Mulai Membuat Mukjizat Baru

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #66)


Pada hari ke tujuh puluh
empat, mereka sudah memiliki empat kapling ladang yang telah ditanami pohon singkong campuran itu. Selain itu, bahan bangunan juga semakin banyak yang telah jadi, termasuk beberapa jembatan yang siap dipasang. Juga pipa-pipa tembikar telah bayak yang dihasilkan.

Hari itu Andragi mengumpulkan mereka semua untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.

“Para sobat sekalian. Selama ini kita hanya mengandalkan hujan untuk bercocok tanam. Jika kemarau datang tak banyak hasil yang bisa di dapat dan sawah-sawah pun tak bisa ditanami. Air adalah sumber kehidupan kita. Oleh karena itu kami bermaksud mengalirkan air dari sungai di hulu dekat danau menuju ke sini,” kata Andragi.

“Tetapi, bukankah ada banyak lembah dan jurang yang menghalangi di sana. Bagaimana air itu bisa sampai disini?” tanya seorang santri.

“Ya, memang benar. Kita akan membuat parit pada area yang mungkin sedangkan pada lembah-lembah atau jurang akan kita sambung dengan pipa-pipa besar dari tembikar. Sobat Primasa dan kawan-kawan telah sanggup membuatnya. Tentu kita harus membuat penyangga pipa-pipa itu untuk memasangnya. Karena itu kita harus mencari jalur yang tidak banyak lembahnya dan jurangnya tidak lebar. Sebaiknya menyusur lereng perbukitan di sebelah timur laut lalu berbelok kemari mengarah ke area sawah,” jawab Andragi.

Mereka bergumam seperti suara lebah. Tak terbayangkan sebelumnya untuk melakukan hal seperti ini.

“Tetapi, setahu saya air di sungai itu berada agak jauh di bawah bibir sungai. Bagaimana kita megalirkannya?” tanya Dwisa.

“Ya, sobat Dwisa benar,” kata Andragi. “Ada dua cara! Yang pertama kita membendung sungai itu. Tetapi itu tidak mudah karena airnya cukup deras. Saya sudah memikirkan jalan keluar yang lain. Kita akan membuat air itu mengangkat dirinya sendiri keatas bibir sungai tanpa perlu mengeluarkan tenaga sama sekali,” jawab Andragi.

Terdengar gumam yang lebih kuat. Ilmu sihir apa lagi yang akan dikeluarkan anak muda ini, pikir mereka. Sebagai santri yang patuh, mereka sudah diberi tahu oleh Kakek Blakitem tentang kepandaian Andragi yang diluar kemampuan orang seluruh negeri Klapa Getir. Mereka harus percaya dan patuh kepada permintaannya meskipun tidak masuk di akal mereka.

“Nah, karena itu hari ini saya minta sobat Dwisa dan pak Paldrino memimpin rekan-rekan meneliti alur rencana parit itu dan mencari bagian sungai di hulu yang alirannya cukup deras.” kata Andragi.

  Lalu kepada Primasa dan teman-temannya ia berkata, “Sobat Primasa dan rekan yang lain akan membantu saya mempersiapkan membuat pipa-pipa besar.”

Kepada Loyo dan kelompoknya, “Sobat Loyo dan yang lain akan membantu saya membuat alat untuk mengangkat air dari sungai.”

Setelah menjawab beberapa pertanyaan kecil lainnya, Andragi melihat tidak ada keraguan lagi di mata mereka.

“Nah, semuanya selamat bekerja serta tetap hati-hati!” ucapnya.

Pak Paldrino dan Dwisa segera mengatur orang-orangnya dan berangkat. Mereka menuju ke sebuah bukit dan disana mencari pohon yang tertinggi untuk dipanjat guna melihat ke seluruh area. Dengan begitu mereka bisa membuat ancar-ancar jalur parit yang paling memungkinkan. Mereka lalu mencoba menyusuri ancar-ancar itu dengan membabat semak-semak sebagai tanda.

Sementara itu Primasa sudah mulai mengajak rekan-rekannya membuat model cetakan pipa besar berdiameter tujuh puluh cm dan panjang dua meter. Mereka harus memilih tanah liat terbaik dan mengolahnya secara matang agar tidak retak saat dibakar nanti.

Adapun Loyo dan kawan-kawan mendengarkan dengan seksama penjelasan Andragi. Mereka akan membuat sebuah kincir besar dengan sudu-sudu yang dilengkapi kotak penciduk air. Andragi menggambarkannya secara detil, meskipun ukurannya sangat tergantung pada jarak antara air dengan bibir sungai.  Yang pasti lebar atau tebal roda itu sekitari tujuh puluh cm dan diujung kotak penciduk air dibuatkan saluran yang menonjol sedikit ke luar roda agar air yang tumpah terarah ke kotak penampung air, tidak berceceran. Loyo mencoba memahaminya dengan baik.

“Aha!! teriaknya dengan girang. “Saya tahu sekarang rahasianya!”

Andragi tersenyum memandangnya. Ia juga gembira karena itu berarti tak perlu banyak penjelasan lagi yang harus diberikan kepada Loyo.

“Sobat, Andragi!” kata Loyo. “Saya kira saya bisa membuatnya dengan lebih baik. Sudu-sudu ini kita buat agak melengkung sedikit supaya dorongan airnya menjadi lebih kuat!” katanya dengan semangat,

“Ah, benar juga! Ternyata sobat Loyo jauh lebih pintar dari saya,” kata Andragi memuji.

Loyo senang mendengar pujian itu.

“Ah, ya tidaklah!” bantahnya.

 Sore harinya, pak Paldrino dan Dwisa melaporkan hasil kerja mereka. Bahkan pak Paldrino sudah menggambarkan alur parit lengkap dengan tempat-tempat yang membutuhkan talang penyeberangan air. Paling tidak, dibutuhkan dua puluh satu tempat yang memerlukan talang pipa dan setiap tempat membutuhkan rata-rata empat batang pipa masing-masing sepanjang dua meter. Jadi Primasa dan kawan-kawannya harus membuat sekitar seratus pipa-pipa besar.

Selain itu bagian sungai yang dipilih sebagai sumbernya memiliki lebar hanya tujuh meter, tetapi jarak dari permukaan air ke bibir sungai sekitar 6 meter. Airnya mengalir cukup laju tetapi tidak terlalu deras dan memiliki kedalaman hampir dua meter. Bagi Andragi tempat itu cukup ideal.

“Jadi, kincir yang dibuat harus paling sedikit berjari-jari enam meter,” kata Andragi kepada Loyo dan timnya.

Esoknya semua mulai bekerja sesuai tugas masing-masing. Primasa dan timnya mulai membangun tempat pembakaran tembikar yang cukup besar. Loyo dan kawan-kawan mengerjakan kincir, sedangkan Dwisa dan yang lainnya menggali parit, yang dimulai dari bagian tepi sungai yang telah ditentukan itu.

Pada hari ke seratus lima belas, kincir raksasa itu telah berhasil diselesaikan oleh Loyo dan timnya. Benda itu menjulang tinggi dengan gagah sehingga membuat semua orang kagum memandangnya. Sementara itu pekerjaan pembuatan parit sudah mencapai sepertiga dari panjang keseluruhannya yang kira-kira berjarak dua puluh kilo meter dihitung dari lokasi desa baru hingga tepi sungai.

Sementara itu,...

Pada hari-hari itu mereka kedatangan dua orang utusan dari Gunung Kembar. Mereka sudah dikenal oleh Andragi dan Paldrino saat membuat menara pengintai dulu. Kedua utusan itu menyampaikan pesan dari Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka. Mereka ditugaskan mencari tahu keadaan para sobat mereka dan apa yang sedang mereka kerjakan. Mereka juga menceritakan tentang keberhasilan Lugasi menundukkan Jaira hingga menjadi Adipati di Rajapurwa dan kini rakyat disana sangat bahagia. Lugasi menjadi pahlawan yang disayangi oleh rakyat maupun oleh Adipati Jaira. Dari apa yang diketahuinya disini, mereka akan melaporkan kembali ke Gunung Kembar.

Andragi meminta mereka tinggal beberapa hari untuk melihat apa yang sedang mereka kerjakan. Kedua utusan itu pun tidak segan-segan membantu berbagai pekerjaan seperti dulu saat membantu Andragi membangun menara pengintai di Gunung Kembar. Meski rasanya mereka masih ingin membantu pekerjaan sulit yang dihadapi Andragi dan kawan-kawannya, mereka harus segera kembali untuk memberi kabar kepada para pemimpin Gunung Kembar. Mereka kemudian pamit untuk pulang. dan diperjalanan pulang itulah   mereka bertemu dengan Lugasi di warung pak Warku.

Setelah tamunya pergi, Andragi kembali ke soal kincir raksasa.

Tentu, persolalan utama yang menanti kemudian adalah menggotong benda raksasa itu ke lokasinya. Untuk itu mereka lalu mempersiapkan berbagai alat bantu agar bisa diangkat beramai-ramai oleh banyak orang. Setelah siap mereka lalu beramai-ramai menggotongnya layaknya seperti upacara ngaben yang sangat meriah. Prosesi ini harus dilakuka berhati-hati agar tidak jatuh, sementara pohon-pohon yang menghalanginya pun harus disingkirkan terlebih dahulu. Ada yang bertugas memberi aba-aba, ada yang memegang bambu panjang dan tali sebagai penjaga keseimbangan di kiri dan kanannya, sementara yang lain berama-ramai memikul batang-batang bambu yag diikat kuat silang menyilang pada kincir itu.

Karena medan yang sulit, kincir raksasa itu hanya bisa beringsut dua ratus hingga tiga ratus meter sehari. Melihat itu, dua orang penduduk Kenteng yang ikut bekerja menawarkan diri mendahului membabat semak belukar dan pepohonan kecil yang bisa menghambat gerak pengangkutan kincir itu. Mereka terlihat sungguh sangat bersemangat.

“Eh, kakak Maber. Aku puya ide yang baik!” kata seorang dari mereka.

“Ide apa, Maras?” tanya yang lebih tua.

“Beras jatah kita selama ini kan tidak cukup untuk makan semua anggota keluarga kita. Juga sebagian tetangga kita tidak memilki cukup pangan. Kasihan kan mereka?” kata Maras.

“Ya, salah sendiri mereka tidak mau bekerja seperti kita. Apa kau mau mencoba mengajaknya lagi?” tanya Maber.

“Iya,  tapi aku mau mengajak mereka melakukan yang lain,” kata Maras.

“Melakukan apa?” tanya kakaknya.

Maras lalu menceritakan rencananya. Mereka berdua tampak berdebat beberapa saat sebelum Maber kemudian mengangguk-anggukan kepalanya, tanda setuju.

“Benar juga kau. Kita tidak tahu apakah maksud dari semua pekerjaan disini, dan belum tentu juga akan berhasil. Sementara itu kita hanya mendapat jatah beras yang tidak mencukupi keluarga besar kita,” simpul Maber meyakini.

“Makanya, nasib kita tidak akan berubah kalau begini terus. Nanti malam kita beritahu teman-teman kita,” kata Maras.

Lawan bicaranya mengangguk-angguk setuju. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA