Penyerangan Ke Gunung Kembar

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #38 )


Dua hari kemudian Andragi dan Paldrino telah siap di menara pengamat utama sejak pagi. Melalui teropong mereka telah melihat pasukan Setiaka bergerak meninggalkan desa Bental menuju Gunung Kembar. Pada jarak sejauh itu, mata biasa belum dapat melihat apa-apa.

Dilain pihak, Setiaka yang memimpin pasukan bersama Adipati Rajapurwa, didampingi oleh kepala pasukan Kadipaten Munggur. Selepas desa Bental Setiaka membagi pasukannya menjadi dua. Pasukan pertama akan dipimpinnya sendiri untuk menyerang markas Gunung Kembar sebagai pemancing. Taktik ini digunakan karena mereka belum mengenal medan di sana dan tidak tahu jebakan seperti apa yang telah disiapkan oleh Jotiwo. Mereka akan bertempur sekedarnya lalu pura-pura kalah dan melarikan diri. Melihat musuhnya lari tentu pasukan Gunung Kembar akan mengejar. Mereka akan lari hingga di suatu tempat dimana pasukan kedua dibawah pimpinan Adipati dan Kepala Pasukan Munggur telah bersembunyi disisi kiri kanannya dan menyerang mereka secara tiba-tiba. Pada saat itu pasukannya akan menghentikan larinya dan berbalik menyerang pasukan Gunung Kembar sehingga terjepit dari tiga arah seperti ikan yang masuk dalam bubu.

“Taktik ini sangat brilian, Setiaka!” puji Adipati.

“Betul, Adipati. Kita tinggal melibasnya dengan mudah,” timpal Kepala Pasukan Munggur.

Setiaka lalu membawa pasukannya sebanyak tiga ratus orang prajurit infantri dan lima puluh prajurit berkuda maju menuju Gunung kembar. Setelah pasukan itu hilang dari pandangan, Adipati dan Kepala Pasukan Munggur membawa masing-masing seratus lima puluh orang bersembunyi di sebelah kiri dan kanan lintasan yang akan dilalui pasukan Setiaka saat mundur nanti.

Hari telah lepas tengah hari saat mereka mencapai kaki Gunung Kembar. Dari sana pasukan itu membunyikan terompet dan genderang perang sebagai tantangan kepada pasukan Gunung Kembar. Beberapa saat kemudian dari balik hutan di gunung itu muncul pasukan Gunung Kembar dibawah pimpinan Gadamuk. Dalam jarak sejauh jangkauan anak panah, mereka berhenti. Dari atas kudanya Gadamuk mulai mengejek.

“Hahaha.. rupanya pasukan pemerintah tidak berani datang ke pondok kami dan hanya berhenti disini. Ada perlu apa mengganggu kami yang sedang asyik ngopi he?” ledek Gadamuk.

“He, perampok busuk. Jangan panggil aku sebagai Setiaka kalau tidak berani datang ke sarang busukmu itu. Aku hanya geli mengotori kakiku!” jawab Setiaka.

“Hohoho...dasar banci! Kaya anak perempuan. Takut sama kecoa atau geli, sama saja! ho.hoho..!” tawa gadamuk.

“Setan alas! Jangan banyak bacot! Mari kita mulai!” katanya sambil menggebrak kudanya menuju Gadamuk, diikuti anak buahnya menyerang pasukan Gadamuk.

Mereka bertarung dengan sengit hingga beberapa jurus. Pedang Setiaka menyambar seperti kilat sedang gada Gadamuk menderu bagai angin topan. Tetapi lama kelamaan terlihat Setiaka makin terdesak surut. Anak buahnya juga seirama dengan gerak surut pimpinannya. Di pihak lain, pasukan Gunung Kembar semakin gencar menyerang melihat pasukan lawan mulai terdesak. Pada saat yang tepat, tiba-tiba Setiaka memberikan isyarat dan seketika itu juga ia dan anak buahnya berbalik melarikan diri. Tanpa membuang waktu Gadamuk memerintahkan pasukannya mengejar lawan yang lari terbirit itu,  dengan suara yang riuh rendah.

Pasukan Gadamuk mengejar lawannya hingga kira-kira dua kilometer sebelum ia memberi isyarat menghentikan pengejaran dan berbalik ke arah markasnya. Beberapa saat setelah itu ketika suara riuh pengejarnya tidak terdengar lagi, Setiaka sadar telah kehilangan pengejarnya. Dalam hati ia mengumpat siasatnya telah diketahui musuh.

“Sialan benar Jotiwo itu. Ia telah tahu siasatku,” batinnya.

Ia lalu menghentikan pasukannya dan kembali maju menuju Gunung Kembar, kali ini balik mengejar musuhnya. Ia bertekad bertarung dengan sungguh-sungguh kali ini. Seorang anak buahnya diperintahkan untuk memberitahu Adipati dan Kepala Pasukan Munggur agar segera menyusul  untuk membantu.

Dengan semangat mereka mengejar pasukan Gadamuk yang tampaknya bergerak dengan santai. Tetapi saat mendekati kaki gunung itu mereka mempercepat gerakannya dan segera menghilang di balik hutan di bagian selatan. Setiaka dan pasukannya mengejarnya ke arah itu tetapi tidak menemukan jejak pasukan Gadamuk, melainkan mendapati diri mereka berhadapan dengan batang-batang pohon yang bertumbangan melintang menerjang dan menghalangi jalan mereka. Sebanyak tiga puluh orang pasukannya terluka tertimpa pohon atau bertabrakan satu dengan yang lain bersama tunggangannya.

Ketika Setiaka sedang menimbang-nimbang untuk terus mengejar, tiba-tiba dari arah utara terdengar terompet dan genderang perang. Setiaka memutar pasukannya mengejar ke arah bunyi genderang itu. Tampak sekelompok pasukan dengan menggunakan ikat kepala merah dan membawa bendera merah menuju ke arah mereka. Namun saat hendak berhadapan, tiba-tiba mereka berbalik dan melarikan diri. Mengetahui mereka melarikan diri karena kalah jumlah, pasukan Setiaka mengejarnya dengan semangat. Tetapi lagi-lagi mereka telah menghilang ke dalam hutan. Setiaka merasa geram dan memerintahkan pasukannya merangsek naik dan masuk ke dalam hutan, hanya untuk berhadapan dengan batu-batu besar yang tiba-tiba menggelinding menerjang ke arah pasukannya. Sekitar lima puluh prajuritnya terluka dan sebagaian tewas dilanda batu-batu berat itu.

Tanpa diperintah pasukannya terdorong mundur. Sampai disini ia telah kehilangan dua puluh persen dari kekuatan pasukannya tanpa membunuh satu orang lawan pun. Beberapa orang anak buahnya yang paling depan saat menyerang tadi rupanya dibiarkan lolos sebelum batu-batu itu menerjang. Pasti mereka telah ditawan atau dibunuh oleh musuh, pikirnya. Hatinya geram bukan main. Ia memutuskan akan terus menyerang setelah batu-batu itu tidak menerjang lagi. Mustahil mereka akan bisa mengumpulkan batu-batu besar yang banyak secepatnya.

Tetapi saat ia hendak memberi aba-aba tiba-tiba terdengar genderang perang dan terompet serta suara teriakan menyerang dari arah mereka datang tadi. Ia terpaksa memutar pasukannya dan menyongsong para penyerang itu yang ternyata hanya berjumlah kurang dari lima puluh orang. Mereka menggunakan ikat kepala kuning dan bendera kuning. Mengetahui jumlah lawan yang sedikit pasukan Setiaka bernafsu untuk segera menghabisi lawannya. Sama seperti sebelumnya, para penyerang ikat kepala kuning inipun segera berbalik dan menghilang di balik lebatnya hutan. Hanya bendera kuningnya yang terlihat melambai-lambai mengejek dibalik gerumbul pepohonan. Pasukan Setiaka menyerbu kearah bendera itu dan hanya mendapati bendera yang diikatkan pada sebuah tangkai bambu dan tangkai itu dihubungkan dengan seutas tali sebagai penggeraknya dari jarak yang jauh. Mereka sangat kecewa dan gusar. Saat itu hari sudah mulai petang.

Saat mereka hendak mengejar ke arah datangnya tali itu, tiba-tiba hujan panah menerjang mereka. Kalang kabut pasukan itu menghindari panah, tetapi bagi Setiaka itu lebih baik daripada tidak tahu dimana musuh berada. Ia memerintahkan pasukannya mengejar ke arah datangnya panah, tetapi disambut dengan lubang jebakan yang tersamar dan cukup dalam, membuat banyak prajuritnya terperosok termasuk pasukan berkudanya. Untung di dalam lubang itu, sesuai permintaan Andragi, sudah dihilangkan bambu-bambu runcing yang tadinya berada disana. Sementara itu hujan panah kembali menerjang mereka. Para prajurit yang terperosok memilih diam dan berlindung di dalam lubang daripada mencoba naik tetapi berhadapan dengan hujan panah. Tiada pilihan bagi Setiaka, selain mundur kembali. Kali ini ia kehilangan lebih dari tujuh puluh prajurit. Itu berarti kekuatan pasukannya sudah kurang dari enam puluh persen.

Setiaka hampir putus asa karena geram, tetapi ia ingat pasukan Adipati dan Pasukan Munggur akan segera tiba membantunya. Semangatnya naik lagi. Bersama pasukan tambahan itu ia akan bisa berbagi kekuatan menyerang para penggoda yang sedikit jumlahnya itu.

Tetapi kali ini tidak ada pasukan penggoda yang menggangunya dari arah berlawanan. Karena itu ia memilih menunggu sambil memberi kesempatan pasukannya membuka bekal mereka untuk makan dan beristirahat.

Matahari kini telah tenggelam dan hari berganti gelap. Setiaka mulai bertanya-tanya mengapa pasukan bantuan itu belum tiba juga. Mestinya sudah sejak sore tadi mereka tiba. Sedang ia bimbang itu tiba-tiba terdengar teriakan serang dari arah gunung. Pasukannya segera menyongsong musuh yang datang. Pertempuran sengit segera terjadi pada malam yang remang-remang itu. Setiaka tidak tahu berapa besar kekuatan musuh, tetapi pada saat itu ia sangat berharap pasukan bantuan tiba. Dan memang, dari arah belakang terdengar suara gemuruh pasukan yang bergerak cepat.

“Pasukan pemerintah datang!” terdengar teriakan nyaring.

“Kami disini! Cepat bantu kami!” teriak Setiaka menjawab dengan semangat yang menggebu. Hatinya gembira. Ia segera merangsek maju ke depan supaya terlihat dia sedang berada didepan memimpin dengan bertarung hebat.

Tetapi betapa terkejutnya Setiaka kala sesaat kemudian terdengar teriakan histeris pasukannya yang justru mendapat serangan dari pasukan yang baru datang itu. Pasukannya kocar-kacir lari menyelamatkan diri. Ternyata ia telah dijepit dari muka dan belakang oleh pasukan musuh. Di depan dipimpin Gadamuk, dan di belakang dipimpin oleh Bedul Brewok.

 “Tangkap Setiaka!” teriak Brewok.

Bersamaan dengan itu puluhan orang ramai-ramai menyerangnya. Tiada pilihan lain bagi Setiaka selain melarikan diri. Dengan susah payah ia menerabas membabi buta berusaha keluar dari kepungan musuh. Dilihatnya ada celah dari kepungan itu dan kesana ia menerjang. Ia berhasil, dan memacu kudanya menjauhi pertempuran itu. Tetapi, seutas tali tiba-tiba terentang melintang membuat kudanya terantuk dan terjerembab bersama penunggangnya. Pasukan Gunung Kembar segera meringkusnya dan dengan tangan terikat membawanya ke markas mereka.Sedangkan para prajuritnya banyak yang tertangkap atau menyelamatkan diri entah kemana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA