Korupsi Berjamaah dan Sistemik

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #07)



Kita tinggalkan dulu lamunan Andragi yang sedang terperosok dalam lubang gelap setelah ia sadar dari pingsannya itu. Anda tentu ingin tahu apa yang diperbuat si boss setelah rapat yang menegangkan itu.

Inilah yang terjadi setelah rapat....
Begitu selesai menutup rapat yang membuatnya terkejut itu, si boss segera pula kembali ke ruang kerjanya yang tertutup dan memastikan pintunya tertutup rapat (kata rapat yang ini berbeda artinya dengan yang sebelumnya, anda tahu kan?).

Ia lalu menghempaskan tubuh gemuknya di kursi empuk yang megah dan mewah. Selain besar, kursi itu berpunggung tinggi dan berhiaskan ukiran kayu jati pada sandaran tangan dan kepala.
Namanya juga kursi boss!
Bukankah kursi melambangkan kedudukan seseorang serta kekuasaan yang berada di dalam genggamannya?

Tangan kirinya segera meraih gagang telpon sementara yang satunya menyusul dengan menekan tombol angka-angka yang tertera disana. Nomor yang dipencetnya itu adalah nomor khusus, hotline, yang tidak diketahui oleh orang lain, termasuk sekretaris pribadinya. Setelah itu ditempelkannya benda itu ditelinga kirinya sementara tangan kanannya meraih sapu tangan dari saku celana dan menyeka peluh yang membasahi wajahnya, sambil menanti nada sambung dari ujung telpon. Tak lama kemudian terdengar suara berat dari seberang sambungan telepon.

“Ya, ada apa pak Duma?” suara berat itu terasa menusuk telinganya.

Saat itu belum ada telpon yang mampu menunjukkan siapa pengontaknya. Jadi, kalau orang diseberang sana tahu siapa yang menghubunginya, tentulah nomor itu adalah nomor khusus. Orang yang dihubungi si boss ini memiliki fasilitas itu, tentunya.

“Anu, pak…. Selamat …siang pak,” katanya tergagap-gagap.
“Ya, Selamat siang! Ada masalah apa disana?!”

Suara itu lebih berat dan menekan. Tampaknya si pemilik suara telah mencium gejala yang tidak bagus.

“Anu..pak,.. Ada yang membongkar soal pembelian barang persediaan itu, pak.”
“Apa…?! Benarkah begitu?!!” terdengar suara menggelegar di seberang sana.

Nada suara si penanya jelas menunjukkan keterkejutannya.
Selama ia bekerja hingga menduduki posisinya sekarang ini, belum pernah didengarnya hal seperti ini terjadi. Biasanya, berita melalui nomor khusus itu hanyalah tentang penambahan dana untuk pembelian barang yang harus disediakannya atau pembagian uang hasil kerja busuk mereka. Ini bagaikan halilintar di siang bolong.

Di jaman itu mana ada yang berani buka mulut. Segalanya sudah sedemikian rapi dijalin sehingga tak ada seorangpun yang masuk di dalam sistem atau jaringan tersebut yang tidak memperoleh bagiannya. Bahkan banyak diantara mereka, khususnya para pegawai biasa, tidak menyadari kalau mereka adalah bagian dari sistem yang busuk itu, dan ikut menikmatinya.

Memang sudah menjadi sesuatu yang tak terpisahkan atau dibuat sebagai suatu sistem yang terkait dengan kebijakan maupun pola pengelolaan organisasi lembaga yang bersangkutan. Bukan rahasia lagi jika para pegawai pemerintah itu bergaji kecil dan hanya cukup untuk hidup selama setengah bulan, tetapi nyatanya mereka hidup lebih baik dari pada kebanyakan rakyat. Bukankah setiap kali ada lowongan pegawai pemerintah ribuan orang datang berbondong-bondong mendaftarkan diri? Bahkan para calon mertua pun menginginkan anaknya menikah dengan pegawai pemerintah. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?

Rahasianya terletak pada sistem itu, dan begini cara kerjanya:

Biasanya, uang hasil praktek kotor itu tidak dimakan seluruhnya oleh para aktor intelektual yang menyutradarainya. Sebagian uang jarahan itu mereka alokasikan untuk dibagikan kepada seluruh pegawai lembaga yang bersangkutan. Dengan lihai mereka membuat wadah tempat menampung uang haram itu dalam bentuk yang resmi seperti Yayasan Dana karyawan, Koperasi Karyawan Sejahtera, Dana beasiswa Keluarga Karyawan, Dana Kesehatan atau berbagai jenis lainnya. Ada pula yang dialihkan ke pot dana taktis maupun operasional dengan alasan demi kelancaran tugas lembaga mereka, sementara anggaran untuk itu tidak mencukupi (katanya). Biasanya dana taktis atau operasional itu dinikmati dalam bentuk seperti uang perjalanan dinas, entertainment atau belanja barang yang habis dipakai. Tidaklah heran jika perjalanan dinas menjadi rebutan para pegawai untuk menambah penghasilan mereka.

Dilain sisi para pegawai menengah keatas saling berebutan memperoleh kesempatan menjadi kepala proyek.

Proyek, pada awalnya adalah pekerjaan di luar fungsi utama atau tugas rutin sebuah instansi, dan memang seharusnya demikian. Tetapi karena proyek itu pekerjaan yang menyimpan harta karun maka hampir semua orang memperebutkannya.

Karena sifatnya tidak rutin, tidak banyak orang yang berkesempatan menikmatinya. Tetapi para aktor itu tidak kekurangan akal. Secara cerdik mereka dapat menyulap pekerjaan rutin berubah menjadi proyek.

Akhirnya segala sesuatu dijadikan proyek. Seluruh pegawai hanya tertarik dengan pekerjaan proyek. Bahkan para orangtua pun banyak yang mendorong anak-anak gadisnya untuk menikah dengan kepala proyek, terkadang meski hanya dimadu. Punya TV atau Tweede Vrouw, istilah dalam bahasa Belanda yang artinya istri kedua, menjadi popular di kalangan pegawai menengah keatas. Tentunya para istri muda itu hanya mengejar uang dan kekayaan semata, ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang, itulah motto hidup mereka

Tentu akibatnya pekerjaan rutin menjadi terbengkalai. Pelayanan kepada masyarakat pun menjadi buruk dan tidak bermutu bahkan tidak berjalan sama sekali jika tidak diproyekkan. Ada proyek pembuatan Kartu Penduduk, pembuatan Surat Ijin Mengemudi, pembuatan karcis parkir, penerangan masyarakat, vaksinasi hewan, penyemprotan nyamuk dan sejuta lainnya pekerjaan rutin masing-masing instansi. Para pegawai tidak akan bergairah tanpa lambaian uang di depan mata mereka. Sebaliknya, jika seseorang tampak bersemangat semua orang tahu kalau ia sedang mengerjakan suatu “proyek”.

“Maaf, tidak bisa menemani ngobrol, sedang ada proyek nih,” sering terdengar jawaban seperti itu tanpa malu-malu. Malah terkesan bangga!

Pada kesempatan lain tidak jarang terjadi pembicaraan seperti ini,
“Wah, kelihatannya sedang buru-buru ya? Lagi ada proyek, ya?”
“Iya tuh! Ibu pensiunan di pojok itu minta tolong mencarikan obat anaknya yang sakit. Lumayanlah..,” jawab yang ditanya.

Bukan main, menolong tanpa pamrih sudah tidak ada dalam kamus hati bangsa ini rupanya. Orang yang menderitapun menjadi obyek 'proyek' yang menguntungkan.

Rakyat yang membutuhkan pelayanan rutin dari para pegawai instansi pemerintah menjadi obyek proyek sesat mereka. Tak ada lagi rasa sungkan, risih, apalagi merasa bersalah. Rakyat akhirnya menjadi maklum, tanpa uang urusannya tak akan pernah lancar.

Kini rakyat akan secara otomatis menyodorkan sejumlah uang tanpa diminta, justru sebelum mendapatkan pelayanan. Inisiatif itu mendudukkan para hamba setan itu dalam posisi yang kuat dengan membalikkan dalih bahwa mereka tidak pernah memaksa rakyat membayar uang suap. Rakyatlah yang dengan sukarela memberikan uang sebagai tanda terima kasih atas pelayanan ‘baik’ mereka.

Ajaib memang, karena biasanya orang berterima kasih atas perbuatan baik seseorang sesudahnya, bukan sebelumnya.!

Celakanya, orang yang diperas itu pada gilirannya akan melakukan hal yang sama terhadap orang lain yang memerlukan pelayanannya, demi memenuhi biaya yang telah ia keluarkan sebelumnya.

Demikian terjadi seterusnya sehingga perbuatan seperti itu telah mnerasuk menjadi bagian keseharian hidup mereka, di segala bidang kehidupan. Mereka saling memeras dan saling menyuap satu sama lain.


Kita kembali ke lawan bicara pak Duma, yang sedang tersambar petir di siang bolong itu.

Dalam pikirannya, praktek pembelian fiktif itu telah dan masih menjadi sistem yang berjalan dengan semestinya. Kalau toh kemudian ada yang menyadari kejanggalan itu biasanya ia akan segera maklum juga bahwa percuma saja berupaya membongkarnya karena selama ini ia telah turut menikmati bagiannya. Salah-salah ia akan tersingkir dan dikucilkan oleh lingkungannya atau lebih buruk lagi dirinya serta keluarganya akan dibuat celaka.

Mungkin ia salah dengar! Atau kalau memang benar, tentu orang itu tidak waras.
Dari ujung telpon terdengar suara pak Duma menjawab pertanyaannya.

“Benar pak. Pada rapat siang tadi seorang anak buah saya mengungkapkannya secara terbuka, lengkap dengan data-datanya. Bahkan dia sempat menandai barang-barang lama secara diam-diam dan memeriksanya setelah ada pembelian baru dan mendapati tidak ada barang baru yang masuk gudang,” jawab pak Duma.
“Siapa orang itu?!” sergahnya.
“Andragi namanya. Anak muda yang bekerja dibagian perencanaan anggaran.”
“Andragi! Pacarnya Nina?”
“Benar, pak!” jawab pak Duma.
“Kenapa dia bisa tahu,,? Itukan bukan urusannya!”
“Itulah pak, saya juga tidak mengerti. Rupanya diam-diam ia mencurigai anggaran pembelian barang-barang itu yang relatif hampir sama besarnya setiap tahun, lalu melakukan penyelidikan sendiri,” jelas pak Duma.
“Siapa saja yang terlibat? Apa Nina juga ikut terlibat?”
“Tidak, pak. Tampaknya dia bekerja sendiri. Anak itu memang agak pendiam dan polos. Biasanya pegawai yang lain akan diam saja meski tahu ada hal-hal yang tidak beres. Mereka sudah maklum. Tetapi anak itu memang tidak seperti kebanyakan pegawai lainnya,” jelas pak Duma.
“Syukurlah kalau Nina tidak terlibat!” katanya tandas.

Nina, pacar Andragi itu ternyata adalah anak pak Gadar, orang yang ditelpon oleh pak Duma. Pak Gadar memang memasukkan Nina untuk bekerja di lembaga yang dipimpin pak Duma. Biasa, namanya juga nepotisme, meski sebenarnya gadis itu sendiri cukup pandai dan bisa bekerja dimana saja ia mau. Tetapi ayahnya menginginkan dia bekerja di lingkungan pemerintah yang semua orang tahu pekerjaannya lebih santai dan tidak banyak tekanan. Nina sendiri pun tidak tahu hubungan kerja seperti apa yang terjalin antara pak Duma dengan ayahnya. Ia hanya tahu mereka telah berkawan lama sejak waktu kuliah dulu.

Siapakah pak Gadar itu sebenarnya?
Mengapa dia tampak lebih berkuasa dibanding si boss pak Duma?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA