Rupanya sewaktu Loyo memasuki penjara tadi, Jotiwo
tiba di gerbang kota dengan menunggang kuda. Saat ditanya oleh para penjaga
gerbang ia dengan lantang mengatakan akan menemui kawannya, Tumenggung Setiaka.
“Kalau begitu, saudara silakan tunggu disini. Kami
akan melapor dulu,” kata seorang dari penjaga disana.
“Ya, sebaiknya begitu. Laporkan, saya Jotiwo tidak
sudi masuk ke wilayah kekuasaanya!” tantang Jotiwo.
Melihat gelagat yang kurang baik itu, dua orang
penjaga segera menggebras kuda mereka menuju markas mereka tempat Setiaka
berada. Markas itu tidak jauh dari kediaman Adipati. Itulah sebabnya Jotiwo
memancingnya ke gerbang kota.
“Komandan, ada prajurit gerbang kota yang mau
melapor. Penting katanya,” lapor petugas jaga markas.
Setiaka menyuruhnya segera membawa prajurit itu ke
dalam.
“Lapor, komandan. Ada orang bernama Jotiwo ingin
bertemu komandan tetapi tidak sudi masuk ke wilayah kekuasaan komandan.”
“Ada berapa orang bersamanya? Apa lagi katanya!”
“Hanya dia sendiri, komandan. Dan hanya itu yang
dikatakannya. Tetapi gelagatnya akan menantang komandan bertempur.”
“Hmm, baiklah. Segera kamu kembali kesana. Katakan
saya segera datang!” perintah Setiaka.
“Siap, laksanakan!” prajurit itu langsung mundur
dan kembali ke posnya.
Dalam hati Setiaka bertanya-tanya apa maksud si
pengkhianat Jotiwo datang menemuinya. Gelagatnyapun buruk. Ia menduga tentu ada
hubungannya dengan kepala perampok yang ditangkapnya kemarin. Ia hampir yakin
bahwa Jotiwo tentu juga menjadi salah satu pemimpin perampok itu. Dari para
telik sandinya ia hanya tahu kalau perampok Gunung Kembar dipimpin oleh
Gadamuk. Mungkinkah itu orang yang sama dengan Jotiwo?
Ia lalu mengumpulkan sebagian besar prajuritnya
yang ada di markas, dan bersiap menuju gerbang kota. Meski tahu kalau Jotiwo
hanya seorang diri, ia tidak ingin mengambil resiko. Bagaimanapun, Jotiwo
adalah bekas Pelatih Paskhu yang terkenal itu, dan tentu memiliki kepandaian
tempur yang tinggi. Belum tentu ia dapat mengalahkan si tangan panjang ini.
Dengan membawa pasukan berkuda sebanyak lima puluh
orang serta seratus infanri mereka berderap menuju gerbang kota. Dari jauh
tampak bayangan Jotiwo diatas kudanya. Tubuhnya yang jangkung tampak menjulang
ditimpa sinar bulan.
“Hahahaa...Tak kusangka seorang Setiaka komandan
pasukan Kadipaten begitu penakut sehingga perlu membawa pasukan tempur untuk
menemui seorang kawan lama,” sambut Jotiwo.
“Apa maumu Jotiwo?” jawab Setiaka tak menggubris
ejekan itu.
“Hahaha... kau tahu sejak dulu aku benci
ketidak-adilan. Aku kesini ingin kau membebaskan pemuda yang tadi dituduh
sebagai kepala perampok Gunung Kembar,” jawab Jotiwo enteng.
“Apa hakmu seenaknya memintaku begitu? Memangnya kau
tahu siapa pemuda itu?”
“Tentu saja. Dia kawanku, kawan baik sekali. Dan
dia bukan perampok, apalagi kepala perampok. Kau tahu kan siapa kepala perampok
Gunung Kembar?” jawab Jotiwo balik bertanya.
“Aku tidak peduli siapa pemuda itu. Pengadilan
telah memutuskan dia bersalah dan harus dipenjara. Sebagai prajurit, aku setia
menjalankan perintah, mengabdi kepada ‘satu
untuk semua dan semua untuk satu’. Tak mungkin dia kulepaskan begitu saja,”
jawab Setiaka.
“Haahaha.... Pakai nuranimu kawan. Kau keliru! Kau
mengabdi pada ‘Satu untuk sekelompok orang’, bukan untuk semua. Sedangkan
rakyat bekerja demi ‘semua untuk satu’ tetapi dibelokkan untuk sekelompok orang
juga,” sergah Jotiwo.
Dalam hati Setiaka semakin yakin kalau Jotiwo
adalah Gadamuk, pemimpin perampok Gunung Kembar.
“Terserah apa katamu. Dasar pengkhianat! Aku akan
menangkapmu sebagai kepala perampok,” kata Setiaka bersiap menyerang.
“Tunggu dulu! Kalau aku kau tangkap sebagai kepala
perampok, lalu siapakah pemuda yang kau tangkap itu? Kau salah tangkap bukan?
Dimana reputasimu sebagai kepala pasukan yang memiliki telik sandi segala? Mau
kau taruh dimana mukamu, ha!!?” sergah Jotiwo.
Kemarahan Setiaka sudah sampai di ubun-ubunnya. Ia
mengangkat tangannya untuk memberi aba-aba para prajuritnya menyerang.
“Eiit!! Tunggu dulu! Aku belum selesai! Kau boleh
menangkapku setelah ini. Aku kan cuma sendiri. Tak kan susah bagi pasukanmu
menangkap ku.”
“Jadi apa maumu, pengkhianat?” bentak Setiaka
gusar.
“Sebagai seorang terdidik dan pandai. Kau tak beda
dengan seekor anjing penjaga yang menuruti segala perintah majikanmu, bahkan
perintah dari seorang pelacurpun kau turuti, meski harus meludahi ibumu sendiri,”
ledek Jotiwo.
“Setan alas! Anak-anak serang anjing ini! Cicang
dia!” perintah Setiaka.
“Brenti!!” bentak Jotiwo berwibawa. “Prajurit,
kalian lihat! Betapa pengecutnya komandan kalian! Kalian tentu ingin tahu
seberapa tinggi ilmunya, supaya kalian bisa hormati dia. Karena itu aku beri
kesempatan padamu menunjukkan kebolehanmu Setiaka, kalau kau punya,” pancing Jotiwo.
“Kurang ajar! Mari kupatahkan lehermu!” kata
Setiaka jengkel.
Setiaka langsung menggebrak kudanya
menyerbu dengan pedang terhunus. Jotiwo menyongsongnya dengan keris panjangnya
yang aneh itu. Mereka bertempur dengan sengitnya hingga tiga puluh jurus tanpa
terlihat siapa yang akan segera kalah. Jotiwo dengan kelebihan panjang
tangannya sangat sulit didekati oleh pedang Setiaka, bahkan tak jarang Setiaka
harus berkelit mundur untuk menghindari ujung kerisnya. Namun kemarahan yang
membakarnya membuatnya tetap bersemangat mencoba masuk, menerobos pertahanan Jotiwo.
“Hahaha.. Pedangmu sudah tumpul rupanya. Kapan
terakhir kali kau asah?” ledek Jotiwo memecah konsentrasinya.
Setiaka menjawab dengan serangan yang lebih
gencar, dan itu membuat pertahanannya agak terbuka. Celah itu digunakan Jotiwo
untuk berkelit dan menyodokkan kerisnya secara menyamping. Dengan susah payah
Setiaka mencoba menghindar. Tiada cara lain selain secepat kilat menarik
pedangnya dan menangkis datangnya keris itu..
“Tranngg!!” terdengar benturan nyaring dari kedua
senjata yang beradu.
Tangan Setiaka terasa kesemutan hingga hampir saja
pedangnya terlepas. Sedangkan Jotiwo tampak tenang-tenang dan terlihat riang
mengejeknya.
“Hahaa.. rupanya kau kemari lupa mematikan api di
tungkumu. Lihatlah, dapurmu kini sudah terbakar,” ledek Jotiwo saat melihat di
ujung sana langit memerah dan tampak asap membumbung hitam.
Dengan sudut matanya Setiaka menangkap sinar merah
dari arah sekitar markasnya. Otaknya dengan cepat bekerja dan menyimpulkan itu
bukan markasnya melainkan kediaman Adipati. Jiwa prajuritnya segera terpanggil
untuk menyelamatkan pimpinan di wilayahnya itu. Dengan pikiran yang bercabang
itu, ia kini menjadi semakin terdesak oleh serangan Jotiwo.
Tiba-tiba ia melakukan gerakan siap menyerang
secara frontal dengan kemungkinan yang fatal,.. mati! Jotiwo segera bersiap
menghadapi serangan pamungkas itu. Kesempatan itu digunakan oleh Setiaka untuk
memutar kudanya dan memacu ke arah kebakaran sambil memerintahkan anak buahnya
menyerang Jotiwo beramai-ramai.
“Serang dia! Saya akan menyelamatkan Adipati!”
perintahnya sambil menggebrak kudanya.
Jotiwo pun tidak tinggal diam. Sambil melayani
serbuan anak buah Setiaka, ia memberi aba-aba. Tiba-tiba bermunculan anak buah
Gunung Kembar dari semak-semak dan menyerang prajurit Setiaka. Meski jumlah
prajurit pemerintah lebih banyak dibanding para perampok Gunung kembar, namun
dengan kesaktian Jotiwo yang hebat itu pasukan Gunung Kembar berada diatas
angin. Satu-persatu para prajurit Setiaka bertumbangan, mati atau terluka
parah. Yang mampu melarikan diri segera angkat kaki meninggalkan arena mencari
selamat. Jotiwo melarang anak buahnya mengejar mereka, karena harus segera
menuju ke kediaman Adipati untuk membantu Bedul Brewok dan Gadamuk.
Sebelum meninggalkan tempat itu, ia bersiul
nyaring. Tak lama kemudian muncul
Paldrino bersama dua puluh pengawal menghampirinya.
“Silakan pak Wedana menjemput tuan Mata Setan.
Daerah ini sudah aman. Saya akan segera menuju rumah Adipati,” kata Jotiwo.
“Terimakasih saudara Jotiwo,” kata Paldrino.
Mereka segera bergerak menyusuri jalan itu menuju
arah penjara.
Dari balik rumpun pohon pisang Loyo juga mendengar
siulan itu. Itulah saatnya dia harus menemui pak Wedana dan rombongannya. Namun
sebelum sempat beranjak, ia mendengar langkah kaki orang berlari tak beraturan
berusaha mencapai rumpun pisang itu untuk bersembunyi. Loyo segera mengeluarkan
mata setan dan menyorot ke arah orang itu, yang begitu terperanjat dan
ketakutan setengah mati.
“Ibu..Seeeetttaan!” ia berteriak sambil berlari
kearah lain lintang pukang.
Dalam hatinya, prajurit malang itu menyesali kenapa
ia hanya memiliki sepasang kaki untuk berlari. Dilain pihak, Loyo tersenyum
geli.
“Mari Anak Langit, kita berangkat,” katanya sambil
menuntun kedua kuda.
Disalah satu punggung kuda itu menggelendot
Andragi yang masih lemas dan kesakitan. Begitu memasuki jalan besar, Loyo
segera bertemu dengan rombongan Paldrino.
“Bagaimana keadaan tuan Mata Setan?” tanya
Paldrino.
“Masih lemah dan kesakitan, pak Wedana. Tetapi
tidak berbahaya,” jawab Loyo.
“Syukurlah! Terimakasih sobat Loyo telah
mengeluarkannya dari penjara,” kata Paldrino yang dijawab dengan anggukan
hormat oleh Loyo.
Paldrino lalu meminta para pengawal membawa
Andragi dengan tandu yang memang telah mereka persiapkan sebelum berangkat.
Mereka sudah tahu nasib apa yang akan menimpanya. Mereka segera membalurkan
ramuan di punggung, paha dan betis Andragi yang luka. Ia juga diberi minum
ramuan berkhasiat. Mereka membaringkannya menelungkup di tandu itu lalu
kemudian menyelimutinya dengan kain panjang..
“Tuan Mata Setan, sekarang beristirahatlah diatas tandu.
Semuanya sudah aman sekarang,” kata Paldrino.
“Terimakasih Pak Paldrino dan kawan-kawan,” kata
Andragi lemah dan tak lama kemudian tertidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.