Pertempuran Malam Dengan Api

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #91 )

Sementara itu Jaira menugaskan Tangka secara diam-diam membentuk pasukan khusus untuk menyerang perbekalan dan memancing pasukan lawan. Mereka tidak memakai seragam prajurit melainkan pakaian rakyat biasa.

Dua hari kemudian pasukan Megalung dan Gurada memasuki di wilayah Rajapurwa dan mulai mendekati lembah di kaki gunung Kembar. Pasukan penyerang ini berjumlah 700 orang dari Megalung dan 800 orang dari Gurada. Jumlah ini terbilang sangat besar jika dibandingkan dengan pasukan ‘perampok’ Gunung Kembar yang hanya sejumlah 300 orang.

Pasukan Megalung dipimpin oleh Kompra, sedangkan pasukan Gurada dipimpin oleh Komandan Libasa. Di dalam iring-iringan itu, diantara kedua pasukan terdapat beberapa kereta perbekalan dan peralatan perang dengan pasukan oengawal perbekalan tersendiri.

Iring-iringan pasukan tentara itu terlihat garang ketika melintasi desa-desa. Banyak warga yang memilih menutup pintu rumah mereka saat pasukan itu lewat. Ini berbeda dengan biasanya. Rakyat umumnya mengelu-elukan pasukan yang berangkat berperang guna memberi semangat dan doa agar menang dalam medan perang, tapi disini justru tidak tampak rakyat di pinggir jalan.

“Ah,.. mungkin karena kita bukan pasukan Rajapurwa,..” hibur Kompra dalam hati.

Berbeda dengan Kompra, Komandan Libasa menduga karena rakyat biasa ditindas oleh prajurit pemerintah sehingga mereka takut keluar rumah.

Satu dua orang memang terlihat menonton tapi dari jarak agak jauh, sekitar sepelemparan tombak.

“He kau berdua,..kesini,!!” teriak Kompra kepada dua orang yang menonton dari jauh.

“Antarkan pasukan perbekalan itu ketempat yang dekat dengan air,..!!” perintahnya.

Dengan ketakutan kedua orang itu berjalan menuntun pasukan perbekalan. Mereka lalu berbelok menyerong ke kiri menuju padang yang dekat dengan sebuah kali yang tidak terlalu besar. Disanalah pasukan perbekalan itu mendirikan tenda dan menurunkan perbekalan dan perlengkapan perang. Kedua orang itu dipaksa untuk membantu.

Adapun pasukan Megalung dan Gurada tetap berjalan ke depan di padang terbuka menuju ke arah markas Gunung Kembar yang tinggal berjarak sekitar lima kilo meter. Mereka berjalan dengan gagah dan penuh kepercayaan diri karena tahu kekuatan mereka jauh lebih besar dibanding para ‘perampok’ Gunung Kembar.

Pada saat itu sebenarnya di depan pasukan pemerintah itu, berjarak sekitar 500 meter, bersembunyi pasukan Rajapurwa yang dipimpin oleh Tangka. Jumlah mereka hanya sekitar 300 orang. Alang-alang yang tinggi dan tanaman perdu membantu mereka dari penglihatan pasukan Megalung maupun Gurada.

“Bagaimana ini pak, kalau musuh berjalan terus kemari,..??” tanya Dulatah.

“Suruh semua mundur dengan hati-hati ,.. Jangan sampai terlihat gerakan kita,..!!”

Dulatah segera memberi aba-aba dan meneruskan perintah itu secara berantai. Mereka pun lalu mundur dengan hati-hati tanpa menggerakkan alang-alang dan dedaunan. Bagaimanapun gerakan mundur ini terbilang lambat dibanding gerak maju pasukan penyerang. Jarak yang 500 meter itu menjadi semakin pendek dan pendek. Kini jarak itu tinggal 400 meter.

Semua orang di pasukan Tangka menjadi gelisah karena jarak yang semakin memendek itu. Kini jarak mereka tinggal 350 meter, dan mereka akan segera diketahui dan akan dilibas habis.

“Brentiii,..!” bisik Tangka.

“Siapkan api,..!! perintahnya.

Pasukan itu berhenti dan bersiap menyalakan api dengan batu pemantik. Tangka rupanya memutuskan untuk membakar ilalang  yang memisahkan mereka dengan pasukan penyerang. Kini jarak mereka tinggal 300 meter lagi.

Semua anggota pasukan memandang tajam ke arah Tangka menunggu aba-aba membakar. Tangan Tangka sudah mengangkat keatas bersiap untuk mengayunkan kebawah ketika terdengar teriakan di pasukan penyerang untuk berhenti. Pelan-pelan diturunkannya tangannya membatalkan perintah sebelumnya dan memberi aba-aba untuk mundur lagi pelan-pelan.

Sambil bernapas lega pasukan Tangka melangkah mundur hingga jarak mereka kembali terpisah sekitar 500 meter.

Rupanya karena hari sudah sore menjelang petang, pasukan penyerang memutuskan untuk berhenti dan membangun perkemahan disitu, ketika jarak hanya mereka sebenarnya tinggal 300 meter dengan pasukan Tangka.

Pasukan penyerang segera sibuk membuat tenda dan kemah, ada yang bertugas memasak serta ada yang ditugaskan menjaga. Semua bekerja dengan sigap karena ingin segera beristirahat menghilangkan lelah yang mendera tubuh mereka karena perjalanan yang jauh. Hari segera menjadi gelap dengan datangnya malam.

Jarak pasukan itu sendiri sekitar satu kilo meter dengan pasukan perbekalan mereka yang berkemah di dekat kali..

Tanpa mereka sadari semua kegiatan pasukan pemerintah itu dengan mudah dipantau oleh Lugasi, Jotiwo dan Gadamuk dari menara pantau di markas Gunung Kembar melalui teropong yang dipinjamkan oleh Andragi.

“Wah,.. hampir saja saja,.. untung mereka berhenti,..” kata Gadamuk.

“Ya,..Malam ini kita buat mereka tidak bisa beristirahat,..” kata Jotiwo.

“Ya,... angin malam dari gunung akan membantu kita,..” kata Gadamuk.

“Tampaknya teman-teman sudah berada di posisi masing-masing,..” kata Lugasi.

Ketika malam telah tiba Prawa, Pratur dan Prati masing dengan membawa 50 orang diam-diam dengan sigap turun ke bawah guna membantu pasukan Tangka yang sedang bersembunyi.

Di sisi lain Lugasi juga turun gunung untuk membantu ‘pasukan warga’ yang dipimpin Warapur. ‘Pasukan warga’ ini sudah bersembunyi dibalik hutan yang dekat dengan kemah pasukan perbekalan musuh. Itulah sebabnya kenapa kedua orang warga yang dipaksa menunjukkan tempat yang dekat air untuk pasukan perbekalan membawa pasukan itu kesini.

Dengan lincahnya Lugasi melenting dan menggelinding sehingga dengan tidak terlalu lama dia sudah sampai di balik hutan itu.

“Selamat malam sobat,..” sapanya.

“Selamat malam sobat Aset. Semuanya sudah siap,..” lapor Warapur.

“Bagus,.. kita tinggal menunggu waktu yang tepat,..” kata Lugasi yang di Rajapurwa dipanggil Aset.

“Apa kira-kira yang dilakukan oleh kedua orang kita di kemah perbekalan itu,..??” tanya Lugasi.

“Semoga mereka bisa menjalankan apa yang sudah kita rencanakan,..” jawab Warapur.

Apakah sesungguhnya yang terjadi dengan kedua warga itu?

Sesampai di tempat yang mereka tunjukkan, kedua warga itu dipaksa untuk membantu menurunkan barang, membuat tenda, memasak dan melayani pasukan perbekalan yang berjumlah seratus orang. Tidak jarang mereka mendapat bentakan dan tendangan kalau mereka dianggap tidak becus atau kurang cepat.

“He,. Petani goblog,..!! Cepat buat wedang jahe itu dan bawa kemari,..” kata seorang prajurit.

Diam-diam kedua orang itu berusaha memasukkan sedikit obat bubuk yang membuat mengantuk orang yang meminumnya. Pekerjaan ini mereka lakukan dengan sangat hati-hati dengan cara mengalihkan perhatian prajurit. Yang seorang pura-pura menumpahkan sebatok beras yang akan dimasaknya dan terlihat oleh seorang prajurit.

“Dasar orang dungu,..!! bentaknya.

“BUUK,..!!” sebuah tendangan ke pantatnya membuat ia terjerembab.

“Bersihkan beras itu,  makan sisanya,..!!” kata prajurit lain sambil menekan kepala warga itu hingga mulutnya penuh dengan beras bercampur tanah.

Semua orang melihat adegan itu sambil mengumpat. Kesempatan itu digunakan oleh temannya untuk memasukkan bubuk obat tidur ke dalam wedang jahe yang sedang dimasaknya. Setelah itu mereka membagikan minuman itu kepada semua prajurit perbekalan. Selesai dengan urusan wedang jahe, mereka sibuk dengan memasak nasi dan lauk untuk makan malam.

Pasukan perbekalan yang minum wedang jahe tidak langsung merasakan akibat dari obat tidur itu karena pengaruhnya memang tidak cepat. Bubuk yang dipakai juga tidak terlalu banyak agar tidak segera dicurigai. Para prajurit itu hanya merasa lelah dan ingin beristirahat.

Di tempat lain Tangka dengan sabar menunggu kedatangan pasukan Gunung Kembar yang dipimpin oleh Prawa, Pratur dan Prati. Sekitar jam 8 malam pasukan yang ditunggu datang secara diam-diam.

“Apakah semua sudah disini,..??” tanya Tangka.

“Sudah,..” jawab Prawa.

“Mari kita mulai,.. “ kata Tangka.

Mereka lalu membuat pasukan itu menebar berbaris memanjang. Setiap orang berjarak sekitar 5 meter sehingga barisan itu membentuk garis sepanjang 2 kilo meter lebih. Begitu semuanya siap, dengan pesan berantai mereka mulai membakar ilalang dan dedaunan kering. Api dengan segera membesar dan menebar panjang.

Begitu melihat api yang mulai berkobar-kobar pasukan Megalung dan Gurada yang baru saja makan malam dan sedang hendak beristirahat sontak terbangun berdiri lalu melapor kepada komandan masing-masing. Terjadi sedikit kepanikan disana.

“Kita diserang komandan. Mereka membakar padang ilalang ini,..!!”

“Cepat siapkan pasukan masing-masing, kita maju menyerang mereka,..!!” perintah Kompra.

Begitu pula yang terjadi di perkemahan pasukan Gurada. Komandan Libasa dengan tegas menyiapkan pasukannya untuk maju menyerang.

“Tidak bisa komandan,... anginnya kesini,..api merambat kesini dengan cepat,..” lapor seorang pimpinan pasukan.

Angin yang turun dari arah gunung menuju lembah dengan cepat membawa api merambat ke arah pasukan Megalung dan Gurada.

“Cari bagian yang tidak terbakar, serang mereka dari sana,..!!” perintah Kompra, diikuti dengan perintah yang sama dari komandan Libasa.

Berebutan pasukan itu mencari bagian-bagian yang tidak terbakar dan bersesakan disana untuk menyerang tapi tidak bisa maju karena tanah didepan mereka masih panas dan membara.

Melihat pasukan musuh bersesakan di tempat-tempat yang tidak terbakar tapi terlihat jelas terkena cahaya api, Tangka memerintahkan pasukannya menyerang dengan panah. Demikian juga Prawa, Pratur dan Prati. Mereka menyerang dengan panah pasukan musuh yang sibuk menghindari api dan bersesakan di ‘pulau-pulau’ yang tidak terbakar.

Kalang kabut pasukan Megalung dan Gurada yang terjebak di bagian-bagian yang tidak terbakar itu yang membentuk seperti pulau-pulau. Mereka tidak bisa membalas karena tidak tahu musuh berada dimana lagi pula asap membuat mereka sesak napas dan mata perih.

Satu persatu pasukan di pulau-pulau itu berjatuhan terkena panah dan sebagian mati lemas oleh asap.  Melihat hal itu Kompra dan Libasa memerintahkan mereka mundur menjauh dari api, meninggalkan teman-teman mereka yang terjebak di pulau-pulau itu.

Di bagian lain, Lugasi yang melihat kebakaran hebat dan kepanikan di kemah tentara Megalung dan Gurada segera memerintahkan ‘pasukan warga’ pimpinan Warapur menyerang kemah perbekalan.

“Ambil sebagian dari perbekalan mereka dan pisahkan. Selebihnya campurkan dengan bubuk obat ini. Yang lain mengambil persedian anak panah mereka sebanyak mungkin. Kita memerlukannya,..!!” perintak Lugasi.

Penyerbuan di kemah perbekalan itu tidak mengalami kesulitan yang berarti karena para prajurit yang mengawalnya sudah teler berat. Mereka ingin bangun tapi justru malah jatuh tertidur. Kejadian itu terlihat sebagai mimpi buruk saja bagi para prajurit itu.

Dengan leluasa ‘pasukan warga’ menyisihkan perbekalan yang akan mereka ambil dan sebagian mencampur bubuk ‘obat lemah’ di perbekalan yang tidak mereka bawa. Obat ini akan membuat orang yang menyantapnya menyandi lemas kehilangan tenaga, berlawanan dengan ‘obat kuat’. Lugasi berjaga-jaga kalau-kalau ada prajurit lain yang datang.

Setelah semua dilakukan, mereka lalu membawa perbekalan yang sudah disisihkan kembali ke tempat persembunyian kemudian bergegas menuju tempat pertemuan dengan pasukan Tangka dan pasukan dari Gunung Kembar. Sebelum pergi Lugasi menotok di bagian tertentu pada badan prajurit perbekalan yang teridur untuk membuat mereka tidak bisa bangun dalam beberapa hari atau mengalami kelumpuhan sementara.

Ketika mereka sudah tiba di tempat itu belum terlihat kedua pasukan itu. Rupanya mereka masih sibuk menyerang pasukan Megalung dan Gurada yang mundur menghindari api. Lugasi menyusul untuk membantu. Dilihatnya kekacauan yang luar biasa di kedua pasukan musuh itu. Selain harus menghindari api dan asap, mereka juga harus menghindari panah yang seakan mengejar mereka.

“Saya kira sudah cukup,.. Mari kita kembali,..” kata Lugasi.

Mereka menarik diri menuju tempat pertemuan dengan “pasukan warga’. Dari sana Pasukan Tangka dengan hati-hati mundur kembali ke markas mereka. Sedangkan ‘pasukan warga’ pulang dengan membawa perbekalan yang didapat. Adapun pasukan Gunung Kembar kembali ke markas sambil membawa ratusan anak panah yang tadi dibawa oleh ‘pasukan warga’.

Malam itu pasukan Megalung dan Gurada tidak tidur sama sekali karena sibuk menghindari api dan asap. Begitu pagi tiba mereka terlihat tersebar di banyak ‘pulau-pulau’ yang tidak terbakar. Api itu padam sendiri ketika sampai di tepi kali atau ‘padang yang berbatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA