“Dan untuk meyakinkan, kalian harus membuat 5 gundukan tanah seperti kuburan sebagai kuburan kalian masing-masing,..paham??” tanya Andragi.
“Ya, kami mengerti,..”
jawab mereka hampir bersamaan.
Kelima orang itu pun
langsung membuat gundukan kuburan palsu mereka masing-masing di tempat yang
ditunjuk. Mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan membuat sebaik mungkin
seakan sedang menguburkan dirinya sendiri.
Di bagian lain Rampoli
bangun dan memeriksa para prajurit yang pulas tertidur. Diantara mereka ada
juga yang tidak sepenuhnya tertidur dan ketika mereka coba bangun segera pula dilumpuhkan
oleh Rampoli. Ia lalu mengambil setiap senjata para prajurit yang tertidur
pulas itu dan mengumpulkannya di tempat terpisah.
Setelah itu dia segera mendatangi Andragi dan
teman-temannya dan berpura-pura sebagai tawanan yang ditangkap oleh Balmis dan
Brewok. Rampoli juga berpura-pura minta dibunuh karena tidak bisa kembali jika
gagal dalam tugas pengantaran ini. Ia juga lalu “disuruh” membuat kuburannya
sendiri. Kelima pimpinan prajurit dalam hati merasa senang dapat tambahan teman
senasib.
Selesai dengan pembuatan
kuburan palsu, Andragi mengajak semuanya berkumpul dan menjelaskan apa yang
selanjutnya mereka kerjakan.
Kini dengan bebas para
“perampok” itu mengosongkan gerobag yang berisi berbagai benda berharga dan
uang emas sebagai hadiah bagi kepala negeri Sudoba. Mereka memasukkan ke dalam
karung-karung yang sudah disiapkan sebelumnya agar mudah dibawa oleh orang.
Terkumpul sebanyak dua puluh karung berisi penuh benda-benda berharga itu.
Mereka lalu melepaskan
dua ekor sapi penarik gerobag dan memuatkan sebagian karung di punggungnya.
Sisanya dipikul oleh beberapa orang. Mereka lalu membawa karung-karung itu agak
jauh ke dalam hutan dan menunggu disana sementara Lugasi, Andragi dan Balmis
tetap ditempat itu karena yang harus mereka lakukan.
Andragi, Lugasi dan
Balmis segera membakar semua rumah penduduk untuk mengesankan terjadinya
perampokan besar-besaran dan ganas sehingga membuat warga desa itu melarikan
diri entah kemana. Sementara api berkobar menyala di tengah malam dan
menghanguskan rumah-rumah sederhana itu, ketiganya lalu memeriksa para prajurit yang ternyata masih
pulas tertidur. Demikian juga Laja.
Mereka naik keatas
gerobag untuk beristirahat dan mengawasi para prajurit yang tertidur itu. Menjelang
fajar satu persatu sudah ada yang mulai sadar dan mencoba bangun, tetapi tubuh
mereka terasa lunglai seakan tak bertulang. Ketika matahari mulai muncul di
balik bukit semuanya telah terbangun dan sebagian besar sudah bisa duduk tapi
belum bisa bangun berdiri. Mereka juga segera menyadari senjata mereka sudah
tidak ada di pinggang masing-masing.
Lugasi berdiri diatas
gerobag sedangkan Andragi dan Balmis menjaga di sekitar para prajurit yang
terduduk itu.
“He,... kalian semua,..!!
Dengarkan,..!!” teriak Lugasi.
“Kalian telah kami
lumpuhkan dan para pemimpin kalian teha mati terbunuh. Barang hantaran kalian
telah kami rampas untuk kami kembalikan kepada rakyat Megalung..!!” kata Lugasi
dengan lantang.
“Kalau kami ingin
membunuh kalian, sejak tadi malam kalian sudah jadi bangkai,..!! Kami bukan
perampok dan penjahat, karena itu kami membiarkan kalian hidup dan sekarang
menunjukkan muka kepada kalian, karena kami tahu kalian hanya prajurit biasa
dan punya anak dan istri yang harus dihidupi,..” pidato Lugasi.
“Nah, sekarang kalian
bebas dan boleh pulang kalau sudah pulih,..!!” katanya mengakhiri.
“Tapi,... tuan,..??”
tanya Laja tiba-tiba dan dia sudah bisa berlutut.
“Kemana teman saya
disini,.. apa dia ...terbunuh,..??” tanya Laja.
“Uh, yang ada
didekatmu,..hmmm.. sudah kami tawan karena dia tidak sepulas kalian
tidurnya,..” jawab Lugasi.
Bagi Laja, Rampoli bukan
hanya sekedar seorang sahabat saja tetapi lebih dari itu dia adalah dewa
penolong yang menyelamatkan nyawanya dan sandaran dirinya yang bisa mengobati
kalau sakitnya kambuh. Karena itu dia ingin juga ditawan saja, lagipula dia
tidak akan bisa dibiarkan hidup kalau melaporkan bahwa tugas pengantaran itu
telah gagal.
“Kalau begitu,... saya
minta ditawan juga, tuan,..” Laja memohon.
“Lho,.. kenapa
begitu,..?? Orang sudah dibebaskan kok
malah minta ditawan,..hihihi,..” tanya Lugasi.
“Dia itu tabib saya,..
Saya akan mati kalau kambuh ...dan tidak diobatinya... Lagipula saya tidak bisa
pulang kalau tugas ini gagal.. Saya akan dihukum mati,,!!” jawab Laja.
“Hmmm,... alasan yang
baik,... baiklah,.. kau akan jadi tawanan kami menemaini kawanmu itu,..” kata
Lugasi.
Tiba-tiba mulai terdengar
suara-suara berbisik-bisik diantara para
prajurit yang semakin lama makin berdengung seperti suara orang-orang di
keramaian.
“Heiii,.. DIAM..!!”
Bentak Lugasi dan secepat kilat ia melenting tinggi dan berkelebat diantara
pepohonan yang mengelilingi para prajurit itu lalu melenting kembali ke tempat
semula diikuti dengan rontoknya banyak dahan sebesar lengan berjatuhan
disekitar para prajurit. Merekapun langsung terdiam, membisu.
“Apa yang kaian
ributkan,..he?? Apa leher kalian ingin putus seperti dahan-dahan itu,..he..??”
bentak Lugasi.
“Ampun,.. tuan...” kata
seorang prajurit sambil berlutut memberanikan diri menjawab.
“Kami ..juga... tidak
bisa ...kembali, karena akan.. dihukum.. mati..” katanya.
“Hmmm,... bagaimana
mungkin,..??” kata Lugasi sambil menggaruk-garuk kepalanya meski tidak gatal.
Andragi lalu naik keatas
gerobag menggantikan Lugasi.
“Begini saudara-saudara..
Saat ini kami sedang berusaha mengembalikan barang rampasan itu kepada rakyat
Megalung yang berhak menerimanya. Tugas ini tidak mudah. Dan kalian wajib
membantunya, karena sebagai prajurit kalian pula yang telah ikut merampasnya dari
rakyat Megalung.,,,” kata Andragi.
Para prajurit itu terdiam
dan mata mereka bertanya-tanya.
“Baiklah, .... Dengarkan
baik-baik,..” kata Andragi.
“Kalian tidak usah
kembali ke markas kalian, tetapi pulang ke rumah masing-masing secara diam-diam
lalu bawa anak istri kalian pergi menyeberang sungai Pragi menuju desa-desa di
sekitar Selonto di kaki gunung Kalas.
Kalian akan kami bekali dengan uang yang cukup untuk hidup 6 bulan bersama
keluarga. Tiga puluh hari dari sekarang kami akan ada di kaki gunung Kalas dan
disana kalian bisa bergabung dengan kami...”
“Apa kalian mengerti,..??
tanya Andragi.
Terdengar gerendengan
suara para prajurit itu berbicara satu dengan lainnya membahas kata-kata
Andragi itu. Rupanya tidak ada pilihan lain yang lebih baik buat mereka selain
menerima usulan itu.
“Baik, ... kami mengerti,..”
kata prajurit yang dituakan.
“Nah,.. Selama menunggu 30
hari itu kalian sebaiknya menyebar di beberapa desa di sekitar Selonto dan setiap satu atau dua pekan saling ketemu
di pasar Selonto untuk mengetahui perkembangan keadaan,..” jelas Andragi.
Mereka pun
mengangguk-angguk paham, dan melihat ada jalan untuk bisa tetap hidup. Lugasi
dan Balmis lalu membagi-bagikan sejumlah keping uang kepada setiap prajurit
untuk bekal mereka.
“Nah sekarang kami akan
tinggalkan tempat ini. Sebelum kalian pergi kuburkan dulu komandan kalian yang
terbunuh itu. Ganti pakaian kalian dan pergi satu-satu atau berdua. Jangan
berombongan,.. Simpan pedang kalian baik-baik, jangan sampai kelihatan. Mungkin
suatu saat diperlukan,” kata Andragi lagi.
“Oh, ya... Kalian boleh
menangkap kambing atau ayam yang tertinggal di desa ini untuk sarapan, tetapi
cepat pergi sebelum ada orang yang lewat disini,..” kata Lugasi.
Para prajurit segera
bangun dan berganti pakaian. Ada yang segera menggali kubur dan ada yang
menyiapkan sarapan. Setelah itu berdua-dua mereka pergi meninggalkan tempat itu
secara sembunyi-sembunyi.
Andragi, Lugasi dan
Balmis lalu mengajak Laja menyingkir
dari tempat itu masuk hutan menyusul teman-teman mereka yang sudah pergi lebih
dulu. Setelah bertemu Andragi menceritakan apa yang baru mereka kerjakan
terhadap para prajurit.
“Kenalkan ini sobat Laja
yang mita dirinya jadi tawanan kita. Apakah bisa diterima,..??” tanya Andragi
bersandiwara.
“Dia sahabat saya,.. dan
sedang sakit. Dia butuh obat dari saya,..” kata Rampoli.
Yang lain
mengangguk-angguk mencoba memaklumi apa yang dikatakan Rampoli. Laja merasa
bersyukur atas kata-kata Rampoli yang baginya sangat membantu meyakinkan agar
bisa bergabung dalam kelompok itu.
“Saya tidak bisa kembali
karena akan dihukum mati atas kegagalan menghantarkan hadiah bagi Kepala
Negeri,... Mohon bisa diterima,..” pinta Laja.
“Baiklah sobat Laja. Kami
harap sobat bisa membantu kami,..” kata Andragi.
“Saya bisa berlari cepat
dalam jarak jauh Semoga bisa berguna,..” jawab Laja.
Andragi lalu
memperkenalkan semua teman-temannya kepada Laja, Rampoli dan kelima pimpinan
prajurit.
Setelah sarapan, mereka pun berangkat dengan
membawa harta rampasan menuju ke Batu Tiga untuk beristirahat. Dari sana mereka
melanjutkan ke tempat di dalam hutan yang ditunjuk oleh Huntari dan Huntaro.
Tempat itu berupa gua batu diatas tebing yang biasa mereka gunakan sebagai pos
intai mereka di dalam hutan kalau mereka berburu harimau. Gua itu hanya bisa
dicapai dengan memanjat sebatang pohon di dekatnya atau dengan memasang tangga
tali.
“Saya kira tempat ini
bagus untuk menyimpan harta ini sebelum dibagikan kepada rakyat Megalung,.”
kata Huntari.
“Saya setuju. Tempat ini
cukup tersamar dan cukup luas,..” kata Andragi.
Mereka lalu menaikkan
semua harta rampasan itu dan memasukkan ke dalam gua batu itu. Setelah itu
mereka berunding untuk langkah selanjutnya.
Mereka memutuskan untuk
sementara akan tinggal di tempat pak Hobijo sekalian mengantar pulang Angkuso,
Huntari dan Huntaro. Dari sana mereka akan memantau perkembangan situasi akibat
dari perampasan hadiah perkawinan Kepala Negeri Sudoba.
Malam itu mereka bermalam
di depan gua batu itu. Saat matahari mulai merekah mereka menuju tempat pak Hobijo
dituntun oleh Huntari dan Huntaro yang sangat mengenal wilayah hutan itu.
Tetapi mereka memilih jalan melingkar yang sebenarnya lebih sulit dan agak
jauh.
Siang hari mereka tiba disana dan disambut
langsung oleh pak Hobijo di rumahnya yang besar dan luas.
“Selamat datang sobat
Andragi, sobat Sehut dan kawan-kawan. Semoga semuanya baik-baik saja,..” sambut
Hobijo.
Andragi lalu
memperkenalkan orang-orang yang ikut menjadi ‘tawanan’ nya. Setelah dijamu
makan siang mereka lalu ditempatkan dalam rumah tersendiri yang agak terpisah
dari bangunan induk. Hanya Andragi dan Lugasi yang mendapat kamar sendiri di
bangunan induk. Sedangkan Angkuso kembali menempati kamarnya sendiri.
Malam harinya Andragi,
Lugasi, Angkuso dan pak Hobijo membicarakan rencana mereka selanjutnya.
“Kami bermaksud membangun
sebuah daerah baru di kaki gunung Kalas sebagai tempat hidup yang baru buat
para bekas prajurit yang tidak bisa kembali lagi ke markas mereka di Megalung
karena gagal menjalankan tugas. Dari situ kami akan mengembalikan harta
rampasan itu untuk kebaikan rakyat Megalung,..” Andragi menjelaskan.
“Pikiran yang bagus. Semoga
usaha itu lancar,..” kata Hobijo.
“Karena itu besok kami
akan segera pergi menuju kaki gunung Kalas. Tapi malam ini saya minta sobat
Lugasi, Angkuso, Huntari, Huntaro, Loyo dan Brewok pergi mengamankan harta
rampasan itu sesuai rencana,..” kata Andragi.
Malam itu diam-diam
Lugasi, Huntari dan Huntaro mengajak Loyo dan Brewok pergi ke gua di dinding
karang tempat mereka menyimpan harta rampasan melalui jalan pintas yang biasa
dipakai oleh Huntari dan Huntaro.
Sesampai disana mereka
menurunkan hampir semua harta rampasan itu dan memindahkannya ke gua sarang
harimau tempat Lugasi menyelamatkan anak harimau. Karena jumlahnya yang banyak
mereka beberapa kali bolak balik memindahkan karung-karung harta itu dengan
disaksikan oleh beberapa pasang mata harimau. Binatang-binatang buas itu hanya
diam mengawasi setelah diajak bicara oleh Lugasi, juga Huntari dan Huntaro.
Mereka masih mengenal ketiga orang ini dan tidak ingin ditotok lagi rupanya.
“Apakah semuanya kita
pindahkan ke sarang harimau,..??” tanya Brewok.
“Tidak,.. sisakan 2
karung di gua ini. Dan bawa setengah karung uang perak dan emas untuk bekal
kita di kaki gunung Kalas,..” jawab Lugasi.
Setelah selesai
memindahkan harta rampasan itu, meninggalkan dua karung di gua dinding karang
dan membungkus setengah karung uang perak dan emas ke dalam tiga kantong lebih
kecil, mereka segera kembali ke rumah Hobijo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.