Pada hari keempat setelah pertempuran itu,
Paldrino dan Andragi meminta diri untuk segera melajutkan perjalanan mereka.
“Baiklah sobat Mata Setan, kami tak akan menahan
lebih lama tetapi beri kami waktu mempersiapkan segala bekal yang diperlukan.
Dan sebaiknya kita rencanakan dengan baik perjalanan kali ini agar sampai ke
tujuan tanpa aral melintang,” kata Jotiwo.
“Masih seberapa jauhkah perjalanan kita?” tanya
Andragi
“Sebenarnya kita tinggal menyeberangi perbatasan
antara propinsi Landipa dengan propinsi Nazora, tetapi tidak ada jalan yang
lurus kesana karena harus melintasi deretan pegunungan Menora yang sangat
terjal dan tinggi, yang tidak mungkin
dilalui. Karena itu kita harus melalui kadipaten Rajapurwa lalu memutari danau
Tobil baru bisa lurus ke Poruteng,” jelas Paldrino.
“Ah, tentu saja sobat Mata Setan belum memiliki
gambaran wilayah Klapa Getir. Kalau begitu sebaiknya saya gambarkan,” lanjut
Paldrino.
Ia lalu membuat peta pada sehelai ‘kertas’ lontar
seperti terlihat pada gambar berikut ini.
“Kira-kira seperti inilah wilayah negeri Klapa
Getir. Negeri ini ini terdiri atas tujuh propinsi yang sebelum disatukan oleh
Perdana Menteri Kudabringas berupa kerajaan sendiri-sendiri. Ketujuh propinsi
itu adalah Polerma, Erkana, Landipa, Ariga, Nazora, Gurada dan Isadoria. Kalau
diambil huruf depan dari masing-masing propinsi itu akan terbentuk tulisan
PELANGI. Oleh karena itu negeri Klapa Getir juga dijuluki negeri Pelangi. Nama
itu sangat cocok dengan keadaan sebenarnya yang berwarna warni seperti pelangi,”
kata Paldrino.
“Maksudnya apa
pak Paldrino?” tanya Andragi.
“Setiap propinsi itu memiliki keunikannya
masing-masing, baik keadaan alamnya maupun adat istiadatnya. Seperti pesta
bunga kemarin di Rajapurwa, itu memasng khas propinsi Landipa, tetapi memang yang
paling ramai hanya di Rajapurwa. Isadoria terkenal dengan keseniannya, Gurada
sangat subur karena dialiri sungai besar Priga,
yang berasal dari danau Tobil dan membelah propinsi itu menuju laut.
“Juga aliran kepercayaan yang banyak dianut
penduduknya,” sambung Jotiwo. “Tapi itu dulu waktu masih menjadi kerajaan
sendiri-sendiri. Setelah dipersatukan oleh Perdana Menteri Kudabringas melalui
semboyan agung “Sause-Seusa” atau “Satu
untuk Semua dan Semua untuk Satu”, sekarang sudah membaur, meski mayoritas pada
wilayah tertentu masih terlihat.”
“Benar kata sobat Jotiwo itu,” lanjut Paldrino.
“Pada dasarnya semua keyakinan itu menginduk pada penghormatan kepada Dewa Maha
Tunggal, hanya tradisi ritualnya yang bervariasi, dan tentu saja juga
dogma-dogma turunannya. Beberapa aliran keyakinan itu bahkan lebih memegang
dogma-dogma turunannya secara ekstrim daripada esensi ajaran intinya.”
“Apa saja pak, aliran-aliran itu?” tanya Andragi.
“Semuanya ada enam aliran yaitu Ma, Ya, Si, Ha,
dan Ko serta Ja. Syukurlah, berkat semangat semboyan agung Sause-Seusa semua bisa saling menerima keberadaan satu dengan
lainnya. Semboyan itu menjamin semua orang bebas melaksanakan keyakinannya.
Tidak ada tempat yang boleh melarang kehadiran tempat ibadah salah satu
keyakinan. Sause-Seusa memang menjadi
pegangan batin bangsa Klapa getir untuk bersatu,” jelas Paldrino.
Andragi mengangguk-angguk meskipun di benaknya
masih menyimpan berbagai pertanyaan soal itu, tetapi ia sadar harus segera
kembali ke persiapan yang harus mereka rencanakan dengan baik. Ia lalu kembali
mengamati peta buatan Paldrino.
“Jadi, kita sekarang ada di propinsi Landipa,”
kata Andragi sambil menunjuk Gunung Kembar.
“Betul.” jawab Paldrino. “Menurut sobat Jotiwo,
bagaimana rute perjalanan kami sebaiknya?” tanyanya.
“Saya pikir sebaiknya menyusuri perbatasan sampai ke danau Tobil. Dari sana menyeberang dan
terus ke Poruteng. Menurut saya ada baiknya jangan melewati Rajapurwa lagi
karena pasti sudah banyak Pamong Negeri atau pejabat dari pusat maupun propinsi
yang menyelidiki disana. Tetapi masalahnya, kalau melalui danau Tobil tidak
jarang akan bertemu para perompak yang berpura-pura menyediakan jasa
penyeberangan. Karena itu saya akan mengirim beberapa anak buah untuk
menyelidikinya terlebih dahulu,” jawab Jotiwo.
Paldrino lalu menambahkan gambar rute yang akan
mereka tempuh. Atas permintaan Andragi, ia juga menarik garis rute perjalanan
mereka dari markas Sontoloyo atau gua Akar Gantung hingga ke Gunung Kembar
tempat mereka sekarang berada.
Jotiwo lalu mengutus empat orang anak buahnya
pergi menyelidik tempat dimana mereka bisa menyeberang danau Tobil dengan
aman. Karena itu Andragi dan
rombongannya harus menanti beberapa hari lagi sebelum meneruskan perjalanan
mereka.
Esoknya, saat mereka sedang berbincang-bincang tentang
berbagai hal terutama soal membangun kembali bangsa Klapa Getir yang semakin
terperosok dalam kenistaan, datang seorang mata-mata dari pos mereka di dekat Rajapurwa melaporkan kepergian Gubernur Landipa akan ke Kotaraja, kabarnya dipanggil
menghadap Perdana Menteri Jukamu.
“Wah, rupanya ulah kita sudah sampai di telinga
para petinggi negeri di pusat,” kata Jotiwo.
“Gubenur didampingi oleh seorang petinggi Pamong
Negeri dari Pusat yang sudah beberapa hari berada di Rajapurwa,” kata si
pelapor.
“Apa yang dikerjakan petinggi itu di Rajapurwa?”
tanya Jotiwo.
“Orang-orang kita yang menyamar sebagai penduduk
sempat ditanyai oleh para penyelidik. Rupanya mereka mencari tahu keberadaan
Anak Langit yang kabarnya pernah muncul di Buntung. Yang menggembirakan, justru
para penduduk membela kita. Ketika ditanya mereka bilang tidak ada perampok
Gunung Kembar, yang ada adalah armada Mata Setan yang membebaskan pimpinannya
yang dipenjara,” lapornya.
“Ini tentu ulah Jaira,” kata Paldrino. “Ia pasti
sudah melapor ke pusat tentang Anak Langit di Brangin itu. Dan dengan kejadian tertangkapnya
sobat Mata Setan di Rajapurwa, mereka semakin kuat menduga Anak Langit memang
benar-benar ada.”
“Jadi, apa yang harus kita lakukan pak Wedana?”
tanya Gadamuk.
“Hemmn, tunggu dulu! Sepertinya perkembangannya
tidak terlalu buruk. Menurut perhitungan saya, para pejabat itu akan mencari
aman. Mereka tidak akan bersusah payah mencari Anak Langit, apalagi kalau
rakyat enggan membantu. Mereka akan mengarang cerita yang lain,” jawab Paldrino.
“Saya juga menduga begitu,” kata Jotiwo. “Tetapi kalau
mereka tetap mencari kemari, kami akan siap menghadapi mereka. Pasukan kita
juga telah bertambah hampir dua kali lipat karena para prajurit yang tertawan
memilih bergabung daripada dihukum karena kalah. Karena itu, pak Paldrino dan
sobat Mata Setan serta kawan-kawan harus tetap pada rencana melanjutkan
perjalanan ke Poruteng,” desak Jotiwo.
Andragi lalu membeberkan jati dirinya serta
bagaimana dia bertemu dengan kakek Bulesak, membebaskan Sonto dari hutangnya
dengan membakar air, menyelamatkan pak Wedana hingga bertemu Jotiwo dan Gadamuk
dengan mata setannya. Jotiwo dan Gadamuk merasa kagum dan berbesar hati
mendapat kesempatan berkawan dengan orang asing yang hebat ini.
“Nah, karena itu, kalau nanti terpaksa
harus meninggalkan tempat ini, sobat Jotiwo dan kawan-kawan bisa menggunakan
Markas Sontoloyo sebagai tempat yang baru. Saya mohon pak Paldrino bisa
membuatkan surat pengantarnya untuk Sonto dan kakek Bulesak atas nama kita
berempat,” usul Andragi.
Mereka setuju dan kemudian mempersiapkan
segala sesuatunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.