Ancaman Makhluk Penguasa Hutan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #73 )


Padahal inilah yang dilakukan penjual singkong ajaib itu.

Lelaki itu memang sudah menduga dan berjaga-jaga kalau dia akan dikuntit orang saat pulang karena banyak yang ingin tahu darimana dia memperoleh singkongnya itu. Setelah keluar dari warung makan ia sengaja berbelok masuk ke rumah bordil dan dengan sedikit uang perak dia bisa meloloskan diri lewat pintu belakang, karena dibantu germo pemilik rumah bordil itu.

Begitu lepas dari pengamatan penguntitnya ia langsung bergegas kembali ke Kenteng melalui jalan yang tidak biasa. Ia memilih jalan-jalan tikus yang dipakai para pemburu binatang atau anak-anak gembala. Yang penting ia tahu arah kemana tujuannya. Menjelang malam ia sudah sampai di Kenteng.

Ia segera menemui Andragi di rumah yang dijadikan tempat berkumpul warga Kenteng selama membangun Kenteng Baru.

“Hai sobat Sutar, baru datang ya? Silakan masuk....” sapa Andragi ramah.

“Terimakasih sobat Andragi. Saya baru saja sampai dari Poruteng dan langsung kesini untuk melapor,” jawab Sutar si penjual singkong ajaib.

“Oh begitu. Silakan duduk dan minum dulu baru kita bicara,” kata Andragi.

Ia lalu memberi tanda agar Lugasi, Loyo dan Brewok ikut masuk dan mendengarkan laporan Sutar. Setelah meneguk minuman yang tersedia, mulailah Sutar bercerita.

“Ternyata benar dugaan sobat Andragi. Saya memang diikuti oleh orang yang ingin mengetahui asal singkong ajaib kita,” katanya.

“Sesuai saran sobat Andragi, saya langsung masuk ke rumah bordil, berpura-pura mencari hiburan disana lalu menyelinap keluar lewat pintu belakang tanpa diketahui oleh mereka,” lanjutnya.

“Bagus.., kata Andragi. Ada berapa orang yang mencoba menguntit sobat Sutar..?”

“Setahu saya ada 2 orang. Mereka terlihat sekali ingin membeli singkong ajaib tapi karena kehabisan kami berjanji ketemu lagi lusa di warung itu,” jelas Sutar.

“Hmmm, kalau begitu apa rencana kita sobat Lugasi..?” tanya Andragi.

“Hihi,,hi.., kita jebak saja kalau begitu,” jawab Lugasi enteng.

Mereka lalu merundingkan cara menjebak penguntit Sutar.

“Saya minta sobat Lugasi, Loyo dan Brewok membantu sobat Sutar menjebak mereka, tetapi ingat jangan mencelakai mereka karena kita belum tahu siapa yang menyuruh dan apa tujuannya,” kata Andragi.

“Baik sobat Andragi, akan kami kerjakan sebaik-baiknya.” jawab Lugasi.

Meskipun selalu tampak jenaka, namun Lugasi selalu bersungguh-sungguh bila melakukan tugas-tugas yang mulia.

Dua hari kemudian terlihat Sutar berjalan menuju Poruteng sambil membawa beberapa umbi singkong ajaib. Setiba di pasar ia langsung menuju warung makan untuk menemui Komir dan Kepos yang ternyata sudah menantinya.

“Kami kira kisanak tidak datang hari ini. Kami sudah lama menunggu,” kata Komir.

“Oh, maaf, saya harus pergi mengambil singkong dulu sebelum kesini.” jawab Sutar. “Ini barangnya, silakan.”

Transaksi jual beli terjadi dan Kepos diminta untuk membawa singkong ajaib itu ke rumahnya untuk di simpan.

Sementara itu Komir mencoba mengorek informasi dari Sutar dengan pura-pura ingin menjadi penjual singkong ajaib itu karena prospeknya bagus. Banyak orang yang ingin membeli karena ukurannya yang aduhai besarnya.

“Wah, kisanak akan menjadi pesaing saya nantinya disini,” kilah Sutar.

“Tentu tidak kisanak, saya akan menjual ditempat lain dan saya akan menyetor sebagian keuntungan untuk kisanak. Hitung-hitung saya membantu kisanak menjual singkong ajaib ini di tempat lain,” jawab Komir.

“Hmmm, kedengarannya menarik. Bagaimana perhitungannya,” tanya Sutar pura-pura tertarik.

Sementara itu Kepos sudah kembali dan bergabung lagi dalam pembicaraan itu.

“Begini kisanak, kita sama-sama pergi ke tempat singkong ajaib ini dan kisanak menentukan harga jualnya. Nah saya akan membayar 4 bagian kepada kisanak dan saya mendapat 6 bagian,” jelas Komir, otak dagangnya lumayan encer.

“Artinya, setiap singkong yang kisanak dapatkan dari sana saya akan mendapat 4 bagian, begitu..??” tanya Sutar menunjukkan mimik serakah.

“Ya begitu. Anggap saja sebagai upeti saya kepada kisanak karena jasa kisanak menunjukkan tempat asal singkong besar ini,” jawab Komir dengan senyum mengembang karena perangkapnya akan berhasil.

“Betul kisanak, saya juga mau membagi 4 bagian kepada kisanak. Jadi kisanak dapat 8 bagian dari kami berdua. Kisanak akan dapat bagian yang paling besar, Kami berdua masing-masing hanya dapat 6 bagian, sedangkan kisanak dapat 8 bagian dari kami. Belum lagi hasil kerja kisanak sendiri,” cerocos Kepos seperti burung beo birahi.

“Hmmm...ya, kelihatannya menarik, tapi .....” kata Sutar ragu.

“Tapi kenapa kisanak..??” kejar Komir.

“Tempatnya jauh di dalam hutan, dan hutannya angker karena ada penunggunya. Saya tidak tahu apakah penunggunya berkenan saya datang membawa teman atau tidak. Jangan-jangan saya juga nanti dilarang ke sana lagi,” sesal Sutar.

Komir buru-buru merogoh kantongnya dan memperlihatkan 3 keping uang perak, dan berkata,

“Ini, ada baiknya kita coba, Kami akan berusaha sesopan mungkin di wilayah kekuasaanya. Tidak bertindak gegabah mengganggu ketenangannya, kata Komir sambil menjejalkan koin perak itu ke tangan Sutar.

“Baiklah kita coba,” kata Sutar dengan mimik agak keberatan.

“Terimakasih, nama saya Komir.., Ini teman saya Kepos” kata Komir sambil bersalaman tanda mereka sudah sepakat.

“Nama saya Sutar,... Mari...,” jawab Sutar mengajak mereka jalan.

Mereka bertiga lalu pergi menuju ke arah Kenteng. Selama perjalanan tidak banyak yang mereka bicarakan atas permintaan Sutar demi tidak mengganggu ketenangan hutan di sekitar mereka. Sebelum memasuki desa Kenteng Sutar mengajak mereka berbelok ke kiri memasuki hutan yang tampak lebat penuh pepohonan besar dan kecil. Suasana sungguh hening dan terasa mencekam.

Hanya suara gemerisik langkah mereka dan tangan menyibak dedaunan yang terdengar. Sesekali Sutar menoleh ke kiri atau ke kanan seakan melihat atau mendengar sesuatu. Ini membuat Komir dan Kepos yang biasa tinggal di kota menjadi ciut nyali mereka. Terasa sesuatu yang hangat membasahi selangkangan Kepos.

“Oh emak, oh bapak doakanlah anakmu ini...,” ia komat-kamit.

Mereka berjalan cukup lama di dalam hutan itu hingga tiba di suatu batu cadas besar yang sebagian diselimuti oleh akar-akar pohon raksasa. Tempat ini terlihat lebih angker dan magis.

Dengan suara pelan Sutar mengatakan disekitar sini lah tempat ia mengambil singkong raksasa itu. Ia lalu mengajak Komir dan Kepos mengikutinya mencari pohon singkong raksasa itu.

Setelah beberapa saat mencari tiba-tiba Sutar menunjuk ke sebuah pohon yang batangnya sebesar paha orang dan dibagian bawahnya penuh ditutupi oleh dedaunan dan humus. Mereka menuju pohon itu.

“Ayo mulai menggali. Kisanak di sebelah sini, kisanak disebelah sana. Saya di sebelah sini,..” bisik Sutar sambil menunjuk bagiannya yang penuh ditutupi dedaunan dan humus.

Dengan semangat Komir dan Kepos menggali memakai golok senjata mereka. Demikian juga Sutar. Beberapa saat setelah Sutar membersihkan dedaunan dan mulai menggali ia menemukan umbi besar dan memotongnya dari akar pohon itu.

“Hei lihat, kita telah menemukannya..!!” teriaknya gembira. “Sini bantu aku menggali dan mengangkatnya.”

Mereka berdua segera bergabung dengan Sutar menggali singkong itu yang terasa tanahnya lebih empuk sehingga mudah digali. Ini membuat mereka semakin bersemangat ingin segera mengangkat singkong super besar itu. Sejurus kemudian singkong itu telah bisa mereka angkat ke luar.

“Horee...,Kita berhasil..!!” teriak Komir sambil mengangkat tinggi-tingggi singkong itu diikuti Kepos yang berjoget-joget gembira. Mereka lupa keangkeran hutan itu.

Saat itu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hitam menggelinding dengan cepat dan tahu-tahu singkong yang dipegang Komir terpotong menjadi dua. Bayangan itu menggelinding lagi dan singkong itu sudah terpotong-potong lagi, beberapa kali itu terjadi lalu bayangan itu melenting ke atas batu cadas dan berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya bulat pendek dengan rambut gondrong tak beraturan, Muka dan tubuhnya hitam menyeramkan.

Komir dan Kepos menggelosor jatuh terduduk tak kuat menopang  tubuhnya berdiri saking lemasnya, penuh ketakutan. Sementara itu tak terlihat Sutar disitu. Kemana ia pergi mereka berdua tak tahu.

“Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuiiii....,” terdengar lengkingan tinggi bernada marah dari makhluk hitam diatas cadas itu. Suara lengkingan itu menambah ketakutan Komir dan Kepos. Mereka rebah ketanah, tak kuat meski hanya sekedar duduk.

“He.. manusia-manusia bedebah dan tidak tahu diri. Tidak pernah menghormati dan memelihara hutan. Berani-beraninya kau datang kesini dan mau mengambil hartaku.... Berdoalah sebelum kucabut nyawa kalian...!!”

Dalam keputus-asaannya Kosim hanya bisa berucap,

“Ampun Tuanku, maafkanlah kami. Kami hanya sekedar orang suruhan....,” katanya menghiba.

“Sebut siapa yang menyuruh kalian sebelum kutebas leher kalian..!!” katanya mengancam. Dan tahu-tahu sebuah ranting besar terbabat putus persis diatas kepala mereka.

Ranting yang menimpa tubuhnya bagi Kepos seakan disambar geledek.

“Oh emak, matilah anakmu ini...,” gumamnya pelan hampir tak bersuara dengan celana basah kuyup ketakutan.

“Kami hanya suruhan Komandan Diguldo..,” jawab Komir ketakutan.

“Kamu disuruh apa ha..!!” bentak makhluk itu.

“Cari tahu dari mana asal singkong besar, tuanku...., ampunilah kami...,” jawab Komir menghiba.

“Pulang sana!! Pulang..!! Kasih tahu Komandanmu jangan pernah kesini lagi atau kubuat buntung kaki dan tangannya, juga istrinya dan siapa saja yang kesini lagi..!!’’

Makhluk itu segera menghilang begitu kata-kata itu lenyap. Sunyi dan hening tiba-tiba mencekam. Tak ada suara apapun. Hanya sunyi dan gelap, apalagi karena hari sudah merangkak malam.

Pelan-pelan Komir mengangkat kepalanya mencoba melihat kiri kanan. Tidak ada yang bergerak. Pelan-pelan dikumpulkam tenaganya untuk merangkak mendekati Kepos. Kawannya ini masih terbaring diam.

“Mungkinkah dia mati ketakutan..?” pikirnya.

Diguncang-guncangkan tubuh Kepos.

“Pos, Kepos... bangun Kepos..!!”

Tubuh itu menggeliat pelan. Rupanya dia jatuh pingsan ketakutan.

“Ampun... oh, jangan bunuh saya. Emak...” lirih suara Kepos.

“Bangun Kepos, kita diampuni. Kita tidak dibunuh. Ayo bangun dan kita ucapkan terima kasih,” ajak Komir.

Dengan susah payah mereka bangun, mengumpulkan tenaga untuk bersujud menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga karena nyawa mereka diampuni. Mereka berjanji untuk tidak akan datang lagi, dan akan melapor kepada Komandan Diguldo agar menuruti perintah penguasa hutan tempat asal singkong ajaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA