Padahal inilah yang dilakukan penjual singkong ajaib itu.
Lelaki itu memang sudah menduga
dan berjaga-jaga kalau dia akan dikuntit orang saat pulang karena banyak yang
ingin tahu darimana dia memperoleh singkongnya itu. Setelah keluar dari warung
makan ia sengaja berbelok masuk ke rumah bordil dan dengan sedikit uang perak
dia bisa meloloskan diri lewat pintu belakang, karena dibantu germo pemilik
rumah bordil itu.
Begitu lepas dari pengamatan
penguntitnya ia langsung bergegas kembali ke Kenteng melalui jalan yang tidak
biasa. Ia memilih jalan-jalan tikus yang dipakai para pemburu binatang atau
anak-anak gembala. Yang penting ia tahu arah kemana tujuannya. Menjelang malam
ia sudah sampai di Kenteng.
Ia segera menemui Andragi
di rumah yang dijadikan tempat berkumpul warga Kenteng selama membangun Kenteng
Baru.
“Hai sobat Sutar, baru
datang ya? Silakan masuk....” sapa Andragi ramah.
“Terimakasih sobat
Andragi. Saya baru saja sampai dari Poruteng dan langsung kesini untuk melapor,”
jawab Sutar si penjual singkong ajaib.
“Oh begitu. Silakan duduk
dan minum dulu baru kita bicara,” kata Andragi.
Ia lalu memberi tanda
agar Lugasi, Loyo dan Brewok ikut masuk dan mendengarkan laporan Sutar. Setelah
meneguk minuman yang tersedia, mulailah Sutar bercerita.
“Ternyata benar dugaan
sobat Andragi. Saya memang diikuti oleh orang yang ingin mengetahui asal
singkong ajaib kita,” katanya.
“Sesuai saran sobat
Andragi, saya langsung masuk ke rumah bordil, berpura-pura mencari hiburan
disana lalu menyelinap keluar lewat pintu belakang tanpa diketahui oleh
mereka,” lanjutnya.
“Bagus.., kata Andragi.
Ada berapa orang yang mencoba menguntit sobat Sutar..?”
“Setahu saya ada 2 orang.
Mereka terlihat sekali ingin membeli singkong ajaib tapi karena kehabisan kami
berjanji ketemu lagi lusa di warung itu,” jelas Sutar.
“Hmmm, kalau begitu apa
rencana kita sobat Lugasi..?” tanya Andragi.
“Hihi,,hi.., kita jebak
saja kalau begitu,” jawab Lugasi enteng.
Mereka lalu merundingkan
cara menjebak penguntit Sutar.
“Saya minta sobat Lugasi,
Loyo dan Brewok membantu sobat Sutar menjebak mereka, tetapi ingat jangan
mencelakai mereka karena kita belum tahu siapa yang menyuruh dan apa
tujuannya,” kata Andragi.
“Baik sobat Andragi, akan
kami kerjakan sebaik-baiknya.” jawab Lugasi.
Meskipun selalu tampak
jenaka, namun Lugasi selalu bersungguh-sungguh bila melakukan tugas-tugas yang
mulia.
Dua hari kemudian
terlihat Sutar berjalan menuju Poruteng sambil membawa beberapa umbi singkong
ajaib. Setiba di pasar ia langsung menuju warung makan untuk menemui Komir dan
Kepos yang ternyata sudah menantinya.
“Kami kira kisanak tidak
datang hari ini. Kami sudah lama menunggu,” kata Komir.
“Oh, maaf, saya harus
pergi mengambil singkong dulu sebelum kesini.” jawab Sutar. “Ini barangnya,
silakan.”
Transaksi jual beli
terjadi dan Kepos diminta untuk membawa singkong ajaib itu ke rumahnya untuk di
simpan.
Sementara itu Komir
mencoba mengorek informasi dari Sutar dengan pura-pura ingin menjadi penjual
singkong ajaib itu karena prospeknya bagus. Banyak orang yang ingin membeli karena
ukurannya yang aduhai besarnya.
“Wah, kisanak akan
menjadi pesaing saya nantinya disini,” kilah Sutar.
“Tentu tidak kisanak,
saya akan menjual ditempat lain dan saya akan menyetor sebagian keuntungan
untuk kisanak. Hitung-hitung saya membantu kisanak menjual singkong ajaib ini
di tempat lain,” jawab Komir.
“Hmmm, kedengarannya
menarik. Bagaimana perhitungannya,” tanya Sutar pura-pura tertarik.
Sementara itu Kepos sudah
kembali dan bergabung lagi dalam pembicaraan itu.
“Begini kisanak, kita
sama-sama pergi ke tempat singkong ajaib ini dan kisanak menentukan harga
jualnya. Nah saya akan membayar 4 bagian kepada kisanak dan saya mendapat 6
bagian,” jelas Komir, otak dagangnya lumayan encer.
“Artinya, setiap singkong
yang kisanak dapatkan dari sana saya akan mendapat 4 bagian, begitu..??” tanya
Sutar menunjukkan mimik serakah.
“Ya begitu. Anggap saja
sebagai upeti saya kepada kisanak karena jasa kisanak menunjukkan tempat asal
singkong besar ini,” jawab Komir dengan senyum mengembang karena perangkapnya
akan berhasil.
“Betul kisanak, saya juga
mau membagi 4 bagian kepada kisanak. Jadi kisanak dapat 8 bagian dari kami
berdua. Kisanak akan dapat bagian yang paling besar, Kami berdua masing-masing
hanya dapat 6 bagian, sedangkan kisanak dapat 8 bagian dari kami. Belum lagi
hasil kerja kisanak sendiri,” cerocos Kepos seperti burung beo birahi.
“Hmmm...ya, kelihatannya
menarik, tapi .....” kata Sutar ragu.
“Tapi kenapa kisanak..??”
kejar Komir.
“Tempatnya jauh di dalam
hutan, dan hutannya angker karena ada penunggunya. Saya tidak tahu apakah
penunggunya berkenan saya datang membawa teman atau tidak. Jangan-jangan saya
juga nanti dilarang ke sana lagi,” sesal Sutar.
Komir buru-buru merogoh
kantongnya dan memperlihatkan 3 keping uang perak, dan berkata,
“Ini, ada baiknya kita coba, Kami akan berusaha sesopan mungkin di wilayah kekuasaanya. Tidak bertindak gegabah mengganggu ketenangannya,” kata Komir sambil menjejalkan koin perak itu ke tangan Sutar.
“Baiklah kita coba,” kata
Sutar dengan mimik agak keberatan.
“Terimakasih, nama saya
Komir.., Ini teman saya Kepos” kata Komir sambil bersalaman tanda mereka sudah
sepakat.
“Nama saya Sutar,...
Mari...,” jawab Sutar mengajak mereka jalan.
Mereka bertiga lalu pergi
menuju ke arah Kenteng. Selama perjalanan tidak banyak yang mereka bicarakan
atas permintaan Sutar demi tidak mengganggu ketenangan hutan di sekitar mereka.
Sebelum memasuki desa Kenteng Sutar mengajak mereka berbelok ke kiri memasuki
hutan yang tampak lebat penuh pepohonan besar dan kecil. Suasana sungguh hening
dan terasa mencekam.
Hanya suara gemerisik
langkah mereka dan tangan menyibak dedaunan yang terdengar. Sesekali Sutar menoleh
ke kiri atau ke kanan seakan melihat atau mendengar sesuatu. Ini membuat Komir
dan Kepos yang biasa tinggal di kota menjadi ciut nyali mereka. Terasa sesuatu
yang hangat membasahi selangkangan Kepos.
“Oh emak, oh bapak
doakanlah anakmu ini...,” ia komat-kamit.
Mereka berjalan cukup
lama di dalam hutan itu hingga tiba di suatu batu cadas besar yang sebagian diselimuti
oleh akar-akar pohon raksasa. Tempat ini terlihat lebih angker dan magis.
Dengan suara pelan Sutar
mengatakan disekitar sini lah tempat ia mengambil singkong raksasa itu. Ia lalu
mengajak Komir dan Kepos mengikutinya mencari pohon singkong raksasa itu.
Setelah beberapa saat
mencari tiba-tiba Sutar menunjuk ke sebuah pohon yang batangnya sebesar paha
orang dan dibagian bawahnya penuh ditutupi oleh dedaunan dan humus. Mereka
menuju pohon itu.
“Ayo mulai menggali.
Kisanak di sebelah sini, kisanak disebelah sana. Saya di sebelah sini,..” bisik
Sutar sambil menunjuk bagiannya yang penuh ditutupi dedaunan dan humus.
Dengan semangat Komir dan
Kepos menggali memakai golok senjata mereka. Demikian juga Sutar. Beberapa saat setelah Sutar membersihkan dedaunan dan mulai menggali ia menemukan umbi besar dan memotongnya dari akar pohon itu.
“Hei lihat, kita telah
menemukannya..!!” teriaknya gembira. “Sini bantu aku menggali dan
mengangkatnya.”
Mereka berdua segera
bergabung dengan Sutar menggali singkong itu yang terasa tanahnya lebih empuk
sehingga mudah digali. Ini membuat mereka semakin bersemangat ingin segera
mengangkat singkong super besar itu. Sejurus kemudian singkong itu telah bisa
mereka angkat ke luar.
“Horee...,Kita berhasil..!!”
teriak Komir sambil mengangkat tinggi-tingggi singkong itu diikuti Kepos yang
berjoget-joget gembira. Mereka lupa keangkeran hutan itu.
Saat itu tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan hitam menggelinding dengan cepat dan tahu-tahu
singkong yang dipegang Komir terpotong menjadi dua. Bayangan itu menggelinding
lagi dan singkong itu sudah terpotong-potong lagi, beberapa kali itu terjadi
lalu bayangan itu melenting ke atas batu cadas dan berdiri dengan angkuhnya.
Tubuhnya bulat pendek dengan rambut gondrong tak beraturan, Muka dan tubuhnya
hitam menyeramkan.
Komir dan Kepos
menggelosor jatuh terduduk tak kuat menopang
tubuhnya berdiri saking lemasnya, penuh ketakutan. Sementara itu tak
terlihat Sutar disitu. Kemana ia pergi mereka berdua tak tahu.
“Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuiiii....,”
terdengar lengkingan tinggi bernada marah dari makhluk hitam diatas cadas itu.
Suara lengkingan itu menambah ketakutan Komir dan Kepos. Mereka rebah ketanah,
tak kuat meski hanya sekedar duduk.
“He.. manusia-manusia bedebah
dan tidak tahu diri. Tidak pernah menghormati dan memelihara hutan.
Berani-beraninya kau datang kesini dan mau mengambil hartaku.... Berdoalah
sebelum kucabut nyawa kalian...!!”
Dalam keputus-asaannya
Kosim hanya bisa berucap,
“Ampun Tuanku, maafkanlah
kami. Kami hanya sekedar orang suruhan....,” katanya menghiba.
“Sebut siapa yang
menyuruh kalian sebelum kutebas leher kalian..!!” katanya mengancam. Dan
tahu-tahu sebuah ranting besar terbabat putus persis diatas kepala mereka.
Ranting yang menimpa tubuhnya
bagi Kepos seakan disambar geledek.
“Oh emak, matilah anakmu
ini...,” gumamnya pelan hampir tak bersuara dengan celana basah kuyup
ketakutan.
“Kami hanya suruhan Komandan
Diguldo..,” jawab Komir ketakutan.
“Kamu disuruh apa ha..!!”
bentak makhluk itu.
“Cari tahu dari mana asal
singkong besar, tuanku...., ampunilah kami...,” jawab Komir menghiba.
“Pulang sana!! Pulang..!!
Kasih tahu Komandanmu jangan pernah kesini lagi atau kubuat buntung kaki dan
tangannya, juga istrinya dan siapa saja yang kesini lagi..!!’’
Makhluk itu segera
menghilang begitu kata-kata itu lenyap. Sunyi dan hening tiba-tiba mencekam.
Tak ada suara apapun. Hanya sunyi dan gelap, apalagi karena hari sudah merangkak malam.
Pelan-pelan Komir mengangkat kepalanya mencoba melihat kiri kanan. Tidak ada yang bergerak. Pelan-pelan dikumpulkam tenaganya untuk merangkak mendekati Kepos. Kawannya ini masih terbaring diam.
“Mungkinkah dia mati ketakutan..?” pikirnya.
Diguncang-guncangkan tubuh Kepos.
“Pos, Kepos... bangun Kepos..!!”
Tubuh itu menggeliat pelan. Rupanya dia jatuh pingsan ketakutan.
“Ampun... oh, jangan bunuh saya. Emak...” lirih suara Kepos.
“Bangun Kepos, kita diampuni. Kita tidak dibunuh. Ayo bangun dan kita ucapkan terima kasih,” ajak Komir.
Dengan susah payah mereka bangun, mengumpulkan tenaga untuk bersujud menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga karena nyawa mereka diampuni. Mereka berjanji untuk tidak akan datang lagi, dan akan melapor kepada Komandan Diguldo agar menuruti perintah penguasa hutan tempat asal singkong ajaib.