Klapa Getir Negeri Pelangi Yang Unik

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #41 )


Pada hari keempat setelah pertempuran itu, Paldrino dan Andragi meminta diri untuk segera melajutkan perjalanan mereka.

“Baiklah sobat Mata Setan, kami tak akan menahan lebih lama tetapi beri kami waktu mempersiapkan segala bekal yang diperlukan. Dan sebaiknya kita rencanakan dengan baik perjalanan kali ini agar sampai ke tujuan tanpa aral melintang,” kata Jotiwo.

“Masih seberapa jauhkah perjalanan kita?” tanya Andragi

“Sebenarnya kita tinggal menyeberangi perbatasan antara propinsi Landipa dengan propinsi Nazora, tetapi tidak ada jalan yang lurus kesana karena harus melintasi deretan pegunungan Menora yang sangat terjal dan tinggi, yang  tidak mungkin dilalui. Karena itu kita harus melalui kadipaten Rajapurwa lalu memutari danau Tobil baru bisa lurus ke Poruteng,” jelas Paldrino.

“Ah, tentu saja sobat Mata Setan belum memiliki gambaran wilayah Klapa Getir. Kalau begitu sebaiknya saya gambarkan,” lanjut Paldrino.

Ia lalu membuat peta pada sehelai ‘kertas’ lontar seperti terlihat pada gambar berikut ini.

(gambar disimpan di draft blogger)


“Kira-kira seperti inilah wilayah negeri Klapa Getir. Negeri ini ini terdiri atas tujuh propinsi yang sebelum disatukan oleh Perdana Menteri Kudabringas berupa kerajaan sendiri-sendiri. Ketujuh propinsi itu adalah Polerma, Erkana, Landipa, Ariga, Nazora, Gurada dan Isadoria. Kalau diambil huruf depan dari masing-masing propinsi itu akan terbentuk tulisan PELANGI. Oleh karena itu negeri Klapa Getir juga dijuluki negeri Pelangi. Nama itu sangat cocok dengan keadaan sebenarnya yang berwarna warni seperti pelangi,” kata Paldrino.

“Maksudnya apa  pak Paldrino?” tanya Andragi.

“Setiap propinsi itu memiliki keunikannya masing-masing, baik keadaan alamnya maupun adat istiadatnya. Seperti pesta bunga kemarin di Rajapurwa, itu memasng khas propinsi Landipa, tetapi memang yang paling ramai hanya di Rajapurwa. Isadoria terkenal dengan keseniannya, Gurada sangat subur karena dialiri sungai besar Priga, yang berasal dari danau Tobil dan membelah propinsi itu menuju laut.

“Juga aliran kepercayaan yang banyak dianut penduduknya,” sambung Jotiwo. “Tapi itu dulu waktu masih menjadi kerajaan sendiri-sendiri. Setelah dipersatukan oleh Perdana Menteri Kudabringas melalui semboyan agung “Sause-Seusa” atau “Satu untuk Semua dan Semua untuk Satu”, sekarang sudah membaur, meski mayoritas pada wilayah tertentu masih terlihat.”

“Benar kata sobat Jotiwo itu,” lanjut Paldrino. “Pada dasarnya semua keyakinan itu menginduk pada penghormatan kepada Dewa Maha Tunggal, hanya tradisi ritualnya yang bervariasi, dan tentu saja juga dogma-dogma turunannya. Beberapa aliran keyakinan itu bahkan lebih memegang dogma-dogma turunannya secara ekstrim daripada esensi ajaran intinya.”

“Apa saja pak, aliran-aliran itu?” tanya Andragi.

“Semuanya ada enam aliran yaitu Ma, Ya, Si, Ha, dan Ko serta Ja. Syukurlah, berkat semangat semboyan agung Sause-Seusa semua bisa saling menerima keberadaan satu dengan lainnya. Semboyan itu menjamin semua orang bebas melaksanakan keyakinannya. Tidak ada tempat yang boleh melarang kehadiran tempat ibadah salah satu keyakinan. Sause-Seusa memang menjadi pegangan batin bangsa Klapa getir untuk bersatu,” jelas Paldrino.

Andragi mengangguk-angguk meskipun di benaknya masih menyimpan berbagai pertanyaan soal itu, tetapi ia sadar harus segera kembali ke persiapan yang harus mereka rencanakan dengan baik. Ia lalu kembali mengamati peta buatan Paldrino.

“Jadi, kita sekarang ada di propinsi Landipa,” kata Andragi sambil menunjuk Gunung Kembar.

“Betul.” jawab Paldrino. “Menurut sobat Jotiwo, bagaimana rute perjalanan kami sebaiknya?” tanyanya.

“Saya pikir sebaiknya  menyusuri perbatasan sampai  ke danau Tobil. Dari sana menyeberang dan terus ke Poruteng. Menurut saya ada baiknya jangan melewati Rajapurwa lagi karena pasti sudah banyak Pamong Negeri atau pejabat dari pusat maupun propinsi yang menyelidiki disana. Tetapi masalahnya, kalau melalui danau Tobil tidak jarang akan bertemu para perompak yang berpura-pura menyediakan jasa penyeberangan. Karena itu saya akan mengirim beberapa anak buah untuk menyelidikinya terlebih dahulu,” jawab Jotiwo.

Paldrino lalu menambahkan gambar rute yang akan mereka tempuh. Atas permintaan Andragi, ia juga menarik garis rute perjalanan mereka dari markas Sontoloyo atau gua Akar Gantung hingga ke Gunung Kembar tempat mereka sekarang berada.

Jotiwo lalu mengutus empat orang anak buahnya pergi menyelidik tempat dimana mereka bisa menyeberang danau Tobil dengan aman.  Karena itu Andragi dan rombongannya harus menanti beberapa hari lagi sebelum meneruskan perjalanan mereka.

Esoknya, saat mereka sedang berbincang-bincang tentang berbagai hal terutama soal membangun kembali bangsa Klapa Getir yang semakin terperosok dalam kenistaan, datang seorang mata-mata dari pos mereka di dekat Rajapurwa melaporkan kepergian Gubernur Landipa akan ke Kotaraja, kabarnya dipanggil menghadap Perdana Menteri Jukamu.

“Wah, rupanya ulah kita sudah sampai di telinga para petinggi negeri di pusat,” kata Jotiwo.

“Gubenur didampingi oleh seorang petinggi Pamong Negeri dari Pusat yang sudah beberapa hari berada di Rajapurwa,” kata si pelapor.

“Apa yang dikerjakan petinggi itu di Rajapurwa?” tanya Jotiwo.

“Orang-orang kita yang menyamar sebagai penduduk sempat ditanyai oleh para penyelidik. Rupanya mereka mencari tahu keberadaan Anak Langit yang kabarnya pernah muncul di Buntung. Yang menggembirakan, justru para penduduk membela kita. Ketika ditanya mereka bilang tidak ada perampok Gunung Kembar, yang ada adalah armada Mata Setan yang membebaskan pimpinannya yang dipenjara,” lapornya.

“Ini tentu ulah Jaira,” kata Paldrino. “Ia pasti sudah melapor ke pusat tentang Anak Langit di Brangin itu. Dan dengan kejadian tertangkapnya sobat Mata Setan di Rajapurwa, mereka semakin kuat menduga Anak Langit memang benar-benar ada.”

“Jadi, apa yang harus kita lakukan pak Wedana?” tanya Gadamuk.

“Hemmn, tunggu dulu! Sepertinya perkembangannya tidak terlalu buruk. Menurut perhitungan saya, para pejabat itu akan mencari aman. Mereka tidak akan bersusah payah mencari Anak Langit, apalagi kalau rakyat enggan membantu. Mereka akan mengarang cerita yang lain,” jawab Paldrino.

“Saya juga menduga begitu,” kata Jotiwo. “Tetapi kalau mereka tetap mencari kemari, kami akan siap menghadapi mereka. Pasukan kita juga telah bertambah hampir dua kali lipat karena para prajurit yang tertawan memilih bergabung daripada dihukum karena kalah. Karena itu, pak Paldrino dan sobat Mata Setan serta kawan-kawan harus tetap pada rencana melanjutkan perjalanan ke Poruteng,” desak Jotiwo.

Andragi lalu membeberkan jati dirinya serta bagaimana dia bertemu dengan kakek Bulesak, membebaskan Sonto dari hutangnya dengan membakar air, menyelamatkan pak Wedana hingga bertemu Jotiwo dan Gadamuk dengan mata setannya. Jotiwo dan Gadamuk merasa kagum dan berbesar hati mendapat kesempatan berkawan dengan orang asing yang hebat ini.

“Nah, karena itu, kalau nanti terpaksa harus meninggalkan tempat ini, sobat Jotiwo dan kawan-kawan bisa menggunakan Markas Sontoloyo sebagai tempat yang baru. Saya mohon pak Paldrino bisa membuatkan surat pengantarnya untuk Sonto dan kakek Bulesak atas nama kita berempat,” usul Andragi.

Mereka setuju dan kemudian mempersiapkan segala sesuatunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA