Memancing Singa Keluar Sarang

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #34 )


Rupanya sewaktu Loyo memasuki penjara tadi, Jotiwo tiba di gerbang kota dengan menunggang kuda. Saat ditanya oleh para penjaga gerbang ia dengan lantang mengatakan akan menemui kawannya, Tumenggung Setiaka.

“Kalau begitu, saudara silakan tunggu disini. Kami akan melapor dulu,” kata seorang dari penjaga disana.

“Ya, sebaiknya begitu. Laporkan, saya Jotiwo tidak sudi masuk ke wilayah kekuasaanya!” tantang Jotiwo.

Melihat gelagat yang kurang baik itu, dua orang penjaga segera menggebras kuda mereka menuju markas mereka tempat Setiaka berada. Markas itu tidak jauh dari kediaman Adipati. Itulah sebabnya Jotiwo memancingnya ke gerbang kota.

“Komandan, ada prajurit gerbang kota yang mau melapor. Penting katanya,” lapor petugas jaga markas.

Setiaka menyuruhnya segera membawa prajurit itu ke dalam.

“Lapor, komandan. Ada orang bernama Jotiwo ingin bertemu komandan tetapi tidak sudi masuk ke wilayah kekuasaan komandan.”

“Ada berapa orang bersamanya? Apa lagi katanya!”

“Hanya dia sendiri, komandan. Dan hanya itu yang dikatakannya. Tetapi gelagatnya akan menantang komandan bertempur.”

“Hmm, baiklah. Segera kamu kembali kesana. Katakan saya segera datang!” perintah Setiaka.

“Siap, laksanakan!” prajurit itu langsung mundur dan kembali ke posnya.

Dalam hati Setiaka bertanya-tanya apa maksud si pengkhianat Jotiwo datang menemuinya. Gelagatnyapun buruk. Ia menduga tentu ada hubungannya dengan kepala perampok yang ditangkapnya kemarin. Ia hampir yakin bahwa Jotiwo tentu juga menjadi salah satu pemimpin perampok itu. Dari para telik sandinya ia hanya tahu kalau perampok Gunung Kembar dipimpin oleh Gadamuk. Mungkinkah itu orang yang sama dengan Jotiwo?

Ia lalu mengumpulkan sebagian besar prajuritnya yang ada di markas, dan bersiap menuju gerbang kota. Meski tahu kalau Jotiwo hanya seorang diri, ia tidak ingin mengambil resiko. Bagaimanapun, Jotiwo adalah bekas Pelatih Paskhu yang terkenal itu, dan tentu memiliki kepandaian tempur yang tinggi. Belum tentu ia dapat mengalahkan si tangan panjang ini.

Dengan membawa pasukan berkuda sebanyak lima puluh orang serta seratus infanri mereka berderap menuju gerbang kota. Dari jauh tampak bayangan Jotiwo diatas kudanya. Tubuhnya yang jangkung tampak menjulang ditimpa sinar bulan.

“Hahahaa...Tak kusangka seorang Setiaka komandan pasukan Kadipaten begitu penakut sehingga perlu membawa pasukan tempur untuk menemui seorang kawan lama,” sambut Jotiwo.

“Apa maumu Jotiwo?” jawab Setiaka tak menggubris ejekan itu.

“Hahaha... kau tahu sejak dulu aku benci ketidak-adilan. Aku kesini ingin kau membebaskan pemuda yang tadi dituduh sebagai kepala perampok Gunung Kembar,” jawab Jotiwo enteng.

“Apa hakmu seenaknya memintaku begitu? Memangnya kau tahu siapa pemuda itu?”

“Tentu saja. Dia kawanku, kawan baik sekali. Dan dia bukan perampok, apalagi kepala perampok. Kau tahu kan siapa kepala perampok Gunung Kembar?” jawab Jotiwo balik bertanya.

“Aku tidak peduli siapa pemuda itu. Pengadilan telah memutuskan dia bersalah dan harus dipenjara. Sebagai prajurit, aku setia menjalankan perintah, mengabdi kepada ‘satu untuk semua dan semua untuk satu’. Tak mungkin dia kulepaskan begitu saja,” jawab Setiaka.

“Haahaha.... Pakai nuranimu kawan. Kau keliru! Kau mengabdi pada ‘Satu untuk sekelompok orang’, bukan untuk semua. Sedangkan rakyat bekerja demi ‘semua untuk satu’ tetapi dibelokkan untuk sekelompok orang juga,” sergah Jotiwo.

Dalam hati Setiaka semakin yakin kalau Jotiwo adalah Gadamuk, pemimpin perampok Gunung Kembar.

“Terserah apa katamu. Dasar pengkhianat! Aku akan menangkapmu sebagai kepala perampok,” kata Setiaka bersiap menyerang.

“Tunggu dulu! Kalau aku kau tangkap sebagai kepala perampok, lalu siapakah pemuda yang kau tangkap itu? Kau salah tangkap bukan? Dimana reputasimu sebagai kepala pasukan yang memiliki telik sandi segala? Mau kau taruh dimana mukamu, ha!!?” sergah Jotiwo.

Kemarahan Setiaka sudah sampai di ubun-ubunnya. Ia mengangkat tangannya untuk memberi aba-aba para prajuritnya menyerang.

“Eiit!! Tunggu dulu! Aku belum selesai! Kau boleh menangkapku setelah ini. Aku kan cuma sendiri. Tak kan susah bagi pasukanmu menangkap ku.”

“Jadi apa maumu, pengkhianat?” bentak Setiaka gusar.

“Sebagai seorang terdidik dan pandai. Kau tak beda dengan seekor anjing penjaga yang menuruti segala perintah majikanmu, bahkan perintah dari seorang pelacurpun kau turuti, meski harus meludahi ibumu sendiri,” ledek Jotiwo.

“Setan alas! Anak-anak serang anjing ini! Cicang dia!” perintah Setiaka.

“Brenti!!” bentak Jotiwo berwibawa. “Prajurit, kalian lihat! Betapa pengecutnya komandan kalian! Kalian tentu ingin tahu seberapa tinggi ilmunya, supaya kalian bisa hormati dia. Karena itu aku beri kesempatan padamu menunjukkan kebolehanmu Setiaka, kalau kau punya,” pancing Jotiwo.

“Kurang ajar! Mari kupatahkan lehermu!” kata Setiaka jengkel.

Setiaka langsung menggebrak kudanya menyerbu dengan pedang terhunus. Jotiwo menyongsongnya dengan keris panjangnya yang aneh itu. Mereka bertempur dengan sengitnya hingga tiga puluh jurus tanpa terlihat siapa yang akan segera kalah. Jotiwo dengan kelebihan panjang tangannya sangat sulit didekati oleh pedang Setiaka, bahkan tak jarang Setiaka harus berkelit mundur untuk menghindari ujung kerisnya. Namun kemarahan yang membakarnya membuatnya tetap bersemangat mencoba masuk, menerobos pertahanan Jotiwo.

“Hahaha.. Pedangmu sudah tumpul rupanya. Kapan terakhir kali kau asah?” ledek Jotiwo memecah konsentrasinya.

Setiaka menjawab dengan serangan yang lebih gencar, dan itu membuat pertahanannya agak terbuka. Celah itu digunakan Jotiwo untuk berkelit dan menyodokkan kerisnya secara menyamping. Dengan susah payah Setiaka mencoba menghindar. Tiada cara lain selain secepat kilat menarik pedangnya dan menangkis datangnya keris itu..

“Tranngg!!” terdengar benturan nyaring dari kedua senjata yang beradu.

Tangan Setiaka terasa kesemutan hingga hampir saja pedangnya terlepas. Sedangkan Jotiwo tampak tenang-tenang dan terlihat riang mengejeknya.

“Hahaa.. rupanya kau kemari lupa mematikan api di tungkumu. Lihatlah, dapurmu kini sudah terbakar,” ledek Jotiwo saat melihat di ujung sana langit memerah dan tampak asap membumbung hitam.

Dengan sudut matanya Setiaka menangkap sinar merah dari arah sekitar markasnya. Otaknya dengan cepat bekerja dan menyimpulkan itu bukan markasnya melainkan kediaman Adipati. Jiwa prajuritnya segera terpanggil untuk menyelamatkan pimpinan di wilayahnya itu. Dengan pikiran yang bercabang itu, ia kini menjadi semakin terdesak oleh serangan Jotiwo.

Tiba-tiba ia melakukan gerakan siap menyerang secara frontal dengan kemungkinan yang fatal,.. mati! Jotiwo segera bersiap menghadapi serangan pamungkas itu. Kesempatan itu digunakan oleh Setiaka untuk memutar kudanya dan memacu ke arah kebakaran sambil memerintahkan anak buahnya menyerang Jotiwo beramai-ramai.

“Serang dia! Saya akan menyelamatkan Adipati!” perintahnya sambil menggebrak kudanya.

Jotiwo pun tidak tinggal diam. Sambil melayani serbuan anak buah Setiaka, ia memberi aba-aba. Tiba-tiba bermunculan anak buah Gunung Kembar dari semak-semak dan menyerang prajurit Setiaka. Meski jumlah prajurit pemerintah lebih banyak dibanding para perampok Gunung kembar, namun dengan kesaktian Jotiwo yang hebat itu pasukan Gunung Kembar berada diatas angin. Satu-persatu para prajurit Setiaka bertumbangan, mati atau terluka parah. Yang mampu melarikan diri segera angkat kaki meninggalkan arena mencari selamat. Jotiwo melarang anak buahnya mengejar mereka, karena harus segera menuju ke kediaman Adipati untuk membantu Bedul Brewok dan Gadamuk.

Sebelum meninggalkan tempat itu, ia bersiul nyaring. Tak lama kemudian muncul Paldrino bersama dua puluh pengawal menghampirinya.

“Silakan pak Wedana menjemput tuan Mata Setan. Daerah ini sudah aman. Saya akan segera menuju rumah Adipati,” kata Jotiwo.

“Terimakasih saudara Jotiwo,” kata Paldrino.

Mereka segera bergerak menyusuri jalan itu menuju arah penjara.

Dari balik rumpun pohon pisang Loyo juga mendengar siulan itu. Itulah saatnya dia harus menemui pak Wedana dan rombongannya. Namun sebelum sempat beranjak, ia mendengar langkah kaki orang berlari tak beraturan berusaha mencapai rumpun pisang itu untuk bersembunyi. Loyo segera mengeluarkan mata setan dan menyorot ke arah orang itu, yang begitu terperanjat dan ketakutan setengah mati.

“Ibu..Seeeetttaan!” ia berteriak sambil berlari kearah lain lintang pukang.

Dalam hatinya, prajurit malang itu menyesali kenapa ia hanya memiliki sepasang kaki untuk berlari. Dilain pihak, Loyo tersenyum geli.

“Mari Anak Langit, kita berangkat,” katanya sambil menuntun kedua kuda.

Disalah satu punggung kuda itu menggelendot Andragi yang masih lemas dan kesakitan. Begitu memasuki jalan besar, Loyo segera bertemu dengan rombongan Paldrino.

“Bagaimana keadaan tuan Mata Setan?” tanya Paldrino.

“Masih lemah dan kesakitan, pak Wedana. Tetapi tidak berbahaya,” jawab Loyo.

“Syukurlah! Terimakasih sobat Loyo telah mengeluarkannya dari penjara,” kata Paldrino yang dijawab dengan anggukan hormat oleh Loyo.

Paldrino lalu meminta para pengawal membawa Andragi dengan tandu yang memang telah mereka persiapkan sebelum berangkat. Mereka sudah tahu nasib apa yang akan menimpanya. Mereka segera membalurkan ramuan di punggung, paha dan betis Andragi yang luka. Ia juga diberi minum ramuan berkhasiat. Mereka membaringkannya menelungkup di tandu itu lalu kemudian menyelimutinya dengan kain panjang..

“Tuan Mata Setan, sekarang beristirahatlah diatas tandu. Semuanya sudah aman sekarang,” kata Paldrino.

“Terimakasih Pak Paldrino dan kawan-kawan,” kata Andragi lemah dan tak lama kemudian tertidur.

Rupanya ramuan obat yang diminumnya mengandung obat tidur. Rombongan itu lalu bergegas meninggalkan kota Rajapurwa menuju pos mata-mata mereka di tepi hutan. Mereka tiba dengan aman disana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA