Dua hari kemudian Andragi dan Paldrino telah siap
di menara pengamat utama sejak pagi. Melalui teropong mereka telah melihat
pasukan Setiaka bergerak meninggalkan desa Bental menuju Gunung Kembar. Pada
jarak sejauh itu, mata biasa belum dapat melihat apa-apa.
Dilain pihak, Setiaka yang memimpin pasukan bersama
Adipati Rajapurwa, didampingi oleh kepala pasukan Kadipaten Munggur. Selepas
desa Bental Setiaka membagi pasukannya menjadi dua. Pasukan pertama akan
dipimpinnya sendiri untuk menyerang markas Gunung Kembar sebagai pemancing.
Taktik ini digunakan karena mereka belum mengenal medan di sana dan tidak tahu
jebakan seperti apa yang telah disiapkan oleh Jotiwo. Mereka akan bertempur
sekedarnya lalu pura-pura kalah dan melarikan diri. Melihat musuhnya lari tentu
pasukan Gunung Kembar akan mengejar. Mereka akan lari hingga di suatu tempat
dimana pasukan kedua dibawah pimpinan Adipati dan Kepala Pasukan Munggur telah
bersembunyi disisi kiri kanannya dan menyerang mereka secara tiba-tiba. Pada
saat itu pasukannya akan menghentikan larinya dan berbalik menyerang pasukan
Gunung Kembar sehingga terjepit dari tiga arah seperti ikan yang masuk dalam
bubu.
“Taktik ini sangat brilian, Setiaka!” puji
Adipati.
“Betul, Adipati. Kita tinggal melibasnya dengan
mudah,” timpal Kepala Pasukan Munggur.
Setiaka lalu membawa pasukannya sebanyak tiga
ratus orang prajurit infantri dan lima puluh prajurit berkuda maju menuju
Gunung kembar. Setelah pasukan itu hilang dari pandangan, Adipati dan Kepala
Pasukan Munggur membawa masing-masing seratus lima puluh orang bersembunyi di
sebelah kiri dan kanan lintasan yang akan dilalui pasukan Setiaka saat mundur
nanti.
Hari telah lepas tengah hari saat mereka mencapai
kaki Gunung Kembar. Dari sana pasukan itu membunyikan terompet dan genderang
perang sebagai tantangan kepada pasukan Gunung Kembar. Beberapa saat kemudian
dari balik hutan di gunung itu muncul pasukan Gunung Kembar dibawah pimpinan
Gadamuk. Dalam jarak sejauh jangkauan anak panah, mereka berhenti. Dari atas
kudanya Gadamuk mulai mengejek.
“Hahaha.. rupanya pasukan pemerintah tidak berani
datang ke pondok kami dan hanya berhenti disini. Ada perlu apa mengganggu kami
yang sedang asyik ngopi he?” ledek Gadamuk.
“He, perampok busuk. Jangan panggil aku sebagai
Setiaka kalau tidak berani datang ke sarang busukmu itu. Aku hanya geli
mengotori kakiku!” jawab Setiaka.
“Hohoho...dasar banci! Kaya anak perempuan. Takut
sama kecoa atau geli, sama saja! ho.hoho..!” tawa gadamuk.
“Setan alas! Jangan banyak bacot! Mari kita
mulai!” katanya sambil menggebrak kudanya menuju Gadamuk, diikuti anak buahnya
menyerang pasukan Gadamuk.
Mereka bertarung dengan sengit hingga beberapa
jurus. Pedang Setiaka menyambar seperti kilat sedang gada Gadamuk menderu bagai
angin topan. Tetapi lama kelamaan terlihat Setiaka makin terdesak surut. Anak
buahnya juga seirama dengan gerak surut pimpinannya. Di pihak lain, pasukan
Gunung Kembar semakin gencar menyerang melihat pasukan lawan mulai terdesak.
Pada saat yang tepat, tiba-tiba Setiaka memberikan isyarat dan seketika itu juga
ia dan anak buahnya berbalik melarikan diri. Tanpa membuang waktu Gadamuk
memerintahkan pasukannya mengejar lawan yang lari terbirit itu, dengan suara yang riuh rendah.
Pasukan Gadamuk mengejar lawannya hingga kira-kira
dua kilometer sebelum ia memberi isyarat menghentikan pengejaran dan berbalik
ke arah markasnya. Beberapa saat setelah itu ketika suara riuh pengejarnya
tidak terdengar lagi, Setiaka sadar telah kehilangan pengejarnya. Dalam hati ia
mengumpat siasatnya telah diketahui musuh.
“Sialan benar Jotiwo itu. Ia telah tahu siasatku,”
batinnya.
Ia lalu menghentikan pasukannya dan kembali maju
menuju Gunung Kembar, kali ini balik mengejar musuhnya. Ia bertekad bertarung
dengan sungguh-sungguh kali ini. Seorang anak buahnya diperintahkan untuk
memberitahu Adipati dan Kepala Pasukan Munggur agar segera menyusul untuk membantu.
Dengan semangat mereka mengejar pasukan Gadamuk
yang tampaknya bergerak dengan santai. Tetapi saat mendekati kaki gunung itu
mereka mempercepat gerakannya dan segera menghilang di balik hutan di bagian
selatan. Setiaka dan pasukannya mengejarnya ke arah itu tetapi tidak menemukan
jejak pasukan Gadamuk, melainkan mendapati diri mereka berhadapan dengan
batang-batang pohon yang bertumbangan melintang menerjang dan menghalangi jalan
mereka. Sebanyak tiga puluh orang pasukannya terluka tertimpa pohon atau
bertabrakan satu dengan yang lain bersama tunggangannya.
Ketika Setiaka sedang menimbang-nimbang untuk
terus mengejar, tiba-tiba dari arah utara terdengar terompet dan genderang
perang. Setiaka memutar pasukannya mengejar ke arah bunyi genderang itu. Tampak
sekelompok pasukan dengan menggunakan ikat kepala merah dan membawa bendera
merah menuju ke arah mereka. Namun saat hendak berhadapan, tiba-tiba mereka
berbalik dan melarikan diri. Mengetahui mereka melarikan diri karena kalah
jumlah, pasukan Setiaka mengejarnya dengan semangat. Tetapi lagi-lagi mereka
telah menghilang ke dalam hutan. Setiaka merasa geram dan memerintahkan
pasukannya merangsek naik dan masuk ke dalam hutan, hanya untuk berhadapan
dengan batu-batu besar yang tiba-tiba menggelinding menerjang ke arah
pasukannya. Sekitar lima puluh prajuritnya terluka dan sebagaian tewas dilanda
batu-batu berat itu.
Tanpa diperintah pasukannya terdorong mundur.
Sampai disini ia telah kehilangan dua puluh persen dari kekuatan pasukannya
tanpa membunuh satu orang lawan pun. Beberapa orang anak buahnya yang paling
depan saat menyerang tadi rupanya dibiarkan lolos sebelum batu-batu itu
menerjang. Pasti mereka telah ditawan atau dibunuh oleh musuh, pikirnya.
Hatinya geram bukan main. Ia memutuskan akan terus menyerang setelah batu-batu
itu tidak menerjang lagi. Mustahil mereka akan bisa mengumpulkan batu-batu
besar yang banyak secepatnya.
Tetapi saat ia hendak memberi aba-aba tiba-tiba
terdengar genderang perang dan terompet serta suara teriakan menyerang dari
arah mereka datang tadi. Ia terpaksa memutar pasukannya dan menyongsong para
penyerang itu yang ternyata hanya berjumlah kurang dari lima puluh orang.
Mereka menggunakan ikat kepala kuning dan bendera kuning. Mengetahui jumlah
lawan yang sedikit pasukan Setiaka bernafsu untuk segera menghabisi lawannya. Sama
seperti sebelumnya, para penyerang ikat kepala kuning inipun segera berbalik
dan menghilang di balik lebatnya hutan. Hanya bendera kuningnya yang terlihat
melambai-lambai mengejek dibalik gerumbul pepohonan. Pasukan Setiaka menyerbu
kearah bendera itu dan hanya mendapati bendera yang diikatkan pada sebuah
tangkai bambu dan tangkai itu dihubungkan dengan seutas tali sebagai
penggeraknya dari jarak yang jauh. Mereka sangat kecewa dan gusar. Saat itu
hari sudah mulai petang.
Saat mereka hendak mengejar ke arah datangnya tali
itu, tiba-tiba hujan panah menerjang mereka. Kalang kabut pasukan itu
menghindari panah, tetapi bagi Setiaka itu lebih baik daripada tidak tahu
dimana musuh berada. Ia memerintahkan pasukannya mengejar ke arah datangnya
panah, tetapi disambut dengan lubang jebakan yang tersamar dan cukup dalam,
membuat banyak prajuritnya terperosok termasuk pasukan berkudanya. Untung di
dalam lubang itu, sesuai permintaan Andragi, sudah dihilangkan bambu-bambu
runcing yang tadinya berada disana. Sementara itu hujan panah kembali menerjang
mereka. Para prajurit yang terperosok memilih diam dan berlindung di dalam
lubang daripada mencoba naik tetapi berhadapan dengan hujan panah. Tiada
pilihan bagi Setiaka, selain mundur kembali. Kali ini ia kehilangan lebih dari
tujuh puluh prajurit. Itu berarti kekuatan pasukannya sudah kurang dari enam
puluh persen.
Setiaka hampir putus asa karena geram, tetapi ia
ingat pasukan Adipati dan Pasukan Munggur akan segera tiba membantunya.
Semangatnya naik lagi. Bersama pasukan tambahan itu ia akan bisa berbagi
kekuatan menyerang para penggoda yang sedikit jumlahnya itu.
Tetapi kali ini tidak ada pasukan penggoda yang
menggangunya dari arah berlawanan. Karena itu ia memilih menunggu sambil
memberi kesempatan pasukannya membuka bekal mereka untuk makan dan
beristirahat.
Matahari kini telah tenggelam dan hari berganti
gelap. Setiaka mulai bertanya-tanya mengapa pasukan bantuan itu belum tiba
juga. Mestinya sudah sejak sore tadi mereka tiba. Sedang ia bimbang itu tiba-tiba
terdengar teriakan serang dari arah gunung. Pasukannya segera menyongsong musuh
yang datang. Pertempuran sengit segera terjadi pada malam yang remang-remang
itu. Setiaka tidak tahu berapa besar kekuatan musuh, tetapi pada saat itu ia
sangat berharap pasukan bantuan tiba. Dan memang, dari arah belakang terdengar
suara gemuruh pasukan yang bergerak cepat.
“Pasukan pemerintah datang!” terdengar teriakan
nyaring.
“Kami disini! Cepat bantu kami!” teriak Setiaka
menjawab dengan semangat yang menggebu. Hatinya gembira. Ia segera merangsek
maju ke depan supaya terlihat dia sedang berada didepan memimpin dengan
bertarung hebat.
Tetapi betapa terkejutnya Setiaka kala sesaat
kemudian terdengar teriakan histeris pasukannya yang justru mendapat serangan
dari pasukan yang baru datang itu. Pasukannya kocar-kacir lari menyelamatkan
diri. Ternyata ia telah dijepit dari muka dan belakang oleh pasukan musuh. Di
depan dipimpin Gadamuk, dan di belakang dipimpin oleh Bedul Brewok.
“Tangkap
Setiaka!” teriak Brewok.
Bersamaan dengan itu puluhan orang ramai-ramai
menyerangnya. Tiada pilihan lain bagi Setiaka selain melarikan diri. Dengan
susah payah ia menerabas membabi buta berusaha keluar dari kepungan musuh. Dilihatnya
ada celah dari kepungan itu dan kesana ia menerjang. Ia berhasil, dan memacu
kudanya menjauhi pertempuran itu. Tetapi, seutas tali tiba-tiba terentang
melintang membuat kudanya terantuk dan terjerembab bersama penunggangnya. Pasukan Gunung Kembar segera meringkusnya dan
dengan tangan terikat membawanya ke markas mereka.Sedangkan para prajuritnya
banyak yang tertangkap atau menyelamatkan diri entah kemana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.