Pada hari ke tujuh puluh empat, mereka sudah memiliki
empat kapling ladang yang telah ditanami pohon singkong campuran itu. Selain
itu, bahan bangunan juga semakin banyak yang telah jadi, termasuk beberapa
jembatan yang siap dipasang. Juga pipa-pipa tembikar telah bayak yang
dihasilkan.
Hari itu Andragi mengumpulkan mereka semua untuk
memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Para sobat sekalian. Selama ini kita hanya
mengandalkan hujan untuk bercocok tanam. Jika kemarau datang tak banyak hasil
yang bisa di dapat dan sawah-sawah pun tak bisa ditanami. Air adalah sumber
kehidupan kita. Oleh karena itu kami bermaksud mengalirkan air dari sungai di
hulu dekat danau menuju ke sini,” kata Andragi.
“Tetapi, bukankah ada banyak lembah dan jurang yang
menghalangi di sana. Bagaimana air itu bisa sampai disini?” tanya seorang
santri.
“Ya, memang benar. Kita akan membuat parit pada
area yang mungkin sedangkan pada lembah-lembah atau jurang akan kita sambung
dengan pipa-pipa besar dari tembikar. Sobat Primasa dan kawan-kawan telah
sanggup membuatnya. Tentu kita harus membuat penyangga pipa-pipa itu untuk
memasangnya. Karena itu kita harus mencari jalur yang tidak banyak lembahnya
dan jurangnya tidak lebar. Sebaiknya menyusur lereng perbukitan di sebelah timur
laut lalu berbelok kemari mengarah ke area sawah,” jawab Andragi.
Mereka bergumam seperti suara lebah. Tak
terbayangkan sebelumnya untuk melakukan hal seperti ini.
“Tetapi, setahu saya air di sungai itu berada agak
jauh di
bawah bibir
sungai. Bagaimana kita megalirkannya?” tanya Dwisa.
“Ya, sobat Dwisa benar,” kata Andragi. “Ada dua
cara! Yang pertama kita membendung sungai itu. Tetapi itu tidak mudah karena
airnya cukup deras. Saya sudah memikirkan jalan keluar yang lain. Kita akan
membuat air itu mengangkat dirinya sendiri keatas bibir sungai tanpa perlu
mengeluarkan tenaga sama sekali,” jawab Andragi.
Terdengar gumam yang lebih kuat. Ilmu sihir apa
lagi yang akan dikeluarkan anak muda ini, pikir mereka. Sebagai santri yang
patuh, mereka sudah diberi tahu oleh Kakek Blakitem tentang kepandaian Andragi
yang diluar kemampuan orang seluruh negeri Klapa Getir. Mereka harus percaya
dan patuh kepada permintaannya meskipun tidak masuk di akal mereka.
“Nah, karena itu hari ini saya minta sobat Dwisa
dan pak Paldrino memimpin rekan-rekan meneliti alur rencana parit itu dan
mencari bagian sungai di hulu yang alirannya cukup deras.” kata Andragi.
Lalu
kepada Primasa dan teman-temannya ia berkata, “Sobat Primasa dan rekan yang
lain akan membantu saya mempersiapkan membuat pipa-pipa besar.”
Kepada Loyo dan kelompoknya, “Sobat Loyo dan yang
lain akan membantu saya membuat alat untuk mengangkat air dari sungai.”
Setelah menjawab beberapa pertanyaan kecil
lainnya, Andragi melihat tidak ada keraguan lagi di mata mereka.
“Nah, semuanya selamat bekerja serta tetap
hati-hati!” ucapnya.
Pak Paldrino dan Dwisa segera mengatur
orang-orangnya dan berangkat. Mereka menuju ke sebuah bukit dan disana mencari
pohon yang tertinggi untuk dipanjat guna melihat ke seluruh area. Dengan begitu
mereka bisa membuat ancar-ancar jalur parit yang paling memungkinkan. Mereka
lalu mencoba menyusuri ancar-ancar itu dengan membabat semak-semak sebagai
tanda.
Sementara itu Primasa sudah mulai mengajak
rekan-rekannya membuat model cetakan pipa besar berdiameter tujuh puluh cm dan
panjang dua meter. Mereka harus memilih tanah liat terbaik dan mengolahnya
secara matang agar tidak retak saat dibakar nanti.
Adapun Loyo dan kawan-kawan mendengarkan dengan
seksama penjelasan Andragi. Mereka akan membuat sebuah kincir besar dengan
sudu-sudu yang dilengkapi kotak penciduk air. Andragi menggambarkannya secara
detil, meskipun ukurannya sangat tergantung pada jarak antara air dengan bibir
sungai. Yang pasti lebar atau tebal roda itu sekitari
tujuh puluh cm dan diujung kotak penciduk air dibuatkan saluran yang menonjol
sedikit ke luar roda agar air yang tumpah terarah ke kotak penampung air, tidak
berceceran. Loyo mencoba memahaminya dengan baik.
“Aha!! teriaknya dengan girang. “Saya tahu
sekarang rahasianya!”
Andragi tersenyum memandangnya. Ia juga gembira
karena itu berarti tak perlu banyak penjelasan lagi yang harus diberikan kepada
Loyo.
“Sobat, Andragi!” kata Loyo. “Saya kira saya bisa
membuatnya dengan lebih baik. Sudu-sudu ini kita buat agak melengkung sedikit
supaya dorongan airnya menjadi lebih kuat!” katanya dengan semangat,
“Ah, benar juga! Ternyata sobat Loyo jauh lebih
pintar dari saya,” kata Andragi memuji.
Loyo senang mendengar pujian itu.
“Ah, ya tidaklah!” bantahnya.
Sore
harinya, pak Paldrino dan Dwisa melaporkan hasil kerja mereka. Bahkan pak Paldrino
sudah menggambarkan alur parit lengkap dengan tempat-tempat yang membutuhkan
talang penyeberangan air. Paling tidak, dibutuhkan dua puluh satu tempat yang
memerlukan talang pipa dan setiap tempat membutuhkan rata-rata empat batang
pipa masing-masing sepanjang dua meter. Jadi Primasa dan kawan-kawannya harus
membuat sekitar seratus pipa-pipa besar.
Selain itu bagian sungai yang dipilih sebagai
sumbernya memiliki lebar hanya tujuh meter, tetapi jarak dari permukaan air ke
bibir sungai sekitar 6 meter. Airnya mengalir cukup laju tetapi tidak terlalu
deras dan memiliki kedalaman hampir dua meter. Bagi Andragi tempat itu cukup
ideal.
“Jadi, kincir yang dibuat harus paling sedikit berjari-jari enam meter,” kata
Andragi kepada Loyo dan timnya.
Esoknya semua mulai bekerja sesuai tugas
masing-masing. Primasa dan timnya mulai membangun tempat pembakaran tembikar
yang cukup besar. Loyo dan kawan-kawan mengerjakan kincir, sedangkan Dwisa dan
yang lainnya menggali parit, yang dimulai dari bagian tepi sungai yang telah
ditentukan itu.
Pada hari ke seratus lima
belas, kincir raksasa itu telah berhasil diselesaikan oleh Loyo dan
timnya. Benda itu menjulang tinggi dengan gagah sehingga membuat semua orang
kagum memandangnya. Sementara itu pekerjaan pembuatan parit sudah mencapai
sepertiga dari panjang keseluruhannya yang kira-kira berjarak dua puluh kilo
meter dihitung dari lokasi desa baru hingga tepi sungai.
Sementara itu,...
Pada hari-hari itu mereka kedatangan dua orang
utusan dari Gunung Kembar. Mereka sudah dikenal oleh Andragi dan Paldrino saat
membuat menara pengintai dulu. Kedua utusan itu menyampaikan pesan dari Jotiwo,
Gadamuk dan Setiaka. Mereka ditugaskan mencari tahu keadaan para sobat mereka
dan apa yang sedang mereka kerjakan. Mereka juga menceritakan tentang
keberhasilan Lugasi menundukkan Jaira hingga menjadi Adipati di Rajapurwa dan kini
rakyat disana sangat bahagia. Lugasi menjadi pahlawan yang disayangi oleh
rakyat maupun oleh Adipati Jaira. Dari apa yang diketahuinya disini, mereka akan
melaporkan kembali ke Gunung Kembar.
Andragi meminta mereka tinggal beberapa hari untuk
melihat apa yang sedang mereka kerjakan. Kedua utusan itu pun tidak segan-segan
membantu berbagai pekerjaan seperti dulu saat membantu Andragi membangun menara
pengintai di Gunung Kembar. Meski rasanya mereka masih ingin membantu pekerjaan
sulit yang dihadapi Andragi dan kawan-kawannya, mereka harus segera kembali
untuk memberi kabar kepada para pemimpin Gunung Kembar. Mereka kemudian pamit
untuk pulang. dan diperjalanan pulang itulah mereka
bertemu dengan Lugasi di warung pak Warku.
Setelah tamunya pergi, Andragi kembali ke soal
kincir raksasa.
Tentu, persolalan utama yang menanti kemudian
adalah menggotong benda raksasa itu ke lokasinya. Untuk itu mereka lalu mempersiapkan
berbagai alat bantu agar bisa diangkat beramai-ramai oleh banyak orang. Setelah
siap mereka lalu beramai-ramai menggotongnya layaknya seperti upacara ngaben
yang sangat meriah. Prosesi ini harus dilakuka berhati-hati agar tidak jatuh,
sementara pohon-pohon yang menghalanginya pun harus disingkirkan terlebih
dahulu. Ada yang bertugas memberi aba-aba, ada yang memegang bambu panjang dan
tali sebagai penjaga keseimbangan di kiri dan kanannya, sementara yang lain
berama-ramai memikul batang-batang bambu yag diikat kuat silang menyilang pada
kincir itu.
Karena medan yang sulit, kincir raksasa itu hanya
bisa beringsut dua ratus hingga tiga ratus meter sehari. Melihat itu, dua orang
penduduk Kenteng yang ikut bekerja menawarkan diri mendahului membabat semak
belukar dan pepohonan kecil yang bisa menghambat gerak pengangkutan kincir itu.
Mereka terlihat sungguh sangat bersemangat.
“Eh, kakak Maber. Aku puya ide yang baik!” kata
seorang dari mereka.
“Ide apa, Maras?” tanya yang lebih tua.
“Beras jatah kita selama ini kan tidak cukup untuk
makan semua anggota keluarga kita. Juga sebagian tetangga kita tidak memilki
cukup pangan. Kasihan kan mereka?” kata Maras.
“Ya, salah sendiri mereka tidak mau bekerja
seperti kita. Apa kau mau mencoba mengajaknya lagi?” tanya Maber.
“Iya, tapi aku
mau mengajak mereka melakukan yang lain,” kata Maras.
“Melakukan apa?” tanya kakaknya.
Maras lalu menceritakan rencananya. Mereka berdua tampak
berdebat beberapa saat sebelum Maber kemudian mengangguk-anggukan kepalanya,
tanda setuju.
“Benar juga kau. Kita tidak tahu apakah maksud
dari semua pekerjaan disini, dan belum tentu juga akan berhasil. Sementara itu
kita hanya mendapat jatah beras yang tidak mencukupi keluarga besar kita,”
simpul Maber meyakini.
“Makanya, nasib kita tidak akan berubah kalau
begini terus. Nanti malam kita beritahu teman-teman kita,” kata Maras.
Lawan bicaranya mengangguk-angguk setuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.