Istri Adipati itu menoleh
kepada suaminya, menyentuh tangannya lalu menyorongkan mukanya untuk berbisik.
“Pangeran lihat orang muda yang tertawanya aneh di
ujung sebelah kanan itu?” bisik wanita itu.
“Ya..ya. Dari tadi saya sudah melihatnya.
Tampaknya ia orang dari daerah jauh. Gerak-geriknya tidak seperti orang sini.
Memangnya kenapa?” tanya suaminya.
“Pangeran jangan kaget dan jangan bergerak yang
mencurigakan. Dia itu salah satu kepala perampok Gunung Kembar yang menangkap
saya. Untung saya bisa mengelabui mereka dan membebaskan diri. Cepat pangeran
suruh tangkap dan hukum dia, lalu minta penghargaan dan hadiah dari pemerintah
pusat. Mumpung ada utusan dari pusat datang kesini,” gosok wanita itu.
“Hmm, kau istri yang pintar. Bagus, kalau begitu!”
kata Adipati.
Dengan tidak mencolok, ia lalu menoleh ke belakang
dimana Kepala Pasukan Kadipaten berdiri mengawalnya. Ia memerintahkan Kepala
Pasukan itu, Tumenggung Setiaka namanya, untuk menangkap pemuda yang tertawanya
aneh itu. Setiaka segera mundur dan mengumpulkan pasukannya.
Sejurus kemudian,...
Tiba-tiba saja dalam kerumunan orang banyak di
sekitar Andragi telah bermunculan para prajurit yang merangsek maju. Loyo dan
Brewok yang sejak semula diam-diam ditugasi oleh Paldrino mengamati keadaan,
melihat ancaman yang akan terjadi pada Anak Langit. Mereka berupaya merintangi
gerak para prajurit itu dengan berpura-pura terjatuh atau tertabrak sambil
berteriak kesakitan atau mengumpat agar menarik perhatian Andragi dan Paldrino.
Keributan yang terjadi di belakangnya membuat
Paldrino segera sadar akan adanya bahaya dan menggamit Andragi yang segera
menoleh ke belakang. Namun, belum sempat mereka menyelinap dikerumunan massa
untuk melarikan diri, tiba-tiba istri Adipati bangkit dari kursinya dan
berteriak sambil menunjuk ke arah Andragi.
“Tangkap orang itu! Dia kepala perampok Gunung
Kembar!” teriaknya lantang.
Orang-orangpun langsung menoleh ke arah yang
ditunjuk wanita itu. Para prajurit pun segera merangsek mengepungnya. Merasa
tidak bisa melarikan diri lagi Andragi melepaskan tas pinggangnya dan memberikan
kepada Paldrino.
“Selamatkan tas saya ini pak Paldrino, dan
selamatkan diri anda,” bisiknya.
Paldrino segera beranjak pergi. Belum sempat Paldrino bergerak jauh ia melihat para prajurit telah
mencekal tangan Andragi dan menelikungnya. Mereka menyeretnya pergi dari
keramaian itu. Paldrino, Loyo dan Brewok hanya bisa mengikuti dari jauh. Mereka
tahu Anak Langit dibawa ke markas pasukan Setiaka dan tentu akan disiksa untuk
mengakui apa yang dituduhkan oleh perempuan itu yaitu sebagai kepala perampok
Gunung Kembar. Mereka memutuskan untuk segera kembali ke penginapan dan
menyingkir dari sana sebelum terlambat. Setelah itu baru mencari jalan
membebaskan Anak Langit.
Baru saja mereka sampai di penginapan itu, si
pelayan mengatakan ada orang yang telah datang mencari mereka.
“Celaka, pikir Paldrino. Rupanya mereka telah tahu
kita menginap disini,” katanya kepada Loyo dan Brewok.
“Pak Wedana selamatkan anak istri Bapak, dikawal
sobat Loyo. Biar saya yang menghadapi mereka,” kata Brewok.
Ia segera menghunus pedangnya dan masuk ke rumah
makan itu, diikuti oleh Paldrino dan Loyo yang akan langsung menuju kamar
mereka untuk membawa pergi anak istrinya. Sementara itu si pelayan sudah lari
masuk ke dapur dan menyembunyikan diri ketakutan.
Dengan mata yang nyalang Brewok melompat dan
menyapu isi ruangan itu. Di dalam ada dua orang yang duduk berhadapan
menghadapi meja berisi makanan. Melihat kedatangan Brewok yang mengancam itu,
mereka segera berdiri dan memberi hormat.
“Pak Brewok, kami anak buah pak Jotiwo dan pak
Gadamuk. Mereka menyuruh kami segera menemui pak Paldrino dan kawan-kawan
disini, jika sesuatu terjadi dengan tuan Mata Setan,” kata salah seorang.
Paldrino segera menghentikan langkahnya dan
menghampiri kedua orang itu. Ia tahu kedua orang itu berkata jujur.
“Mari kita bicara di dalam kamar,” ajaknya.
Kedua orang itu mengikutinya dan dibelakang mereka
mengiring Loyo dan Brewok. Di dalam kamar itu mereka segera memberitahu bahwa
mereka memang ditugaskan mengikuti rombongan tuan Mata Setan sampai
meninggalkan Kadipaten Rajapurwa karena Jotiwo tidak percaya kepada wanita
istri Adipati itu. Ia khawatir kalau tuan Mata Setan terlihat oleh wanita itu
saat pesta bunga dan menyuruh menangkapnya, bukannya berterimakasih karena
telah membebaskan dirinya. Dan sekarang itulah yang terjadi.
“Jadi, pak Wedana dan kawan-kawan diminta segera
menyingkir dari kota ini sebelum terlambat,” kata anak buah Jotiwo dan Gadamuk.
“Kemana kami harus pergi?” tanya Paldrino.
“Di luar kota ini kami memiliki pos untuk
memata-matai. Disana telah menunggu pak Jotiwo dan Gadamuk. Mereka akan
berunding bagaimana membebaskan tuan Mata Setan,” jawab seorang dari mereka.
“Baiklah kita segera kesana,” kata Paldrino.
Mereka bergegas mengumpulkan bawaan mereka,
membayar ongkos penginapan dan segera pergi dari sana. Pesta bunga yang meriah
itu membuat kepergian mereka tidak menarik perhatian karena banyak orang yang
berlalu lalang di jalan. Mereka pun dengan cepat bisa ke luar dari dalam kota
tanpa menarik perhatian.
Setiba di luar tembok kota, kedua orang itu menuju
sebuah tempat tersembunyi, dan dari sana membawa enam ekor kuda. Dengan naik
kuda-kuda itu, sendiri atau berboncengan, mereka melaju cepat menuju tepi hutan
tempat pos mata-mata berada. Benarlah, setiba disana mereka telah ditunggu oleh
Jotiwo dan Gadamuk.
“Silakan Pak Paldrino dan kawan-kawan. Kita
langsung saja bicara. Pertama-tama saya usulkan agar anak istri pak Wedana kita
ungsikan ke markas Gunung Kembar biar mereka bisa beristirahat dengan nyaman,
lalu kita akan berunding disini. Bagaimana, pak?” tanya Jotiwo.
“Oh, terimakasih Pak Jotiwo. Saya berterimakasih
sekali kalau begitu,” jawab Paldrino.
Gadamuk lalu memerintahkan beberapa orang anak
buahnya mengantar istri dan anak-anak, beserta pembantu Paldrino menuju markas
Gunung Kembar dan menyuruh mereka membawa seratus lima puluh orang anak buahnya
kesini. Yang
disuruh
segera berangkat dengan menunggang kuda. Selepas itu mereka lalu berunding
mencari jalan membebaskan tuan Mata Setan.
Sementara mereka berunding, kita lihat apa yang
terjadi dengan Andragi.
Para prajurit menggiringnya
ke hadapan Setiaka dan dari sana membawanya ke markas pasukan keamanan, dengan
tangan terikat ke belakang.
“Siapa namamu heh!” tanya Setiaka.
“Orang memanggil saya dengan julukan Mata Setan,
karena saya bisa melihat dengan jelas di malam hari,” jawab Andragi.
“Benarkah kamu kepala perampok Gunung Kembar, yang
telah menculik istri Adipati?”
“Saya akan mengakuinya di hadapan istri Adipati
itu. Temukan dia dengan saya,” jawab Andragi.
“Hahahaha.. kau sungguh beruntung aku menangkapmu
hari ini, hari pesta bunga, sehingga kau berani berkata seperi itu!” kata
Setiaka.
Di negeri Kelapa Getir, menurut aturan yang
ditetapkan oleh Bapak Bangsa
Kudabringas, pada hari-hari raya tidak boleh dilakukan penyiksaan kepada para
tahanan. Pada hari-hari seperti itu semua orang memperoleh haknya untuk
menghormati penciptanya tanpa boleh diganggu, tak terkecuali para tahanan.
“Karena aku tidak boleh menyiksamu di hari yang
suci ini, aku mencoba menahan diri. Tetapi besok, aku berjanji kepada tanganku
ini untuk menyiksamu dua kali lipat dari keputusan yang berlaku jika kau tidak
mengaku sebagai kepala perampok Gunung Kembar. Ingat-ingat itu!” bentak
Setiaka.
Andragi tidak menjawab. Dia hanya menatap lelaki
itu.
“Prajurit! Masukkan orang ini ke penjara dan kunci
dengan kuat. Pastikan dia tidak bisa kabur. Kalau sampai terjadi, leher kalian
taruhannya!” perintah Setiaka kepada dua orang prajuritnya.
“Siap, komandan. Laksanakan!’ jawab prajurit
serentak.
Andragi lalu diseret ke penjara markas itu. Mereka
mendorongnya dengan kasar dan mengunci selnya yang gelap dan pengap. Tak ada
apa-apa disana kecuali dipan kayu. Ia lalu merebahkan dirinya mencoba
memikirkan apa yang akan menimpanya nanti.
Sementara itu, Setiaka segera kembali ke alun-alun
untuk melaporkan gasil penangkapannya itu.
“Bagus,” jawab Adipati. “Besok pagi kita akan buka
sidangnya dan segera memutuskan hukuman untuknya. Istriku akan bersaksi
disana.”
“Terimakasih, pangeran. Dan setelah itu jangan
lupa meminta hadiah dari pemerintah pusat atas jasamu menangkap perusuh negeri.
Aku mau menambah koleksi perhiasanku,” kata istrinya.
Mereka tetap melanjutkan hari pesta bunga seperti
biasanya. Hanya, ketika hari sudah menjelang sore, barulah diumumkan bahwa
seorang kepala perampok Gunung Kembar telah berhasil ditangkap dan akan diadili
esok pagi. Pengunjung lalu bubar dan pulang sambil ramai membicarakan
penangkapan itu. Mereka berniat untuk melihat perampok itu di pengadilan esok hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.