Pemimpin = Pelayan?



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #27 )
Empat
Menyingkir



Kita melihat kegiatan di markas Sontoloyo.


Sehari setelah Paldrino dan keluarganya tiba di markas Sontoloyo itu kakek Bulesak mengadakan pembicaraan langkah selanjutnya. Setelah sarapan pagi, mereka berkumpul di ruang tengah yang memang diperuntukkan untuk itu. Namun belum lagi mereka sempat masuk ke pembicaraan pokok, terdengar suara genta tanda seseorang datang. Ternyata Sonto yang datang. Ia tampak tegang seakan habis melihat hantu genderuwo.

“Ada apa Sonto, pagi-pagi telah kemari dan kok kamu tampak tegang begitu?” tanya kakek Bulesak.
“Maaf, kakek guru. Saya buru-buru kemari karena melihat pengumuman yang ditempel di setiap sudut desa berisi pengejaran terhadap Anak Langit..eh Pemuda Pembakar Air,” lapornya masih terengah-engah.

Ia lalu mengangsurkan selembar kain bertuliskan pengumuman itu yang diam-diam diambilnya dari sebuah sudut jalan semalam. Mereka semua membaca pengumuman itu dan ikut merasa tegang, kecuali kakek Bulesak yang syarat dengan pengalaman hidup itu.

“Yah, itu memang sudah menjadi bagian dari rencana besar Lurah Brangin dan Jaira. Karena itu kita memang harus membuat rencana kita sendiri dengan sebaik-baiknya. Terutama menyangkut Anak Langit dan keluarga pak Paldrino,” kata kakek Bulesak.
“Maaf kakek Bulesak. Siapakah yang dimaksudkan dengan Anak Langit itu?” tanya Paldrino, disertai dengan anggukan oleh Bedul Brewok yang juga ingin tahu.
“Oh, iya. Kami lupa memberitahu pak Aldrino dan saudara Bedul Brewok. Pemuda Pembakar Air inilah Anak Langit itu. Setelah saya bertapa seratus hari di gua Pintu Suargi, Dewa Maha Tunggal mengirimnya. Dia adalah manusia yang datang dari masa depan. Ilmu dan kepandaiannya jauh diluar akal pikiran kita,” jelas kakek Bulesak.

Mendengar itu Paldrino dan Bedul Brewok segera membungkuk memberi hormat dengan taksim. Dalam pikiran mereka, pantas dia bisa membakar air. Andragi pun membalas hormat mereka.

“Saya memang mendengar kalau kakek Bulesak pergi bertapa disana, tetapi tidak mengira sama sekali kalau Dewa Maha Tunggal benar-benar mengabulkan permohonan kita,” kata Paldrino.
 “Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma,” lanjutnya.
 “Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma,” sambut yang lain.

“Maaf kakek Guru Bulesak,” sela Bedul Brewok memberanikan diri. “Dengan kesaktian Anak Langit yang luar biasa itu kenapa kita mesti takut menghadapi mereka dan bersembunyi disini? Anak Langit sendiri akan bisa mengalahkan mereka semua sekaligus. Kami, para tukang pukul Lurah Brangin, hanya bisa gemetaran melihat kesaktianya kemarin.”

“Ya, benar. Anak Langit memang sakti karena memiliki banyak ilmu yang bisa membuat kita gemetaran. Tetapi dia juga manusia biasa seperti kita. Kalau kamu bacok, dia juga akan mati. Dia juga merasa lapar dan sakit sama seperti kita. Rasa takut, sedih dan gembira sama seperti yang kita rasakan,” ia berhenti sejenak.

“Tetapi yang perlu kita pahami adalah tugas utamanya datang ke bumi kita ini yaitu membawa perubahan. Perubahan yang akan menjadikan kita wadag yang lebih bermartabat, menjadi manusia secara sejatinya. Karena itu, bukan kekerasan yang menjadi andalan untuk melakukan perubahan itu, melainkan sikap yang mulia, penuh kasih yang memaafkan,” ia berhenti lagi sejenak, memberikan kesempatan mereka mencerna kata-katanya.

Sonto, Loyo dan Bedul Brewok teringat akan kebaikan hati Anak Langit yang dengan rendah hati memaafkan mereka padahal sebelum itu mereka berniat mencelakakannya. Yang mereka sering alami adalah air susu dibalas dengan air tuba, tapi Anak Langit ini malah sebaliknya air tuba dibalas dengan air susu. Sungguh luar biasa!

Seakan tahu apa yang mereka pikirkan, kakek Bulesak menasihati: "Jika kejahatan dibalas kejahatan, itu adalah dendam. Jika kebaikan dibalas dengan kebaikan itu sih biasa, apa pahalanya? Sedangkan jika kebaikan dibalas dengan kejahatan, itu perbuatan zalim! Tetapi jika kejahatan dibalas dengan kebaikan, itu baru perbuatan mulia dan terpuji!"

"Nah saya lanjutkan", kata kakek Bulesak melanjutkan. “Disamping itu, perubahan itu sendiri harus dilakukan oleh bangsa kita sendiri dengan meniru atau mengikuti contoh yang diberikan oleh Anak Langit. Dia akan menjadikan kita semua manusia-manusia yang hebat,” jelas kakek Bulesak.

Hati Bedul Brewok berbunga-bunga gembira mendengar kalimat terakhir kakek Bulesak itu. "Menjadikan dirinya manusia yang hebat"! Kegembiraan yang tergambar di wajahnya tidak bisa disembunyikannya. Memang itulah yang sangat diharapkannya. Tidak percuma dia mengkhianati bekas bosnya yang memang jahat itu.

“Bukan...., bukan kehebatan ilmu fisik dan bela diri yang akan diajarkannya,” lanjut kakek Bulesak membaca pikiran Brewok. “Melainkan kehebatan ilmu kalbu dan ilmu akal pikiran. Pandangan-pandangan kita yang picik akan dibukakan, hati kita yang dangkal dan sempit akan dilapangkan olehnya. Dengan memiliki itu rakyat kita akan bisa merajut sendiri nasib yang lebih baik.”

Meskipun agak kecewa, Bedul Brewok tetap memelihara harapannya dalam hati, dan ia bertekad tetap akan mengikuti Anak Langit. Bagaimanapun juga ia telah menyaksikan sendiri salah satu kehebatannya itu. Kalau ia setia, bukan tidak mungkin suatu saat Anak Langit akan membagi ilmunya. Dan itu sudah didengarnya sendiri dari Anak Langit.

“Tetapi, jangan khawatir saudara Bedul. Anak Langit bukan jenis orang yang pelit hati. Segala kesaktian yang ingin kamu ketahui itu pada saatnya akan diajarkan kepada kita semua kalau pelajaran ilmu hati dan akal pikiran telah kita jalankan dengan baik. Bukan begitu, Anak Langit?”
“Benar, kakek Bulesak. Tak ada yang perlu saya sembunyikan dihadapan sobat-sobat saya,” jawab Andragi. "Tidak perlu membayar untuk itu karena saya tidak mengenakan apa yang di negeri saya disebut dengan hak cipta atau kekayaan intelektual yang bahasa kerennya copyright, melainkan right to copy!
"Apa artinya itu, sobat Andragi," tanya Loyo bingung dengan istilah baru itu. 
"Right to copy itu artinya sobat bebas menirukan atau menggunakannya gratis. Semua ini demi kebaikan bagi semua orang, saya tidak perlu menyimpannya untuk diri saya sendiri.

Sonto, Loyo dan terutama Bedul Brewok mengangguk-angguk senang bercampur kagum.

“Kalau begitu, ijinkan saya menyampaikan salam hormat dan selamat datang kepada Anak Langit di negeri kami Klapa Getir ini,” kata Paldrino yang sejak tadi diam saja.
“Terima kasih, pak Paldrino,” jawab Andragi.
“Kalau memang demikian, menurut pandangan saya, Anak Langit mesti berbaur dengan masyarakat biasa. Tetapi dengan adanya pengumuman itu, Anak Langit terpaksa harus pergi jauh dari sini. Apakah kakek Bulesak sependapat dengan saya?” tanya Paldrino.

“Persis seperti yang saya pikirkan, pak Paldrino,” jawab kakek Bulesak. “Saya merencanakan mengirim Anak Langit ke daerah Poruteng. Daerah itu cukup jauh dari sini. Disana, di kawedanan Nunggalan, ada seorang sahabat saya, Ki Blakitem namanya. Dia seorang yang memiliki tanah yang sangat luas dan sangat penolong. Hampir seluruh penduduk yang tinggal di perkampungannya adalah orang-orang yang datang minta pertolongan untuk melanjutkan hidup. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tersingkir karena mata pencahariannya atau sawah ladangnya direbut oleh para penguasa. Saya kira, dari sanalah Anak Langit bisa mulai berkarya.”

“Poruteng..Poruteng...?” kata Paldrino sambil mengingat-ingat sesuatu. “Ah, kebetulan sekali. Saya merasa seakan cembul dapat tutupnya. Saya ingat sekarang. Kebetulan saudari kembar istri saya menikah dengan seorang Pamong Negeri di Kotaraja dan kabarnya akan ditugaskan di Poruteng, tetapi kami belum tahu di kawedanan mana. Kalau demikian, saya akan ikut Anak Langit bila kakek Bulesak tidak memiliki rencana lain untuk saya.”

“Bagus, kalau begitu. Semoga istri pak Paldrino bisa sedikit terhibur dengan bertemu saudari kembarnya,” jawab kakek Bulesak. “Memang saya berharap pak Paldrino dapat mendampingi Anak Langit agar bisa membantu memberinya gambaran tentang negeri Klapa Getir dan seluk beluk keadaannya sekarang.”

Mereka lalu merencanakan dengan seksama perjalanan menuju daerah yang jauh itu. Loyo dan Bedul Brewok akan ikut, sedangkan Sonto akan tetap di Buntung mengurus keluarganya dan bertugas mengurus gua akar gantung markas mereka ini. Perjalanan itu akan memakan waktu lebih dari sepekan dengan berjalan kaki melewati berbagai wilayah dan hutan diantara desa-desa yang berpenghuni.

Malam itu, di dalam ruangannya, Andragi merasa gelisah. Harapan kakek Bulesak yang dibebankan ke pundaknya dan tak mungkin ditolaknya dalam pembicaraan tadi itu bukanlah pekerjaan kecil dan menjadi harapan orang banyak. Ia tidak tahu langkah apa yang akan diperbuatnya nanti. Kehadirannya di negeri ini yang semula hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri kini telah bertambah berat dengan beban menyelamatkan banyak orang, bahkan seluruh negeri Klapa Getir. Tak terasa, keringat dingin mengucur deras keluar dari pori-pori di sekujur tubuhnya.

“Oh Ibu...oh Bapak..., tolonglah anakmu ini..,” pintanya.

Selepas kata-kata itu meluncur dari mulutnya, ia jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk berdoa minta petunjuk dari Tuhan jika menghadapi kesulitan.

“Jangan semata-mata kamu meminta pertolongan dari Tuhan. Mintalah petunjuk dariNya agar kamu bisa menolong dirimu dan menolong orang lain. Jangan pernah berharap Tuhan tiba-tiba mengangkatmu dari lumpur yang sedang membenam dirimu,” terngiang kata-kata ibunya.

Andragi lalu duduk bersila dan berkonsentrasi. Ia berdoa, meminta petunjuk dari Yang Kuasa atas apa yang harus dilakukannya untuk menolong rakyat negeri Klapa Getir. Ia bahkan tidak teringat untuk menolong dirinya sendiri. Dalam doanya itu, tiba-tiba terbayang dua buah buku yang dibawanya, seakan-akan menari-nari di pelupuk matanya. Ia segera membuka matanya dan menyadari itulah petunjuk yang diberikan Tuhan dalam doanya. Ia lalu mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Penunjuk.

Ia segera beranjak mengambil kedua buku itu dari dalam ranselnya. Pertama kali dipilihnya buku yang diberikan oleh ibunya “Inti Nasihat Jalan Insan sebelum Layu” dan ditimang-timangnya. Buku itu cukup tebal dan dia tidak tahu bagian mana yang harus dibacanya. Sambil menimang itu teringat kata-kata kakek Bulesak agar dirinya memimpin rakyat keluar dari kekelaman. Kata ’memimpin’ mebuatnya memutuskan mencari halaman dalam buku itu yang memuat soal kepemimpinan.

“Ah, ini dia!” serunya saat matanya menari-nari meneliti kalimat-kalimat yang tertulis disana.

Ia lalu mengambil bolpen dan menggaris-bawahi kalimat ini:
Menjadi Pemimpin berarti menjadi Pelayan.”

Ia mencoba memahami isi kalimat itu. Direnunginya dalam-dalam kedua kata yang kontroversial itu. 
Bukankah arti Pemimpin berlawanan dengan Pelayan? 
Pemimpin itu di depan sedangkan Pelayan di belakang. 
Pemimpin itu memerintah sedangkan Pelayan mengerjakan perintah. 
Pemimpin itu yang menyalahkan, sedangkan Pelayan adalah yang dipersalahkan. 
Pemimpin itu boleh marah, sedangkan Pelayan itu obyek yang dimarahi. 
Pemimpin itu bersih, berkilau dan gagah sedangkan Pelayan itu kotor, berdebu dan bau. 
Pemimpin itu domba putih yang suci sedangkan Pelayan adalah kambing hitam. 
Pemimpin itu yang berpesta pora sedangkan Pelayan yang mencuci piring kotornya. 
Pemimpin itu yang menerima penghargaan dan menjadi Pahlawan sedangkan Pelayan yang menerima cacian dan diremehkan.
 Dst...dst..., pikir Andragi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA