Rampoli Menyelamatkan Minur dan Emaknya

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #89 )

Sementara itu kita ikuti perjalanan Rampoli,....

Setelah berpisah dengan Loyo dan Brewok di Megalung, Rampoli bergegas menuju Gurada. Hatinya merasa haru biru memikirkan apa yang bisa terjadi terhadap Minur dan emaknya. Di Megalung tadi sempat dia melihat kesibukan prajurit yang tidak biasa dan mendengar pembicaraan orang atas perampokan hadiah untuk Kepala Negeri dan pembunuhan oleh Juritma. Tentu suasana ini juga terjadi di Gurada.

Hari telah menjelang tengah malam ketika dia sampai di Gurada. Dia langsung menuju rumah Minur, berharap bisa bermalam disana. Tetapi didapatinya rumah itu gelap gulita. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Dia tidak berani mengetuk karena akan mengundang perhatian orang yang mendengarnya.

Dia memilih menuju ke belakang rumah yang lebih gelap karena pepohonan dan menemukan pintu dapur yang tidak terkunci rapat. Dengan sedikit memaksa pintu itu dibukanya. Keadaan di dalam rumah itu gelap gulita. Setelah sedikit membiasakan diri dia memeriksa ruang tamu dan kamar yang ada tetapi tak ditemui Minur atau emaknya disana. Hatinya tercekat,..jangan-jangan mereka sudah ditangkap. Dia merasa bersalah kepada kedua perempuan itu.

“Maafkan saya,...” katanya dalam hati.

“Tetapi kelihatannya semua rapi pada tempatnya, tidak ada  tanda-tanda kekerasan terjadi seperti kalau ada perlawanan jika terjadi penangkapan. Semoga mereka tidak ditangkap,..” dia menghibur diri.

“Tapi kemana mereka,..??” hatinya bertanya.

Dia lalu merebahkan diri di amben bambu memikirkan kemana dia bisa menemukan Minur dan emaknya. Dia jatuh tertidur dan terbangun karena mendengar percakapan orang di depan rumah itu yang cukup keras.

“Yang mana rumah perempuan yang namanya Minur,..!!??” tanya seseorang.

“Yang ini pak,... tapi sudah beberapa hari ini sepi,..” jawab seorang wanita.

“Apa kamu kenal dia,..??” tanya orang itu lagi.

“Saya tetangga terdekatnya,..” jawab wanita.

“TOK..TOK..TOK..!!” terdengar ketukan keras di pintu.

“Kemana mereka pergi,..??” tanya laki-laki.

“Bapak bisa tanyakan ke warung di ujung sana pak. Dia bekerja disama,..” jawab perempuan tetangga Minur.

“GUBRAAAKK,..!!” pintu rumah itu didobrak paksa.

Dua orang petugas Pamong Negeri masuk dan memeriksa setiap sudut rumah dengan seksama, tapi tidak menemukan apa-apa.

“He,.. pintu belakang tidak terkunci,.!!” kata yang satu.

Dia lalu keluar dan melongok kiri kanan mencoba melihat kalau-kalau ada yang baru melarikan diri. Tapi tidak ada seorangpun yang tampak.

“Ayo kita ke warung tempatnya bekerja,..!” ajak kawannya.

Diam-diam Rampoli sudah keluar lewat pintu belakang saat terdengar ketukan tadi lalu jalan memutar menjauhi rumah itu lalu bersembunyi di balik pepohonan.

“Piuhh,..!! Nyaris saja tertangkap,..” ia membatin.

Melihat kedua petugas itu sudah pergi, Rampoli dengan hati-hati berjalan menuju pasar tempat emaknya Minur berjualan. Siapa tahu dia bisa menemukan mereka disana, atau mendengar berita tentang mereka.

Pasar sudah ramai saat dia tiba disana. Didatanginya tempat yang mungkin jadi lapak perempuan itu. Tetapi tidak terlihat sama sekali emaknya Minur.

Rampoli lalu menyingkir ke pinggir pasar  dan bersandar ke sebatang pohon peneduh sambil melihat-lihat ke dalam pasar.

“Hmmm, kalau aku tak melihatnya mungkin karena dia menyamar seperti aku sekarang ini. Dia juga tidak mengenalku dengan tampilanku seperti ini, ..” pikir Rampoli.

“Sebaiknya aku pakai tanda yang disa dikenali hanya oleh Minur dan emaknya, hmmm ide bagus,..” dia memuji gagasannya itu.

Dari balik bajunya dia mengeluarkan sehelai kain seperti sapu tangan yang diberikan Minur kepadanya. Diikatnya sapu tangan itu membelit pergelangan tangannya seperti perban yang lebar sehingga motifnya terlihat jelas.

Tidak jauh dari tempat itu duduk seorang pengemis setengah baya yang diam-diam mengamati ke segala penjuru pasar sambil sesekali menghiba minta-minta.

Tiba-tiba matanya tertumbuk pada orang yang berdiri tidak jauh darinya sedang melilitkan sepotong kain di pergelangan tangannya. Ada sesuatu yang membuatnya teringat ....

“Itu seperti sapu tangan Minur,..” pikirnya.

“Hmmm, tidak salah lagi,..!!”

Ia melihat sapu tangan Minur yang terlilit di pergelangan tangan laki-laki itu. Diam-diam diamatinya dengan lebih teliti wajah orang itu dan yakinlah dia kalau orang itu tak lain tak bukan adalah Rampoli.

Pelan-pelan dihampirinya orang itu dan mencoleknya sambil berkata, “Kasihanilah saya tuan,...” kata pengemis itu.

Rampoli menoleh dan melihat pengemis itu mengedipkan mata sambil menjauh ke tempat yang agak sepi. Dia lalu duduk disana dengan posisi siap mengemis.

Rampoli mendatanginya dan mengulungkan sekeping uang receh.

“Minur ada bersama saya,..” kata pengemis itu.

Ia lalu bangkit dan pergi. Rampoli membiarkannya pergi beberapa saat lalu diam-diam mengikutinya dalam jarak sekitar dua puluh meter. Dia terus mengikuti pengemis itu yang berjalan melalui jalan yang berkelok-kelok, tidak beraturan, untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Akhirnya pengemis itu tiba di sebuah rumah sederhana, mengetuknya dan masuk ke dalam.

Rampoli menunggu beberapa saat dan setelah yakin tidak ada yang mengikutinya ia segera mengetuk pintu dan masuk ke rumah sederhana itu.

Setelah pintu ditutup Minur langsung menyerbu Rampoli, memeluknya dan menciumi lelaki pujaannya itu. Ia menangis terisak-isak entah karena rindu. lega atau gembira.

Malam itu Rampoli tidur di pondok sederhana itu melampiaskan kerinduannya dengan gadis manis yang dicintainya itu. Setelah itu Minur didandani emaknya dengan penampilan berbeda.

Esok harinya selagi hari masih gelap mereka pergi meninggalkan Gurada menuju Megalung. Tidak ada kesulitan yang berarti berkat penyamaran mereka yang sempurna dan tidak menarik perhatian.

Setibanya di Megalung Rampoli berniat bermalam di penginapan dekat markas tentara, tetapi mereka ditolak.

“Maaf, mulai sekarang kami tidak menerima tamu karena seluruh kamar di penginapan ini akan dipakai pimpinan tentara dari Gurada,..” kata pemilik penginapan.

Rampoli memutuskan sebaiknya berangkat langsung ke Selonto dan bermalam di balai desa yang dijumpai di jalan.

“Hmmm, ternyata pasukan Megalung mendapat tambahan kekuatan dari pasukan Gurada,...tentu berat bagi Gunung Kembar,..” pikir Rampoli.

Menjelang petang Rampoli mengajak mereka bermalam di sebuah desa dan meminta ijin kepala desa untuk menginap di balai desa. Kepala desa itu terheran-heran kenapa mereka tidak bermalam saja di Megalung yang ada rumah penginapannya.

“Tidak ada tempat lagi, karena akan dipakai oleh pasukan dari Gurada,..” jelas Rampoli.

“Ohh, rupanya akan terjadi perang yang besar,..” kata kepala desa.

“Sebaiknya kalian tidur di rumah saya saja, karena biasanya menjelang perang akan ada penjahat yang mengail di air keruh, mencari kesempatan dalam kekisruhan,..” lanjut kepala desa.

Dia tahu kalau dalam perjalanan membawa wanita biasa, apalagi sudah tua tentu bukanlah penjahat. Kalau toh berniat buruk tentu tidak menggunakan kekerasan. Sementara di dekat rumahnya selalu ada penjaga dan peronda.

Rampoli dengan senang hati menerima tawaran itu, dan mereka bermalam di pendopo rumah kepala desa. Pagi-pagi sekali mereka sudah pamit dengan alasan mengejar keperluan yang mendesak.

Menjelang siang mereka sampai di penyeberangan sungai Priga tempat Satange dan kawan-kawannya mangkal disana. Saat itu Satange sedang akan menyeberangkan dua orang, laki-laki dan perempuan, saat dia melihat kedatangan Rampoli bertiga. Dan menyambutnya gembira.

“Selamat datang tuan, mari langsung naik,..” katanya ramah.

Merekapun naik bersama dua orang yang sudah lebih dahulu datang. Kedua orang itu seperti pedagang yang membawa dagangan dalam pikulan dan bakul gendong.

“Kemarin baru saja tuan Brewok dan tuan...”

“Loyo,..” sahut Rampoli.

“Iya tuan Loyo menyeberang bersama keluarga mereka dan teman-temannya,..” lapor Satange.

“Oh, mereka sudah sampai lebih dulu,..??” tanya Rampoli pura-pura tidak tahu. Padahal dia sudah bisa memastikan kalau mereka akan sampai lebih dahulu.

“Rupanya tuan juga akan pindah ke Selonto. Wah bakal jadi ramai Selonto,..” katanya sok tahu.

Rampoli hanya nyengir kuda, tidak berkomentar.

Tiba di seberang sungai kedua pedagang itu membayar lalu mengajak jalan bersama. Tapi Rampoli di cegah oleh Satange.

“Sebentar tuan,... ada oleh-oleh buat tuan,..” kata Satange.

Dia lalu meminta temannya mengambil sesuatu dari dalam perahu, yang ternyata seikat ikan hasil tangkapan mereka pagi tadi sambil menunggu penumpang. Ikan itu lalu dibersihkan untuk dibakar dan disantap.

“Hanya ini yang bisa saya berikan untuk membalas kebaikan tuan dan teman-teman,..” kata Satange.

“Lho saya belum berbuat apa-apa, bayar ongkos menyeberang saja belum,..” protes Rampoli.

Mereka lalu duduk dibawah sebatang pohon yang rindang. Sementara itu kedua pedagang laki-laki dan perempuan itu telah pergi mendahului.

Sambil menunggu ikan matang, berkali-kali Satange mengucapkan terima kasih apalagi telah dibekali uang untuk mengadakan bahan membangun pondok penginapan. Dia sudah menyuruh orang mencari kayu untuk tiang dan balok-balok.

“Wah, bagus itu. Saya kira itu gagasan yang bagus karena kami akan memerlukannya jika kemalaman disekitar sini,..” kata Rampoli.

Setelah ikan matang mereka pun menyantapnya dengan ubi bakar. Habis makan Rampoli segera minta diri dan membayar ongkos menyeberang.

“Lho, ini lebihmya banyak tuan,..” kata Satange.

“Buat tambah-tambah beli bahan untuk membuat pondok,..” jawab Rampoli.

Sepeninggal Rampoli bertiga Satange berkata kepada temannya,

“He,.. mulai besok kita selalu siapkan bahan makanan di perahu, jangan cuma ubi saja untuk teman-teman kita yang baik hati itu,..” perintah Satange.

Rupanya dia benar-benar terkesan akan kebaikan teman-teman barunya itu, apalagi setelah anaknya disembuhkan oleh Andragi.

Perjalanan Rampoli bertiga ke Selonto tidak menemui hambatan sama sekali. Tetapi ketika sampai di Selonto dia melihat laki-laki dan perempuan yang bersama menyeberang berada di pinggir pasar seperti menunggu seseorang. Mereka berdiri dan melihat-lihat ke dalam pasar seakan mencari wajah yang bisa mereka kenali.

Karena curiga, Rampoli datang menghampiri mereka.

“Maaf kisanak,... sepertinya kisanak berdua sedang mencari seseorang di pasar ini,..??” tanyanya.

“Eh,.. iya. Kami berjanji ketemu dipasar ini,..” jawab yang laki-laki agak gugup.

“Sebentar, tunggu disini sebentar,..” katanya kepada Minur dan emaknya.

Ia lalu beranjak menuju ke suatu sudut pasar dan ternyata disitu ada Balmis dan seorang bekas prajurit yang ditugaskan oleh Andragi untuk menjemput teman-temannya.

Setelah menjelaskan kecurigaannya, bertiga mereka mendatangi laki-laki dan perempuan yang seperti pedagang itu.

“Satomi, kisanak,..” kata bekas prajurit,

“Munare, kisanak,..” jawab yang laki-laki.

Rupanya itu adalah sandi mereka di kesatuan pengawal hadiah untuk Kepala Negeri.

“Anak buah siapa,..” tanya bekas prajurit .

“Saya anak buah komandan Pratur,..” jawab yang ditanya.

Mereka lalu mengatur diri secara tidak mencolok berjalan menuju podok persianggahan di tepi hutan. Setelah tiba disana barulah Rampoli memperkenalkan Minur dan emaknya. Mereka beristirahat semalam disana kemudian esoknya berangkat ke markas Kasjur diatas bukit di pinggang gunung Kalas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA