Setelah mendapat penjelasan dari Andragi dan
Paldrino, mereka segera berangkat. Para santri membagi diri untuk tugas-tugas
pematokan karena mereka lebih mengenali
daerah itu. Primasa memimpin para santri, sedangkan Dwisa membawa Andragi,
Paldrino, Brewok dan Loyo serta tiga empat orang santri ke tempat yang
diperkirakan menjadi kluster pertama yang akan dibuat, yang berdekatan dengan
area ladang. Disana mereka mendirikan gubuk sebagai tempat berteduh, memasak
dan menyimpan peralatan kerja.
Karena medan yang sulit dan sangat luas, Andragi
meminta agar pekerjaan pematokan dikonsentrasikan dulu pada area desa dan
ladang. Ternyata pekerjaan itu dapat mereka selesaikan hingga sore hari. Mereka
lalu memutuskan untuk kembali dulu ke Batutok guna mempersiapkan berbagai
peralatan yang masih perlu dibawa. Juga berbagai perlengkapan lain, karena
mulai besok sebagian besar akan menginap di gubug atau bedeng di lokasi itu.
Hari kedua pekerjaan dikonsentrasikan pada
pembuatan alur jalan dan parit yang mengelilingi kluster pemukiman dengan cara
membabat pohon dan tetumbuhan. Pekerjaan itu tidak mudah karena banyak
pepohonan besar yang harus ditebang.
Sementara yang lain sibuk menebang...
Tampak dua orang santri mengendap-endap memasuki
hutan yang lebih dalam. Gerakan mereka sangat mencurigakan seakan sedang
bersiap akan melakukan penyerangan. Melihat hal itu para santri yang lain
segera menghentikan pekerjaan mereka, menunggu apa yang akan terjadi. Semuanya
diam dan tegang...!.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan keras dari
dalam hutan.
“Uiiiik! Uiiiik!” diikuti langkah-langkah kaki
orang berlari.
“Horee!!” teriak para santri yang tadi diam
menunggu, ketika melihat kedua rekannya keluar dari hutan sambil menggotong
seekor celeng berukuran besar.
Rupanya kedua santri itu memang bertugas menjadi
penyedia makanan bagi rekan-rekannya yang bekerja, termasuk berburu binatang, menangkap
ikan serta mencari sayuran dan buah-buahan hutan yang bisa dimakan untuk
seluruh pekerja. Adapun beras mereka bawa dari pesanggrahan Batutok. Dengan
begitu semuanya bisa berjalan dengan lancar.
Meski pekerjaan membabat alas itu cukup berat, tetapi
dengan semangat yang tinggi, dalam sembilan belas hari sudah terbentuk alur selebar 4 meter mengelilingi dan membagi area itu menjadi delapan
kluster, walaupun disana-sini masih banyak pohon-pohon besar yang belum
ditebang. Mereka memang berkonsentrasi pada kluster pertama yang dekat dengan
area ladang.
Pada hari ke dua puluh Andragi meminta pak Paldrino
memimpin merapikan kluster pertama sedangkan ia dan sebagian santri mulai
membuka petak ladang yang pertama. Luas petak itu sekitar setengah lapangan
sepak bola. Dengan demikian, seluruh area ladang itu dapat dibuat sekitar 400
petak, lebih banyak dari jumlah kapling rumah seluruh desa baru itu nantinya. Mereka mulai membabat pepohonan dan semak tetapi
disana-sini tetap menyisakan beberapa
pohon besar sebagai peneduh.
Pada hari ke dua puluh delapan, mereka telah memiliki
sepetak ladang yang lumayan rapi, meski akar-akar pohon besar disana sini masih
kuat menancap ditanah tetapi telah cukup banyak tanah kosong yang didapat dan
subur tertutup humus. Dilain pihak, kluster pertama juga sudah terlihat rapi.
Jalur jalan dan bakal parit telah terbentuk lumayan rata, pepohonan dan semak
di area bakal kapling telah ditebang habis dan hanya menyisakan pada area taman.
Pada hari ke tiga puluh satu Andragi hanya memerlukan lima
orang santri serta Brewok untuk membantunya di ladang, sedangkan sisanya
diminta bergabung dengan pak Paldrino untuk meneruskan pembuatan kluster
pertama. Brewok dan ke lima santri itu dimintanya membuat lubang berukuran
1x1x1 meter sebanyak mungkin dengan jarak masing-masing 1 meter. Dalam dua hari
ke enam orang itu berhasil membuat 20 lubang.
Pada hari ke tiga puluh tiga ia memanggil mereka.
“Sobat Brewok dan para santri, terimakasih. Kalian
telah menjalankan tugas dengan baik. Kini saatnya kita mulai menciptakan hasil
ladang yang hebat,” katanya.
Mata mereka berbinar-binar, penuh optimisme.
“Tugas
kalian selanjutnya adalah mengisi lubang-lubang itu dengan humus, yaitu
dedaunan yang sudah membusuk dan tanah yang subur hingga tiga per empatnya.
Setelah itu sebagian dari kalian pergi ke desa mencari batang-batang ubi kayu atau
singkong terbaik yang masih segar dan sebagian lagi mencari batang ubi kayu
hutan yang banyak terdapat di hutan ini. Ukurannya sebesar ini,” katanya sambil
mempertemukan ujung jempol tangannya dengan ujung jari telunjuknya.
“Oh, ya. Jangan lupa membawa contoh umbi
singkongnya yang termasuk besar,” lanjutnya.
Pekerjaan itu terbilang ringan. Pada sore hari itu
juga mereka berhasil mengumpulkan batang-batang singkong segar dan ubi kayu
hutan cukup banyak, setelah sebelumya mengisi lubang-lubang dengan humus dan
tanah subur. Juga sekeranjang umbi singkong. Ternyata rata-rata singkong Klapa
Getir hanya bergaris tengah 2 hingga 3 cm, sama atau agak lebih kecil dari pada singkong di
jaman kini yang biasa kita makan.
Sementara
itu kelompok pak Paldrino tengah memulai membuat parit yang mengelilingi
kluster pertama. Parit itu berukuran 1
meter dengan kedalaman 1 meter. Pekerjaan ini tidak mudah karena banyak
akar pohon besar yang masih menancap dan juga sering menemui bongkahan batu
besar. Tetapi semuanya tampak bersemangat, karena tidak ada paksaan yang
mengancam mereka. Semua antusias karena ingin melihat hasil pekerjaan yang baru
pertama kali mereka lakukan.
Pada hari ke tiga puluh lima Andragi menjelaskan proyek singkongnya.
“Kita akan menggabungkan tanaman singkong dengan
ubi kayu hutan. Caranya dengan memotong bagian atas batang singkong dan bagian
bawah batang ubi kayu hutan secara miring, lalu kedua potongan miring itu
disatukan dan diikat kuat-kuat. Setelah itu di tanam seperti biasa di dalam
lubang yang sudah disediakan. Awas jangan sampai terbalik! Batang singkong yang
ditanam, bukan batang ubi kayu hutan!” jelas Andragi.
“Perhatikan umbi singkong kita ini. Ukurannya
hanya sebesar ini. Simpanlah ini untuk kita bandingkan nanti. Sisanya yang satu
keranjang itu boleh direbus untuk di makan semua orang yang bekerja,” tambah
Andragi.
“Berapa panjang kedua batang itu masing-masing?” tanya
seorang santri.
“Cukup satu setengah jengkal masing-masing. Jelas
ya?” tanyanya.
Mereka mengangguk dan segera mengerjakan
permintaan Andragi itu. Hari itu juga pekerjaan itu selesai mereka kerjakan,
bahkan sisa waktunya digunakan untuk membuat lubang-lubang baru. Andragi lalu
meminta mereka menyiramnya dan sejak hari itu menugaskan dua orang untuk
merawat tanaman baru mereka serta memperbanyaknya. Yang lain dimintanya
bergabung dengan rekan-rekan mereka membuat parit di kluster pertama.
Pada hari ke empat puluh satu parit itu selesai dikerjakan
sepenuhnya mengelilingi kluster pertama.
“Kemana air dari parit ini nantinya di alirkan?”
tanya Paldrino.
“Dari kluster ini kita alirkan melalui
tengah-tengah area ladang dan untuk sementara dibuang disana pada bagian
lembah. Nantinya, saat sudah cukup tenaga kita akan teruskan mengalirkannya ke
sungai yang terdekat,” jawab Andragi.
“Baiklah, besok kita mulai membuat parit membelah
area ladang. Juga membuat jembatan diatas parit yang memotong jalan. Tentunya
parit pembuangan itu harus lebih besar dari parit kluster,” kata Paldrino.
“Benar, pak. Kita buat selebar dua meter dan
dalamnya satu setengah meter,” jawab Andragi.
“Kalau begitu, harus ada sebagian yang mengerjakan
kayu guna membuat jembatan,” kata Paldrino.
“Ijinkan saya membantu mengerjakan kayu. Saya tahu
sedikit soal pengerjaan kayu,” pinta Loyo.
“Bagus, kalau begitu! Karena selain untuk membuat jembatan,
kelompok ini harus juga menyiapkan kayu-kayu untuk membuat rumah contoh. Sobat
Loyo bisa membantu saya merencanakan jembatan dan bentuk rumah dengan
menggunakan kayu yang telah banyak kita tebang itu,” kata Andragi.
Malam itu juga Andragi dibantu Loyo merancang
jembatan kayu seperti tampak pada gambar di bawah ini.
(gambar disimpan dalam draft blogger)
Jembatan itu bisa dirangkai lebih
dahulu lalu tinggal dipasang pada tempatnya. Panjangnya 3 meter dan lebarnya 2 meter. Karena lebar jalan sekitar 6 meter, maka akan ada dua jembatan
yang dipasang berjejer dan berjarak satu meter. Sederhana dan tampak indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.