Kita tinggalkan dulu Komir dan Kepos.
Begitu suaranya lenyap
maka melesatlah makhluk hitam ke balik cadas besar dan menjauh dari sana. Tidak jauh dari situ telah menunggu 2 orang
yang menahan ketawa melihat makhluk hitam itu datang mendekat.
“Permainan Sandiwara yang
mengesankan....” kata seorang yang tak lain adalah Loyo.
“Saya sampai tak kuat
menahan ketawa melihat mereka ketakutan setengah mati...” timpal Brewok.
“Hihiihi... bagus kan,”
kata makhluk hitam itu yang tak lain adalah Lugasi.
“Tapi badan ini serasa
gatal, apalagi dengan rambut ijuk berantakan ini,” kata Lugasi sambil berlari
menuju telaga. Dia langsung mencebur kesana membersihkan diri dari arang hitam
di wajah dan tubuhnya.
Selepas membersihkan diri
mereka segera menuju Kenteng untuk memberitahu Andragi apa yang telah mereka
lakukan. Andragi pun tersenyum mendengar cerita mereka yang kocak itu.
“Bagaimana bisa sampai ke
ide itu?” tanya Andragi.
“Mengetahui yang
menguntit cuma dua orang saya pikir cukup sobat Lugasi saja yang bertindak.
Saya bertugas menyiapkan jelaga dan sobat brewok membuat rambut ijuk. Lalu kami
berdua bersembunyi untuk menonton sandiwara yang bagus itu.” Loyo menjelaskan.
“Hahaha.hahhaha....!!”
mereka bertiga tertawa bersama.
“Kerja yang Bagus. Tidak
ada korban, tidak ada yang terluka. Saya kira pesannya akan sampai ke pak Diguldo
dengan atraksi membuntungi singkong dan ancaman buntung tangan dan kaki itu...”
kata Andragi.
“Hihihi... Saya pikir pak
Diguldo akan tahu itu ulah saya, hihihi...,”
cetus Lugasi jenaka.
“Artinya beliau tahu
singkong ajaib berasal dari kita dan sebaiknya untuk sementara dirahasiakan...” kata Andragi.
Pada saat itu terdengar langkah
orang mendekati mereka. Ia memberi salam, dan ternyata Sutar yang datang.
Setelah minum seteguk pembicaraan dilanjutkan.
“Tapi, bagaimana nasib
kedua orang itu? Bagaimana mereka bisa kembali di tengah malam dalam hutan yang
lebat itu?..” tanya Andragi.
“Saya sudah membuat
tanda-tanda dengan menebas dedaunan dan
batang pohon saat menghilang tadi agar nudah dikenali sebagai bekas dilalui
orang, sesuai rencana yang kita buat. Dengan begitu mereka bisa lebih mudah
mencapai jalan menuju Poruteng,” jelas Sutar.
“Rencana yang cerdas,
sobat-sobatku. Terimakasih banyak,..” kata Andragi mengakhiri pembicaraan mereka.
Sutar lalu mohon diri
untuk pulang ke rumahnya dan beristirahat.
Sebelum membubarkan diri,
Lugasi mengajak bicara Andragi, Loyo dan Brewok. Dia menceritakan janji dan
rencananya bersama Rampoli untuk merampok kembali harta yang diperas dari
rakyat demi hadiah perkawinan Kepala Negeri.
Andragi, Loyo dan Brewok
setuju dengan rencana itu dan berjanji akan membantu Rampoli.
“Baiklah sobat Lugasi
kita akan pergi setelah kita selesaikan bagian-bagian penting dari pekerjaan
membangun Kenteng Baru,” kata Andragi.
“Tidakkah sebaiknya kita
selesaikan dulu pekerjaan disini baru pergi?” tanya Loyo.
“Saya pikir ada baiknya
juga kita beri kesempatan mereka untuk menyelesaikan sendiri pekerjaan ini agar
mereka tidak selalu bergantung kepada kita. Disamping itu agar tumbuh
kepercayaan diri kalau mereka mampu menyelesaikan masalah mereka dan karena itu
punya rasa memiliki yang tinggi untuk memelihara dan menjaganya dari gangguan....”
jelas Andragi.
“Wow, saya dapat
pelajaran baru nih..!!” seru Brewok.
“Lagipula, kalau hasil
kerja mereka kurang sempurna kita bisa kembali untuk membenahinya atau
mengarahkan mereka utk memperbaikinya,..” kata Amdragi.
“Hihihihi.. tadinya saya
merasa menyesal sudah membicarakan masalah Rampoli ini sehingga sobat-sobat
harus meninggalkan pekerjaan disini....” cetus Lugasi seperti merasa bersalah.
“Tidak sobat Lugasi,
justru sebaliknya kita berterimakasih kepada sobat Lugasi karena mendapat manfaat
dari masalah sobat Rampoli ini..” jelas Andragi.
“Iya, benar juga ya.
Seperti ‘berkah terselubung’ ya?.” tanya Loyo.
“Saya pikir begitu sobat
Loyo,” jawab Andragi.
Mereka jadi bersemangat
untuk membantu Lugasi mengatasi masalah yang dihadapi Rampoli. Karenanya mereka
juga tambah semangat mengerjakan pembangunan Kenteng Baru agar pada saat mereka
pergi nanti semua bagian-bagian penting sudah jadi seperti parit, rumah contoh,
sumur, WC, Area Lapak, badan jalan dan jembatan. Dengan begitu warga tinggal
melanjutkan sesuai contoh yang telah ada.
-----------------------
Kita tengok dulu apa yang terjadi pada Komir
dan Kepos setelah makhluk hitam mengerikan itu pergi.
“Ayo Pos, kita pergi,
cepat bangun..!” ajak Komir sambil menarik tangan Kepos keatas mengajaknya
bangun berdiri. Ia tak berani bersuara keras karena masih diliputi ketakutan
yang sangat.
Dengan susah Komir
membangkitkan semangat Kepos sementara dia sendiri masih ketakutan. Tapi dengan
ketakutan itu justru ketika sadar Kepos lalu bangkit berdiri dan siap berlari
menjauh.
“Eh, mau lari kemana
kau..? Kita tak tahu arah pulang..,”
cegah Komir.
Sambil berpegangan mereka
mencoba mencari arah untuk pulang. Mereka bahkan tak sempat berpikir kemana dan
dimana Sutar menghilang. Beruntung setelah beberapa saat mencari di dalam
gelapnya hutan di waktu malam mereka melihat bekas ranting dan dedaunan yang
patah seperti bekas dilalui orang.
“Ini ada ranting patah
bekas dilalui orang. Pasti dari sini tadi kita datang,” ujar Komir. Kepos hanya
bisa mengangguk setuju.
Mereka lalu berjalan
mengikuti jejak ranting dan dedaunan yang patah atau tersibak yang memang
sengaja dibuat oleh Sutar itu. Meskipun lambat, tetapi akhirnya mereka bisa
mencapai jalan yang menuju Poruteng. Dengan perasaan lega terbebas dari angkernya hutan, mereka bergegas
menuju Poruteng.
Hari masih terang tanah
ketika nereka tiba di Poruteng dalam keadaan lelah lahir batin. Juga rasa lapar
dan haus menyengat nereka. Mereka langsung menuju Markas kediaman Diguldo, bermaksud hendak melapor.
Setiba di depan pintu gerbang markas Pamong
Negeri Poruteng mereka dihadang oleh dua orang penjaga.
“Brenti..!! Siapa kamu
pagi-pagi begini datang kesini..!!’ bentak seorang penjaga.
“Kami utusan Komandan Diguldo
mau melapor, penting..,!!” jawab Komir.
“Tidak bisa..!! Komandan
belum bangun sepagi ini..Tunggu setelah matahari naik baru boleh menghadap.
Itupun kalau Komandan sudah bangun!” hardik penjaga itu.
Mendengar ada sedikit
keributan itu beberapa orang penjaga keluar dan mendekat.
“Ada apa ini..?” tanya
mereka bersahutan.
“Orang ini mau melapor ke
Komandan sepagi ini..” jawab penjaga yang berhadapan dengan Komir.
“Tolong buka gerbang, ini
penting...!” kata Komir.
“Hei.. sebentar..! kata
seorang penjaga yang baru datang.
“Sepertinya memang dia
utusan Komandan. Saya melihatnya beberapa hari yang lalu menghadap beliau dan keluar
beberapa saat kemudian..” lanjutnya.
“Saya akan melapor dulu
ke petugas jaga di dalam..,” katanya sambil bergegas masuk ke dalam gerbang.
Beberapa saat kemudian
dia kembali,
“Mari masuk, temui
komandan jaga kami..,” katanya.
Komir dan Kepos digiring
masuk melalui pintu gerbang dan menemui komandan jaga yang bertugas saat itu.
“Menurut laporan anak
buah saya kamu utusan Komandan Pamong Negeri, betulkah..?” tanya komandan.
“Betul, nama saya Komir
dan ini kawan saya Kepos. Ada hal penting yang harus segera saya laporkan..,”
jawab Komir.
“Seberapa pentingkah itu?
Haruskah saya membangunkan beliau sepagi ini atau masih bisakah saudara
menunggu?” tanya komandan.
“Saya kira kami bisa
menunggu sampai beliau bangun. Tetapi tolong berikan kami tempat beristirahat
saat menunggu..,” pinta Komir.
“Baik, silakan istirahat
di gardu itu. Kalau Komandan sudah bangun saya akan laporkan kedatanganmu...,”
“Terimakasih..,” kata
Komir.
Mereka lalu menuju gardu
yang ditunjuk.
“Kok penjaganya baik-baik
ya? Biasanya kan sangar-sangar..? tanya Kepos keheranan tapi nerasa lega.
“Oh iya.... Komandan Diguldo
itu orang yang baik dan lurus, beda dengan yang dulu-dulu. Sejak jadi komandan
disini beliau mengubah banyak hal terutama yang menyangkut pelayanan kepada
masyarakat..,” jelas Komir.
“Ooo pantesan kamu
sebagai Pamong Negeri biasa yang bertugas di pasar kota bisa menghadap dan jadi
utusan beliau...” timpal Kepos.
“Iya, kalau tidak mana
berani saya menghadap beliau langsung..”
Karena kelelahan dan
merasa aman mereka jatuh tertidur. Dalam keadaan lelap tiba-tiba mereka
dibangunkan penjaga dan menyadari kalau matahari sudah tinggi.
“Komandan sudah bangun
dan bersedia menerima kalian. Tetapi beliau menyuruh kami menyediakan sarapan
buat kalian,” kata penjaga sambil menunjuk bungkusan besar berisi makanan dan
minum di dekat mereka.
“Silakan sarapan dulu dan
bebersih diri disana. Sesudah itu kami akan antar untuk menghadap..,”
lanjutnya.
Perut yang keroncongan
membuat mereka langsung membongkar bungkusan besar itu dan melahap seluruh isinya. Setelah itu mereka bebersih diri
di tempat yang ditunjuk penjaga tadi.
Kini badan mereka serasa
segar karena sudah tidur, sudah sarapan dan sudah bebersih diri. Tinggal
menunggu perintah menghadap.
“Komandan Diguldo sungguh
orang yang baik. Kita diberinya makanan dan istirahat dan...,” kata Kepos
terputus melihat penjaga mendatangi mereka.
“Silakan menghadap Komandan.
Mari ikuti saya...,” kata penjaga.
Merekapun langsung
berdiri dan berjalan mengikuti penjaga untuk menghadap Komandan Diguldo.
Setelah mereka masuk Diguldo meminta penjaga meninggalkan ruangan karena
pembicaraan bersifat rahasia.
“Selamat pagi saudara
Komir dan ...?” sapa Diguldo.
“Saya Kepos tuan..,”
jawab Kepos hormat.
“Baiklah.. Ada hal
penting apakah yang mau kalian laporkan sehingga telah datang sejak pagi buta
tadi..?” tanya Diguldo.
Dengan runtut Komir menceritakan bagaimana
mereka menguntit penjual singkong ajaib sampai dia setuju mengantar jauh ke
dalam hutan dekat desa Kenteng tempat asal singkong ajaib itu.
“Tunggu, katamu dekat
desa Kenteng..? tanya Diguldo.
“Maksud saya, sebelum
sampai Kenteng kami belok kiri masuk hutan menuju tempat itu..” jelas Komir.
“Lalu, apakah kamu
berhasil mendapatkan singkong itu?” desak Diguldo.
“Iya Komandan. Kami
sampai ke tempat yang ada cadas besar dan menemukan pohonnya dan menggali
singkong itu..” jelas Komir.
“Benarkah begitu..??”
tanya Diguldo memotong kata-kata Komir, sambil mengarahkan pandangannya ke
Kepos untuk memastikan kebenarannya.
(“Hmmm..., menurut
saudara kembar istriku yang jadi istri pak Paldrino singkong itu ditanam di
desa baru di seberang danau, apakah orang-orang ini berbohong?” pikir Paldrino.)
“Benar Tuan...!!,” kata
Kepos tergagap karena ditatap oleh Diguldo.
“Kami senggalinya dan
mendapatkan singkong besar itu., tapi .....!!” jelas Kepos.
“Tapi apa...??!!” sergah Diguldo.
“Tapi..tapi..., waktu..
singkong....itu ...di...di..angkat...” kata Kepos terputus-putus.
“Ya, kenapa..?? kejar Diguldo
tak sabar.
“Waktu singkong raksasa
itu saya angkat tinggi-tinggi...,” jelas Komir dengan lebih lancar.
“Tiba-tiba ada bayangan
hitam yang menggelinding sangat cepat dan tahu-tahu singkong itu telah
terpotong-potong dan makhluk itu melenting naik keatas batu cadas besar itu..”
lanjut Komir.
Dia lalu menceritakan
bagaimana mereka ketakutan setengah mati setelah diancam akan dipenggal putus
kepala mereka kalau tidak memberitahu siapa yang menyuruh mereka.
“Jadi, kamu beritahu..!!”
bentak Diguldo.
“Ampun komandan..., Dengan
menyebut nama komandan kami diberi hidup untuk menyampaikan pesan dan
ancamannya...,” lawab Komir ketakutan.
“Apa pessan dan
ancamannya...??” tanya Diguldo dengan dada berdebar.
“Katanya kasih tahu Komandan
Diguldo jangan pernah ada lagi yang coba mencari tahu asal singkong ajaib atau
akan dibuat buntung kaki dan tangannya....dan...” jelas Komir.
“Dan Apa...!!” kata Diguldo
terhenyak.
“Dan ,..is..tri ..nya..,”
jawab Komir pelan dan terbata-bata.
Semua diam. Suasana
tegang. Komir dan Kepos duduk berdebar-debar, menunggu apa reaksi Diguldo.
Wajah Diguldo
terlihat tegang, dahinya berkerut
seperti sedang berpikir keras. Padahal sesungguhnya hatinya lega karena ancaman
itu jelas menunjukkan siapa makhluk hitam menyeramkan itu.
“Hmm..., hanya ada satu
orang yang biasa menggelinding cepat dan melenting tinggi lalu tahu-tahu
lawannya buntung tangan dan kakinya. Apalagi dia menyebut istriku” pikir Diguldo.
“Pasti dia itu Lugasi!
Berarti para Sobat saya di tempat kakek Blakitem menghendaki saya merehasiakan
tempat mereka menanam singkong ajaib itu. Baiklah kalau begitu” simpul Diguldo
dalam hati, lega.
“Komir dan Kepos..!!
Dengarkan baik-baik..!!” kata Diguldo dengan nada berat dan tegas.
“Peringatan itu harus
kita ikuti sebaik-baiknya, supaya tidak ada yang jadi korban buntung tangan dan
kakinya,.....mengerti..!!?? tandas Diguldo.
“Mengerti tuanku,..”
jawab keduanya hormat.
Ada sedikit kelegaan di
hati Komir dan Kepos karena mereka tidak dimarahi dan Komandan Diguldo memilih
untuk menuruti permintaan makhluk hitam mengerikan itu. Toh permintaannya
ringan, bukan uang atau barang atau sesaji manusia.... cuma tidak mengusik tempat
singkong itu berasal.
“Dan kalian sejak saat
ini punya tugas meredam kehebohan orang membicarakan asal usul singkong ajaib
itu. Sebarkan ancaman itu secara tidak mencolok. Katakan kalau tempat asal
singkong itu di dalam hutan yang jauh dan angker karena ada makhluk penguasa
hutan yang akan membuat buntung tangan dan kaki siapa saja yang mencoba mencari
tahu tempatnya. Kalian mengerti,...!!??’
“Mengerti, tuanku,” jawab
mereka serempak.
“Coba ulangi apa yang
harus kalian katakan.!” pinta Diguldo.
Satu persatu mereka
mengulangi kata-kata yang yang harus mereka sebarkan, berulang kali sampai
benar. Mereka tidak boleh menyebut nama Diguldo dan istrinya dalam ancaman yang
mereka sebarkan.
“Jangan pernah cerita
kalau kalian pernah pergi ke hutan itu dan bertemu dengan makhluk seram itu.
Itu akan membuat dirimu terancam karena pasti ada orang-orang jagoan yang ingin
kesama dan mengancam kalian menunjukkan tempat itu. Kalian pun mungkin akan
dibunuh, ditebas lehermu oleh makhluk itu, tidak hanya buntung kaki dan tanganmu
saja,.. mengerti!!”
“Mengerti, tuanku..”
jawab keduanya merinding membayangkan leher mereka ditebas makhluk itu. Mereka
sudah pernah merasakan hampir di tebas lehernya oleh makhluk penguasa hutan
itu.
“Baik, pergilah ke pasar
atau warung dan jangan pernah mulai bercerita lebih dulu. Kalian hanya
menanggapi orang yang ngomong asal usul soal singkong itu. Mengerti..??”
“Kami
mengerti,tuanku..tapi ...” jawab Komir.
“Tapi apa...” tanya Diguldo.
“Bagimana menjelaskan
pedagang singkong itu bisa mendapatkannya..?” tanya Komir.
“Katakan bahwa mereka itu
anak buah atau orang yang menghormati dan melayani penguasa hutan itu serta
yang menjaga kelestarian hutan itu. Selain mereka, akan dibuat buntung atau ditebas
lehernya..” kata Diguldo.
“Pada dasarnya tugas
kalian adalah meredam kehebohan atau keonaran yang timbul karena berita
singkong ajaib itu. Minta mereka sebaiknya diam supaya makhluk itu tidak marah
dan mencelakakan mereka..,” jelas Diguldo.
“Ini bekal untuk
menjalankan tugas kalian selama sebulan,..Lakukan dengan sebaik-baiknya..” kata
Diguldo sambil mengulungkan sekantung uang.
“Terimakasih, Komandan..”
Jawab keduanya.
Komir dan Kepos segera
kembali ke pasar dan bertugas seperti biasa sebagai pamong negeri di pasar kota
Poruteng. Mereka berkeliling melihat
situasi pasar.
Sementara itu Diguldo
segera menghadap Adipati Opowae untuk melapor.
“Bagaimana saudara Diguldo,
sudah ada berita,..??” tanya Opowae.
“Sudah tuan
Adipati,...Orang kepercayaan saya sudah sampai ke tempat asal singkong ajaib
itu berada tetapi belum berhasil mendapatkannya karena dijaga oleh makhluk penguasa
hutan itu yang sangat ganas..” jelas Diguldo.
“Tapi kenapa ada orang
yang bisa mendapatkannya,..?? Apa perlu kita mengirim pasukan tentara
kesana,..??” tanya Adipati.
“Mereka itu penduduk
setempat dan rakyat dari penguasa hutan itu.
Mereka hanya datang untuk menjual singkong dan tidak mengganggu atau
merugikan rakyat kita,..” jelas Diguldo.
“Jadi, saya pikir belum
perlu mengirim pasukan ke sana karena mereka tidak memusuhi atau menggangu
kita. Kita hanya perlu meredam kehebohan berita itu dan mencegah terjadinya
keonaran,..” lanjut Diguldo.
“Baiklah,... Lakukan itu.
Saya percayakan saudara Komandan Pamong Negeri Diguldo untuk menanganinya
sebaik-baiknya,.!!” perintah Adipati.
“Siap, tuan Adipati,..”
jawab Diguldo.
Kita kembali ke Komir dan
Kepos,
Di bagian pasar hewan Komir
dan Kepos melihat kerumunan orang sepertinya seru membicarakan sesuatu. Mereka
saling celoteh dengan penuh rasa ingin tahu tentang singkong ajaib itu.
“Daripada menjual hewan
yang lama memeliharanya lebih baik pergi mencari singkong besar itu. Lebih
cepat dapat uang...” kata seseorang.
“Iya betul juga, tapi
kemana mencarinya..” timpal yang lain.
“Yang saya dengar
tempatnya jauh dari sini didalam hutan yang angker dan berbahaya...” kata Komir
mulai beraksi.
“Memang, bahayanya apa
pak Pamong..??” tanya seseorang.
“Ada makhluk penunggunya
yang seram dan akan membuat buntung kaki dan tangan siapapun yang datang
kesana..” jawab Komir.
Sebagian yang mendengar
menjadi ngeri dan pelan-pelan pergi dari kerumunan itu. Mereka memilih tidak
cari perkara dengan makhluk seram itu sehingga tinggal sedikit saja yang masih
disitu.
“Ah itu berita belum
tentu benar......., apa pak Pamong pernah lihat sendiri kesana...!!?” tanya
seseorang yang bertampang lucu.
“Ah.., tentu
tidak!!. Kalau saya pernah kesana tentu tangan atau kaki saya sudah buntung
sekarang...he..!” jawab Komir sambil tertawa.
Yang
mendengarpun ikut tertawa dan mengangguk-angguk menyetujui pendapat Komir.
Merekapun mulai bubar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.