Sesampai disana Rampoli mengantarkan Minur dan emaknya menempati barak tersendiri, sama seperti para istri bekas pimpinan prajurit yang dibawa oleh Loyo dan Brewok. Setelah itu dia melapor kepada Andragi dan para sobat tentang bantuan pasukan dari Gurada.
“Wah rupanya sobat Jotiwo
dan Gadamuk serta teman-teman kita akan mendapat tekanan yang berat,..” kata
Andragi.
“Mereka harus segera
diberi tahu agar bisa mempersiapkan diri, ..” kata Brewok.
“Saya bisa melakukannya.
Saya bisa berlari cepat tanpa lelah untuk jarak jauh,..” kata Laja.
“Tapi saya butuh obat
dari sobat Rampoli kalau-kalau penyakit saya kambuh,..” lanjut Laja.
“Baiklah, besok pagi sobat
Laja segera berangkat ke markas Gunung Kembar,..” kata Andragi.
Andragi lalu menyiapkan
surat untuk Jotiwo atau Gadamuk, sedangkan Rampoli menyiapkan obat khusus untuk
Laja. Adapun Laja sendiri menyiapkan ramuan serta ritual khas untuk berlari
jawak jauh.
Esoknya setelah menerima
surat dari Andragi dan obat dari Rampoli, Laja langsung turun gunung dengan
berlari menuju Selonto hingga ke tepi sungai Priga di tempat penyeberangan
Satange.
Dengan ramah Satange
menyambutnya dan menyeberangkan. Tetapi Satange tidak berhasil menjamunya
karena dia sedang terburu-buru katanya. Namun begitu Laja tetap membayar ongkos
menyeberang dengan uang lebih dengan alasan sebagai tambahan membangun pondok
untuk bermalam.
“Orang-orang itu memang
baik semua. Kita doakan mereka selalu berhasil dalam usahanya,..” kata Satange
kepada temannya.
Laja pun berlari terus,
melewati Guhari dan terus menuju Gunung Kembar tanpa melewati Rajapurwa. Larinya yang cepat seperti kuda dan tak kenal lelah membuatnya hanya dalam
dua setengah hari dia sudah mendekati markas Gunung Kembar.
Dari atas menara
pengintai Lugasi dan Gadamuk sedang mengamati situasi. Tiba-tiba Lugasi yang
memakai mata setan berkata kalau sebentar lagi ada tamu datang. Dia
menyorongkan teropong itu kepada Gadamuk.
“Apakah sobat Lugasi
mengenali orang itu,..?? Larinya sangat cepat,..” kata Gadamuk bertanya-tanya.
“Saya kenal dia. Namanya
Laja. Dia bersama kami di di markas Kasjur di gunung Kalas. Mungkin ada pesan
dari sobat Andragi untuk kita,..” jawab Lugasi.
“Kalau begitu akan saya
suruh dua orang saya menjemputnya sebelum sampai kesini,..” kata Gadamuk sambil
bergegas turun dari menara.
Lugasi masih tetap
mengawasi dari menara itu.
Beberapa saat kemudian
tampak melalui teropongnya dua orang memacu kuda menuruni lembah ke arah
datangnya Laja yang berlari menuju mereka. Jarak yang cukup jauh menjadi cepat
ditempuh karena kedua pihak berlari mendekat. Setelah ketemu tampak mereka
berhenti dan berbicara sebentar lalu sama-sama menuju markas Gunung Kembar.
Laja langsung diantar ke
tempat pertemuan para pimpinan yang sudah berkumpul menantinya.
“Selamat datang sobat
Laja, perkenalkan saya Jotiwo, ini sobat Gadamuk dan ini sobat Setiaka penghuni
gubuk disini. Sobat-sobat yang lain tentu sobat Laja sudah kenal,..”
“Terimakasih saya
diterima disini. Saya datang membawa pesan sobat Andragi,..” kata Laja.
“Apakah pesan itu,...?”
tanya Jotiwo.
“Menurut laporan sobat
Rampoli yang mengunjungi Megalung dia mendapat informasi kalau tentara Gurada
akan membantu menyerang Gunung Kembar,..”
Terdengar suara
menggerendeng dari orang-orang di ruangan itu.
“Saya juga membawa surat
dari sobat Andragi untuk pimpinan disini,..” kata Laja.
“Saya secara pribadi juga
minta maaf karena nama saya Gunung Kembar akan diserang,..” lanjut Laja.
“Ah, tidak apa-apa. Itu
semua bisa terjadi kepada siapa saja. Kita sudah sering difitnah oleh
orang-orang pemerintah,..” jawab Jotiwo.
Laja lalu menyerahkan surat dari Andragi ke
Jotiwo yang segera membacanya. Setelah memahaminya surat itu diedarkan ke semua orang di ruangan itu.
Mereka pun lalu berunding menyusun strategi.
“Saya harus memastikan
apakah tentara Rajapurwa akan juga ikut menyerang kita atau tidak,..” kata
Lugasi.
“Bagaimana sobat Lugasi
memastikannya,..??” tanya Gadamuk.
“Hihihi... saya akan
menemui kakak saya Adipati Rajapurwa,..” kata Lugasi dengan jenaka.
Terdengar suara
menggerendeng lagi di ruangan itu.
“Oh iya,.. tentu saja,..”
sela Gadamuk baru ingat.
Esok harinya Lugasi
berangkat ke Rajapurwa menemui adipati Rajapurwa, Jaira, yang telah
menjadikannya adik angkat. Dengan mudah dia bisa menemui adipati Rajapurwa
karena semua prajurit mengenalnya. Bahkan adipati langsung membubarkan
pertemuannya dengan beberapa petinggi Rajapurwa begitu mendengar kedatangannya.
“Hai adikku, kemana saja
selama ini kau pergi,..” sambut Jaira dengan gembira.
“Aku cuma jalan-jalan
saja ke Megalung,..” jawab Lugasi ringan.
“Ke Megalung,...??” tanya
Jaira.
Dalam pikirannya apa saja
yang telah dikerjakan Lugasi disana. Mungkin saja terkait dengan soal
perampokan hadiah untuk Kepala Negeri mengingat dia sangat membenci pemerasan
kepada rakyat oleh oknum pemerintah.
“Iya, dan saya lihat
persiapan tentara untuk menyerang Gunung Kembar,..” jawab Lugasi.
“Benar,.. Utusan saya
bilang kalau mereka sudah mulai berangkat besok, berarti dua atau tiga hari
lagi akan sampai di kaki Gunung Kembar,.. “ jelas Jaira.
“Hmmm, tapi saya tidak
melihat kesibukan prajurit disini untuk persiapan perang,..” kata Lugasi.
“Kau benar,... Utusan
saya menbawa pesan dari Gubernur Gurada dan adipati Megalung kalau saya tidak
boleh ikut campur penyerangan ini. Ini urusan pribadi mereka. Karena itu baru
saja saya mengumpulkan para pimpinan wilayah di Rajapurwa untuk tidak membantu
prajurit maupun perbekalan dalam urusan ini,..” jelas Jaira.
“Hmmm, perang kok seperti
urusan pribadi saja,..!!” cetus Lugasi tidak senang.
Tetapi hati Lugasi agak
lega juga karena pasukan Rajapurwa tidak ikut dalam penyerangan ke markas
sobat-sobatnya.
“Dari pertemuan tadi
rupanya rakyat Rajapurwa juga senang tidak perlu ikut menyerang Gunung Kembar
karena mereka tidak pernah diganggu oleh penghuni Gunung Kembar selama ini.
Yang saya dengar Gunung Kembar bisa menghidupi dirinya sendiri karena ada sawah
dan ladang di sana. Mereka hanya merampok harta orang-orang pemerintah yang
kaya yang mereka anggap hasil dari memeras rakyat,..” jelas Jaira.
“Apakah harta pemerintah
di Rajapurwa pernah mereka rampas,..??” tanya Lugasi.
“Oh, tidak pernah,... !!
Tidak pernah sama sekali,..!!” jawab Jaira.
“Tentu karena kakak Jaira
tidak memeras rakyat dan dekat dengan hati rakyat,..” kata Lugasi.
“Ah, itu juga karena kau
Aset, .. Terimakasih adikku Aset,..” kata Jaira.
“Tetapi,...” kata-kata
Jaira terhenti.
“Tetapi apa,... kakak
Adipati,..” tanya Lugasi dengan gaya jenakanya.
“Hmmm, menurut Perdana
Menteri Jukamu penyerangan ini bersifat politis dan membuat dilema bagi
saya,..” kata Jaira.
“Wah,.. wah.., urusan
politik pemerintah kata kakek guruku pasti rumit dan bikin pusing kepala,..”
kata Lugasi.
“Kakek gurumu itu benar,... ini contohnya,..”
kata Jaira.
“Apakah itu,..?? tanya
Lugasi.
“Kalau kuceritakan nanti
pusing kepalamu,..” jawab Jaira tersenyum.
“Hihihi,.. Iya juga..
Tapi ceritakanlah siapa tahu kita berdua bisa sama-sama pusing,... hihihi,...”
kata Lugasi jenaka.
“Baiklah,.. Penyerangan
ini seperti menghukum Adipati Megalung, Cadipa, karena gagal mengirimkan hadiah
itu. Karena itu dia harus merebutnya sendiri, tidak boleh ada yang membantu. Nah ini masalahnya,.. Kalau
dia menang, maka akan mempersulit kedudukanku karena sebagai adipati disini aku
dinilai tidak mampu menghancurkan perampok di wilayahku. Itu tentu bisa menghancurkan
pamorku atau mempersulit kedudukanku dengan berbagai intrik yang akan
dimunculkan kemudian. Aku tidak mempermasalahkan kedudukanku, tetapi kasihan
rakyat jika mendapat penguasa baru yang lalim,..” jelas Jaira.
“Kalau dia kalah,..??”
tanya Lugasi.
“Kalau dia kalah maka akan
datang pasukan yang lebih besar dan mungkin saja akan memeras perbekalan dan
harta rakyat untuk membiayai perang. Atau lebih buruk lagi mempersalahkan rakyat
disini dengan tuduhan telah membantu para perampok sehingga pasukan pemerintah
kalah. Rakyat akan ditindas, dan saya tentu diperintahkan untuk menindas
mereka. Itu tentu tidak akan saya lakukan dan akan dihukum karena melawan
perintah pemerintah pusat,..” jelas Jaira.
“Hmmm, kelihatannya
memang rumit, seperti makan buah simalakama,..” kata Lugasi.
“Tapi menurut saya,
pilihan terbaik adalah mebiarkan mereka kalah atau kalau perlu mempercepat
kekalahan mereka,..” lanjut Lugasi.
“Tapi bagaimana kalau
datang pasukan yang lebih besar sesudah itu dan memeras rakyat,..??” tanya
Jaira.
Lama mereka berunding
sampai didapat kesepakatan sikap dan langkah yang akan diambil. Setelah itu
malamnya Lugasi pergi mengunjungi warung yang biasa untuk bertemu para warga Rajapurwa yang jadi sobatnya.
Kedatangannya yang sudah
lama tidak muncul itu disambut gembira oleh warga pemilik warung dan warga yang
ada disitu.
“Ah, sobat Aset datang!
Silakan masuk. Silakan..silakan!” sapa pemilik warung dengan ramah. “Sebentar
lagi kawan-kawan akan datang.”
Yang lain segera keluar
memberi tahu teman-temannya kalau sobat Aset ada di warung. Tak berapa lama
kemudian para sobat datang menemui Lugasi yang disini dipanggil dengan Aset.
“Bagaimana kehidupan
disini,..??” tanya Lugasi.
“Sungguh sangat
menyenangkan sejak sobat Jaira menjadi Adipati disini. Terimakasih, ini semua
berkat sobat Aset,..” jawab yang dituakan.
“Ahh, syukurlah,..” kata
Lugasi.
“Kami dengar akan ada
penyerangan ke Gunung Kembar,..Bagaimana menurut Sobat Aset,..??” tanya seorang
warga.
“Menurut para warga
bagaimana,..??” Lugasi balik bertanya.
“Kami tidak punya
permusuhan dengan mereka, karena mereka tidak pernah menggangu kami. Bahkan
katanya warga di sekitar gunung Kembar sering mendapat kiriman bahan pangan
dari markas Gunung Kembar, ...” kata pemilik warung.
“Ya,... kasihan juga
kalau mereka dihancurkan. Kami berharap semoga pasukan adipati Jaira tidak iktu
menyerang Gunung Kembar,..” kata yang lain.
“Baiklah,.. harapan para
warga akan saya bicarakan dengan adipati Jaira. Tolong pembicaraan kita ini
bersifat rahasia, tidak semua orang boleh mengetahuinya,..” kata Lugasi.
Dia lalu menjelaskan
situasi rumit yang akan dihadapi rakyat Rajapurwa dari penyerangan yang akan
terjadi. Pilihannya serba sulit, tetapi yang terbaik adalah membiarkan pasukan
pemerintah dari Megalung kalah. Mereka lalu berunding langkah apa yang harus
dilakukan.
Malam itu Lugasi kembali
ke kediaman adipati Jaira dan bermalam disana. Banyak hal yang mereka
perbincangkan saat sarapan pagi, termasuk kira-kira dimana pasukan dari
Megalung dan Gurada itu akan bermarkas.
Setelah itu ia pamit
untuk pergi ke markas Gunung Kembar melalui hutan agar tidak diketahui orang.
Dengan keahliannya dia melompat dan melenting dari satu pohon ke pohon yang
lain atau menggelindung di kerimbunan ilalang dan perdu.
Menjelang sore ia tiba di
markas Gunung Kembar. Setelah makan malam mereka membahas hasil pembicaraan
Lugasi dengan Jaira dan dengan warha Rajapurwa.
Esoknya mereka mengatur
semua perangkap untuk menjebak ataupun memancing lawan. Kali ini lebih banyak
anak panah dibuat karena lawan diperkirakan berjumlah besar. Panggung-panggung
untuk pemanah pun bertebaran si berbagai tempat.
Di tempat lain warga
Rajapurwa sesuai hasil pembicaraan dengan Aset atau Lugasi membentuk kesatuan
yang tugas utamanya menyabot perbekalan atau mempersulit pasukan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.