Siapa Yang BODOH: Pemilih atau Yang Dipilih??


Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #19)

Ketika sudah merasa telah lebih aman sekarang, nyali Jaira pulih kembali. Saat tiba di tempat istirahat rasa marahnya kepada kakek Bulesak muncul lagi begitu melihat santri muda yang dijadikan sanderanya itu. Ia segera turun dari kudanya, dan menghampiri sandera mereka itu. Anak buahnya enggan ikut turun karena mereka ingin segera berlalu dari tempat yang mengerikan itu. Mereka tidak mau lagi mengalami kekacauan yang kacau balau membuat mereka kalang kabut seperti cina karam, sebagaimana tadi di gua kakek Bulesak di bunuh itu.

Jaira menggengam hulu pedangnya. Matanya nyalang, merah karena marah. Tanpa basa-basi dihunusnya benda tajam itu dan dengan sekali ayun putuslah kepala santri muda itu. Kepala tanpa rambut itu jatuh menggelinding hingga sampai kedekat para prajurit yang terhenyak melihat darah santri muda itu berceceran dan...berwarna putih juga. Sama seperti warna darah gurunya.

“Rupanya semua pengikutnya masih perjaka juga,” gumam Dulatah yang percaya sepenuhnya kata-kata komandannya.

Sebagai pemuda yang belum menikah dan belum pernah berhubungan badan dengan wanita, terbersit pula keraguan di hatinya. Jangan-jangan darahnya juga berwarna putih. Diam-diam ia menggoreskan telapak tangan kirinya dengan ujung belati yang selalu dibawa oleh seorang prajurit sebagai senjata cadangan atau untuk berbagai keperluan lain. Ia tersenyum lega manakala melihat darah yang keluar dari telapak tangannya ternyata masih berwarna merah.

“Ayo kita pulang!!” perintah Jaira.

Itulah kalimat yang ditunggu-tunggu. Tanpa menanti perintah berikutnya lagi para prajurit itu langsung menggeblas kuda mereka menuruni pegunungan yang mengerikan itu. Yang ada dalam pikiran mereka hanya satu: Pulang dan secepatnya sampai di markas! Ikan sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus - begitu kata hati para prajurit itu. Mereka tidak pernah lagi mau menoleh ke belakang, kecuali penunggang terakhir yang sesekali melakukannya, karena ia merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka. Entah apa.

Sebagai prajurit senior, Tangka tahu kalau di tegah jalan menuju Padepokan Kalbusih ada jalan pintas menuju markas mereka di Buntung tanpa harus melalui padepokan kakek Bulesak yang telah mereka bunuh itu. Bagaimanapun juga terselip perasaan tidak enak di hatinya. Ia berniat mengusulkan pikirannya itu beberapa saat menjelang tiba di persimpangan itu.

Tetapi tidak demikian dengan pimpinan mereka, Jaira. Pangeran muda yang ambisius itu berniat melakukan pekerjaannya secara tuntas. Ia akan menghabisi seluruh isi Padepokan Kalbusih itu untuk membuktikan ancaman yang telah diberikannya.

“Pangeran, setelah satu belokan lagi kita akan sampai di pertigaan. Kita bisa memilih jalur yang kekiri. Itu jalan pintas ke Buntung,” usul Tangka.
“Tidak! Kita akan menuju padepokan kakek setan itu untuk menghabisi mereka semua. Ancaman kita harus kita buktikan agar menjadi pelajaran bagi yang lain!”
“Bukankah itu bisa kita lakukan hari lain. Anak-anak sudah sangat lelah,, pangeran?” hibanya lagi.
“Sekali TIDAK tetap Tidak! Kalau diberi kesempatan mereka akan bersiap atau melarikan diri. Kalau tidak sekarang, janji itu akan sulit kita buktikan. Apa kata dunia??! hah!!” bentak Jaira.
“Yang berani berbelok ke kiri akan kubunuh!” teriaknya kepada para prajuritnya.

Mendengar peringatan itu hati para prajurit menjadi kecut dan kecewa berat. Darah putih yang mereka lihat dari dua orang itu saja telah membuat mereka merasa ngeri dan mual, apalagi jika darah seisi padepokan. Hiiiih!

"Cepat, pacu kuda kalian!” teriak Jaira.

Benarlah. Sesaat kemudian mereka telah mendekati pertigaan yang dimaksud. Namun....., tiba-tiba mereka terkejut dan dengan gerakan reflek menghentikan kudanya saat melihat kakek Bulesak dan santri muda itu tiba-tiba telah berdiri menghadang mereka di tengah jalur yang menuju ke Padepokan Kalbusih. Mereka sangat terkejut dan ketakutan bukan kepalang dan bingung tak tahu berbuat apa bagai pelanduk di tengah cerang. Kuda-kuda mereka gelisah, bergerak liar ke kiri dan ke kanan sulit dikendalikan agar tenang. Mungkin karena binatang itu sudah sangat lelah dan jengkel larinya dihentikan seketika.

“Jaira, kenapa kau bunuh aku dan santriku ini?” tanya kakek Bulesak berwibawa.
“Haaannntttuuu!!!” A..da han..tu!!” teriak Dulatah yang kaget dan latah karena pada saat yang sama kudanya tertabrak oleh kuda lain di belakangnya yang sulit dikendalikan.

Serentak mereka menggebrak kuda masing-masing, memacunya sekuat tenaga melalui jalur yang kiri tanpa peduli lagi ancaman komandan mereka. Lebih baik mati nanti dari pada sekarang, pikir mereka. Apalagi mati karena dimakan hantu.

Jaira sendiri gemetar ketakutan dan secara reflek menggeblas pula kudanya mengikuti anak buahnya untuk menyelamatkan diri. Tak ada lagi pikiran lain selain ingin secepat mungkin tiba di markas mereka. Mereka tiba di Buntung pada tengah malam dan langsung jatuh tertidur kelelahan di emperan markas mereka tanpa perlu repot-repot menuju tempat tidur di barak masing-masing.

Pengalaman mendebarkan mereka di gua Pintu Suargi itu pada hari-hari sesudahnya menjadi bahan cerita mereka kepada orang lain, tentu saja dengan bermacam-macam bumbu dan bualan seru seram seakan merekalah hero-nya.

Gua Pintu Suargi kemudian menjadi terkenal keangkerannya. Sejak itu tak pernah seorang pun yang berani mendekatinya alih-alih coba masuk ke dalamnya, kecuali tentu penunggunya yang tak lain kakek Bulesak. Begitu angkernya legenda Gua Pintu Suargi sehingga para orang tua yang kesulitan menenangkan anaknya yang menangis atau merengek-rengek cukup mengatakan akan membawanya ke gua pintu suargi, maka seketika anak itu akan berhenti menangis.

Di kemudian hari, pada jaman yang lebih maju, gua itu dijadikan tempat memohon pesugihan bagi masyarakat, atau kelancaran karir terutama  di kalangan pejabat yang malas berkarya, tidak kreatif, bebal dan serakah, yang mengharapkan segalanya dapat diperoleh secara instan. Para oportunis kemudian dengan cerdik memanfaatkan kesempatan itu dengan berlagak sebagai dukun atau paranormal palsu dan sejenisnya.

Aneh, memang! Tetapi yang lebih aneh lagi masyarakat yang sudah lebih pandai dan terdidik tetap memilih para pejabat bebal itu sebagai pemimpin mereka saat pemilihan umum langsung dilaksanakan. Jika dalam pelaksanaan pemerintahan tidak sesuai dengan harapan mereka (tentu saja, yang mengurusnya tidak becus dan bodoh, atau hanya mendengar bisikan dukun), para pemilih itu menghujatnya habis-habisan, mengatakan para pemimpin itu bodoh dan tolol. 

Lah, yang memilih itu siapa? Yang tolol itu siapa? hayo! Yang memilih atau yang dipilih?

Sementara itu,
Selepas mengusir Jaira dan pasukannya dengan cara ‘penampakan’ itu, kakek Bulesak segera menuju markas Sontoloyo untuk menemui Anak Langit. Disana ia menceritakan kepada Andragi, Sonto dan Loyo semua kejadian tadi diselingi dengan gelak tawa pendengarnya.

Terkagum-kagum mereka akan kesaktian kakek Bulesak. Ingin rasanya mereka mengetahui bagaimana kakek itu bisa melakukan hal gaib itu, tetapi mereka segan dan sekuat tenaga meredam rasa ingin tahu itu.

“Ah, tampaknya kalian bertiga penasaran ingin tahu bagaimana aku melakukannya, bukan?” selidik beliau.
 “Benar, kakek,” jawab Andragi mewakili.

Kedua kakak beradik itu mengangguk-angguk menyetujuinya.

“Sebenarnya itu bukan sesuatu yang terlalu aneh atau ajaib,” jawab kakek Bulesak memulai penjelasannya. “Itu hanya permainan daya pikir yang menuntun pada pandangan khayal semata,” lanjutnya.

Dalam pikirannya Andragi mengartikannya sebagai semacam permainan ilusi, seperti pertunjukan yang yang sering dilakukan para ilusionis di jamannya. Namun begitu ia tetap bertanya untuk memastikannya.

“Apakah yang mereka lihat itu hanya pandangan khayal mereka semata?” tanyanya.
“Ya, begitulah kira-kira,” jawab kakek Bulesak.
“Kok bisa, ya?” tanya Sonto dan Loyo hampir berbarengan.
“Begini," kata kakek Bulesak memulai penjelasannya. 
"Pada dasarnya orang hanya ingin mendengar apa yang ingin didengarnya dan ingin melihat apa yang ingin dilihatnya. Contohnya, kita tidak ingin mendengar kalau saudara kita meninggal, jadi kita berharap kita tidak pernah mendengar kabar itu. Kalau ada orang datang mau mengabarkan ada orang meninggal, kita berharap bukan berita tentang saudara kita itu yang meninggal. Begitu juga, kalau kita benci pada seseorang yang telah membuat kita jatuh pailit, kita tidak ingin melihat dia sukses. Sebaliknya kita ingin melihat dia jatuh sengsara atau paling tidak ingin mendengar kabarnya begitu.”

“Nah, Jaira dan pasukannya itu di dalam hati kecil dan pikiran terdalam mereka, mereka ingin melihat aku, para santri dan para warga Padepokan Kalbusih itu mati. Pikiran itu tertanam dan merasuk sukma mereka. Kalau sudah demikian, maka dengan usaha yang kecil saja untuk meransang atau menuntun pikiran mereka ke arah itu, maka akan terbentuk bayangan khayal seperti yang mereka ingin lihat, tetapi dalam pandangan mereka nyata adanya. Aku hanya mempengaruhi sedikit pikiran mereka, dan jadilah!” jelas kakek Bulesak.

Dalam pikiran Andragi, kakek Bulesak telah menghipnotis Jaira dan pasukannya. Betapa hebat kemampuan hipnotis kakek itu pikirnya.

“Pernahkah kalian melihat orang yang kerasukan, atau yang tergila-gila pada sebatang pohon pisang yang dikira kekasihnya?” tanya kakek Bulesak sambil matanya mengarah jenaka kepada Loyo.

Loyo pun tunduk tersipu-sipu.
“Ah kakek guru, bikin malu saya,” katanya tersipu-sipu.
“Tidak perlu malu. Kamu justru hebat karena bisa mengatasinya. Jaira belum tentu bisa mengatasi masalah batinnya itu,” hibur kakek Bulesak.
“Memangnya Loyo kenapa, kakek?” tanya Andragi berlagak pilon.

Sonto yang sejak tadi hanya diam segera menyahut.
“Iya, sobat Anak Langit,” katanya memulai tetapi mendapat sebuah sikutan ringan di rusuknya, oleh Loyo.
Ia pun tertawa dan segera melanjutkan.

“Dulu Loyo punya kekasih yang begitu dicintainya. Tetapi malang, kekasihnya itu meninggal, hanyut terbawa air ketika sedang menyeberang sungai di desanya. Loyo sangat kehilangan dan sedih sekali ibaratnya Air diminum serasa duri, begitulah. Iya kan Loyo?"

Yang ditanya hanya diam menunduk. Ia teringat betapa sedih dan hancur hatinya kehilangan kekasih yang sangat dicintainya itu. Hidup terasa begitu pahit dan sakit, nasi dimakan serasa sekam.

Sonto melanjutkan, "Ia sering melamun. Akhirnya, pohon pisang yang ada di halaman rumah kami menjadi sasarannya. Ia sering memeluk dan menciuminya seakan pohon itu kekasihnya. Kakek Guru kemudian membawanya ke Padepokan Kalbusih dan mendidiknya menjadi santri. Sekarang gelarnya “Santri kekasih batang pisang”, hahahaha...!” tawa Sonto berderai.

Kali ini sikutan yang diterimanya lebih keras.
“Aduh!” serunya.

Mereka berempat tertawa.
“Begitulah kekuatan dahsyat pikiran manusia. Dengan kekuatan itu seseorang bisa mewujudkannya menjadi kenyataan, dalam arti yang sebenarnya. Bukan khayalan seperti tadi,” kata kakek Bulesak.
“Maksud kakek?” tanya Loyo tertarik.
“Nanti saja kuceritakan, karena kalian masih punya tugas penting menyelamatkan anak istri Sonto. Apa kalian sudah mempunyai rencana yang rinci untuk itu?”
“Sudah kakek,” jawab Andragi.

Ia lalu menceritakan apa yang akan mereka lakukan.
“Baik, kalau begitu. Itu barang-barang Anak Langit telah aku bawa kemari. Maaf  kalau aku memasukkannya serampangan ke dalam ‘karung’ Anak Langit yang aneh dan banyak kantongnya itu.”
“Oh, tidak apa-apa kek. Terimakasih,” jawab Andragi.
“Aku kira sebaiknya mulai sekarang Anak Langit selalu menggunakan  pakaian yang biasa dipakai orang-orang disini, agar tersamar dan bisa diterima masyarakat. Karena itu aku sudah membawakan seperangkat pakaian dan perlengkapan yang bisa digunakan Anak Langit sehari-hari.”
“Terimakasih kakek, Bulesak,” jawab Andragi.
“Nah, sekarang aku pamit pulang. Orang-orang di padepokan tentu sudah menungguku untuk mendengar berita yang ingin mereka dengar,” kata kakek Bulesak.

Ia kemudian berjalan keluar gua dan hilang dalam kerimbunan hutan.


Apa rencana mereka untuk membebaskan istri dan anak-anak Sonto?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA