Ujian Kejujuran Anak Langit



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #16)

“Kalian semua tidak perlu khawatir atas keselamatan kalian. Nyawa kalian adalah segala-galanya bagiku," jawab kakek Bulesak. 
"Kalau memang demikian keadaannya, aku akan menyerahkan Anak Langit kepada Jaira. Bukankah aku yang membawanya kemari? Karena itu akulah yang harus bertanggung jawab. Beri maaf kepadaku karena membuat kalian menderita seperti ini,” tegas si kakek memastikan.

Meski kata-kata kakek Bulesak itu mampu membuat hati mereka sedikit tenang, namun kini berganti dengan perasaan kecewa akan kehilangan Anak Langit yang baru saja mereka dapatkan setelah menanti lama dan menjadi tumpuan harapan masa depan kehidupan mereka agar lebih baik. Haruskah harapan yang baru saja mekar itu mati lagi? Dilema yang tidak menyenangkan. Keadaan ini bagai buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati.

Tetapi.... dimanakah sebenarnya Anak Langit berada?

Pada sebatang dahan sebuah pohon besar di dalam hutan di luar padepokan itu, Andragi melihat dengan jelas semua kejadian tadi melalui teropongnya. Mulai dari prosesi upacara yang indah dan khidmat hingga sepak terjang brutal pasukan Jaira yang tidak mengenal belas kasihan. Hatinya sedih. Ingin rasanya kembali ke padepokan itu untuk memberi pertolongan kepada penduduknya dengan obat-obatan yang ia bawa. Tetapi kakek Bulesak telah mengingatkannya untuk tidak kembali ke Padepokan Kalbusih demi keselamatan para warga yang tidak berdosa.

“Kakek Bulesak memang hebat. Kakek itu seakan sudah tahu apa yang akan terjadi atau memiliki perhitungan yang sungguh cermat,” kagumnya di dalam hati.

Memang benar demikian. 
Malam sebelumnya, seusai makan malam, kakek Bulesak meminta Andragi meniggalkan Padepokan Kalbusih sebelum fajar menyingsing, menyingkir ke markas Sontoloyo. Menurut perhitungannya pada upacara itulah pasukan pemerintah atau orang-orang yang oportunis akan datang menangkapnya. Ternyata hal itu sungguh terjadi. Upacara itu hanya bohong-bohongan untuk memancing mereka.

"Hhmmmm... Memang kakek yang hebat dan pemimpin yang luar biasa.." gumam Andragi dalam hati.

Ia lalu bergegas turun dari pohon besar itu dan dan segera pula berjalan menuju markas Sontoloyo. Hatinya masih galau memikirkan nasib penduduk yang menjadi korban keganasan pasukan Jaira.
Tetapi.... Belum seberapa jauh ia melangkah, tiba-tiba terdengar auman seekor harimau besar beberapa puluh meter di depannya. Ia terkejut dan takut bukan main. Belum pernah dalam hidupnya bertemu binatang buas ini di alamnya yang bebas. Kalau toh pernah bertemu, itu di kebun binatang di dunianya dulu, dimana binatang itu di kerangkeng dengan jeruji besi yang kuat.

Harimau itu berjalan ke kiri dan ke kanan seperti sedang menghadang jalan sementara kepala dan matanya tetap menatap tajam dirinya. Kadang harimau itu berhenti, lalu memutar badannya ke arah sebaliknya, tetapi kepalanya tetap diarahkan kepada Andragi. Ekornya menjuntai ke belakang sambil sesekali digoyang-goyangkannya. Lutut Andragi terasa lemas melihat ancaman binatang buas pemakan daging ini.

“Ah, tamat sudah riwayatku,” keluh Andragi.

Ia tidak berani bergerak sembarangan. Binatang itu sewaktu-waktu bisa berlari dan melompat menerkamnya bila ia salah bergerak. Keringat dingin terasa mengalir di punggungnya. Diam-diam tangannya merogoh korek api di dalam saku celananya. Perlahan-lahan ia menggeserkan tubuhnya mendekat kearah dedaunan kering sejenis rumpun pisang. Ia berharap kalau bisa mencapai tempat itu, ia akan membakar dedaunan kering disitu untuk mengusir atau paling tidak menunda binatang itu tidak segera menyerangnya.

Melihat gerakan Andragi bergeser secara hati-hati itu, binatang buas itu menghentikan gerakannya dan menatapnya curiga. Sejurus kemudian harimau itu mulai sedikit menekukkan ke empat kakinya pertanda akan segera berlari menerkam. Andragi menjadi panik, tangannya gemetar dan lututnya serasa lemas. Dadanya serasa sesak sulit bernapas. Tatapan mata binatang itu seakan telah merontokkan seluruh persendiannya. Tetapi ia bertekad segera bisa mencapai dedaunan itu dan membakarnya. Gerakannya menjadi kasar tak berirama, dan itu membuat si harimau mengambil keputusan melompat untuk menerkam. Lompatannya begitu cepat mengarah tepat ke posisinya. Hati Andragi mencelos, dan berpikir ia akan mati dimangsa binatang buas ini.

Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, terdengar suara keras “BUK”...BUK...BUK!” disusul geraman kuat binatang itu. Andragi yang menyadari dirinya belum diterkam, segera berusaha bergerak lagi, merangkak untuk menyulut daun kering yang telah berhasil diraihnya. Namun ia segera menghentikan niatnya itu ketika terdengar sebuah sapaan.

“Tak perlu lagi dibakar, sobat Anak Langit. Binatang itu sudah pergi.”
Terdengar suara Loyo disusul langkah kaki menghampirinya. 
Andragi mengumpulkan kembali napasnya yang tersengal-sengal, lalu berdiri.

“Untung sobat Anak Langit melakukan gerakan akan membakar daun itu sehingga saya punya kesempatan memukulnya saat perhatiannya terpusat untuk menerkam Anak Langit.”
“Kemana binatang itu sekarang,?" tanya Andragi setelah napasnya kembali.
“Ia sudah pergi dengan kesakitan, tetapi saya tidak membunuhnya,” jawab Loyo.
“Ohh,..Terimakasih atas pertolongannya, sobat Loyo.”
“Oh tidak sama sekali. Saya lihat Anak Langit tidak berniat membakar binatang itu dengan api naga, tetapi hanya ingin mengusirnya dengan asap saja maka saya memutuskan untuk sedikit memamerkan kebolehan saya. Maafkan atas kelancangan saya sobat,” kata Loyo polos.

Dalam hati Andragi ingin mengatakan hal yang sebenarnya bahwa dia memang telah diselamatkan oleh Loyo. Tetapi hatinya ragu. Ada kekhawatiran menyelimutinya. Jangan-jangan Loyo tidak akan menghargainya lagi dan dia kehilangan persahabatan mereka yang baru saja tumbuh. Hatinya bimbang. Apakah sebaiknya ia berterus terang ataukah diam saja. Kalau diam kan tidak berbohong, atau diam juga sudah berarti bohong? Ada yang bilang diam itu emas, itu menguntungkan. Tapi itu kan hanya bagi diri sendiri. Tak ada nilai dan kemuliaan hati sama sekali. Tetapi.. kalau bicara apa adanya..bisa saja nyawanya terancam. Bisa saja Loyo mencelakainya...ah tidak mungkin...paling mungkin ia tidak dihargai seperti semula, sebagai Anak Langit yang sakti.

Atau ....Mungkin sebaiknya mengatakan yang sebenarnya tetapi tidak perlu seluruh kebenaran diceritakan. “Tell the truth, but not the whole truh” istilah itu pernah didengarnya dari mulut bosnya waktu dia masih bekerja di dunianya dan instansinya yang penuh korup dulu. Itu berarti sudah bicara, dan tidak bohong...Cuma tidak seluruh kebenaran diceritakan...??? Wah..bagaimana ya..?

Akhirnya, dia lalu memutuskan suatu saat akan menceritakan semuanya bila situasinya tepat. Tetapi kapankah itu..? Bukankah ini saat yang paling tepat dimana kejujuran dipertaruhkan diatas segala kekhawatiran atau ancaman? Kalau jujur dalam keadaan normal tanpa ancaman kehilangan sesuatu, apa pahalanya? Semua orang juga bisa!

Akhirnya Andragi berkata:
“Tidak..., Sobat Loyo memang telah menyelamatkan nyawa saya! Itu sebenarnya yang terjadi!  Saya tadi sebenarnya tidak sempat menyiapkan api naga karena terkejut dan takut. Sekali lagi terima kasih, sobat!” kata Andragi sambil merebahkan lutut dan memberi sembah tiga kali.

Loyo segera merebahkan lututnya dan membalas sembah Andragi sebagai tanda saling menghormati. Mereka lalu berdiri kembali. Melihat sikap Loyo itu hati Andragi menjadi tenang dan bahagia. Beban batinnya lepas dan Loyo tampaknya masih tetap menghargainya.

Ia kemudian membimbing Loyo menuju batang sebuah pohon yang tumbang dimana mereka kemudian duduk.

“Begini sobatku Loyo. Ada yang harus saya ceritakan kepadamu sebagai sahabat saya,” kata Andragi memulai pembicaraan
.
Loyo merasa tersanjung dan mendengarkan dengan sepenuh hati.
“Saya memang tidak datang dari dunia masa ini, tetapi dari dunia masa depan kira-kira lima ratus tahun dari sekarang. Meskipun begitu saya adalah manusia biasa yang tidak memiliki kesaktian seperti dewa. Saya bahkan tidak memiliki keahlian ilmu bela diri seperti yang sobat Loyo miliki, yang dengan sekali pukul saja bisa mengalahkan harimau,” ia berhenti sejenak melihat reaksi Loyo.

Mata Loyo membelalak penuh keheranan, tetapi pipinya tersenyum mendapatkan pujian.
“Tetapi api naga itu?” tanyanya.

Inilah ujian kejujuran itu pikir Andragi. Orang biasanya mudah berbuat jujur dalam keadaan yang aman dan nyaman, tidak tertekan dan tanpa resiko. Tetapi bila mengandung resiko atau ancaman dibaliknya, tidak mudah bagi seseorang untuk berkata dan bertindak jujur jika ia tidak memiliki prinsip nilai yang kuat. Orang yang mencari aman cenderung akan berbohong.

 Andragi bertekad bahwa dia harus lulus dari ujian ini, apapun resikonya.
“Api naga yang kamu lihat itu, sama sekali tidak berasal dari dalam tubuhku. Nih coba lihat!” katanya sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan menghadapkannya ke wajah Loyo.

Secara reflek, Loyo melompat mundur menghindar, takut terkena semburan api.

“Kamu lihat sendiri, tidak ada apa-apa kan?” katanya sambil sekali lagi membuka lebar-lebar mulutnya.

Pelan-pelan Loyo mendekat, melihat dengan seksama rongga mulut Andragi. Ternyata sama dengan yang dia miliki, cuma bedanya gigi Andragi tersusun rapi dan berwarna putih bersih. Bahkan hawa yang keluar dari dalamnya pun terasa wangi semriwing. Tidak seperti giginya yang semrawut letaknya, berwarna kuning dan hitam serta mengeluarkan bau naga yang asli.

“Lalu, dari mana api itu?” tanyanya keheranan.
“Kami menggunakan berbagai ilmu pengetahuan dan peralatan maju yang kami sebut teknologi. Peralatan itu dibuat dengan menggunakan akal dan pikiran kami. Contohnya benda ini.” katanya sambil memperlihatkan korek api gas.
“Ini kami sebut korek api. Dengan benda ini saya bisa membuat api dalam sekejap hanya dengan menggojangkan jempol saja. Lihat ini!”
“Creeessst!” dan keluarlah api dari ujung benda itu.
“Woow, itu sihir!” serunya kagum.
“Nah, untuk api yang keluar dari mulut pakai ini,” kata Andragi sambil menunjukkan botol kapsul yang kini berisi bensin.

Ia lalu membuka tutupnya dan mendekatkannya ke hidung Loyo. Tersengat oleh bau bensin yang asing itu, Loyo terbatuk-batuk seraya mengucak-ucak matanya yang juga terasa perih. Ia terlonjak berdiri menghembuskan kuat-kuat uap ‘racun’ itu dan menghirup dalam-dalam udara segar.

“Benda yang bening ini namanya botol, dan cairan di dalam botol yang baunya membuat kamu batuk-batuk itu namanya bensin. Cairan ini sangat mudah terbakar. Nah, sekarang perhatikan saya!” lanjutnya.

Andragi lalu memasukkan bensin ke dalam mulutnya, lalu menyalakan korek api di depan wajahnya dan menyemburkan isi dalam mulutnya ke arah dedaunan kering didekatnya. Seketika menyemburlah api dari mulutnya dan membakar dedaunan itu. Loyo terlonjak surut, terkejut.

“Wo..wo..wo.., Hebat sekali, hebat sekali!” serunya.
“Nah, semua benda ini kami buat dengan menggunakan pengetahuan dan alat-alat yang sudah maju. Benda-benda ini adalah barang biasa dan sehari-hari kami gunakan untuk keperluan hidup kami.” jelasnya.
“Tanpa benda-benda ini saya tidak bisa apa-apa. Sobat Loyo dengan mudah bisa mengalahkan saya atau bisa membunuh saya sekarang!” kata Andragi bertaruh nyawa.
 “Wow, tidak! Bagi saya Anak Langit tetap hebat!” seru Loyo.

Bagaimanapun juga benda-benda asing itu adalah senjata-senjata yang hebat yang dia belum tahu kesaktian apa lagi yang bisa dihasilkannya.

 “Kakek guru Bulesak mengajarkan kepada kami bahwa kesaktian itu terletak pada pikiran dan hati kita, bukan pada kekuatan fisik semata. Anak Langit tentu mempunyai pikiran yang hebat-hebat dan memiliki hati yang baik, yang mau memaafkan kami yang sudah berniat jahat,” jawab Loyo sambil menggemgam erat tangan Andragi sebagai pertanda persahabatan mereka.

Andragi merasa lega. Ia telah memenangi pertaruhan nyawa tadi, tetapi lebih lega lagi karena ia telah lulus dari ujian kejujuran itu.
.
“Masih banyak benda lain yang kami gunakan untuk membantu kehidupan kami mejadi lebih mudah. Teropong ini misalnya,’ kata Andragi sambil memperlihatkan benda yang menggantung di lehernya.
“Benda ini akan dapat membuat kita bisa melihat benda yang jauh sekali. Tetapi nanti saja  saya jelaskan kegunaannya. Tentunya sobat Loyo ada keperluan tertentu sampai datang ke hutan ini.” selidik Andragi.

Tiba-tiba Loyo tersadar akan tujuannya menemui Anak Langit di hutan itu.
“Oh, iya! Saya sampai lupa!” serunya.

Ia menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.
“Saya disuruh kakek Bulesak untuk meminta sobat Anak Langit segera menuju markas kita. Beliau sudah menunggu disana,” kata Loyo
“Maksudmu markas Sontoloyo!?” kata Andragi menegaskan.
“Iya, markas Sontoloyo....hehe!” katanya agak geli dan kikuk mengingat namanya dipakai sebagai nama markas mereka. Oleh Anak Langit pula!

Mereka berdua pun segera bergegas menuju markas Sontoloyo. Dengan riang keduanya berjalan sambil bercakap-cakap saling membagi pengetahuan yang mereka miliki. Loyo menjelaskan tentang kehidupan dan berbagai adat kebiasaan di negeri mereka, Klapa Getir.

Tanpa terasa beberapa bukit dan anak sungai telah mereka lalui. Tak ada rintangan yang menghalangi  perjalanan mereka yang menyenangkan itu. Hati Loyo merasa begitu lekat dengan anak muda yang dikaguminya itu, sedangkan Andragi merasa memiliki sahabat sejati yang rendah hati. Persahabatan mereka bagai empedu lekat di hati, terasa akrab sekali.

Sesampai disana, mereka dapati kakek Bulesak dan juga Sonto, telah menanti mereka.


Ujian apa lagi yang akan dihadapi Anak Langit?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA