Menjelang subuh, Lugasi bersama penunjuk jalannya
keluar dari warung itu dan berjalan menuju Buntung. Ketika fajar mulai merekah,
mereka tiba di tempat yang dimaksud. Sebuah pohon asam tua yang besar berdiri
sendirian di tepi jalan itu. Di belakangnya terbaring sebuah lereng bukit yang
dipenuhi tetumbuhan onak dan perdu di selingi beberapa pohon disana-sini. Di
seberang jalan, terhampar dataran berupa hutan yang cukup lebat, penuh
tetumbuhan dan pohon. Lugasi langsung menuju pohon asam itu, sedangkan
pendampingnya segera menuju kedalam hutan di seberang jalan. Ia segera lenyap
di balik kerimbunan hutan.
Matahari mulai naik saat Lugasi membuka bekal
makanannya untuk sarapan. Ia segera melahapnya dan menutupnya dengan tuak
lontar yang tak lupa diselipkan pula oleh kawan-kawan barunya di Rajapurwa itu.
Setelah itu ia duduk berselonjor kaki dan menaruh punggungnya bersandar pada
batang pohon asam tua itu. Ia mencoba membayangkan kampung halamannya yang sebenarnya
tidak jauh lagi dari tempatnya berada sekarang.
“Seperti apakah desa bapak dan ibuku itu? Bagaimana
aku bisa mencari tahu mereka?” pikirnya.
Ketika sedang membayangkan apa yang akan
dilakukannya untuk mencari tahu keberadaan orang tuanya setiba di Buntung nanti,
ia dikejutkan oleh derap kuda yang dipacu kencang menuju tempatnya dari arah Rajapurwa.
Empat orang pasukan pemerintah yang berada diatas punggung-punggung kuda itu
segera menghentikan tunggangannya tatkala melihat dirinya duduk santai bersandar
di pohon tepat di pinggir jalan yang akan mereka lalui.
“Hei, kau! Segera menyingkir dari sini! Sebentar
lagi Pangeran Adipati Rajapurwa akan lewat. Jangan merusak pemandangan dengan
keberadaanmu itu,” hardik seorang prajurit.
Dengan acuh tak acuh Lugasi memandang mereka satu
persatu, tak beringsut dari tempatnya. Dari cerita pak Paldrino dan kawan-kawan
barunya dia tahu kalau Adipati Rajapurwa sudah tewas dalam pertempuran melawan
pasukan Gunung Kembar. Sombong benar orang yang mengaku adipati Rajapurwa ini,
pikirnya. Bagi Lugasi siapapun dia, tidak penting, tetapi tingkah prajurit
pemerintah yang seenaknya itu telah membakar rasa bencinya terhadap orang
pemerintah dan pasukannya, yang sudah sejak lama mengendap di hatinya.
“Apa hakmu mengusir aku dari sini, ha..!" bentak
Lugasi.
“Kurang ajar, Anak Setan! Beraninya kau menentang
kami petugas pemerintah dan penguasa wilayah ini!” bentak seorang prajurit.
“Petugas taik kucing! Beraninya hanya kepada
rakyat jelata! Kalian tak ubahnya dengan anjing penjilat para penguasa rakus!”
jawab Lugasi memaki seenaknya.
“Setan alas! Cepat singkirkan dia sebelum pangeran
muda tiba disini!” perintahnya kepada prajurit yang lain.
Dari jauh terlihat kepulan debu membubung
mengikuti derap kuda. Rupanya rombongan orang yang disebut pangeran muda sudah
akan segera lewat. Dengan santainya Lugasi tetap duduk bersandar di pohonnya.
Ke empat prajurit itu berlompatan dan tanpa bicara lagi segera menyerang dengan
ganas. Tetapi tanpa mereka sadari kapak Lugasi telah melayang dan membabat
tangan kanan mereka masing-masing. Mereka terhuyung-huyung sambil memegang sisa
lengan yang telah buntung, dan akhirnya terkapar jatuh.
Tak lama kemudian tiba rombongan induk di tempat
itu. Pangeran muda yang tak lain adalah Jaira, memandang marah kepada Lugasi
yang tetap santai duduk bersandar itu. Sementara itu sebagian prajuritnya
bergegas menolong rekan-rekannya yang terluka.
“He, apa yang kau lalukan terhadap prajuritku?”
hardiknya.
“Kau bicara dengan aku?” jawab Lugasi enteng.
“Kurang ajar! Beraninya kau menjawab aku hah?!”
bentak Jaira.
Lugasi tersenyum-senyum mendengar kata-kata itu.
“He, aku bertanya, apa yang terjadi dengan
prajuritku?!”
Lugasi tetap tersenyum dan diam saja. Ia malah
menggigit-gigit batang rumput yang dicabutnya.
“Anak setan! Jawab pertanyaanku! Kalau tidak, akan
kuhajar kau!”
“Pangeran goblog dan pikun. Barusan kau bilang aku
tidak boleh menjawab, sekarang ngomel kayak nenek-nenek kehilangan susur minta
aku menjawab. Pikun, dasar pikun! Hihi.hi,” ejek Lugasi.
Jaira merasa jengkel dihina begitu.
“Anak-anak! Habisi setan ini. Jangan kasih ampun!”
perintahnya.
Lugasi segera melompat berdiri, dan tahu-tahu dua
orang prajurit terdepan yang mulai bergerak menyerang telah terhuyung-huyung
sambil memegang tangannya yang buntung.
“Brenti!” teriak
Lugasi kepada prajurit lain.
Sontak mereka berhenti saat melihat dua rekannya
tiba-tiba terluka. Mereka hanya sempat melihat sekejap kapak pendek anak muda
itu melayang dan kembali ke pemiliknya.
“Sudah pikun, banci pula! Beraninya main keroyok.
Seperti ini mau jadi Adipati? Hihi..hi! Dengar! Kuberi kau kesempatan
menunjukkan kepada prajuritmu kau bukan banci! Kalau kau berani?” ejek Lugasi.
“Anak Setan! Kau pikir aku takut ha! Sebut namamu
sebelum kau kucincang dengan pedangku ini!” hardik Jaira.
“Bagus! Kau baru saja menyebut namaku. Sekarang kita
akan perang tanding. Dengan begitu kalau kau kalah, kuberi kesempatan anak
buahmu tetap hidup supaya bisa menggotongmu pulang ke kandangmu. Kalau aku
kalah, terserah kau!” jawab Lugasi.
Dulatah, prajurit iseng yang ikut juga dalam
rombongan Jaira, merasa lega mendengar kata-kata Lugasi itu. Ia merasa ngeri
bila harus bertempur dengan anak muda aneh ini. Ia belum ingin mati, atau
buntung tangannya. Apalagi belum pernah merasakan sebagai pengantin (apa hubungannya?).
Lugasi berjalan ke tengah jalan itu dan bersiap
untuk berduel. Jaira pun segera melompat turun dari kudanya dan menuju tempat
itu. Keduanya memasang kuda-kuda dan menyiapkan serangan dengan jurus masing-masing.
Pedang Jaira berkilauan ditimpa sinar matahari, sedangkan kapak Lugasi
bergerak-gerak bagai ular kobra. Dengan hati-hati Jaira bergerak mendekati
Lugasi. Ia tahu kecepatan terbang kapak itu sangat berbahaya. Ia memutuskan akan
bertarung secara rapat dan cepat sehingga lawannya tidak memiliki kesempatan
melontarkan kapak anehnya.
Tiba-tiba Jaira bergerak cepat meyerang Lugasi.
Gerakan pedangnya mematuk-matuk dengan cepat. Melihat gerakan lawannya yang sangat
cepat Lugasi tidak ingin mengambil resiko dengan berkelit atau menangkis atau
melentingkan tubuhnya karena lawan akan memiliki kesempatan menyerang sebelum
ia sempat menyerang. Ia memutuskan untuk menghindar dengan cara menggelinding
ke belakang baru kemudian melenting. Saat melenting itu ia melayangkan kapaknya
untuk menghentikan gerakan maju Jaira saat ia mendarat. Jaira terpaksa menahan
langkahnya menghindari serangan kapak terbang itu, namun segera menyerang
begitu kapak mampu kembali kepemiliknya. Lugasi pun harus melakukan gerakan
yang sama untuk menghindari serangan pedang Jaira. Dengan pola seperti itu,
jaira tahu kalau lawannya tidak punya kesempatan menyerang, hanya bisa bertahan
dan terdesak. Dia terus menyerang dan semakin gencar. Lugasi pun terus
menggelinding mundur dan melenting.
Tanpa disadarinya mereka telah meninggalkan jalur
jalan itu dan sekarang berada di lereng bukit. Jaira gembira karena di belakang
musuhnya itu ada tebing yang bisa menghalanginya untuk menghindar. Kini saatnya ia bisa menghabisi
anak kurang ajar ini.
Ketika Jaira menyerang, kali ini Lugasi tidak
menggelinding ke belakang karena adanya lereng itu, melainkan melenting ke
belakang dan hinggap di sisi yang lebih tinggi. Jaira mengejarnya tetapi tidak
cukup cepat untuk bisa menyerang karena harus mendaki sementara Lugasi sudah
bertengger di bagian yang lebih atas. Ketika Jaira tiba dan menyerangnya,
dengan mudah ia menghindar lalu menggelinding ke bawah. Jaira pun mengejarnya.
Begitu ia menyerang lagi, Lugasi melenting keatas seperti sebelumnya lalu
menngelinding kebawah saat diserang lagi. Begitu dilakukannya berulang-ulang.
Gerakan memburu naik turun lereng itu tentu sangat melelahkan bagi Jaira, sedangkan bagi Lugasi hanya melenting keatas
yang memerlukan sedikit tenaga dan saat bergulung ke bawah ia bisa menghemat
tenaga.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Jaira sudah
terlihat terengah-engah dan Lugasi pun berpura-pura terengah-engah juga. Ini
membuat Jaira penasaran dan memburunya lagi keatas. Namun kali ini dia disambut
dengan sebuah tendangan keras dari Lugasi sehingga membuat Jaira berguling
menggelinding ke bawah. Lugasi menyusul dengan menggelinding juga dan sebelum
bisa bangun ia sudah mendapat tendangan berikutnya yang membuatnya bergulingan
lagi. Begitu seterusnya hingga mereka tiba kembali di arena semula. Jaira sudah
merasa pusing, mual, kesakitan dan kelelahan saat kaki kanan Lugasi dengan
seenaknya menekan punggungnya sehingga memaksanya mencium tanah.
Muka jaira pucat pasi. Matanya nanar.
“Nah, kalian lihat! Aku baru saja melatih pangeran
kalian ilmu menggelindingkan tubuh. Sekarang dia kelelahan. Bawa dia pulang ke
kandang kalian dan suruh dia berlatih dengan rajin agar tidak pusing dan mual
seperti sekarang. Kalian dengar?!” teriak Lugasi.
“Ya, kami mendengar.” jawab Tangka, tangan kanan
Jaira.
“Beri hormat dan bilang terimakasih. Dan
tinggalkan bekal untuk makan malamku!” perintahnya.
Tangka dan para prajurit itu memberi hormat a la
perajurit.
“Terimakasih tuan!” kata mereka serempak.
“Ya, terima kasih kembali. Hihi..hi!” jawabnya
geli.
“Satu lagi! kata Lugasi. “Mulai sekarang kalian
tidak boleh berbuat semena-mena kepada rakyat kecil. Kalau sampai aku dengar,
kalian takkan kuberi hidup seperti sekarang. Ingat itu!” katanya tegas.
“Ya, kami mengerti!” jawab mereka.
Dengan seenaknya ia menjejakkan kakinya ke tubuh
Jaira hingga terguling ke arah para prajuritnya.
“Dudukkan dia bersila menghadap kepadaku!”
perintah Lugasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.