Sementara tugas sulit memindahkan kincir raksasa itu
baru berjalan delapan belas hari, santri petugas
logistik melaporkan kalau bahan pangan yang dikirim oleh pedagang beras selama
ini telah dirampok oleh segerombolan orang.
“Dimanakah mereka dirampok?” tanya Andragi.
“Di tengah jalan di hutan kecil antara Poruteng
dan Kenteng,” jawab santri itu.
Andragi lalu meminta Brewok dan beberapa orang
santri pergi ke Poruteng memberitahu pedagang beras itu agar untuk sementara waktu
menghentikan dulu pengirimannya sambil menunggu hasil penyelidikan mereka tentang
para perampok itu. Setelah mengetahui kekuatannya, barulah mereka akan
merencanakan menangkap para pengacau itu.
Dari pengantar beras yang dirampok, mereka
mendapat penjelasan jumlah perampok sebanyak tujuh orang sementara mereka hanya
berempat dan tidak memiliki ilmu bela diri.
“Kalau begitu, kita akan coba memancing mereka.
Kalian membawa beras seperti biasa. Kami akan mengawalnya dari jarak tidak
jauh. Jika mereka terlihat menghadang, segera tinggalkan beras itu dan kabur.
Jangan melawan. Biar kami mencoba mengukur kemampuan mereka,” kata Brewok.
Meskipun merasa agak takut, mereka didesak untuk
melakukannya dengan memberi imbalan khusus. Mereka pun akhirnya mau. Esoknya seperti
biasa, pagi-pagi mereka berangkat dari Poruteng. Tetapi hingga mereka tiba di
Batutok tidak ada perampok yang menghadang mereka. Hal itu segera mereka
laporkan kepada Andragi dan kawan-kawan.
“Mungkin mereka memang tidak melakukannya setiap
hari,” duga Paldrino.
“Kalau memang begitu, pengirimannya kita lakukan
secara acak, tidak teratur. Setiap kali berubah-ubah,” kata Andragi.
Kepada para pengantar beras ia mengatakan untuk
mengantar lagi empat hari dari hari itu. Kalau dihadang, mereka diminta untuk
tidak melawan tetapi tetap harus memberi tahu mereka. Para pengantar itu
menyanggupinya lalu pamit pulang.
Ternyata pada hari yang telah ditentukan itu
mereka dirampok lagi. Setelah lari meninggalkan bawaannya kepada para perampok
itu, mereka datang melapor.
“Mungkin kita sedang apes saja. Coba antar lagi enam
hari dari sekarang,” kata Andragi.
Ternyata kejadian serupa terulang lagi. Para
pengantar itu menjadi tidak enak hati karena bisa dicurigai mereka hanya
bersandiwara soal perampokan itu. Tetapi Andragi tetap berpikir positif
terhadap mereka.
“Kalau begitu, setiap pengiriman memang harus
dikawal. Sobat Brewok, Loyo dan beberapa
santri akan melakukannya seperti dulu. Kali ini lima hari dari sekarang kita
coba lagi,” kata Andragi.
Seperti direncanakan, Brewok, Loyo dan lima orang
santri berangkat ke Poruteng siang sebelum hari kelima itu. Esoknya mereka
berencana mengawal para pengantar beras. Dengan jumlah orang yang sama, mereka
memperkirakan bisa mengalahkan para perampok yang tampaknya tidak terlalu
berbahaya. Buktinya, saat mengawal dulu para perampok itu tidak berani
menampakkan batang hidung mereka. Kenyataan ini membuat hati para pengantar
menjadi lebih tenang.
Pagi hari yang kelima itu mereka segera bersiap dan
berangkat setelah sarapan. Jauh setelah meninggalkan Poruteng, mendekati hutan
kecil itu para pengantar terlihat tegang. Mereka mengatakan di tempat itulah
mereka biasanya dirampok. Brewok dan kawan-kawan meningkatkan kewaspadaan
mereka saat memasuki hutan kecil itu. Semuanya tampak sunyi. Hanya bunyi
langkah kaki mereka yang terdengar.
Tetapi, tiba-tiba...
Dari balik semak dan pepohonan di kiri kanan jalan
di depan mereka, berlompatan segerombolan orang sambil menghunus parang dan
senjata tajam lainnya. Jumlah mereka bukan tujuh orang melainkan lima belas
orang.
“Brenti!!!... Tinggalkan barang kalian kalau mau
selamat!” bentak pemimpin perampok itu.
Para pengantar segera melepaskan bawaan mereka dan
lari menyelamatkan diri, sementara Brewok dan kawan-kawannya tetap bertahan.
Mereka hendak mencoba mengetahui kekuatan lawannya, tetapi jika tidak mampu
mereka harus menyelamatkan diri. Memang dianjurkan untuk tidak perlu membuang
nyawa untuk membela satu atau dua karung beras.
“Heh perampok busuk! Tidak tahukah siapa yang
kalian hadapi ini?!!” gertak Brewok sambil melotot seram.
Sebagai seorang pengembara dan bekas kepala tukang
pukul, nyali Brewok memang sangat tinggi. Ia tidak kenal takut.
“Peduli setan!! Ayo kawan-kawan Serbuuu! Cincang
mereka!! perintah pemimpin perampok.
Tak ada pilihan lain. Brewok, Loyo dan para santri
segera meladeni serbuan itu. Mereka membentuk formasi berbaris agar bisa
menghadapi secara bersama jumlah lawan mereka yang dua kali lebih banyak itu.
Suara dentingan senjata tajam beradu segera terdengar nyaring di tempat yang
sunyi itu. Meski lawan mereka tidak memiliki ilmu bela diri yang istimewa,
tetapi jumlah mereka yang lebih banyak serta cara menyerang yang sangat brutal
membuat Brewok dan kawan-kawan tidak mudah melumpuhkan mereka. Cara mereka
menyerang seperti orang kesetanan memperebutkan harta karun yang tak ternilai
harganya. Dilain pihak, Brewok dan kawan-kawan tidak bermaksud memaksakan diri
mengalahkan dengan membunuh mereka. Mereka tahu Andragi tidak suka korban jiwa
berjatuhan. Sedapat mungkin mereka bisa dilumpuhkan tanpa membunuh. Oleh karena
itu mereka hanya mencoba mendesak para
perampok itu mundur. Tetapi ternyata tidak mudah. Karena itu mereka mulai
menggencarkan serangan mereka. Pertempuran itu pun menjadi semakin seru.
“Ayo kawan-kawan! Sikat mereka!! Jangan kasih
ampun!!” teriak pemimpin perampok.
Sementara itu....
Beberapa puluh meter dari sana, seseorang sedang
berjalan sendiri sambil pikirannya melamun membayangkan pertemuan dengan
sobat-sobat lamanya yang sangat ia rindukan. Ternyata tidak lain tidak bukan
seorang anak muda belia gemuk pendek yang bernama... Lugasi yang lebih dikenal
dengan sebutan si Anak Setan.
“Heh, suara senjata beradu! Sialan benar, siapa
pula yang mengganggu lamunan indahku ini?! Coba kulihat,” katanya kepada diri
sendiri.
Ia lalu menggelinding cepat dan melenting ke
sebuah dahan pohon yang tinggi. Beberapa belas meter di depannya ia melihat
pertempuran yang seru dan brutal itu.
“Hei, bukankah itu sobat Loyo dan Brewok? Mereka
bertempur dengan siapa? Oh..., sepertinya mereka dikeroyok oleh orang-orang
yang menghadap kemari,” katanya sendiri.
Diam-diam ia melenting turun dan mengambil jalan
berputar lalu tiba-tiba muncul di belakang para perampok itu. Dengan tenang ia berjongkok
mencangklong di tengah jalan sambil seakan-akan tangannya bermain-main dengan
tanah.
“Hehehe!! Asyik juga menonton pertempuran ini!”
katanya keras-keras untuk menarik perhatian.
Pemimpin perampok itu menoleh dan melihat seorang
anak muda yang dianggapnya tidak berbahaya.
“Sobat Loyo
dan Brewok!! Apa kalian perlu bantuan, atau sebaiknya saya menonton saja?! Asyik
nih!! teriaknya.
“Heii, sobat Lugasi rupaya! Selamat datang!
Silakan bantu biar cepat selesai urusan ini!” jawab Loyo senang.
“Ah, sepertinya kalian tidak memerlukan bantuan.
Kecoak-kecoak ini sudah mulai terdesak, kok!?” jawab Lugasi memancing kemarahan
para perampok.
Pemimpin perampok itu geram bukan main melihat
ulah anak muda ingusan itu menghinanya. Dengan beringas ia melompat menyerang
Lugasi yang tampak santai jongkok mencangklong. Pedangnya lurus kedepan siap
membabat kepala anak muda yang berlagu itu. Tanpa disadari oleh kepala perampok
itu, Lugasi dengan cepat melenting ke udara sambil melontarkan kapaknya yang
bisa bergerak bak bumerang itu. Tiba-tiba, terdengar lengkingan keras dari
pemimpin perampok itu sambil memegang sisa lengan kanannya yang sekarang sudah
terputus, mengucurkan darah. Sementara potongan tangan sebatas siku tergeletak
di tanah sambil masih memegang erat pedang.
“Ahhhhch!!” teriak pemimpin perampok itu
sempoyongan.
Ia terhuyung sejenak dan akhirnya jatuh mendeprok
di tanah. Perampok yang lain, demi melihat pemimpin mereka rubuh begitu cepat, terkejut setengah mati dan
segera memutar badan hendak melarikan diri.
“Berhenti!! Atau kalian akan bernasib sama!”
bentak Lugasi sambil melontarkan kapak bumerangnya.
Benda itu melayang persis di depan hidung dua
perampok yang paling dahulu melarikan diri. Kedua orang itu berdiri kaku
ketakutan. Yang lain pun secara mudah segera dilumpuhkan oleh Brewok dan
kawan-kawannya. Dua orang santri bergegas mencari tanaman rambat yang liat guna
mengikat para perampok yang sekarang diperintahkan tidur tertelungkup sambil
tangan mereka melipat ke belakang. Setelah diikat mereka disuruh duduk,
sementara pemimpin mereka dirawat oleh dua orang santri.
“Selamat berjumpa kembali sobat Brewok dan Loyo.
Juga kepada teman-teman anda itu. Apa khabar semuanya?” tanya Lugasi
mendahului.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.