Mereka lalu berkemas dan segera berlayar
menyeberang. Tidak ada aral yang merintangi hingga mereka sampai di seberang.
Dengan riang Lugasi melompat turun dari perahu dan langsung pamit untuk
berpisah.
”Selamat jalan Lugasi, semoga sobat berhasil
mecari ayah dan ibumu,” kata Paldrino.
“Selamat jalan Lugasi!” kata yang lain
beramai-ramai.
“Baiklah, selamat jalan juga
semua...Hihihi..Lugasi..Lugasi!” katanya mengingat-ingat sambil berjalan
meninggalkan mereka.
Seperginya Lugasi, mereka segera melanjutkan perjalanan
langsung menuju Poruteng, tetapi tidak dalam formasi yang terpisah. Mereka yakin
kalau pengaruh berita tentang Anak Langit belum menyebar sampai disini. Mereka
langsung memasuki kota propinsi Poruteng dan mencari rumah makan tempat
menginap. Mereka mendapatkan dua kamar besar, yang satu untuk keluarga Paldrino
beserta pembantu-pembantunya dan yang lain mendiami kamar satunya lagi.
Di dalam kamar Paldrino, istrinya mengutarakan
pendapatnya.
“Bolehkah kita mencari tahu dulu keberadaan
saudara kembar saya, sebelum melanjutkan perjalanan ini?” tanyanya.
“Ah, benar juga! Saya akan menyampaikannya kepada
kawan-kawan kita saat makan nanti,” jawab suaminya.
Pada saat makan malam Paldrino menyampaikan
permintaan istrinya. Teman-temannya setuju untuk mencari tahu dimana suami
saudara kembar istrinya bertugas. Bukan hanya itu saja, merekapun harus tahu
dimana bisa menemui kakek Blakitem. Loyo menawarkan diri untuk itu dan dia akan
ditemani oleh dua orang anak buah Gunung Kembar.
“Kemana kira-kira sobat Loyo akan mencari tahu?”
tanya Paldrino.
“Saya akan ke pasar kota dan mencari tahu dari
para pengemis yang ada disana tentang kakek Blakitem. Sedangkan untuk
mengetahui berita tentang Pamong Negeri yang baru, kami akan mencoba menangkap
pencopet atau pencuri di pasar itu dan menyerahkan ke Pamong Negeri yang ada.
Mungkin dengan begitu kami bisa bertanya dengan leluasa tanpa dicurigai,” jawab
Loyo.
“Rencana yang bagus. Memang kita harus hati-hati. Jangan
sampai aparat pemerintah mengetahui kehadiran sobat Andragi disini,” puji
Paldrino.
Esok harinya pagi-pagi benar, Loyo dan kedua anak
buah Gunung Kembar pergi menuju pasar kota Poruteng. Di tempat yang sepi Loyo
mengganti pakaiannya dengan pakaian rombeng yang telah ia persiapkan malam
sebelumnya, sedangkan kedua kawannya tetap berpakaian seperti biasa. Setiba
disana Loyo segera mencari posisi yang tidak berjauhan dengan seorang pengemis
tua, dan mulai duduk bersila sambil menengadahkan mangkuk.
Belum berapa lama dia disana, pengemis tua itu
menghampirinya.
“He, anak muda! Kau jangan mengemis di dekat sini.
Penghasilanku nanti bisa berkurang. Menyingkirlah ketempat yang lain!” katanya.
“Oh, pak tua, kasihanilah saya. Di tempat lain
saya juga diusir oleh sesama pengemis. Biarlah saya mengemis disini saja,”
jawab Loyo.
“Tidak bisa! Kalau penghasilanku berkurang upetiku
kepada petugas pasar juga akan berkurang. Mereka akan mengusirku dari sini.
Jadi, kau jangan bikin gara-gara!” katanya lagi.
“Lalu, saya harus kemana pak tua?” tanya Loyo.
“Terserah! Pergi saja ke kakek Blakitem. Siapa
tahu dia mau menolong kamu!” kata pengemis tua itu ketus.
“Kakek Blakitem, saya pernah dengar nama itu.
Tapi, dimana saya bisa menemuinya, pak tua?”
“Di desa Kenteng. Disana semua orang tahu kakek
itu.”
“Baik, pak tua. Terimakasih. Saya akan kesana
saja, kalau tidak boleh mengemis disini.”
“Iya, kau bisa kerja disana. Masih muda kok sudah
jadi pengemis. Dasar pemalas!” gerutu pengemis tua itu.
Loyo segera meninggalkan tempat itu menuju dimana
kedua temannya tadi berada. Dilihatnya sedang terjadi keributan disana. Rupanya kedua temannya sudah
berhasil menangkap seorang pencopet.
“Inikah orangnya yang mencuri uang ibu?” kata salah
seorang temannya kepada seorang ibu pedagang.
“Betul, pak. Dia tadi mengambil katong uang saya
dan lari.”
“Sekarang, ngaku nggak, ha?! bentak kawannya itu.
Karena ada keributan itu, datang seorang petugas
Pamong Negeri yang bertugas di wilayah pasar itu.
“Ada apa ini?!” tanya petugas itu.
“Uang saya dicuri orang ini pak. Untung ada kedua
bapak itu yang menangkapnya,” kata ibu pedagang itu mengadu.
“Ha, kamu lagi! Sudah beberapa kali kamu di
tangkap tapi tidak kapok juga ya?! bentak si petugas.
Ia lalu meringkus orang itu dan merogoh ke balik bajunya.
Benar, di dalam baju itu ada sebuah kantong uang.
“Itu kantong uang saya pak!”
Petugas tadi menyerahkan kembali kantong uang itu
kepada pemiliknya dan membawa pergi si pencuri ke posnya. Kedua teman Loyo
mengikutinya.
“Ampun, pak. Lepaskan saya, saya kapok pak!”
“Tidak bisa! Sekarang tidak seperti kemarin,” jawab
petugas itu.
“Ini sekedar tebusan pak, tapi tolong lepaskan
saya,” kata pencuri tadi sambil mengulungkan sejumlah uang perak.
“Saya bilang sekarang sudah tidak bisa! Sebentar
lagi akan datang pimpinan baru kami dari Kotaraja. Dia orang yang tegas dan
tidak mau disuap. Saya tidak mau mengambil resiko!” katanya.
“Ah, bapak??! Biasanya kan segitu. Apa kurang banyak?”
kata pencuri itu.
“Sudah!! Jangan banyak omong!” bentaknya.
“Memangnya, siapa kepala Pamong Negeri yang baru?”
tanya seorang teman Loyo.
“Namanya Diguldo. Dia akan tiba disini dalam satu
atau dua hari lagi. Katanya dia orang yang bersih, jadi kami harus berhati-hati
sekarang,” kata petugas itu dengan enteng.
“Terimakasih telah menangkap orang ini.
Selanjutnya biar saya tangani,” kata petugas itu lebih lanjut.
Kedua orang teman Loyo segera meninggalkan pos itu
guna menemui Loyo, sambil geleng-geleng kepala.
“Pamong Negeri tidak tahu malu! Rupanya mereka selama
ini kerjasama dengan para pencuri itu,” kata yang satu.
“Benar-benar munafik! Saya kira setelah kita pergi
dia akan terima uang itu dan melepaskan kembali si pencuri,” jawab temannya.
Mereka berjalan sambil terus menggerutu.
“Saya disini sobat,” kata Loyo menyongsong
keduanya.
Rupanya ia menyusul ke pos itu.
“Kenapa kalian tampak menggerutu?” tanya Loyo.
Keduanya menceritakan perilaku si petugas Pamong
Negeri.
“Itulah sebabnya negeri kita ini semakin terpuruk.
Orang sudah tidak malu-malu lagi menceritakan kelakuannya yang semestinya aib
itu. Karena itu pula kita harus mendukung tugas sobat Andragi memberantas perbuatan
seperti itu,” jelas Loyo.
Dengan informasi yang telah diperoleh itu, mereka
lalu segera kembali ke penginapan menemui Paldrino dan kawan-kawan.
“Jadi, saudara kembar saya akan segera kesini
dalam satu dua hari ini,” kata istri Paldrino dengan gembira. “Bisakah kita
menunggu supaya saya bisa bertemu dengannya?” tanyanya.
“Istriku, saya tahu betapa rindunya kamu dengan
saudara kembarmu. Tetapi sebagai orang baru, dia tentu akan banyak menerima
tamu dan belum menguasai situasi disini. Kalau sampai ada orang yang tahu kita
berada disini, tentu akan tidak menguntungkan posisi suami dan keluarganya.
Juga misi Andragi bisa terancam terbongkar. Karena itu sebaiknya kita tunggu
sampai dia sudah mapan disini lalu secara diam-diam menemuinya,” kata Paldrino
mejelaskan dengan hati-hati.
Ia bisa merasakan penderitaan istrinya, dan juga
anak-anaknya.
“Maukah kau bersabar barang satu dua bulan lagi?
Saya berjanji akan berusaha mempertemukan kalian dalam suasana yang aman,”
bujuk Paldrino.
Dengan susah payah istri Paldrino menahan air
matanya. Ia berusaha memahami situasi mereka. Tetapi ada semacam perasaan
seakan saudara kembarnya itu memanggil-manggil dirinya, meminta tolong padanya.
Perasaan itu mengetuk-ngetuk dadanya dengan keras. Ia merasakan seperti sebuah
firasat kalau saudara kembarnya sedang menghadapi bahaya.
“Saya mengerti. Cuma perasaan ini seperti tidak
enak,” katanya sambil terisak.
“Ya, saya mengerti. Maafkan saya istriku,” kata
Paldrino.
Berat rasa hati wanita itu, tetapi dia juga wanita
yang setia terhadap suami. Dan menimbang demi keselamatan keluarganya juga, ia akhirnya
hanya bisa mengangguk.
“Terimakasih, ibu Wedana,” kata Andragi. “Saya
juga berjanji secepatnya mengusahakan agar ibu bisa bertemu saudara kembar
ibu.”
“Terimakasih..” kata wanita itu terisak.
Mereka lalu memutuskan esok harinya berangkat ke desa
Kenteng untuk menemui kakek Blakitem.
Desa itu berada di dataran persis di kaki
pegunungan Menora, dan termasuk dalam wilayah kawedanan Nunggalan. Tidak ada
kejadian penting pada perjalanan mereka sampai tiba di Kenteng. Bahkan dengan
mudah mereka mendapat keterangan dari penduduk setempat dimana kakek Blakitem
bisa ditemui.
“Pergi saja ke pesanggrahan Batutok yang terletak
di pegunungan itu. Ikuti jalan desa ini menuju kesana,” kata seorang petani.
“Seberapa jauh pesanggrahan itu dari sini?” tanya
Paldrino.
“Tidak sampai setengah hari, sudah akan sampai
disana,” jawab petani itu. “Tetapi, sebaiknya menginap dulu malam ini di sini,
di Balai Dusun. Saya akan melaporkan kepada Kepala Desa atas kedatangan
rombongan ini. Jangan khawatir, karena dusun ini dan seluruh isinya adalah
miliki kakek Blakitem yang dermawan. Beliau mengijinkan begitu saja kami dan
siapapun yang kesusahan menggunakan tanahnya.”
Mereka diantar ke Balai Dusun dan diterima dengan
baik oleh Kepala Desa. Malam itu mereka menginap disana dengan tenang.
Esok paginya mereka berangkat ke pesanggrahan
Batutok dengan diantar seorang anak laki-laki warga dusun itu. Rupanya
anak-anak pun selalu bergairah jika bertemu dengan kakek yang baik hati itu.
Dengan lincah anak itu bercerita tentang kakek Blakitem yang dirasakan oleh
semua anak dusun sebagai kakek mereka sendiri. Bahkan semua kakek yang ada di
dusun itu selalu bilang kepada cucu mereka kakek Blakitem adalah kakak mereka
yang tertua.
Mereka berjalan sambil memandangi alam yang subur
dan indah di wilayah itu. Akhirnya mereka tiba di pesanggrahan Batutok.
Mereka dijemput oleh seorang santri untuk diantar
bertemu dengan kakek Blakitem.
Tetapi tunggu dulu....
Apakah perasaan istri Paldrino hanya kerinduan seorang wanita
terhadap saudaranya? Dan kemana pula perginya Lugasi si Anak Setan? Benarkah ia
langsung pergi ke Buntung?
Ada baiknya kita ikuti sepak terjang Anak Setan
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.