Terperangkap di Dunia Asing



Dua
Siasat Penjaga Pintu Suargi

S
Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #12)

Secara refleks Andragi menutup kedua matanya, menundukkan kepalanya dalam-dalam pada kedua lututnya yang ia tekuk ke arah dada. Tangannya melingkari di kedua lututnya. Lubang itu seperti pipa berbentuk spiral berdiameter cukup besar, yang membawanya berputar menurun tetapi untungnya tidak membuat kepalanya terasa pusing. Ia terus meluncur hingga mencapai bagian yang lurus agak mendatar. Lajunyapun semakin melambat hingga akhirnya ia terlontar keluar dari pipa itu dengan lembut dan mendarat pada sebuah bantalan empuk dalam posisi bersila. Tampaknya seakan-akan  bantalan itu sengaja telah disediakan untuknya mendarat.

Tiba-tiba bau dupa menyengat hidungnya. Ia mencoba pelan-pelan membuka matanya tetapi segera disergap oleh asap dupa yang memaksanya menutupnya kembali, meski sebenarnya tidak terasa perih. Lamat-lamat telinganya menangkap gumam suara seperti orang berdoa.

“Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma.... terimakasih Dewa Maha Esa. Engkau telah mengabulkan permintaan hamba.. Permintaan seluruh rakyat negeri ini. Terima kasih Batara Maha Agung yang Maha Pengasih dan Pemurah.. Engkau telah mengirimkan Anak Langit titisanmu untuk menyelamatkan bumi kami... Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma....”

Andragi mencoba memberanikan diri membuka matanya perlahan-lahan. Dari balik asap putih yang menghalangi wajahnya, samar-samar ia melihat seorang kakek tua renta sedang komat kamit sementara tangannya menengadah keatas sembari bersila khidmat. Wajahnya dihiasi janggut putih yang terurai memanjang serta rambut yang juga putih menutupi sebagian besar wajahnya. Diatas kepalanya bertengger semacam ikat kepala yang mirip dengan ikat kepala yang biasa dikenakan orang Bali yang juga berwarna putih. Pada tubuhnya melilit selempang berwarna putih yang tersampir dibahu kiri melintang di dada hingga pinggang kanannya. Bagian bawah tubuhnya juga terbungkus oleh sarung yang sama warnanya. Dibalik selempang itu terpampang lengan dan dadanya yang berkulit putih hampir mirip dengan pakaian yang dikenakannya.

Posisi duduk Andragi yang berada lebih tinggi dari kakek itu memungkinkannya melihat dengan jelas wajah orang tua itu ketika ia menengadah. Meski sangat tua, sekitar sembilan puluh tahunan, wajahnya terlihat begitu segar memancarkan semangat dan kekuatan batin yang luar biasa. Ia terlihat begitu berwibawa tetapi sekaligus tampak ramah.

“Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma....Salam hormat saya kepada Anak Langit. Selamat datang ke bumi kami yang sedang gonjang ganjing, kisruh tak bertata apik. Sudilah Anak Langit turun tangan membantu bumi kami... Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma....”

Aneh, meskipun bahasa yang digunakan si kakek terdengar asing bagi telinga Andragi tetapi dia bisa mengerti perkataan kakek tua itu. Dia tidak berani bergerak dari duduk bersilanya, takut mengganggu doa si kakek. Ia memilih berdiam diri dulu, menunggu.

Kali ini kembali terdengar doa si kakek memanggil anak langit sambil memandang lurus ke dirinya. Jantung Andragi terasa berdenyut lebih cepat, panggilan itu tampak nyata ditujukan kepadanya dengan ajakan ramah yang menyenangkan. Didengarkannya dengan lebih seksama. Setelah yakin kakek itu memang berbicara kepadanya, dengan hati-hati ia turun dari tempat bersilanya dan segera disambut oleh kakek putih itu dengan uluran tangannya, membimbingnya ke tempat duduk di samping tempat semula ia bersila.

“Anak Langit, terimalah salam hormat saya dan warga bumi,” sapa kakek itu takzim.
“Kakek bicara dengan saya?” tanya Andragi ragu.
“Benar Anak Langit. Maaf kalau orang tua yang hina ini lancang berbicara,” kata kakek putih itu.
“Oh, tidak kakek, sama sekali tidak,” jawabnya polos. “Saya cuma ingin tahu dimanakah saya berada ini?”
“Anak Langit sedang berada di dalam gua pertapaan Pintu Suargi, di negeri Klapa Getir.”
“Negeri Klapa Getir...??! ulang Andragi dalam hati.

Andragi belum pernah mendengar nama negeri Kelapa Getir. Mungkin memang benar ia sudah mati dan arwahnya mengembara kesasar di negeri ini. Diam-diam ia mencubit pahanya dan merasakan sakit. Berarti dia masih hidup tetapi terlempar ke dunia yang sama sekali tidak diketahuinya.

“Ya, sudahlah,”  pikirnya. "Dari pada tinggal di dunianya semula dan dihantui rasa takut dibunuh sewaktu-waktu, mungkin lebih baik terdampar di dunia yang asing ini. 

Ia lalu memantapkan hatinya berperan sebagaimana keinginan si kakek itu, sejauh yang ia bisa lakukan.
“Siapakah kakek ini?” tanyanya.
“Nama saya Bulesak, orang memberi sebutan kepada saya dengan Dewa Putih Penjaga Pintu Suargi,” jawab kakek itu.
“Lalu kenapa saya bisa berada disini?” tanya Andragi.

Ia ingin tahu, adakah hubungannya dengan keterperosokkannya dalam lubang yang aneh tadi.

“Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma....,! kakek itu berkomat-kamit. "Telah seratus hari saya berdoa memohon kepada Dewa Maha Tunggal untuk mengirimkan titisannya ke bumi kami yang sedang mengalami banyak bencana, baik bencana alam maupun akibat perbuatan kami para wadag penghuni bumi ini. Maafkan bila kami telah lancang berani memanggil Anak Langit turun ke tempat yang tidak menyenangkan ini,” kata kakek Bulesak.
“Wadag? Apa itu kek?”
“Wadag adalah sebutan bagi makhluk seperti kami ini, yang berisi daging dan nafsu duniawi semata tanpa memiliki roh dan nilai-nilai luhur martabat titisan Dewa Maha Agung,” jawabnya.
“Oh, begitu. Lalu apa yang bisa saya lakukan, kakek?”
“Bumi kami sedang gonjang-ganjing kacau balau. Kami memerlukan orang yang mempunyai pandangan jauh ke depan dan menjunjung tinggi kemuliaan serta berani melawan arus dalam membimbing rakyat kami demi menghindari berbagai bencana yang selama ini tak henti-hentinya melanda negeri ini. Tetapi orang seperti itu tampaknya tidak pernah ada lagi diantara rakyat kami,”

Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan.
“Para pemimpin hanya mementingkan diri mereka sendiri dan sangat korup, penjilat lagi pengecut. Meski banyak rakyat yang tenggelam dalam pennderitaan,  mereka tetap berpesta pora, mengadu domba satu sama lain dengan berdalih demi kepentingan rakyat. Mereka itu benar-benar enau dalam belukar, melepaskan pucuk masing-masing," kakek itu berkias. 

"Lebih gila lagi,, Anak Langit,...Para cerdik pandai dan orang-orang yang tulus justru sering mereka jadikan korban bagi keserakahan mereka. Mereka, para cendekiawan dan satria itu, sering diperangkap dan kemudian dijadikan kriminal. Banyak diantara mereka yang telah dibunuh secara keji. Untungnya masih ada beberapa diantaranya yang sempat lolos dan meminta kepada saya untuk memohon agar Dewa Maha Esa menurunkan Anak Langit ke bumi kami,” jelas kakek Bulesak.
“Lalu dimanakah mereka-mereka yang lolos itu sekarang?” tanya Andragi lagi.
“Sayangnya, mereka tetah tertangkap lagi dan dibunuh, atau dipenjara dan kemudian diasingkan ke tempat yang jauh.”

Untuk pertama kali Andragi melihat raut wajah kakek Bulesak berkerut menandakan keprihatinan yang mendalam. Tetapi sejurus kemudian pancaran segar air mukanya telah hadir  kembali, saat dia berkata lagi.

“Saya melihat Anak Langit telah siap sedia dengan membawa bungkusan besar di punggung. Tentunya berisi berbagai peralatan sakti yang bisa membantu kami memerangi berbagai kejahatan di bumi kami ini.”
“ Ooommm Aaamm Gallabim Gallaabuma....Terimakasih Anak Langit... Terimakasih Yang Maha Murah...,”  katanya sambil mendekapkan tangannya ke depan wajahnya memberi hormat.

Andragi buru-buru membalas hormat dengan cara yang sama. Ia kemudian melihat sekeliling gua itu. Baru disadarinya betapa indahnya ruang di dalam gua itu dan tampak rapi dengan tatanan berbagai peralatan ritual. Dirabanya ransel di punggungnya dan teringat berbagai perlengkapan sehari-hari abad dua puluh satu yang dibawanya. Dia masih belum tahu setara abad berapakah kehidupan dunianya yang baru ini.

Setelah puas mengamati isi gua pertapaan itu, kakek Bulesak lalu segera mengajak Andragi pulang menuju ke padepokannya, Padepokan Kalbusih, karena sudah seratus hari ia pergi bertapa. Tentu para murid dan warga di padepokan itu sedang menanti hasil pertapaannya dengan penuh harap.

Kedua lelaki berbeda umur itu kemudian melangkah keluar gua. Betapa terkejutnya Andragi melihat pemandangan yang luar biasa indahnya. Rupanya mereka berada di puncak pegunungan yang tinggi dan sejauh mata memandang tampak awan berarak dibawah kaki mereka. Sesekali tersembul puncak gunung di kejauhan atau rentetan rumah perkampungan di punggung bukit manakala awan menyibak diatasnya. Andragi kembali sangsi, adakah dia kini sudah menjadi arwah dan sedang menuju ke surga atau mungkin juga neraka. Ia hanya bisa bengong terpana, terlebih saat kakek Bulesak mengangkat tangannya memanggil sekumpulan awan yang kemudian mendekat di kaki mereka.

“Mari Anak Langit, kita berangkat menggunakan bantuan awan ini.”

Kakek itu lalu menapakkan kakinya ke atas awan itu dengan santainya. Ia lalu mengulurkan tangannya mengajak pemuda kita naik bersamanya.
“Kita akan menuju sana,” katanya sambil menunjuk sebuah kumpulan bangunan yang tampak dibalik awan.

Awan dibawah kakinya serta merta bergerak, mula-mula pelan lalu semakin cepat melaju kencang menuju arah yang ditunjuk kakek Bulesak. Dalam sekejap mereka telah berada diatas wilayah Padepokan Kalbusih. Namun sebelum benar-benar tiba diatas padepokan itu, kakek Bulesak menyuruh awan ajaib itu menurunkan mereka dibalik bukit sedikit di luar padepokan.

“Kenapa kita berhenti disini, kek?”
“Supaya orang-orang tidak tahu kita datang menunggang awan,” jawab kakek Bulesak sambil tersenyum.
“Dengan kesaktian seperti ini bukankah kakek bisa memimpin orang-orang baik untuk mengalahkan segala kejahatan di negeri ini?” desak Andragi.
“Kami para pertapa sudah tidak hidup dalam dunia materi dan keduniawian lagi. Itulah sebabnya kami harus mencari orang lain yang bisa melakukan itu,” jawab si kakek.

Menjelang memasuki Padepokan Kalbusih, Andragi kembali terpana demi menyaksikan bentuk bangunan serta gapura dan berbagai umbul-umbul yang mencirikan masa lampau, sekitar abad pertengahan antara tahun 1300-1600, kira-kira semasa dengan kerajaan Majapahit atau masa-masa akhir kejayaan kerajaan besar itu. Ia mulai sadar betul,  kini ia hidup di masa lampau, era sebelum ada listrik maupun mobil. Apalagi pesawat terbang atau komputer dan internet.

Dari jauh tampak berkerumun orang banyak menyambut kedatangan mereka. Rupanya tanpa setahu Andragi, kakek Bulesak dengan caranya yang misterius telah memberi tahu para penduduk akan kedatangan mereka. Kerumunan penduduk itu saling berbisik dan berbicara pelan, terdengar lamat-lamat bagai lebah berdengung. Pakaian mereka pun menunjukkan jaman itu. Para pria pada umumnya bertelanjang dada dan menggunakan sarung yang diikat dengan sabuk kulit yang besar. Sebagian dari mereka menggunakan celana tiga perempat dibalik sarung yang melingkar hingga di paha. Kepala mereka dihiasi dengan semacam ikat kepala yang terbuat dari kain seukuran serbet. Para wanita menggunakan kemben, semacam kain panjang yang menutupi badan dari atas mata kaki hingga diatas payudara dan dibawah ketiak. Pada kepala para wanita itu dihiasi dengan pita yang umumnya berwarna biru. Dibalik pita para wanita dan ikat kepala para pria terselip bunga segar berwarna merah yang tampak sangat eksotis.

“Bunga yang mereka pakai itu menandakan penyambutan baik mereka kepada Anak Langit,” kata kakek Bulesak dengan wajah yang ceria.

Andragi mengangguk senang.

Demi melihat kakek Bulesak berjalan bersama orang asing dengan pakaian dan tampilannya yang aneh, mereka tahu bahwa kakek Penjaga Pintu Suargi telah berhasil mendatangkan Anak Langit. Mereka pun segera rebah bersujud sambil mengacungkan kedua tangan yang ditangkupkan, diatas kepala masing-masing.

“Salam Rukun Sentausa, Ya Anak Langit!” seru mereka.
“Damai Sentausa bagi kalian juga,” jawab kakek Bulesak.

Mereka menyapa berulang-ulang, dan Andragi pun ikut menjawab menirukan kakek Bulesak. Kakek Bulesak langsung mengajak Andragi menuju ke pendopo bangunan utama padepokan, diikuti oleh seluruh warga yang saat itu menyambut. Tiba disana, Kakek Bulesak segera meminta Andragi menduduki kursi utama yang biasa digunakan untuk menyambut tamu-tamu penting seperti pejabat negeri. Andragi mencoba menolak tetapi kakek Penjaga Pintu Suargi mendesaknya terus. Akhirnya ia mengalah. Diletakkannya ranselnya disamping kursi dan ia pun duduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA