Sementara itu kita ikuti
perjalanan Rampoli,....
Setelah berpisah dengan Loyo dan Brewok di Megalung, Rampoli bergegas menuju Gurada. Hatinya merasa haru biru memikirkan apa yang bisa terjadi terhadap Minur dan emaknya. Di Megalung tadi sempat dia melihat kesibukan prajurit yang tidak biasa dan mendengar pembicaraan orang atas perampokan hadiah untuk Kepala Negeri dan pembunuhan oleh Juritma. Tentu suasana ini juga terjadi di Gurada.
Hari telah menjelang
tengah malam ketika dia sampai di Gurada. Dia langsung menuju rumah Minur,
berharap bisa bermalam disana. Tetapi didapatinya rumah itu gelap gulita. Tidak
ada tanda-tanda kehidupan disana. Dia tidak berani mengetuk karena akan
mengundang perhatian orang yang mendengarnya.
Dia memilih menuju ke
belakang rumah yang lebih gelap karena pepohonan dan menemukan pintu dapur yang
tidak terkunci rapat. Dengan sedikit memaksa pintu itu dibukanya. Keadaan di
dalam rumah itu gelap gulita. Setelah sedikit membiasakan diri dia memeriksa
ruang tamu dan kamar yang ada tetapi tak ditemui Minur atau emaknya disana.
Hatinya tercekat,..jangan-jangan mereka sudah ditangkap. Dia merasa bersalah
kepada kedua perempuan itu.
“Maafkan saya,...”
katanya dalam hati.
“Tetapi kelihatannya
semua rapi pada tempatnya, tidak ada
tanda-tanda kekerasan terjadi seperti kalau ada perlawanan jika terjadi
penangkapan. Semoga mereka tidak ditangkap,..” dia menghibur diri.
“Tapi kemana mereka,..??”
hatinya bertanya.
Dia lalu merebahkan diri
di amben bambu memikirkan kemana dia bisa menemukan Minur dan emaknya. Dia
jatuh tertidur dan terbangun karena mendengar percakapan orang di depan rumah
itu yang cukup keras.
“Yang mana rumah perempuan
yang namanya Minur,..!!??” tanya seseorang.
“Yang ini pak,... tapi
sudah beberapa hari ini sepi,..” jawab seorang wanita.
“Apa kamu kenal dia,..??”
tanya orang itu lagi.
“Saya tetangga
terdekatnya,..” jawab wanita.
“TOK..TOK..TOK..!!”
terdengar ketukan keras di pintu.
“Kemana mereka
pergi,..??” tanya laki-laki.
“Bapak bisa tanyakan ke
warung di ujung sana pak. Dia bekerja disama,..” jawab perempuan tetangga
Minur.
“GUBRAAAKK,..!!” pintu
rumah itu didobrak paksa.
Dua orang petugas Pamong
Negeri masuk dan memeriksa setiap sudut rumah dengan seksama, tapi tidak
menemukan apa-apa.
“He,.. pintu belakang
tidak terkunci,.!!” kata yang satu.
Dia lalu keluar dan
melongok kiri kanan mencoba melihat kalau-kalau ada yang baru melarikan diri.
Tapi tidak ada seorangpun yang tampak.
“Ayo kita ke warung
tempatnya bekerja,..!” ajak kawannya.
Diam-diam Rampoli sudah keluar
lewat pintu belakang saat terdengar ketukan tadi lalu jalan memutar menjauhi
rumah itu lalu bersembunyi di balik pepohonan.
“Piuhh,..!! Nyaris saja
tertangkap,..” ia membatin.
Melihat kedua petugas itu
sudah pergi, Rampoli dengan hati-hati berjalan menuju pasar tempat emaknya
Minur berjualan. Siapa tahu dia bisa menemukan mereka disana, atau mendengar
berita tentang mereka.
Pasar sudah ramai saat
dia tiba disana. Didatanginya tempat yang mungkin jadi lapak perempuan itu.
Tetapi tidak terlihat sama sekali emaknya Minur.
Rampoli lalu menyingkir
ke pinggir pasar dan bersandar ke
sebatang pohon peneduh sambil melihat-lihat ke dalam pasar.
“Hmmm, kalau aku tak
melihatnya mungkin karena dia menyamar seperti aku sekarang ini. Dia juga tidak
mengenalku dengan tampilanku seperti ini, ..” pikir Rampoli.
“Sebaiknya aku pakai
tanda yang disa dikenali hanya oleh Minur dan emaknya, hmmm ide bagus,..” dia
memuji gagasannya itu.
Dari balik bajunya dia
mengeluarkan sehelai kain seperti sapu tangan yang diberikan Minur kepadanya.
Diikatnya sapu tangan itu membelit pergelangan tangannya seperti perban yang
lebar sehingga motifnya terlihat jelas.
Tidak jauh dari tempat
itu duduk seorang pengemis setengah baya yang diam-diam mengamati ke segala
penjuru pasar sambil sesekali menghiba minta-minta.
Tiba-tiba matanya
tertumbuk pada orang yang berdiri tidak jauh darinya sedang melilitkan sepotong
kain di pergelangan tangannya. Ada sesuatu yang membuatnya teringat ....
“Itu seperti sapu tangan
Minur,..” pikirnya.
“Hmmm, tidak salah
lagi,..!!”
Ia melihat sapu tangan
Minur yang terlilit di pergelangan tangan laki-laki itu. Diam-diam diamatinya
dengan lebih teliti wajah orang itu dan yakinlah dia kalau orang itu tak lain
tak bukan adalah Rampoli.
Pelan-pelan dihampirinya
orang itu dan mencoleknya sambil berkata, “Kasihanilah saya tuan,...” kata
pengemis itu.
Rampoli menoleh dan
melihat pengemis itu mengedipkan mata sambil menjauh ke tempat yang agak sepi.
Dia lalu duduk disana dengan posisi siap mengemis.
Rampoli mendatanginya dan
mengulungkan sekeping uang receh.
“Minur ada bersama
saya,..” kata pengemis itu.
Ia lalu bangkit dan
pergi. Rampoli membiarkannya pergi beberapa saat lalu diam-diam mengikutinya
dalam jarak sekitar dua puluh meter. Dia terus mengikuti pengemis itu yang
berjalan melalui jalan yang berkelok-kelok, tidak beraturan, untuk memastikan
tidak ada yang mengikuti mereka. Akhirnya pengemis itu tiba di sebuah rumah
sederhana, mengetuknya dan masuk ke dalam.
Rampoli menunggu beberapa
saat dan setelah yakin tidak ada yang mengikutinya ia segera mengetuk pintu dan
masuk ke rumah sederhana itu.
Setelah pintu ditutup
Minur langsung menyerbu Rampoli, memeluknya dan menciumi lelaki pujaannya itu.
Ia menangis terisak-isak entah karena rindu. lega atau gembira.
Malam itu Rampoli tidur
di pondok sederhana itu melampiaskan kerinduannya dengan gadis manis yang
dicintainya itu. Setelah itu Minur didandani emaknya dengan penampilan berbeda.
Esok harinya selagi hari
masih gelap mereka pergi meninggalkan Gurada menuju Megalung. Tidak ada
kesulitan yang berarti berkat penyamaran mereka yang sempurna dan tidak menarik
perhatian.
Setibanya di Megalung
Rampoli berniat bermalam di penginapan dekat markas tentara, tetapi mereka
ditolak.
“Maaf, mulai sekarang
kami tidak menerima tamu karena seluruh kamar di penginapan ini akan dipakai
pimpinan tentara dari Gurada,..” kata pemilik penginapan.
Rampoli memutuskan
sebaiknya berangkat langsung ke Selonto dan bermalam di balai desa yang
dijumpai di jalan.
“Hmmm, ternyata pasukan
Megalung mendapat tambahan kekuatan dari pasukan Gurada,...tentu berat bagi
Gunung Kembar,..” pikir Rampoli.
Menjelang petang Rampoli
mengajak mereka bermalam di sebuah desa dan meminta ijin kepala desa untuk
menginap di balai desa. Kepala desa itu terheran-heran kenapa mereka tidak
bermalam saja di Megalung yang ada rumah penginapannya.
“Tidak ada tempat lagi,
karena akan dipakai oleh pasukan dari Gurada,..” jelas Rampoli.
“Ohh, rupanya akan
terjadi perang yang besar,..” kata kepala desa.
“Sebaiknya kalian tidur
di rumah saya saja, karena biasanya menjelang perang akan ada penjahat yang
mengail di air keruh, mencari kesempatan dalam kekisruhan,..” lanjut kepala
desa.
Dia tahu kalau dalam
perjalanan membawa wanita biasa, apalagi sudah tua tentu bukanlah penjahat.
Kalau toh berniat buruk tentu tidak menggunakan kekerasan. Sementara di dekat
rumahnya selalu ada penjaga dan peronda.
Rampoli dengan senang
hati menerima tawaran itu, dan mereka bermalam di pendopo rumah kepala desa.
Pagi-pagi sekali mereka sudah pamit dengan alasan mengejar keperluan yang
mendesak.
Menjelang siang mereka
sampai di penyeberangan sungai Priga tempat Satange dan kawan-kawannya mangkal
disana. Saat itu Satange sedang akan menyeberangkan dua orang, laki-laki dan
perempuan, saat dia melihat kedatangan Rampoli bertiga. Dan menyambutnya gembira.
“Selamat datang tuan,
mari langsung naik,..” katanya ramah.
Merekapun naik bersama
dua orang yang sudah lebih dahulu datang. Kedua orang itu seperti pedagang yang
membawa dagangan dalam pikulan dan bakul gendong.
“Kemarin baru saja tuan
Brewok dan tuan...”
“Loyo,..” sahut Rampoli.
“Iya tuan Loyo
menyeberang bersama keluarga mereka dan teman-temannya,..” lapor Satange.
“Oh, mereka sudah sampai
lebih dulu,..??” tanya Rampoli pura-pura tidak tahu. Padahal dia sudah bisa
memastikan kalau mereka akan sampai lebih dahulu.
“Rupanya tuan juga akan
pindah ke Selonto. Wah bakal jadi ramai Selonto,..” katanya sok tahu.
Rampoli hanya nyengir
kuda, tidak berkomentar.
Tiba di seberang sungai
kedua pedagang itu membayar lalu mengajak jalan bersama. Tapi Rampoli di cegah
oleh Satange.
“Sebentar tuan,... ada
oleh-oleh buat tuan,..” kata Satange.
Dia lalu meminta temannya
mengambil sesuatu dari dalam perahu, yang ternyata seikat ikan hasil tangkapan
mereka pagi tadi sambil menunggu penumpang. Ikan itu lalu dibersihkan untuk
dibakar dan disantap.
“Hanya ini yang bisa saya
berikan untuk membalas kebaikan tuan dan teman-teman,..” kata Satange.
“Lho saya belum berbuat
apa-apa, bayar ongkos menyeberang saja belum,..” protes Rampoli.
Mereka lalu duduk dibawah
sebatang pohon yang rindang. Sementara itu kedua pedagang laki-laki dan
perempuan itu telah pergi mendahului.
Sambil menunggu ikan
matang, berkali-kali Satange mengucapkan terima kasih apalagi telah dibekali
uang untuk mengadakan bahan membangun pondok penginapan. Dia sudah menyuruh
orang mencari kayu untuk tiang dan balok-balok.
“Wah, bagus itu. Saya
kira itu gagasan yang bagus karena kami akan memerlukannya jika kemalaman
disekitar sini,..” kata Rampoli.
Setelah ikan matang
mereka pun menyantapnya dengan ubi bakar. Habis makan Rampoli segera minta diri
dan membayar ongkos menyeberang.
“Lho, ini lebihmya banyak
tuan,..” kata Satange.
“Buat tambah-tambah beli
bahan untuk membuat pondok,..” jawab Rampoli.
Sepeninggal Rampoli
bertiga Satange berkata kepada temannya,
“He,.. mulai besok kita
selalu siapkan bahan makanan di perahu, jangan cuma ubi saja untuk teman-teman
kita yang baik hati itu,..” perintah Satange.
Rupanya dia benar-benar
terkesan akan kebaikan teman-teman barunya itu, apalagi setelah anaknya
disembuhkan oleh Andragi.
Perjalanan Rampoli
bertiga ke Selonto tidak menemui hambatan sama sekali. Tetapi ketika sampai di
Selonto dia melihat laki-laki dan perempuan yang bersama menyeberang berada di
pinggir pasar seperti menunggu seseorang. Mereka berdiri dan melihat-lihat ke
dalam pasar seakan mencari wajah yang bisa mereka kenali.
Karena curiga, Rampoli
datang menghampiri mereka.
“Maaf kisanak,...
sepertinya kisanak berdua sedang mencari seseorang di pasar ini,..??” tanyanya.
“Eh,.. iya. Kami berjanji
ketemu dipasar ini,..” jawab yang laki-laki agak gugup.
“Sebentar, tunggu disini
sebentar,..” katanya kepada Minur dan emaknya.
Ia lalu beranjak menuju
ke suatu sudut pasar dan ternyata disitu ada Balmis dan seorang bekas prajurit
yang ditugaskan oleh Andragi untuk menjemput teman-temannya.
Setelah menjelaskan
kecurigaannya, bertiga mereka mendatangi laki-laki dan perempuan yang seperti
pedagang itu.
“Satomi, kisanak,..” kata
bekas prajurit,
“Munare, kisanak,..”
jawab yang laki-laki.
Rupanya itu adalah sandi
mereka di kesatuan pengawal hadiah untuk Kepala Negeri.
“Anak buah siapa,..”
tanya bekas prajurit .
“Saya anak buah komandan
Pratur,..” jawab yang ditanya.
Mereka lalu mengatur diri
secara tidak mencolok berjalan menuju podok persianggahan di tepi hutan.
Setelah tiba disana barulah Rampoli memperkenalkan Minur dan emaknya. Mereka beristirahat
semalam disana kemudian esoknya berangkat ke markas Kasjur diatas bukit di
pinggang gunung Kalas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.