“Ah, sobat Lugasi. Selamat bertemu lagi dan
terimakasih atas bantuannya,” jawab Loyo sambil datang merangkulya.
“Kenalkan teman-teman santri murid kakek Blakitem
ini,” kata Brewok sambil juga datang memeluknya.
“Ah, senang sekali mendapat sobat baru, para
santri,” jawab Lugasi mendatangi satu persatu santri-santri itu.
Perangainya yang ramah segera membuat para santri
merasa senang dan menyukai sosok manusia pendek dan bulat ini. Apalagi ia
memiliki kesaktian hebat yang aneh.
“Akan kalian apakan kutu-kutu busuk ini”? tanya
Lugasi sambil menunjuk para perampok yang duduk terikat itu.
“Bagaimana kalau kita bawa saja ke Batutok. Biar
kawan-kawan atau kakek Blakitem yang memutuskan nasib mereka,” usul Brewok.
‘Ah, kenapa repot-repot! Kapakku ini belum hilang
hausnya. Tadi itu cuma meleset kena tangan. Kalau belum kena leher kapak ini
belum puas! Hihi..hi! kata Lugasi.
Para perampok itu merinding mendengarnya.
“Ampun tuan, kami jangan dibunuh. Kasihan anak
istri kami tuan!?” kata mereka menghiba.
Lugasi mengedipkan mata memberi isyarat. Loyo dan
Brewok yang tahu sikap jenaka Lugasi, tersenyum-senyum sambil mengangguk seakan
setuju.
“Baiklah! Silakan sobat Lugasi mengasah kapaknya
di leher orang yang paling muda itu,” kata Brewok.
“Maaak, bapaak! Ampun, Saya jangan dibunuh, tuan!
Kasihanilah, saya belum kawin tuan,” rengek anak muda itu.
“Hah, bagaimana ini! Yang sudah kawin minta
dikasihani istri dan anak-anaknya, yang belum kawin alasannya belum kawin!
Hihi..hi!” kata Lugasi menyembunyikan senyumnya.
“Ya, sudah terserah! Bawa saja ke Batutok, biar
dihukum rajam dengan batu. Matinya malah pelan-pelan..! Hiii!” kata Lugasi lagi.
Anak muda itu terlihat meneteskan air mata. Ia
menyesali nasibnya yang buruk itu.
Mereka lalu membuat tandu sederhana dan menyuruh
empat orang perampok bergantian mengusung pemimpin mereka. Empat orang anggota
perampok yang lain disuruh untuk menggotong beras yang ditinggal lari para
pengantarnya. Mereka tiba di pesanggrahan Batutok ketika petang mulai merayap. Andragi
segera diberi tahu dan bersama Paldrino segera pula menyeberang danau menuju
pesanggrahan itu. Para perampok duduk di halaman luar pendopo, dikawal para
santri penjaga pesanggrahan.
Sementara itu Loyo dan Brewok membawa Lugasi
memasuki pendopo pesanggrahan. Kakek Blakitem tidak tampak disana. Beberapa
saat kemudian Andragi dan Paldrino tiba dan segera menemui Lugasi. Pertemuan
mereka sungguh sangat menggembirakan. Apalagi mereka telah mendengar sepak
terjang Lugasi yang banyak membantu rakyat kecil bahkan berhasil membuat
seorang pimpinan yang bengis menjadi Adipati yang baik hati dan disenangi
rakyat. Tak henti-hentinya Andragi dan Paldrino memuji Anak Setan itu.
“Mungkin sebaiknya kita ganti julukannya menjadi
Anak Malaikat,” kata Andragi berseloroh.
“Ah, sobat Andragi dan pak Wedana terlalu memuji
saya. Saya jadi malu. Hihi..hi!” kata Lugasi dengan ketawa jenakanya.
“Pak Diguldo juga menyampaikan salam
terimakasihnya kepada sobat Lugasi,” kata Paldrino.
“Oh, apakah pak Wedana telah bertemu dengan beliau?”
tanya Lugasi.
“Belum, tetapi istri dan anak-anak saya sekarang
tinggal bersama mereka di Poruteng,” jawab Paldrino.
“Hi..hihi! Saya tadinya mengira istri pak Diguldo adalah ibu Wedana. Habis, wajahnya mirip sekali. Hi..hihi!! kata Lugasi.
Mereka semua tertawa melihat tawa jenaka Lugasi
yang khas itu. Tetapi Lugasi segera mengingatkan tentang para perampok yang ada
di halaman itu.
“Ah, benar. Siapakah mereka dan akan kita apakan
mereka?” tanya Paldrino.
“Kami belum menanyai mereka. Silakan sobat Andragi
dan pak Paldrino melihat mereka,” jawab Brewok.
Mereka segera keluar menjumpai para perampok itu.
“Hmm, siapakah kalian ini? Mengapa kalian
berkali-kali merampok beras kami?” tanya Paldrino.
Mereka saling berpandangan. Tetapi seorang yang
paling tua diantara mereka mengambil insiatif membuka mulut.
“Kami semua bertetangga, berasal dari pemukiman
miskin di Kenteng. Kami khilaf, padahal pernah ditolong oleh tuan-tuan saat
keluarga kami sakit dan selama ini sudah boleh tinggal di wilayah kakek Blakitem.
Kami mohon maaf dan pasrah,” kata lelaki itu.
“Hmm, begitu! Kenapa kalian begitu tega terhadap
kakek Blakitem dan juga kami?” tanya Paldrino.
“Maafkan kami tuan. Kami tergiur melihat setiap
hari ada 2 karung beras yang dibawa ke sini,” katanya pelan.
“Lalu siapa yang memberi tahu kalian jadwal setiap
pengiriman itu? Katakan! Jangan sampai kami menuduh semua orang Kenteng yang
bekerja disini bersekongkol dengan kalian!” cecar Paldrino lagi.
“Tidak, tuan. Tidak semua! Hanya dua orang kakak
adik yang juga masih keluarga dekat saya. Mereka Maber dan Maras,” jawabnya.
“Oh, begitu! Baiklah. Karena kalian adalah warga
yang ditolong oleh kakek Blakitem, saya kira biarlah beliau sendiri yang akan
memutuskan hukuman buat kalian,” kata Paldrino.
Yang lain mengangguk.
Dari dalam pendopo, seorang santri datang
mengabarkan kalau kakek Blakitem menanti mereka di dalam. Mereka bergegas masuk,
kecuali para santri yang bertugas menjaga tahanan mereka. Ketika yang lain
sedang mengambil tempat duduk, tiba-tiba Lugasi menghambur kearah kakek
Blakitem. Ia segera menubruk kaki kakek itu, memeluk dan menciumi kaki si orang
tua itu sambil berseru-seru.
“Kakek guru, kakek guru!” katanya berulang-ulang,
persis seperti seorang anak mendapatkan ibunya kembali setelah kehilangan cukup
lama.
Kakek Blakitem mengelus-elus kepala Lugasi,
sayang. Mereka tampak seperti ayah dan anak. Begitu dekat dan saling
merindukan. Orang-orang heran tetapi juga terharu melihat adegan itu. Mereka
tak menyangka Lugasi adalah murid si kakek. Bahkan para santri pun tidak tahu.
Mereka belum pernah melihat Lugasi sebelumnya apalagi bersama guru mereka. Ada
sedikit rasa cemburu di hati mereka tetapi mereka mencoba memahaminya.
Bagaimanapun juga, mereka tidak tahu asal usul dan hubungan keduanya. Mungkin
memang mereka memiliki hubungan darah sebagai kakek dan cucu.
“Oh, ternyata Lugasi yang dimaksudkan kakek
Blakitem sebagai ‘murid yang satu itu’ tempo hari,” kenang Andragi mengingat
pembicaraan mereka dengan kakek Blakitem di tepi danau dulu itu.
“Sudah, Anak Setan! Kau kembali ke tempat
kawan-kawanmu duduk,” kata si kakek.
Lugasi segera beringsut ke belakang sambil tak
lupa menciumi kaki si kakek. Ia duduk diantara Andragi dan Paldrino. Matanya
berbinar-binar memandang orang tua yang sangat dihormati dan dicintainya itu.
Selama ini dia hanya tahu orang tua itulah satu-satunya yang dekat dengannya
dan yang telah membesarkannya.
“Aku dengar kau telah berbuat banyak kebaikan
selama beberapa bulan petualanganmu. Benarkah?” tanya kakek Blakitem.
“Tidak banyak kakek guru. Saya hanya melakukan apa
yang kakek guru pesankan. Kalau ada yang salah saya bersedia di tendang,” jawab
Lugasi sambil menggelinding kembali ke kaki kakek itu, menunggu di tendang.
Itulah yang selalu dilakukan oleh gurunya ketika
dia berbuat salah sewaktu belum bertualang dulu. Kakek Blakitem tersenyum dan menendang tubuh bulat itu dengan lembut, tanda
ia tidak berbuat salah. Lugasi menggelinding balik ke tempat ia duduk. Tak ada
yang lucu. Semua melihatnya dengan perasaan takjub dan haru bercampur suka.
“Pak Paldrino dan kawan-kawan telah banyak
bercerita tentang dirimu, meski mereka tidak tahu hubungan kita. Bahkan kedua
utusan dari Gunung Kembar itu juga mengatakan banyak hal yang telah kau
perbuat. Aku sendiri baru saja ke Rajapurwa dan menyaksikan perubahan yang
begitu hebat. Aku senang melihat itu semua. Meski begitu aku yakin ada hal lain
yang belum kami dengar dari sepak terjangmu itu. Biarlah aku dengar dari orang
lain saja. Kau tidak boleh berbicara apa-apa soal itu,” kata si kakek.
Tampaknya kakek Blakitem merasa senang dengan
pencapaian yang telah dilakukan oleh ‘murid yang satu’ ini.
“Terimakasih kakek guru,” kata Lugasi ceria.
“Bagaimana hasil pencarianmu terhadap kedua orang
tuamu?” tanya kakek Blakitem.
Lugasi menceritakan semuanya hingga ia bertemu
dengan keluarga di desa Metus itu yang menyebut dirinya dengan si Katul kecil.
Si ibu sudah lega setelah melihat ia selamat dari pembantaian itu dan bisa
bertemu dengan dirinya.
Ketika Lugasi bercerita itu, kakek Blakitem mengerutkan
alisnya. Wajahnya yang hitam itu semakin bertambah gelap. Tampaknya ada sesuatu
yang dipikirkannya. Tetapi sejurus kemudian ia tersenyum.
“Kalau begitu kau telah bertemu dengan orang
tuamu. Mereka ada di dalam hatimu dan selalu menemanimu setiap saat. Sikap dan
perbuatanmu selama ini telah membuat mereka bangga. Percayalah, tak perlu kau
cari ayahmu! Perbuatan baikmu itulah yang akan mencari orang tuamu dan
mengantarkanmu bertemu dengan ayahmu kelak!” kata si kakek.
“Saya percaya kakek guru! Pak Gadamuk dari Gunung
Kembar juga mengatakan hal itu,” jawab Lugasi.
“Nah sekarang di depan kita banyak pekerjaan
menanti yang telah dirintis oleh sobat Andragi, pak Paldrino dan kawan-kawan.
Kau harus banyak membantu mereka!” kata kakek Blakitem.
“Baik kakek guru. Saya berjanji!” jawab anak muda
itu mantap.
“Ah, bahkan di depan pendopo ini ada persoalan
yang harus kita selesaikan,” kata orang tua itu hendak beranjak.
“Sebentar kakek guru!” seru Lugasi.
“Apalagi Anak Setan?!” tanya si kakek kembali
duduk.
“Anu...kakek guru.. Jadi selama ini kalau kakek guru
pergi itu berarti ..? tanya Lugasi terputus.
Ia tak berani meneruskan kata-katanya.
“Sudah ku bilang kau tidak boleh tanya soal itu
sejak dulu! Sana pergi membantu pekerjaan besar itu sebelum kutendang badan
bulatmu itu!” hardik kakek Blakitem sambil berdiri hendak menghampirinya.
Tanpa berkata lagi Lugasi segera menggelinding
cepat keluar dari ruangan itu. Ia tahu kakek itu berkata sungguh-sungguh,
persis seperti ketika dulu menyuruhnya pergi saat dia masih kecil setiap kali
dia merengek hendak ikut orang tua itu pergi. Orang-orang kaget melihat tingkah
kedua orang murid dan guru yang aneh itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.