Kepala Menjadi Taruhannya!


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #20)

E
sok harinya mereka bangun pagi-pagi dan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk melaksanakan misi mereka di Kelurahaan Brangin.

Berkali-kali Andragi mematut-matutkan dirinya yang untuk pertama kalinya mengenakan pakaian ala negeri Klapa Getir. Ia merasa geli dan canggung. Dia menggunakan ikat kepala, baju kutung tak berlengan dan tak berkancing, celana tiga perempat, kain panjang yang dililitkan seperti sarung, sandal kulit yang menggunakan tetalian sebagai pengikatnya, serta ikat pinggang besar terbuat dari kulit sebagai pengikat sarung, baju dan celananya. Karena bajunya tak berkancing, maka dadanya terbuka. Jenis stelan yang dipakainya itu termasuk pakaian yang biasa dipakai para pengembara. Selain itu, ia juga membawa sejenis tas kantung dari kuli bertali panjang yang biasa diselempangkan para pengembara di bahu mereka.

Loyo pun menggunakan pakaian yang sama, bukan pakaian khusus santri Padepokan Kalbusih. Sedangkan Sonto menggunakan pakaian biasa para penduduk sehari-hari.

Sebenarnya ada yang berbeda dari Andragi karena dia juga memakai tas pinggang yang dibawanya dari rumah saat pelariannya dulu. Tas itu digunakannya untuk menyimpan barang-barang kecil yang akan digunakannya dalam misi mereka kali ini. Tapi tas itu sudah disamarkan dengan melapisinya menggunakan kain kasar.

“Sebaiknya Anak Langit mencari nama yang bisa kami panggil di tempat umum. Kami tentu tidak bisa menyebut Anak Langit di luar sana,” usul Sonto.
“Iya, betul juga. Nama apa ya sebaiknya?” tanya Andragi.
Ia berpikir sambil menunggu usul kedua rekannya.
“Bagaimana kalau pakai nama saya sebenarnya, Andragi. Cocok tidak ya?” lanjutnya lagi.
“Andragi...Andragi...” ulang loyo sambil berpikir. “Sepertinya nama itu tidak bermasalah dan cukup bagus. Bagaimana menurut kakak Sonto?”
“Iya, saya setuju. Kedengarannya seperti nama orang dari daerah Priga Kulon. Daerah itu termasuk Kadipaten Poruteng. Anak Langit, eh Andragi mengaku dari daerah sana saja. Tidak akan ada yang tahu karena daerah itu terbilang jauh dari sini,” kata Sonto.
“Baiklah, kalau begitu. Panggil saya Andragi. Jangan sampai terpeleset lidah ya?” ia mewanti-wanti.
 “Tetapi kalau tidak perlu, tidak usah menyebut nama karena apa yang akan kita lakukan nanti mungkin akan menggegerkan. Nanti Andragi menjadi terkenal lho!” kata Andragi.
“Ah, benar juga! Sebaiknya sebisa mungkin tidak menyebut nama. Kadang malah merugikan dan membahayakan,” kata Loyo.
Mereka mengangguk menyetujui.

Mereka lalu berangkat menuju Brangin. Perjalanan melintas hutan itu cukup jauh dan tidak mudah dilalui karena memang tidak ada jalan. Terkadang mereka harus menyibak semak belukar atau memotong sulur-sulur tanaman merambat, menyeberang kali dan melintasi jurang. Mereka berusaha tidak menimbulkan jejak sedikitpun sebagaimana pesan kakek Bulesak Tidak boleh terlihat bekas manusia lewat disitu. 

Akhirnya mereka tiba di tepi hutan. Menjelang masuk ke desa itu, Sonto memisahkan diri dan berjalan terlebih dahulu. Selang beberapa saat barulah Andragi dan Loyo berjalan agak berdekatan tetapi berlagak seakan saling tidak mengenal. Tujuan mereka langsung ke tempat judi Tamakir. Mereka sudah diberi tahu ancar-ancarnya, dan kesanalah mereka menuju.

Tempat judi itu berupa bangunan luas yang tak berdinding, seperti aula atau gedung olah raga. Atapnya cukup tinggi dan disangga oleh beberapa pilar besar dari batang kayu pohon sonokeling. Ruangan luas itu dua pertiganya digunakan sebagai arena berbagai jenis permainan judi, sedangkan sisanya dipakai untuk tempat makan dan minum, yang berisi meja-meja panjang serta bangku. Disamping tempat makan terdapat bagunan lain yang dipakai sebagai dapur.

Bagian ruangan tempat judi itu terdiri dari beberapa arena permainan judi yang berbeda-beda. Setiap arena berisi satu meja bundar yang cukup besar yang di salah satu sisinya terdapat bangku tempat bandar duduk. Disamping bandar terdapat lemari tempat menyimpan peralatan judi masing-masing, termasuk alat-alat bantu untuk mencurangi para penjudi. Alat-alat itu tidak setiap saat digunakan, tetapi hanya pada saat omset pemasukan terancam tidak sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh Tamakir. Oleh karena itu penghasilan dari bisnis ini selalu bisa dipastikan besarnya. Tidak ada kata rugi bagi bandar judi. Tentu saja pada bagian ini biasanya dijaga ketat oleh para tukang pukul yang bertubuh tegap dan sangar. Para penjudi mengelilingi meja besar itu sambil berdiri.

Disisi lain bangunan utama yang besar itu terdapat bangunan lagi yang terlihat bagus, tempat khusus bagi Tamakir jika sedang berada di tempat itu yang juga digunakannya untuk menjamu dan bermain judi dengan para tamu istimewanya, biasanya pejabat pemerintah. Untuk mengambil hati para pejabat itu, Tamakir memiliki metode berjudi tertentu. Jika Tamakir bermain judi dengan para tamu istimewanya, maka ia akan membuat dirinya kalah sampai jumlah tertentu dan mengatakan uang pribadinya telah habis. Jumlah uang itu sebenarnya kira-kira sama dengan uang pelicin yang telah disiapkannya. Karena uangnya telah habis, maka ia akan mempersilakan tamu istimewanya itu melanjutkan di arena judi umum jika masih ingin terus bermain. Dia tahu persis bahwa para penjudi akan selalu penasaran dan ingin terus bermain baik saat menang maupun kalah. Tamu istimewa yang penasaran itu biasanya lalu meneruskannya di arena umum dan sudah pasti ia akan dikalahkan dengan bantuan peralatan curang yang telah disiapkan para bandar. Uang Tamakir pada akhirnya akan tetap berada di tangannya. Sementara si tamu yang penasaran meneruskan main judi, Lurah Brangin akan meninggalkan tempat itu dengan alasan melaksanakan tugas-tugas ke-Lurah-annya.

Dengan cara seperti itu orang-orang besar yang pangkatnya lebih tinggi sekalipun dapat dengan mudah dikalahkan oleh seorang lurah Tamakir, gajah dialahkan pelanduk.

Didepan bangunan utama tempat perjudian itu terdapat halaman yang cukup luas yang disediakan untuk tempat kuda-kuda ditambatkan serta cadangan arena judi jika pelanggan yang datang membludak.

Ketika Sonto tiba disana, tempat judi itu telah ramai dipenuhi oleh para penggemarnya. Diam-diam ia berbaur dikerumunan orang banyak secara tidak mencolok. Sambil berpura-pura melihat orang-orang yang sedang bertaruh, matanya menyelidik mencari-cari anak dan istrinya.

Beberapa saat kemudian ia melihat salah seorang anaknya sedang sibuk melayani pesanan makanan atau minuman para penjudi. Hilir mudik anak perempuan itu membawa nampan berisi makanan atau minuman. Tak lama kemudian dilihatnya pula anak yang kedua melakukan hal yang sama, tetapi kemudian mendapat makian dari tamu yang dilayaninya.

“Anak Goblog!!”  Bawa segera makananku kemari. Jangan membuat aku tidak sabar menunggu!” bentak tamu itu yang rupanya sedang kalah berjudi.
“Ba... baik Pak.” jawab si anak ketakutan.

Hati Sonto serasa diiris-iris dan marah. Ingin rasanya ia melabrak orang itu, tetapi ditahannya agar tidak mengacaukan misi mereka.

Selang beberapa saat anak perempuan itu kembali dengan tergesa-gesa membawa makanan dan minuman menuju pemesannya tadi. Ia terlihat gugup dan berkeringat dingin. Saat hendak meletakkan makanan dihadapan si penjudi tangannya semakin gemetaran sehingga sebagian tuak lontar minuman kesukaannya berceceran. Lelaki itu menggebrak meja sambil memaki.
“Budak busuk! Kubunuh kau, brengsek!”
Anak itu pucat pasi dan semakin gemetar. Kakaknya segera menghampirinya membantu membersihkan meja di hadapan tamu galak itu dari ceceran tuak. Matanya tampak melelehkan airmata.

Melihat itu, hati Sonto serasa terbakar dan kali ini dia tidak kuasa meredamnya. Tetapi ketika kakinya hendak melangkah, pundaknya ditepuk seseorang. Dia menoleh dan ternyata penepuknya tidak lain adalah salah seorang centeng, anak buah Tamakir.

“Hahaha... rupanya kau disini Sonto! Kau mau menebus anak-anakmu itu..!?” Hahaha.. Bagus-bagus!! Sebelum mereka benar-benar kami umpankan kepada para tamu-tamu gila itu sebaiknya segera kau tebus!” kata centeng itu.
“Tetapi sebelumnya tentu akan kita pakai sendiri kan, Dul? Lumayan dapat yang  masih kinyis-kinyis!” sambut seorang centeng lain yang tiba-tiba juga sudah berada disitu, kepada kawannya  yang  disebutnya sebagai Dul. Namanya Bedul, dan karena memiliki cambang yang lebat ia biasa dipanggil Dul Brewok.

“Hahaha.hahaa....!” keduanya tertawa.

Sonto merasa dongkol dan marah bukan main, tetapi ia hanya bisa menelan kemarahannya dalam-dalam.
“Akan aku tebus hari ini!” katanya geram.
“Hahaha..haa, kalau kau sudah bawa uang itu, akan aku antar kau menemui  Ki Lurah sekarang,” kata Dul Brewok.
“Tunggu sebentar lagi! Aku sedang menunggu orang yang akan membawanya kemari,” kata Sonto melirik ke halaman tempat perjudian itu.

 Saat itu dilihatnya Loyo dan Andragi memasuki halaman itu secara berselang.

Andragi diam-diam mengikuti Loyo yang langsung menuju salah satu arena judi yang paling banyak dikerumuni orang. Jenis judi yang dimainkan disitu disebut dengan Ciluwak Gludug, yakni permainan dengan menggunakan tiga buah dadu yang pada setiap sisinya terdapat gambar berbeda-beda. Dadu-dadu itu dimasukkan ke dalam sebuah wadah beralas datar, lalu ditutup dengan sebuah kotak kayu yang permukaannya sedikit lebih kecil dari alas datas itu, kemudian diguncangkan agar berjumpalitan dan berubah posisinya. Suaranya yang khas berbunyi “gludug” saat diguncangkan oleh bandar itulah maka diberi tambahan nama Gludug. Para penjudi kemudian memasang taruhannya di meja bundar yang telah diberi gambar sesuai dengan yang ada pada sisi-sisi dadu. Pada gambar-gambar itulah uang taruhan diletakkan menurut tebakan pemasangnya. Terkadang tidak hanya uang, melainkan harta benda bahkan hingga hewan maupun sawah. Tetapi yang dipasangkan berupa tulisan setelah mendapatkan persetujuan si bandar.

Sesekali terdengar sorak sorai penjudi yang tebakannya ‘kena’ terutama jika taruhannya cukup besar. Tetapi lebih sering tersengar sumpah serapah dan gerutu mereka yang terkuras isi kantungnya.

Di arena yang ramai itulah Andragi menyeruak diantara para penjudi yang memadati sisi meja.  Dia sengaja mencari tempat yang berhadapan dengan bandar agar mudah dilihat oleh si bandar maupun para centeng yang mendampinginya. Setiap kali setelah terdengar suara ‘gludug’, para penjudi sibuk segera memasang taruhannya, dan setiap kali pula Andragi hanya menunjuk-nunjuk gambar-gambar itu seakan sedang menimbang-nimbang gambar yang mana yang akan dipasangnya. Tetapi kemudian ia membatalkan, tidak jadi memasang, sementara si bandar sudah tidak sabar untuk membuka tutup Ciluwak itu. Beberapa kali ia lakukan itu hingga membuat si bandar dan centengnya gusar.

“Hei, saudara mau pasang tidak?! Kalau tidak, menyingkir dari situ biar tempatnya dipakai yang lain!” hardiknya.
“Sabar, saya akan memasang taruhan yang sangat besar!” katanya kalem tapi tegas.
“Apa yang mau kamu pasang? Sawah, ladang atau hewan, heh?!” tanya si bandar.
“Saya tidak punya uang dan juga harta benda itu,” jawabnya.
“Jadi. apa yang mau kamu pasang! Kepalamu, hah!!”  hardiknya jengkel.
“Ya, kepalaku!” jawab Andragi sambil memukul meja, menunjukkan kalau ia tidak main-main.
Tangannya bertolak pinggang. Pandangannya serius.
“Ooohhh!”
Para pengunjung terkejut dan berseru tertahan. Serentak mereka mundur satu dua langkah untuk memberi tempat bagi Andragi dan si bandar berunding soal taruhan besar itu.

“Bagus!” kata si bandar. “Kebetulan kita perlu banyak tenaga untuk menggarap sawah dan ladang sitaan tanpa perlu mengupah. Tanganku juga sudah lama tidak memenggal kepala orang. Kau akan kita suruh bekerja keras dan kalau sudah bosan kita bisa membunuh monyet ini sewaktu-waktu. Berapa taruhan yang kau minta?”
“Kepalaku bukan harga yang murah! Tetapi permainan ini pun terlalu gampang bagiku, tidak seimbang dengan harga kepalaku. Ini permainan Anak kecil. Kalian pasti kalah!”
“Sombong sekali kau, heh! Kau kira kau bisa menang?”


Apakah Andragi akan menang, atau kepalanya akan hilang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA