“Untuk panen yang pertama
ini, kepada sepuluh orang penduduk desa Kenteng yang bekerja disini sejak awal,
besok boleh membawa seluruh anggota keluarganya dan mengangkut singkong sekuat
mereka mampu. Sedangkan mereka yang baru bergabung belakangan hanya boleh
membawa dua orang anggota keluarganya. Hari ini kalian semua boleh membawa
sekuat yang kalian mampu sebagai bukti hasil kerja kalian selama ini,” kata
Andragi.
“Horee!” Hidup Andragi
dan kawan-kawan!” seru mereka.
“Sisanya akan dijual atau
diolah lebih lanjut dan hasilnya akan dikumpulkan di kas desa baru kita. Pak
Paldrino, saya dan kakek Blakitem akan mengatur lebih lanjut soal kekayaan kas
desa ini. Selain itu kami juga akan menyusun pengaturan lebih lanjut jika ada
warga desa Kenteng yang berminat pindah kesini,” lanjut Andragi.
Orang-orang Kenteng itu,
mengangguk-angguk penuh kepuasan. Dalam hati mereka bertekad untuk pindah ke
desa baru ini.
Meskipun orang-orang desa
Kenteng itu beserta keluarganya, telah mengangkut sebanyak mungkin singkong sekuat mereka bisa, sisanya
masih menggunung. Tak perlu dikatakan, setiap orang mencoba memasak singkong
dengan berbagai cara mulai dari membakarnya hingga merebus ataupun
menggorengnya. Mereka akhirnya ‘mblenger’ makan singkong. Oleh karena itu Andragi
lalu meminta dibuatkan gudang penyimpanan sementara agar singkong-singkong itu
tidak cepat busuk. Sementara itu ia mempersiapkan rencana pemanfaatan
selanjutnya singkong-singkong itu.
Apa yang terjadi dengan
singkong raksasa mereka ketika warga desa Kenteng kemudian membawa ke Poruteng
untuk dijual, sungguh merupakan kehebohan tersendiri. Begitu banyak orang
takjub dan mengerumuni para penjual dari Kenteng itu. Dalam sekejap barang
dagangan mereka habis dibeli orang, dan merekapun pulang dengan senyum mengambang.
Seluruh pasar heboh membicarakannya dan tentu saja segera beredar ke seluruh
pelosok kota kadipaten itu. Ketika ditanya dimana mereka dapatkan singkong
ajaib itu, dengan cerdik para penjual itu mengatakan mendapatkannya jauh di
dalam hutan, setelah berbulan-bulan keluar masuk hutan. Mereka tak ingin
peluang besar ini ikut dinikmati orang lain dan menyaingi keberuntungan yang
baru saja didapat.
Mendengar hasil yang
menggembirakan itu Andragi segera berpikir panjang. Di benaknya ia akan
menjadikan desa ini sebagai penghasil berbagai produk dari bahan singkong mulai dari tape, brem, tuak singkong, kueh dan penganan
hingga membuat alkohol dari bahan itu. Tidak hanya sekedar menjual singkong
apa adanya. Dengan begitu semua usaha dan kegiatan para warganya difokuskan
untuk mendukung ‘industri’ persingkongan itu, mulai dari menanam hingga produk
akhir. Biarlah desa ini menjadi sentra persingkongan.
Ternyata rakyat Klapa
Getir sudah mengenal penganan seperti tape, tempe dan berbagai makanan yang
dibuat melalui proses peragian, tetapi selama ini hanya dibuat untuk keperluan
rumah tangga sendiri atau jika ada perhelatan tertentu. Karena itu Andragi
bermaksud mendirikan sentra industri persingkongan di Area Industri yang persis
berdampingan dengan Area Ladang Singkong.
Melihat keberhasilan desa
baru itu, banyak warga Kenteng memilih pindah ke sana dan diijinkan oleh kakek
Blakitem dengan syarat mereka harus saling bergotong royong membangun rumah
mereka sesuai arahan dari Andragi dan Pak Paldrino. Selama mereka mendirikan
rumah-rumah mereka, mereka mendapatkan pembagian singkong dan beras dari
gudang.
Setelah selesai
mendirikan rumah sesuai rencangan yang dibuat Andragi lengkap dengan WC dan
parit-parit, barulah mereka diijinkan untuk membuka ladang, sawah atau bekerja
di Area Industri. Disini Andragi dan para
sobatnya disertai para santri kakek Blakitem mengajarkan proses pengolahan
singkong mulai dari tape, brem, tuak singkong, kueh dan penganan hingga membuat
alkohol dari bahan itu. Alkohol dipakai untuk obat-obatan terutama untuk
menurunkan demam dengan cara mengompres tubuh si sakit.
Tibalah suatu hari kakek
Blakitem meminta semua warga berkumpul dan menyiapkan upacara peresmian nama
desa baru itu.
“Saudara-saudara sekalian
yang saya cintai. Lihatlah di sekitar kalian tempat desa baru ini berdiri. Kita
punya ladang singkong yang subur dan siap panen setiap 2 minggu. Kita punya kampung dengan rumah-rumah yang
tertata apik berikut sumur,WC, parit dan taman-taman. Kita juga punya
sawah-sawah dan ladang yang mulai berkembang. Kita juga punya area industri dimana
saudara-saudara bisa menghasilkan berbagai barang yang bisa dijual,” pidato
kakek Blakitem.
“Plok..plok..plok...,”
tepukan meriah warga.
“Hidup kakek Blakitem..!!!.,”
sorak mereka.
“Jangan berterimakasih
pada saya,” katanya. “Berterimakasihlah pada saudara Andragi, Pak Paldrino dan
kawan-kawannya serta para santri yang telah sukarela membangun desa baru ini
untuk saudara-saudara semua..”
“Horeeee, Hidup Andragi,
Hidup pak Paldrino...!!”
“Hidup Brewok, hidup Loyo..Hidup
santri...!!,” seru warga.
“Ya...ya..ya.., terimakasih
juga buat warga..,” jawab kakek Blakitem mewakili menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara
teriakan yang kencang, “Hidup Lugasi..!!”
“Hmmm ya..... , kau juga
Anak Setan..!!, kata kakek Blakitem sambil menunjuk Lugasi yang hanya
cengar-cengir dan bersiap menggelinding kalau-kalau kakek Blakitem akan
menendangnya.
Rupanya teriakan itu
datang dari pemuda yang dulu ikut merampok beras dan yang pertama bertobat. Dia
sangat mengagumi kehebatan Lugasi dan sikapnya yang jenaka. Seharang pemuda itu
menjadi ketua dari anak-anak muda disana.
“Ya,... karena itu kita
patut bersyukur kepa Dewa Maha Tunggal atas rejeki yang diberikannya. Mari kita
menundukkan kepala berdoa....,”
“Dan dengan mengucapkan
syukur kepada Dewa Yang Maha Tunggal saya namakan desa baru kita ini HARJAGI,
singkatan dari Harapan Berjaya Lagi, sekaligus sebagai pengingat saudara
Andragi sebagai orang pertama yang mencetuskan ide desa baru ini dan turut
membangunnya...” jelas kakek Blakitem.
“Horeeee...!! Hidup
Harjagi! Hidup Harjagi..!” seru warga dengan gembira.
“Satu pesan saya, jagalah
keasrian desa Harjagi ini, pelihara kebersihannya, gunakan setiap jengkal tanah
sesuai peuntukannya biar kalian biasa hidup sehat dan nyaman...” Kakek Blakitem
mengakhiri pidatonya.
Mereka lalu merayakannya
dengan meriah dan berpesta segala makanan hasil industri mereka. Tentu makanan
besar pun disediakan dengan memotong beberapa ekor binatang hasil buruan satu
dua hari sebelumnya.
Warga semakin giat
membangun desa baru mereka, desa Harjagi. Desa ini semakin hidup dari hari ke
hari.
Tidak heran karena itu
sebagian besar warga Kenteng sangat bergairah pindah ke tempat baru mereka.
Hanya tersisa sekitar 10 keluarga yang memilih tetap tinggal di Kenteng karena
mereka ingin menjadi pedagang hasil produksi desa yang baru untuk dijual ke
tempat lain. Ini cara cerdik mereka supaya konsumen tidak perlu langsung ke
Desa Baru Harjagi. Kenteng mereka jadikan semacam pasar grosir jika ada
pedagang dari tempat lain datang ke sana.
Ini sesuai dengan dugaan
Andragi. Ia telah menduga tidak semua warga Kenteng akan tertarik bekerja di desa
baru mereka karena bermacam alasan, terutama yang sebelumnya mempunyai latar
belakang pedagang. Mereka-mereka ini dapat menjadi pedagang yang akan membawa
hasil industri dari desa baru ini untuk dijual ke tempat lain, terutama ke kota
Poruteng.
Karena itu ia berpikir
untuk menjadikan desa Kenteng sebagai pasar utama hasil produksi desa baru
mereka. Ini sangat sesuai dengan keinginan mereka yang ingin jadi pedagang dan
tetap tinggal di Kenteng. Mereka justru minta bantuan Andragi untuk membuat rancangan
desa Kenteng sebagai pusat grosir.
Andragi lalu membuat peta
desa Kenteng yang baru yang lebih tertata rapi.
Ada 10 bangunan rumah
yang mirip dengan desa baru Harjagi bedanya bagian kolong dibuat untuk gudang
barang dagangan mereka. Ke sepuluh rumah itu mengelilingi area lapak besar yang
dibagi-bagi menjadi 10 lapak. Komplek itu dilengkapi dengan 6 buah sumur, 2 WC umum dan 2 bangunan untuk warung makan.
Juga ada 2 penginapan yang bisa digunakan para pedagang dari jauh untuk
menginap.
(Gambar Denah ada di
draft blogger)
Lapak yang luas
memungkinkan para pemilik lapak menggelar dagangannya dengan leluasa dan
beragam banyaknya.
Pertama-tama yang harus
mereka lakukan adalah merobohkan semua runah dan bangunan yang ada dan
membersihkan lahannya kecuali 10 rumah yang masih mereka tinggali. Rumah-rumah
imi juga akan diratakan satu persatu setelah berdiri rumah baru untuk mereka
tinggali.
Andragi membawa Loyo,
Brewok dan Lugasi untuk membantu warga Kenteng meratakan bangunan lama dan membangun
Kenteng Baru. Ya, Brewok tentu selalu minta ikut kemanapun Andragi pergi,
karena ia senang selalu mendapat pengetahuan baru bila bersama Andragi.
Setelah bangunan
diratakan dan dibersihkan mereka segera membuat area lapak yang luas karena
pembeli dan pedagang dari kota sudah mulai berdatangan untuk membeli singkong
raksasa. Tentu juga dibuatkan jalan akses yang menyambung ke jalan menuju
Poruteng.
Dengan cerdik mereka
bersepakat untuk selalu mendatangkan singkong raksasa maupun hasil olahannya
dari desa baru Harjagi pada malam hari agar tidak diketahui oleh para pedagang
dari tempat lain. Hal ini disetujui oleh Andragi untuk sementara waktu supaya
tidak mengganggu pembangunan yang sedang dilakukan oleh warga desa baru
Harjagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.