Ia garuk-garuk kepala sambil berjalan. Teringat
akan pesan gurunya bahwa segala peristiwa didunia selalu memberi dua sisi, baik
atau buruk, untung atau rugi, semuanya tergantung cara memandangnya.
“Jika memandang dari keadaan sebelumnya, maka
sebuah peristiwa bisa dikatakan bencana karena melemparkan orang dari keadaan
yang selama ini dialaminya dan sudah biasa digelutinya. Tetapi kalau dilihat
melalui cara pandang yang berbeda, peristiwa yang sama itu merupakan awal dan
kesempatan untuk berubah, menuju sesuatu yang berbeda,” kata gurunya.
“Maksud kakek guru?” ia bertanya.
“Kalau seorang anak biasa digendong terus, maka ia
tidak akan pernah bisa berjalan. Dia sudah enak begitu. Tetapi kalau ibunya
harus pergi meninggalkannya untuk bekerja maka ia punya kesempatan berlatih
merangkak, berpindah dengan kekuatannya sendiri.”
“Tapi, bayi kan biasanya memilih menangis...?”
sanggahnya.
“Itulah kebanyakan dari kita. Jangankan bayi...,
kebanyakan orang memilih menangis, meratapi keadaan yang telah berubah,
berharap bisa kembali seperti semula. Mereka tidak memilih untuk melihat
peluang lain di depan. Mereka selalu ingin berlindung dalam kehangatan dekapan
ibunya. Padahal, di luar sana banyak kehangatan dan kesenangan lain sebagai
penggantinya,” kata gurunya.
“Baik kakek guru, saya tidak akan menangis
meratapi orangtuaku lagi!” katanya mantap.
“Nah, itu baru namanya manusia yang akan berguna!”
“Maksud kakek guru?” tanyanya dengan bangga.
“Kalau kamu berani keluar dari dekapan ibumu, kamu
akan memiliki banyak ilmu dan keterampilan yang berguna bagi orang lain,
termasuk orangtuamu. Kalau kamu ingin tetap dalam dekapan ibumu, kamu akan
menjadi beban, orang yang tidak bisa menolong dirinya sendiri. Mengerti?!”
“Mengerti, kakek guru,” jawabnya.
“Kalau begitu, sana pergi ke desa-desa di bawah
dan bantu orang-orang disana. Jangan pulang sebelum satu pekan!” bentak
gurunya.
Tanpa menjawab ia langsung menggelindingkan
tubuhnya menuruni lereng gunung, sebelum gurunya menendangnya pergi.
“Kakek guru yang aneh. Hihi..hi!”
Lugasi tertawa mengingat percakapan dengan gurunya
itu.
Hatinya menjadi lega. Kini ia tahu rahasia
kehidupan yang sebenar-benarnya.
“Jadi, semua peristiwa itu baik adanya. Tidak ada
yang buruk kalau berani melihat dengan cara pandang baru. Dengan begitu kita
akan selalu bisa bersyukur kepada Dewa Yang Maha Esa. Itulah rahasia hidup
sesungguhnya. Hihi..hi!”
Dengan mantap dan hati yang lapang, ia
melangkahkan kakinya menuju Rajapurwa. Ia bersiul-siul dan bergerak dengan
jenaka, melompat maju ke kiri dan ke kanan.
Setelah berjalan dengan riang itu beberapa lama, di
kejauhan telah tampak desa pertama kota Rajapurwa. Ia memutuskan menuju warung
tempat ia bisa bertemu dengan kawan-kawan Rajapurwanya.
“Ah, sobat Aset datang! Silakan masuk. Silakan..silakan!”
sapa pemilik warung dengan ramah. “Sebentar lagi kawan-kawan akan datang. Sambil
menunggu, silakan mau makan apa?”
“Saya hanya punya sedikit uang. Yang biasa-biasa
saja,” jawab Lugasi.
“Tidak, tidak usah bayar. Kami dan kawan-kawan
telah sepakat untuk menjamu sobat Aset makan sepuasnya tanpa bayar, kapan saja,”
jawab pemilik warung.
“Kenapa begitu? Kalian akan rugi nanti?”
“Tidak! Sobat Aset telah memberikan sesuatu yang
tidak bisa kami bayar berapapun besarnya. Kami telah mendapatkan apa yang kami
cari. Perlindungan dan keadilan dari pemerintah. Hanya makanan yang kami
sanggup berikan, meski tidak sebanding dengan jasa sobat Aset.”
“Terimakasih, tetapi tidak bisa. Saya hanya
melakukan apa yang menjadi kewajiban saya sebagai sesama manusia. Tidak lebih!
Saya harus tetap bayar! Kalau tidak, saya akan pergi mencari warung lain,”
katanya sambil berdiri dari duduknya.
“Tunggu dulu sobat! Semua warung di Rajapurwa
sudah sepakat begitu. Dimanapun sobat Aset makan, harus diberikan secara
cuma-cuma,” kata pemilik warung.
“Ah kalian ini keterlaluan. Aku bisa mati
kelaparan disini kalau begitu. Hihi..hi! “ katanya. “Aku tidak mau
diistimewakan! Bagaimana kalau sebagai gantinya aku akan bekerja membantumu?
Hitung-hitung biar badan ini tidak kaku.”
“Yah, terserah sobat Aset saja. Tetapi jangan
dianggap sebagai ganti makanan. Sobat Aset boleh melakukan apa yang disukainya,”
jawab pemilik warung.
Lugasi lalu makan hidangan yang istimewa
disediakan untuknya. Setelah itu ia ke dapur dan menanyakan apa yang bisa
dikerjakannya. Meski mereka agak sungkan pada awalnya, tetapi setelah melihat
kesungguhan anak muda itu bekerja dan sangat terampil, mereka menjadi terbiasa.
Mulai dari mengupas kelapa hingga menumbuk juadah, ia lincah melakukannya
dengan baik. Bahkan ulah jenakanya membuat mereka terhibur dan tambah
semangatnya.
Ketika bulan sepenggal sudah mulai naik, satu
persatu kawannya datang ke warung. Mereka heran melihat Aset tengah sibuk
membantu pekerjaan disitu. Dengan susah payah pemilik warung meyakinkan mereka,
itu kehendak Aset sendiri dan berkeras melakukannya. Pemilik warung segera
memberi tahu Aset kalau kawan-kawannya telah datang. Mereka semakin menaruh
hormat kepada anak muda itu.
“Ah, bapak-bapak sudah datang. Selamat malam semua,”
sapa Lugasi.
“Selamat malam sobat Aset. Bagaimana hasil
pencarian di Buntung?”
Lugasi menceriterakan apa adanya. Mereka
menyampaikan rasa empati mereka.
“Terimakasih, tetapi itu hanya pencarian masa lalu
saja. Siapa tahu suatu hari nanti saya bisa ketemu bapak saya. Tetapi yang
penting masa depan. Bagaimana dengan suasana kedatangan calon Adipati kita?”
tanya Lugasi.
“Sungguh meriah! Begitu kembali dari tempat
pertarungan itu, kami segera memberi tahu para tetangga dan siapa saja tentang
janji pangeran Jaira. Di pasar, di sawah atau di warung-warung hampir semua
orang membicarakannya. Dalam sekejap sudah begitu banyak orang yang telah mendengar
tentang itu. Maka, waktu pangeran Jaira datang dari Buntung, banyak orang
menyambutnya mulai dari gerbang kota hingga di markas pasukan Rajapurwa,”
cerita orang yang paling tua.
“Bagaimana sikap pangeran Jaira dan pasukannya?”
tanya Lugasi.
“Bukan main! Mereka sangat ramah dan bersahabat.
Pangeran Jaira dan pasukannya segera turun dari kuda dan menyalami rakyat.
Mereka tersenyum, memberi hormat dan memanggul anak-anak di pundak mereka.
Rakyat yang tadinya masih takut-takut akhirnya mencair dan merasa gembira
memiliki pasukan yang dekat dan ramah terhadap mereka. Mereka semua berjalan
bersama rakyat hingga di markasnya. Kini markas itu tidak terasa angker. Rakyat
dengan nyaman melewati pintu gerbangnya, tidak seperti dulu,” jelasnya lagi.
“Oh, bagus sekali! Kelihatannya ia akan menjadi
Adipati dengan mudah,” kata Lugasi.
Tiba-tiba terdengar langkah kuda yang dituntun
mendekati warung itu.
“Selamat malam bapak-bapak,” terdengar sapa yang
ramah.
“Oh, pangeran muda. Selamat malam. Silakan
pangeran,” kata pemilik warung dengan sopan.
“Terimakasih, pak warung. Jangan panggil saya
pangeran, nama saya Jaira,” jawab Jaira tidak kalah ramah sambil menjabat
tangan orang itu.
Pemilik
warung merasa sangat tersanjung mendapat salam ramah serta menyenangkan dari
calon penguasa wilayahnya itu.
“Oh, semua kawan-kawan saya telah berkumpul
disini. Kau juga adikku Aset,” katanya sambil menyalami satu persatu warga yang
ada disitu.
“Saya segera datang kesini begitu mengetahui adik
Aset telah tiba di Rajapurwa. Saya mau mengucapkan terimakasih kepada
bapak-bapak semua, juga adik Aset,” katanya.
Para warga merasa terharu dan bahagia. Belum pernah
selama hidup mereka seorang pangeran, kepala pasukan serta calon Adipati
memperlakukan mereka seramah itu sebelumnya. Ia datang sendiri dan menuntun
kudanya saat memasuki halaman warung. Biasanya mereka akan datang bersama
pasukannya dan dengan pongah bertengger diatas kudanya hingga di depan pintu.
Biasanya para warga harus menunduk dalam-dalam dan menyampaikan hormat tanpa
boleh memandang, dan menerima bentakan-bentakan kasar. Biasanya wargalah yang
dipanggil bila mereka ingin menyampaikan sesuatu, tetapi yang ini justru datang
ke tempat mereka yang kumuh, mengucapkan terimakasih pula. Kini mereka seakan
memiliki sahabat dan pengayom yang menyenangkan.
Pemilik warung yang biasanya menjadi obyek
pemerasan para aparat pemerintah itu diam-diam menyeka air matanya karena
terharu dan penuh rasa syukur.
“Bagaimana kakak Jaira bisa tahu saya telah tiba
disini?” tanya Lugasi.
“Hehehe, kakak yang baik tentu harus menjaga
adiknya. Ada prajurit yang saya minta mengawasi di ujung jalan agak di luar
pintu gerbang kota dan segera melapor bila melihat adik Aset datang, dan kemana
dia pergi.”
“Wah, hidupku sudah tidak bebas lagi nih, punya
kakak yang khawatiran. Hihi..hi!” katanya dengan jenaka, disambut tawa yang
lain.
“Baiklah, kawan-kawan semua. Sebagai rasa
terimakasih atas upaya kawan-kawan sehingga saya bisa diterima dengan baik oleh
masyarakat disini, maka saya akan mentraktir semuanya makan di warung ini.
Semoga kawan-kawan tidak tersinggung dengan balasan yang sedehana ini,” kata
Jaira.
“Oh, tentu tidak pangeran, eh pak Jaira. Kami
merasa tersanjung,” jawab pak tua.
“Tetapi pangeran..eh pak .. Biar kali ini saya
suguhkan dengan cuma-cuma,” kata pemilik warung.
Itulah kebiasaan sebelumnya bila ada aparat yang
datang ke warungnya. Ia harus menanggung rugi, apalagi kalau jumlahnya banyak.
“Tidak pak warung. Mulai saat ini tidak boleh ada
prajuritku yang berlaku seperti itu lagi. Siapapun harus bayar bila makan di
warung!” tegas Jaira.
“Plok..plok...plok. Hidup Jaira!” teriak para
pengunjung.
Mereka makan bersama dengan riang. Para warga
merasa sangat bahagia. Mereka tidak henti-hentinya bersyukur. Jaira pun bisa merasakan
perasaan mereka itu. Ia sendiri juga mendapatkan perasaan bahagia yang aneh
bisa membuat para warga menjadi bahagia, hanya dengan bersikap ramah kepada
mereka. Ia bertekad akan membuat semua rakyat merasa bahagia.
Setelah makan, Jaira lalu minta diri untuk kembali
ke markasnya dan mengajak Lugasi serta. Tetapi Aset mengatakan masih ingin
bercengkerama dengan kawan-kawannya dan berjanji akan menemuinya esok di markasnya.
“Maaf kakak Jaira. Aku masih harus mencuci piring
sebagai pengganti makanku yang gratis hari ini. Hihi..hi!” seloroh Lugasi.
Esoknya, setelah sarapan Lugasi segera menuju
markas pasukan Rajapurwa. Disana dia terkena omelan karena Jaira sudah pula
menyediakan sarapan untuknya.
“Jangan kuatir kakak Jaira. Perut buncit ini masih
bisa menampung beberapa piring lagi. Hihi..hi!” kelakarnya.
“Baiklah kalau begitu,” kata Jaira. “Rupanya
kata-kata adik Aset terbukti benar. Kelihatannya saya tidak perlu bekerja keras
untuk terpilih menjadi Adipati. Terimakasih adikku,” kata Jaira.
“Justru sebaliknya! Kakak harus bekerja keras dan
sungguh-sungguh!”
“Kok, begitu?” tanya Jaira tidak mengerti.
“Ya, karena menjaga reputasi itu lebih sulit dari pada
mengejarnya. Kakak sekarang mulai dikenal sebagai petinggi yang baik dan
bijaksana. Karena itu kakak harus terus memeliharanya dan meningkatkannya.
Kalau sudah terbiasa baik, orang akan segera menganggapnya biasa saja. Jadi
harus selalu mengasah dan menambah. Itu pekerjaan yang tidak mudah, tetapi
menyenangkan. Ada kebahagiaan tertentu yang akan kakak rasakan,” papar Lugasi.
“Ya, aku juga mulai merasakan kebahagiaan yang
aneh itu saat bisa membuat orang kecil bahagia. Aku bertekad untuk selalu
mengejar rasa bahagia aneh itu.”
“Yang juga tidak kalah sulitnya, adalah menjaga
anak buahmu agar juga bersikap demikian. Sebagai manusia mereka bisa bertingkah
macam-macam. Apalagi saat sudah menjadi Adipati, anak buahmu akan banyak sekali.
Sebagai pimpinan kau harus tegas bukan tega.”
“Memangnya apa bedanya tega dengan tegas?” tanya Jaira.
“Ya, yang satu pakai s yang lain tidak. Gitu aja
kok bingung. Hihi..hi!”
“Dasar anak setan! Ditanya serius malah becanda,”
kata Jaira sambil tertawa.
“Tegas itu berarti mengambil tindakan sesuai
aturan yang berlaku. Yang salah dihukum yang benar dibebaskan. Sedangkan tega
itu tanpa belas kasihan. Menghukum diluar aturan misalnya. Gitu lho,” kata
Lugasi.
“Kau ini, masih muda tapi ilmu dan kearifanmu tinggi
sekali. Dari mana kau pelajari semua itu?”
“Aku hidup di tengah rakyat dan bergantung kepada
mereka. Aku tahu apa yang mereka rasakan dan harapkan. Aku belajar banyak dari
kehidupan bersama mereka. Juga dari kakek guruku yang bijaksana. Selain itu dari
siapa lagi kalau bukan Anak Langit Tuan Mata Setan Pemuda Pembakar Air Pendekar
Api Naga Pencipta Petir,” katanya menyanjung setinggi langit sosok Andragi.
“Bukan main. Aku bersyukur mempunyai adik kamu, Aset.
Aku perlu banyak bimbingan darimu saat menjadi Adipati nanti,” pinta Jaira.
“Ya, ya boleh, asal cocok upahnya. Hihi..hi!”
selorohnya.
Mereka berdua tertawa.
Banyak hal yang mereka
perbincangkan, terutama mengenai sikap dan tindakan yang seyogyanya
diperlihatkan Jaira untuk memenangkan hati rakyat. Lugasi berjanji akan terus berusaha
dengan kawan-kawan Rajapurwa-nya untuk memperkenalkan sosok Jaira sebagai calon
Adipati yang akan berpihak kepada rakyat. Dia memutuskan akan tinggal di
Rajapurwa sampai hari pemilihan langsung itu dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.