam..! Nyamuknya cuma satu...” kata Komir.

“Iya.. satu jenis, tapi temennya banyak..!!” omel Kepos sambil menggaruk kakinya yang gatal digigit nyamuk. (heheh..he tentunya bukan digigit ya...karena nyamuk tak punya gigi..wwk..wk..wk).

Menjelang tengah malam mereka memutuskan untuk gantian berjaga, karena yang ditunggu tak kunjung keluar. Kepos disuruh menjaga lebih dahulu selama 2 jam dan Komir  tidur, Nati bergantian setiap 2 jam.

“Sialan benar tuh orang..! Dia enak-enak tidur dalam pelukan perempuan sementara saya disini kedinginan Cuma busa memeluk dengkul butut ini..,” keluh Kepos.

Begitulah sisa malam itu mereka bergantian berjaga tanpa hasil. Tubuh mereka kaku, lapar, haus dan mengantuk. Setelah matahari terbit cukup terik mereka memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Besok mereka akan menemui penjual itu sesuai janjinya di warung makan kemarin.

Desa Baru HARJAGI dan Kenteng Baru

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #71 )

“Untuk panen yang pertama ini, kepada sepuluh orang penduduk desa Kenteng yang bekerja disini sejak awal, besok boleh membawa seluruh anggota keluarganya dan mengangkut singkong sekuat mereka mampu. Sedangkan mereka yang baru bergabung belakangan hanya boleh membawa dua orang anggota keluarganya. Hari ini kalian semua boleh membawa sekuat yang kalian mampu sebagai bukti hasil kerja kalian selama ini,” kata Andragi.

“Horee!” Hidup Andragi dan kawan-kawan!” seru mereka.

“Sisanya akan dijual atau diolah lebih lanjut dan hasilnya akan dikumpulkan di kas desa baru kita. Pak Paldrino, saya dan kakek Blakitem akan mengatur lebih lanjut soal kekayaan kas desa ini. Selain itu kami juga akan menyusun pengaturan lebih lanjut jika ada warga desa Kenteng yang berminat pindah kesini,” lanjut Andragi.

Orang-orang Kenteng itu, mengangguk-angguk penuh kepuasan. Dalam hati mereka bertekad untuk pindah ke desa baru ini.

Meskipun orang-orang desa Kenteng itu beserta keluarganya, telah mengangkut sebanyak mungkin singkong sekuat mereka bisa, sisanya masih menggunung. Tak perlu dikatakan, setiap orang mencoba memasak singkong dengan berbagai cara mulai dari membakarnya hingga merebus ataupun menggorengnya. Mereka akhirnya ‘mblenger’ makan singkong. Oleh karena itu Andragi lalu meminta dibuatkan gudang penyimpanan sementara agar singkong-singkong itu tidak cepat busuk. Sementara itu ia mempersiapkan rencana pemanfaatan selanjutnya singkong-singkong itu.

Apa yang terjadi dengan singkong raksasa mereka ketika warga desa Kenteng kemudian membawa ke Poruteng untuk dijual, sungguh merupakan kehebohan tersendiri. Begitu banyak orang takjub dan mengerumuni para penjual dari Kenteng itu. Dalam sekejap barang dagangan mereka habis dibeli orang, dan merekapun pulang dengan senyum mengambang. Seluruh pasar heboh membicarakannya dan tentu saja segera beredar ke seluruh pelosok kota kadipaten itu. Ketika ditanya dimana mereka dapatkan singkong ajaib itu, dengan cerdik para penjual itu mengatakan mendapatkannya jauh di dalam hutan, setelah berbulan-bulan keluar masuk hutan. Mereka tak ingin peluang besar ini ikut dinikmati orang lain dan menyaingi keberuntungan yang baru saja didapat.

Mendengar hasil yang menggembirakan itu Andragi segera berpikir panjang. Di benaknya ia akan menjadikan desa ini sebagai penghasil berbagai produk dari bahan singkong mulai dari tape, brem, tuak singkong, kueh dan penganan hingga membuat alkohol dari bahan itu. Tidak hanya sekedar menjual singkong apa adanya. Dengan begitu semua usaha dan kegiatan para warganya difokuskan untuk mendukung ‘industri’ persingkongan itu, mulai dari menanam hingga produk akhir. Biarlah desa ini menjadi sentra persingkongan.

Ternyata rakyat Klapa Getir sudah mengenal penganan seperti tape, tempe dan berbagai makanan yang dibuat melalui proses peragian, tetapi selama ini hanya dibuat untuk keperluan rumah tangga sendiri atau jika ada perhelatan tertentu. Karena itu Andragi bermaksud mendirikan sentra industri persingkongan di Area Industri yang persis berdampingan dengan Area Ladang Singkong.

Melihat keberhasilan desa baru itu, banyak warga Kenteng memilih pindah ke sana dan diijinkan oleh kakek Blakitem dengan syarat mereka harus saling bergotong royong membangun rumah mereka sesuai arahan dari Andragi dan Pak Paldrino. Selama mereka mendirikan rumah-rumah mereka, mereka mendapatkan pembagian singkong dan beras dari gudang.

Setelah selesai mendirikan rumah sesuai rencangan yang dibuat Andragi lengkap dengan WC dan parit-parit, barulah mereka diijinkan untuk membuka ladang, sawah atau bekerja di Area Industri. Disini Andragi dan  para sobatnya disertai para santri kakek Blakitem mengajarkan proses pengolahan singkong mulai dari tape, brem, tuak singkong, kueh dan penganan hingga membuat alkohol dari bahan itu. Alkohol dipakai untuk obat-obatan terutama untuk menurunkan demam dengan cara mengompres tubuh si sakit.

Tibalah suatu hari kakek Blakitem meminta semua warga berkumpul dan menyiapkan upacara peresmian nama desa baru itu.

“Saudara-saudara sekalian yang saya cintai. Lihatlah di sekitar kalian tempat desa baru ini berdiri. Kita punya ladang singkong yang subur dan siap panen setiap 2 minggu.  Kita punya kampung dengan rumah-rumah yang tertata apik berikut sumur,WC, parit dan taman-taman. Kita juga punya sawah-sawah dan ladang yang mulai berkembang. Kita juga punya area industri dimana saudara-saudara bisa menghasilkan berbagai barang yang bisa dijual,” pidato kakek Blakitem.

“Plok..plok..plok...,” tepukan meriah warga.

“Hidup kakek Blakitem..!!!.,” sorak mereka.

“Jangan berterimakasih pada saya,” katanya. “Berterimakasihlah pada saudara Andragi, Pak Paldrino dan kawan-kawannya serta para santri yang telah sukarela membangun desa baru ini untuk saudara-saudara semua..”

“Horeeee, Hidup Andragi, Hidup pak Paldrino...!!”

“Hidup Brewok, hidup Loyo..Hidup santri...!!,” seru warga.

“Ya...ya..ya.., terimakasih juga buat warga..,” jawab kakek Blakitem mewakili menjawab.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang kencang, “Hidup Lugasi..!!”

“Hmmm ya..... , kau juga Anak Setan..!!, kata kakek Blakitem sambil menunjuk Lugasi yang hanya cengar-cengir dan bersiap menggelinding kalau-kalau kakek Blakitem akan menendangnya.

Rupanya teriakan itu datang dari pemuda yang dulu ikut merampok beras dan yang pertama bertobat. Dia sangat mengagumi kehebatan Lugasi dan sikapnya yang jenaka. Seharang pemuda itu menjadi ketua dari anak-anak muda disana.

“Ya,... karena itu kita patut bersyukur kepa Dewa Maha Tunggal atas rejeki yang diberikannya. Mari kita menundukkan kepala berdoa....,”

“Dan dengan mengucapkan syukur kepada Dewa Yang Maha Tunggal saya namakan desa baru kita ini HARJAGI, singkatan dari Harapan Berjaya Lagi, sekaligus sebagai pengingat saudara Andragi sebagai orang pertama yang mencetuskan ide desa baru ini dan turut membangunnya...” jelas kakek Blakitem.

“Horeeee...!! Hidup Harjagi! Hidup Harjagi..!” seru warga dengan gembira.

“Satu pesan saya, jagalah keasrian desa Harjagi ini, pelihara kebersihannya, gunakan setiap jengkal tanah sesuai peuntukannya biar kalian biasa hidup sehat dan nyaman...” Kakek Blakitem mengakhiri pidatonya.

Mereka lalu merayakannya dengan meriah dan berpesta segala makanan hasil industri mereka. Tentu makanan besar pun disediakan dengan memotong beberapa ekor binatang hasil buruan satu dua hari sebelumnya.

Warga semakin giat membangun desa baru mereka, desa Harjagi. Desa ini semakin hidup dari hari ke hari.

Tidak heran karena itu sebagian besar warga Kenteng sangat bergairah pindah ke tempat baru mereka. Hanya tersisa sekitar 10 keluarga yang memilih tetap tinggal di Kenteng karena mereka ingin menjadi pedagang hasil produksi desa yang baru untuk dijual ke tempat lain. Ini cara cerdik mereka supaya konsumen tidak perlu langsung ke Desa Baru Harjagi. Kenteng mereka jadikan semacam pasar grosir jika ada pedagang dari tempat lain datang ke sana.

Ini sesuai dengan dugaan Andragi. Ia telah menduga tidak semua warga Kenteng akan tertarik bekerja di desa baru mereka karena bermacam alasan, terutama yang sebelumnya mempunyai latar belakang pedagang. Mereka-mereka ini dapat menjadi pedagang yang akan membawa hasil industri dari desa baru ini untuk dijual ke tempat lain, terutama ke kota Poruteng.

Karena itu ia berpikir untuk menjadikan desa Kenteng sebagai pasar utama hasil produksi desa baru mereka. Ini sangat sesuai dengan keinginan mereka yang ingin jadi pedagang dan tetap tinggal di Kenteng. Mereka justru minta bantuan Andragi untuk membuat rancangan desa Kenteng sebagai pusat grosir.

Andragi lalu membuat peta desa Kenteng yang baru yang lebih tertata rapi.

Ada 10 bangunan rumah yang mirip dengan desa baru Harjagi bedanya bagian kolong dibuat untuk gudang barang dagangan mereka. Ke sepuluh rumah itu mengelilingi area lapak besar yang dibagi-bagi menjadi 10 lapak. Komplek itu dilengkapi dengan  6 buah sumur,  2 WC umum dan 2 bangunan untuk warung makan. Juga ada 2 penginapan yang bisa digunakan para pedagang dari jauh untuk menginap.

(Gambar Denah ada di draft blogger)

Lapak yang luas memungkinkan para pemilik lapak menggelar dagangannya dengan leluasa dan beragam banyaknya.

Pertama-tama yang harus mereka lakukan adalah merobohkan semua runah dan bangunan yang ada dan membersihkan lahannya kecuali 10 rumah yang masih mereka tinggali. Rumah-rumah imi juga akan diratakan satu persatu setelah berdiri rumah baru untuk mereka tinggali.

Andragi membawa Loyo, Brewok dan Lugasi untuk membantu warga Kenteng meratakan bangunan lama dan membangun Kenteng Baru. Ya, Brewok tentu selalu minta ikut kemanapun Andragi pergi, karena ia senang selalu mendapat pengetahuan baru bila bersama Andragi.

Setelah bangunan diratakan dan dibersihkan mereka segera membuat area lapak yang luas karena pembeli dan pedagang dari kota sudah mulai berdatangan untuk membeli singkong raksasa. Tentu juga dibuatkan jalan akses yang menyambung ke jalan menuju Poruteng.

Dengan cerdik mereka bersepakat untuk selalu mendatangkan singkong raksasa maupun hasil olahannya dari desa baru Harjagi pada malam hari agar tidak diketahui oleh para pedagang dari tempat lain. Hal ini disetujui oleh Andragi untuk sementara waktu supaya tidak mengganggu pembangunan yang sedang dilakukan oleh warga desa baru Harjagi.

Panen Singkong Ajaib, Singkong Raksasa

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #70 )

Pada hari ke seratus lima puluh lima, air telah memasuki area desa dengan membelah area sawah secara diagonal dan  menyambung ke parit desa di ujung atas kanan kluster yang paling kanan atas. Air itu tiba di kluster pertama melalui parit di linggkaran taman utama terus menuju ke parit pembuangan yang membelah area ladang. Para perawat kebun gembira melihat air itu datang karena kini dengan mudah mereka bisa mengairi tanaman di kebun-kebun mereka.

Pada saat itu, mereka sudah memiliki lima kapling kebun yang berisi tanaman singkong model baru itu dengan umur yang berbeda-beda. Tanaman singkong pada kapling yang pertama kini telah berumur sekitar tiga bulan. Batang-batangnya  jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pada singkong biasa dengan daun-daun serupa singkong hutan. Cabang-cabangnya sebagian telah dipangkas dan dipergunakan sebagai penyambung atas pada tanaman baru di petak-petak kebun yang baru dibuat.

Mengingat seluruh area ladang bisa dibuat sebanyak 400 petak kebun, Andragi mengusulkan agar dibuatkan lebih banyak petak kebun singkong dengan umur tanaman yang berbeda-beda agar bisa menjamin setiap dua pekan atau sepuluh hari ada kebun yang siap dipanen. Dengan umur panen 6 bulan sejak singkong ditanam, maka diperlukan 18 petak kebun singkong. Kini pekerjaan berikut mereka adalah membuat 13 petak kebun baru yang harus sudah siap dengan tanaman baru setiap sepuluh hari. Dengan jumlah tenaga yang mereka miliki, 51 orang, target itu tidak seberat pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.

“Untuk apakah semua singkong itu nantinya? Kita kan tidak makan singkong setiap hari?” tanya Paldrino.

“Ya, memang tidak,” jawab Andragi. “Singkong-singkong itu akan kita jual. Hasilnya bisa untuk membeli bahan makanan lain atau keperluan lainnya,” jelasnya.

“Bagaimana kalau hanya sebagian yang laku. Sisanya akan diapakan?” tanya Loyo.

“Nah, itulah sebabnya kita menyiapkan area industri ini,” jawab Andragi sambil menunjuk ke peta besar pertama.

“Saya sedang berpikir untuk membuat sesuatu dari bahan singkong itu nantinya. Mungkin makanan atau benda lain yang belum ada di negeri ini tapi diperlukan,” lanjutnya.

“Wah, pasti ada keajaiban baru lagi!” seru Brewok bergairah.

“Iya, akan ada sesuatu yang bisa kita pelajari lagi. Sungguh bukan main!” dukung Lugasi.

Andragi tersenyum, selalu mendapat dukungan semangat dari pria brewok serta anak muda yang pendek dan bulat ini.

“Ya, hanya bisa terjadi karena bantuan sobat-sobat semua. Bukan karena saya saja. Tanpa para sobat saya tak berarti apa-apa,” jawab Andragi.

Sejak hari berikutnya mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat petak-petak kebun baru dan menanamnya dengan singkong baru begitu sebuah petak telah siap. Meskipun urusan menebang pohon merupakan pekerjaan yang berat, namun berkat jumlah mereka yang cukup banyak, pekerjaan itu menjadi lebih lebih ringan. Apalagi disela-sela itu mereka sering pula dihibur dengan atraksi berburu hewan yang tiba-tiba keluar dari persembunyiannya. Disini Lugasi sering mendapat tugas menangkap hewan yang naik bersembunyi diatas pohon, termasuk ular-ular besar. Kemampuannya melentingkan tubuh juga sangat berguna ketika harus memasangkan ikatan tali pada dahan yang tinggi yang akan ditarik untuk mengarahkan tumbangnya pohon.

Pada hari ke seratus sembilan puluh delapan, seorang santri pengurus kebun melaporkan keajaiban yang dilihatnya.

“Sobat Andragi, kami melihat sebagian umbi-umbi besar menyembul keluar pada kebun yang pertama!” lapornya.

Mereka segera menuju tempat yang dimaksud. Pada sebuah pohon singkong mereka melihat sebagian umbi menyembul keluar. Andragi lalu hati-hati mengorek disekitarnya. Tampak umbi itu sebesar betis orang dewasa yang gemuk dengan garis tengahnya sekitar 8 samai 10 cm. Panjangnya sekitar 70 cm. Semua orang kagum dan girang melihat hasil kerja mereka itu. Ia lalu membandingkan dengan umbi singkong yang asli, yang hanya bergaris tengah tidak lebih dari 3 cm dan panjangnya hanya 30 cm.

Pohon yang satu itu lalu beramai-ramai mereka gali setelah batangnya dipangkas terlebih dahulu. Mereka berusaha untuk tidak membuat umbinya patah agar bisa melihat utuh umbi-umbi raksasa itu. Setelah berhasil mengeluarkan seluruh umbinya semua merasa takjub dan bersyukur. Ada lebih dari sepuluh umbi raksasa dari satu pohon, dan berat seluruhnya ditaksir sekitar 40 kg.

“Kalau begitu lima hari lagi kebun ini boleh di panen. Kita harus memanennya saat umurnya enam sampai delapan bulan. Kalau lebih umbinya akan mengeras,” kata Andragi.

“Tetapi jangan gembira dulu! Kita belum lagi tahu apakah umbi ini bisa dimakan atau tidak. Karena itu harus kita coba merebusnya dan mencicipinya sedikit. Kalau tidak apa-apa berarti bisa dimakan. Kalau beracun, saya harus pikirkan kembali manfaat umbi ini,” kata Andragi.

Sebenarnya Andragi memang ragu apakah umbi itu bisa dimakan, karena di dunianya dulu ada singkong mukibat hasil budidaya seperti itu tetapi tidak bisa dikonsumsi manusia. Oleh karena itu ia memang sudah siap dengan kegunaaan lain jika memang tidak bisa dimakan.

Mereka lalu mengupas, memotong dan merebus satu umbi. Setelah empuk ternyata mereka ragu untuk memakannya.

“He, bukankah disatu bedeng itu ada yang piara monyet! Bagaimana kalau kita coba memberinya ke monyet itu,” usul Lugasi.

Mereka lalu mencobakannya kepada monyet itu, meskipun yang memiaranya sedikit menyesal dan khawatir. Pada awalnya binatang itu enggan makan makanan yang asing baginya, tetapi karena diojok-ojok terus akhirnya ia mencoba menggigit dan mengunyahnya. Mereka menunggu reaksinya. Binatang itu malah membuang sisa singkong rebus yang dipegangnya lalu melompat ke dahan yang lebih tinggi. Tetapi tingkahnya tidak berubah, masih seperti monyet yang normal.

Dari ilmu yang dipelajarinya saat menjadi pramuka dulu, Andragi ingat ciri-ciri suatu tumbuhan bisa dimakan atau tidak. Tumbuhan yang daun, bunga, buah, atau umbinya biasa dimakan oleh satwa liar, adalah tumbuhan yang tidak beracun. Jadi manusia bisa mengkonsumsinya. Sementara, tumbuhan yang berbau tidak sedap dan bisa membuat pusing, serta tidak disentuh oleh binatang liar, sebaiknya jangan mencoba memakannya. Juga tumbuhan bergetah yang membikin kulit gatal, sebaiknya dihindari saja. Tumbuhan lain yang juga perlu disingkirkan adalah tanaman yang daunnya bergetah pekat, berwarna mencolok, berbulu, atau permukaannya kasar. Tanaman dengan daun yang keras atau liat juga jangan dikonsumsi.

Andragi juga tahu pada singkong beracun, baik pada umbi maupun daunnya mengandung zat yang dapat menghasilkan  senyawa asam biru yang bersifat sangat  beracun. Umbi dan daun singkong yang mengandung racun biasanya ditandai dengan rasa pahit dan baunya langu. Perebusan dan perendaman dalam air mengalir dapat mengurangi kadar racun yang terkandung karena sifat dari asam sianida atau asam biru itu larut di dalam air.

“Wah bagaimana ya? Kira-kira beracun tidak ya?” tanya Lugasi belum yakin.

“Begini, sebaiknya sebagian umbi itu kita taruh di hutan yang banyak celengnya. Kalau mereka makan, berarti umbi ini bisa kita makan,” kata Andragi.

Beberapa santri lalu pergi membawa batang singkong beserta umbinya itu ke hutan dan meninggalkannya disana setelah mengikatnya pada sebatang pohon agar tidak hilang dibawa lari binatang. Keesokan harinya mereka mendapati sebagian besar umbi mereka telah habis dimakan binatang. Dengan gembira mereka memberi tahu Andragi. Ternyata singkong bisa dimakan! Singkong mereka tidak sama dengan singkong mukibat, mungkin karena jenis singkong di Klapa Getir ini memang berbeda dengan yang ada di dunianya dulu.

Tiba-tiba seorang pemuda desa Kenteng maju dan mengatakan sejak semalam ia diam-diam telah mencicipi sedikit singkong rebus itu, dan sampai sekarang tidak mengalami gangguan apa-apa. Ia ingin menunjukkan kerelaannya untuk berkorban demi memperoleh kepercayaan kembali.

Kini mereka yakin, singkong mereka bisa dikonsumsi!

“Ah, sayang juga singkong kita dimakan si celeng, padahal aku juga mau mencicipinya,” kata Brewok.

“Ya itu upahnya bagi si celeng yang bersedia jadi percobaan. Siapa tahu dia sekarang sedang kejang-kejang. Hi..hihi!” jawab Lugasi.

Brewok hanya tersenyum kecut.

Malam menjelang hari ke dua ratus lima semua orang tampak bergairah. Mereka menantikan hari esok sebagai hari panen perdana hasil kerja keras mereka, dan menyaksikan keajaiban kedua selama melakukan pekerjaan besar mereka. Sementara itu mereka telah pula berhasil membuat petak kebun baru sebanyak 10 buah. Tinggal 3 petak lagi yang harus dibuat. Semua bertekad segera menyelesaikannya selepas panen besok.

Hari panen itu menjadi hari yang istimewa! Hari itu memang sungguh menggairahkan. Semua orang bangun lebih awal seakan takut matahari hari itu tidak akan bersinar atau hanya menghadirkan hari yang pendek.

Ketika akhirnya sang surya tersenyum di ufuk timur, mereka melihat kedatangan kakek Blakitem dengan wajah yang cerah ceria.

“Mari kawan-kawan, kita segera rayakan hari ini dengan sukacita!” katanya sambil menuju kebun pertama mereka.

Semua berbondong-bondong mengiringi kakek tua itu sambil membawa berbagai peralatan, diiringi celoteh dan canda gembira.

“Para sobat sekalian, kali ini kita akan menyaksikan keajaiban kedua yang sama-sama kita, manusia, yang menciptakannya. Kita tahu dengan usaha yang gigih serta kerjasama yang kokoh kita bisa menciptakan mukjizat. Bukan untuk menyamai Dewa Yang Maha Esa, tetapi justru untuk mengagungkannya karena semua rahasia penciptaan ini berasal dariNya. Kita hanya mengungkapkannya. Sedikit! Selain itu Dewa Yang Maha Esa mampu menciptakan mukjizat dalam sekejap mata, sementara kita, manusia, harus bekerja keras hanya untuk mengungkap mukjizat yang telah diciptakan dan disimpanNya. Karena itu kawan-kawan, mari kita mengucapkan syukur kepadaNya!” ajak kakek Blakitem berdoa.

Mereka pun lalu berdoa dengan khusyuk.

“Nah sekarang selamat memanen!” katanya diiringi tepuk tangan semua yang hadir.

Serentak mereka memangkas batang-batang singkong terlebih dahulu baru kemudian menggalinya. Suara riuh rendah mengagumi besarnya singkong yang diperoleh meramaikan celoteh mereka. Bahkan saking bergairahnya, banyak diantara mereka seakan bertaruh pohon mana yang menghasilkan umbi terbesar. Begitu ada yang mendapat singkong yang lebih besar dari pada sebelumnya, mereka semua bersorak riuh.

Semua singkong hasil panen itu mereka tumpuk pada tempat suatu area tertentu. Pada sore hari tumpukan singkong mereka telah menggunung. Tidak kurang dari 200 pohon yang dipanen dari petak pertama itu, dan kalau setiap pohon rata-rata menghasilkan 25 kilogram, berarti hasilnya 5 ton.

“Wah mau diapakan singkong sebanyak ini. Mana besar-besar lagi!” seru Lugasi.

Air yang Mengangkat Dirinya Sendiri Keatas

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #69)


Setelah Lugasi berlalu, kakek Blakitem dengan ramah mengajak mereka keluar menemui para perampok itu. Sementara itu di luar sana Lugasi sudah minta seorang santri mengantarnya ke seberang danau ke tempat pekerjaan besar mereka di desa yang baru di bangun.

“Oh, jadi kalian orang-orang dari desa Kenteng? Sekarang, apa yang kalian inginkan?” tanya kakek Blakitem.

“Kami pasrah pada kakek, hukuman apapun yang harus kami terima,” jawab juru bicara mereka, si orang yang lebih tua itu.

“Tidak, tidak! Saya tidak berhak menghukum kalian! Yang berhak adalah hakim negeri Poruteng atas nama negara untuk menghukum kalian, karena kalian telah melanggar peraturan negeri ini,” jawab kakek Blakitem.

“Tolong kakek yang baik. Kasihanilah kami. Janganlah kami diserahkan kepada yang berwajib, pamong negeri. Kami akan mati di penjara,” kata juru bicara itu menghiba-hiba.

Mereka dapat membayangkan hukuman cambuk yang mengerikan akan mendera punggung dan kaki mereka hingga kulit dan dagingnya menyerupai bubur. Hiiii...!!

“Kasihanilah kami, kakek. Kami bersedia melakukan apa saja asal jangan diserahkan kepada yang berwajib,” pintanya lagi.

“Tahukah kalian, apa yang sedang dikerjakan para sobat dan santri disini sehingga memerlukan beras dan untuk apa hasilnya nanti?” tanya kakek Blakitem.

“Kami tidak tahu kakek,” jawabnya lirih. “Kami tidak tahu untuk apa pekerjaan itu nantinya,” jawab juru bicara itu.

“Ketahuilah, bahwa semua pekerjaan besar itu nanti hasilnya untuk kalian para penduduk miskin di Kenteng. Para sobat ini bekerja sendiri, yang semestinya kalian bantu. Bukan malah merampoknya! Mereka belum mengajak kalian karena tahu kalian hanya mau melihat hasilnya dulu sebelum tertarik untuk ikut membantu. Kalian sungguh sangat tidak tahu berterimakasih kalau mulai sekarang kalian tidak membantunya. Mungkin saja hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, tetapi manusia wajib berusaha!” kata kakek Blakitem.

“Ampun kakek Blakitem. Kalau begitu perintahkan kami membantu pekerjaan ini. Kami akan menurut,” jawab juru bicara itu.

“Tidak! Aku dan para sahabat disini tidak akan memerintahkan itu. Semua itu terpulang pada niat dan kemauan hati setiap orang. Kalian bebas menentukan apa yang akan kalian lakukan!” kata kakek Blakitem sambil memberi isyarat kepada para santri untuk membebaskan ikatan yang melilit tangan mereka.

Para santri segera membebaskan ikatan tangan para perampok itu.

“Nah, sekarang kalian bebas! Silakan pergi kemana kalian suka. Tak ada yang akan menghalangi kalian!” kata kakek Blakitem sambil beranjak masuk ke pendopo

Seluruh santri dan para sobat mengikuti beliau melangkah masuk ke pendopo membiarkan para perampok itu bebas.

Para perampok itu terbengong-bengong tak mengerti. Mereka saling berpandangan satu sama lain.

“Bagaimana ini?” tanya seseorang diantara mereka.

“Aku akan ikut membantu mereka!” kata anak muda yang tadi menyesali nasibnya tiba-tiba, sambil beranjak melangkah menuju pendopo.

“Aku juga!” kata orang yang lain, lebih kepada dirinya sendiri.

Satu-persatu mereka melangkah masuk ke dalam pendopo dengan sopan. Di dalam sudah tidak nampak kakek Blakitem. Andragi dan kawan-kawan menghadapi mereka.

“Ijinkan kami ingin membantu tuan-tuan, kalau boleh. Kami menyesal telah membuat repot selama ini. Kami sekarang tahu untuk siapa semua pekerjaan itu,” kata anak muda yang pertama kali menyatakan ingin membantu.

“Kalau kalian memang berniat, kami akan senang menerimanya. Tetapi harap semua ingat, tidak ada yang memaksa kalian. Kalian boleh datang dan pergi sesuka hati kalian. Tak akan ada yang menghalangi!” jawab Andragi.

“Kami paham dan berniat membantu dengan tekad kami,” kata si juru bicara.

Mereka begitu tersentuh dengan sikap dan perlakuan kakek Blakitem dan para sobatnya ini. Mereka merasa sungguh-sungguh menyesal.

“Baiklah, kalau demikian. Kalian sekarang boleh pulang. Besok pagi kami menanti kalian disini dan bersama-sama kita akan pergi ke lokasi pekerjaan kita. Sementara itu tinggalkan teman kalian yang luka itu untuk kami rawat. Katakan kepada keluarganya apa yang terjadi,” kata Paldrino.

Mereka pun lalu minta diri setelah berulang kali mengucapkan terimakasih. Andragi lalu membantu merawat orang yang buntung itu. Disiramnya dengan obat luka untuk menghindarkannya dari infeksi.

Esok harinya ke empat belas orang mantan perampok itu telah datang, pagi-pagi benar. Bersama-sama mereka menyeberangi danau menuju lokasi desa baru itu. Setiba disana teman-teman mereka segera melaporkan bahwa Maber dan Maras telah hilang melarikan diri begitu mengetahui para perampok itu tertangkap. Dikemudian hari ternyata mereka bersekongkol dengan pejabat korup yang berambisi untuk menguasai desa baru itu.

Sejak hari itu mereka dapat memusatkan perhatian sepenuhnya pada usaha membawa kincir raksasa itu. Bahkan kini dengan mendapat empat belas tambahan tenaga, meskipun juga kehilangan dua orang. Oh, ada satu lagi tambahan tenaga yang sangat berarti yakni si Anak Setan, Lugasi.

Dengan susah payah, langkah demi langkah kincir raksasa itu akhirnya berhasil mereka bawa hingga ke tepi sungai. Mereka lalu membangun tempat kedudukan yang kuat untuk menyangga poros kincir yang terbuat dari galih kayu keras yang telah tua serta dilapisi lempengan besi dan diolesi gemuk pelicin. Tiang-tiang besar menyangga tempat kedudukan poros itu sekaligus sebagai penyangga anjungan yang menghubungkan kincir dengan tepi sungai. Tentu bibir sungai itu harus di gali sekitar 1 meter dan lebar satu setengah meter sebagai pintu menuju anjungan.

Setelah itu barulah mereka mengangkat kincir raksasa itu dengan hati-hati dan meletakkan pada posisinya, dalam keadaan di rem dengan sebatang bambu yang melintang. Setelah benda itu berdiri dengan mantap, mereka lalu membuat penyangga diatas anjungan guna meletakkan bak penampungan air dan talang besar terbuat dari papan-papan tebal, hingga mencapai bibir sungai dan berujung persis diatas parit yang telah dibuat oleh Dwisa dan kawan-kawan.

Pada hari ke seratus empat puluh lima persiapan kincir itu telah selesai sempurna. Kini saatnya menyaksikan keajaiban dari hasil kerja keras mereka selama ini. Hari itu sengaja mereka mengundang kakek Blakitem untuk memimpin doa dan meresmikan beroperasinya benda pertama yang ada di negeri Klapa Getir.

“Saudara-saudaraku semua. Hari ini kita akan menyaksikan sebuah keajaiban yang kalian ciptakan sendiri. Ini membuktikan bahwa keajaiban bisa dibuat oleh kita, bukan karena hanya menunggu Dewa Yang Maha Agung memberikan dengan cuma-cuma. Keajaiban ini akan membawa perubahan sangat besar bagi kehidupan kita dan semoga membawa pada perbaikan yang lebih baik pada kehidupan kita dan anak-cucu kita,” sambut kakek Blakitem.

“Sekarang, dengan mengucapkan syukur kepadaNya mari kita jalankan karya agung kalian ini!” lanjutnya.

Beberapa orang segera membebaskan bambu penghalang putar dan... begitu terbebas, kincir itu mulai berputar dengan lancar dan cukup cepat sambil membawa sejumlah air di kotak-kotak airnya. Semua mata terpana mengikuti gerak kotak pertama yang berisi air. Setiba diatas kotak itu menumpahkan isinya ke bak penampung air diikuti dengan kotak-kotak lain yang susul menyusul dengan cepat.

“Horee!! Kita berhasil!” seru mereka girang bukan kepalang.

Air pun memancur deras di ujung talang, tumpah ke dalam parit. Sebagian besar dari mereka segera berlari ke bawah ujung talang itu dan tanpa basa-basi masuk ke parit guna merasakan guyuran air deras yang menimpa tubuh mereka. Sorak sorai dan derai tawa mereka sahut menyahut, menandakan rasa gembira yang berlimpah.Dalam kegembiraan itu banyak diantara mereka yang mencucurkan air mata, terharu. Hilang segala penat dan sakit.

Segera mereka sadar dan tanpa komando mendatangi Andragi, yang sedang tersenyum haru, dan mengangkatnya beramai-ramai lalu menceburkannya ke parit di bawah pancuran deras air. Paldrino, Loyo dan Brewok pun mendapatkan perlakuan yang sama.

Mereka semua bergembira!

Diam-diam, santri petugas makanan dibantu para perawat kebun telah menyiapkan kenduri istimewa dan dibawa ke tempat itu. Setelah puas menikmati air pancur deras itu mereka lalu berdoa dan berkenduri melahap dengan nikmat makanan yang sengaja dibuat lebih mewah dari biasanya. Tak habis-habisnya mereka bersyukur dan memuji, sambil memandangi roda raksasa itu berputar indah mengangkat air dan menumpahkannya ke talang.

Kini tinggal meneruskan pembuatan parit dan talang agar air bisa sampai ke desa baru mereka. Selepas makan, dengan gairah yang tinggi mereka segera menyusuri parit, mengikuti aliran air hingga tiba di ujung yang perlu disambung dengan talang. Tak perlu perintah, mereka langsung membuat penyangga dan memasang talang pipa-pipa besar buatan Primasa dan rekan-rekannya. Diujung yang lain sebagian dari mereka meneruskan penggalian parit. Semua bekerja dengan semangat tinggi.

KOMENTAR ANDA