Pertemuan Lugasi Dengan Kakek Blakitem Yang Aneh

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #68 )


“Ah, sobat Lugasi. Selamat bertemu lagi dan terimakasih atas bantuannya,” jawab Loyo sambil datang merangkulya.

“Kenalkan teman-teman santri murid kakek Blakitem ini,” kata Brewok sambil juga datang memeluknya.

“Ah, senang sekali mendapat sobat baru, para santri,” jawab Lugasi mendatangi satu persatu santri-santri itu.

Perangainya yang ramah segera membuat para santri merasa senang dan menyukai sosok manusia pendek dan bulat ini. Apalagi ia memiliki kesaktian hebat yang aneh.

“Akan kalian apakan kutu-kutu busuk ini”? tanya Lugasi sambil menunjuk para perampok yang duduk terikat itu.

“Bagaimana kalau kita bawa saja ke Batutok. Biar kawan-kawan atau kakek Blakitem yang memutuskan nasib mereka,” usul Brewok.

‘Ah, kenapa repot-repot! Kapakku ini belum hilang hausnya. Tadi itu cuma meleset kena tangan. Kalau belum kena leher kapak ini belum puas! Hihi..hi! kata Lugasi.

Para perampok itu merinding mendengarnya.

“Ampun tuan, kami jangan dibunuh. Kasihan anak istri kami tuan!?” kata mereka menghiba.

Lugasi mengedipkan mata memberi isyarat. Loyo dan Brewok yang tahu sikap jenaka Lugasi, tersenyum-senyum sambil mengangguk seakan setuju.

“Baiklah! Silakan sobat Lugasi mengasah kapaknya di leher orang yang paling muda itu,” kata Brewok.

“Maaak, bapaak! Ampun, Saya jangan dibunuh, tuan! Kasihanilah, saya belum kawin tuan,” rengek anak muda itu.

“Hah, bagaimana ini! Yang sudah kawin minta dikasihani istri dan anak-anaknya, yang belum kawin alasannya belum kawin! Hihi..hi!” kata Lugasi menyembunyikan senyumnya.

“Ya, sudah terserah! Bawa saja ke Batutok, biar dihukum rajam dengan batu. Matinya malah pelan-pelan..! Hiii!” kata Lugasi lagi.

Anak muda itu terlihat meneteskan air mata. Ia menyesali nasibnya yang buruk itu.

Mereka lalu membuat tandu sederhana dan menyuruh empat orang perampok bergantian mengusung pemimpin mereka. Empat orang anggota perampok yang lain disuruh untuk menggotong beras yang ditinggal lari para pengantarnya. Mereka tiba di pesanggrahan Batutok ketika petang mulai merayap. Andragi segera diberi tahu dan bersama Paldrino segera pula menyeberang danau menuju pesanggrahan itu. Para perampok duduk di halaman luar pendopo, dikawal para santri penjaga pesanggrahan.

Sementara itu Loyo dan Brewok membawa Lugasi memasuki pendopo pesanggrahan. Kakek Blakitem tidak tampak disana. Beberapa saat kemudian Andragi dan Paldrino tiba dan segera menemui Lugasi. Pertemuan mereka sungguh sangat menggembirakan. Apalagi mereka telah mendengar sepak terjang Lugasi yang banyak membantu rakyat kecil bahkan berhasil membuat seorang pimpinan yang bengis menjadi Adipati yang baik hati dan disenangi rakyat. Tak henti-hentinya Andragi dan Paldrino memuji Anak Setan itu.

“Mungkin sebaiknya kita ganti julukannya menjadi Anak Malaikat,” kata Andragi berseloroh.

“Ah, sobat Andragi dan pak Wedana terlalu memuji saya. Saya jadi malu. Hihi..hi!” kata Lugasi dengan ketawa jenakanya.

“Pak Diguldo juga menyampaikan salam terimakasihnya kepada sobat Lugasi,” kata Paldrino.

“Oh, apakah pak Wedana telah bertemu dengan beliau?” tanya Lugasi.

“Belum, tetapi istri dan anak-anak saya sekarang tinggal bersama mereka di Poruteng,” jawab Paldrino.

“Hi..hihi! Saya tadinya mengira istri pak Diguldo adalah ibu Wedana. Habis, wajahnya mirip sekali. Hi..hihi!! kata Lugasi.

Mereka semua tertawa melihat tawa jenaka Lugasi yang khas itu. Tetapi Lugasi segera mengingatkan tentang para perampok yang ada di halaman itu.

“Ah, benar. Siapakah mereka dan akan kita apakan mereka?” tanya Paldrino.

“Kami belum menanyai mereka. Silakan sobat Andragi dan pak Paldrino melihat mereka,” jawab Brewok.

Mereka segera keluar menjumpai para perampok itu.

“Hmm, siapakah kalian ini? Mengapa kalian berkali-kali merampok beras kami?” tanya Paldrino.

Mereka saling berpandangan. Tetapi seorang yang paling tua diantara mereka mengambil insiatif membuka mulut.

“Kami semua bertetangga, berasal dari pemukiman miskin di Kenteng. Kami khilaf, padahal pernah ditolong oleh tuan-tuan saat keluarga kami sakit dan selama ini sudah boleh tinggal di wilayah kakek Blakitem. Kami mohon maaf dan pasrah,” kata lelaki itu.

“Hmm, begitu! Kenapa kalian begitu tega terhadap kakek Blakitem dan juga kami?” tanya Paldrino.

“Maafkan kami tuan. Kami tergiur melihat setiap hari ada 2 karung beras yang dibawa ke sini,” katanya pelan.

“Lalu siapa yang memberi tahu kalian jadwal setiap pengiriman itu? Katakan! Jangan sampai kami menuduh semua orang Kenteng yang bekerja disini bersekongkol dengan kalian!” cecar Paldrino lagi.

“Tidak, tuan. Tidak semua! Hanya dua orang kakak adik yang juga masih keluarga dekat saya. Mereka Maber dan Maras,” jawabnya.

“Oh, begitu! Baiklah. Karena kalian adalah warga yang ditolong oleh kakek Blakitem, saya kira biarlah beliau sendiri yang akan memutuskan hukuman buat kalian,” kata Paldrino.

Yang lain mengangguk.

Dari dalam pendopo, seorang santri datang mengabarkan kalau kakek Blakitem menanti mereka di dalam. Mereka bergegas masuk, kecuali para santri yang bertugas menjaga tahanan mereka. Ketika yang lain sedang mengambil tempat duduk, tiba-tiba Lugasi menghambur kearah kakek Blakitem. Ia segera menubruk kaki kakek itu, memeluk dan menciumi kaki si orang tua itu sambil berseru-seru.

“Kakek guru, kakek guru!” katanya berulang-ulang, persis seperti seorang anak mendapatkan ibunya kembali setelah kehilangan cukup lama.

Kakek Blakitem mengelus-elus kepala Lugasi, sayang. Mereka tampak seperti ayah dan anak. Begitu dekat dan saling merindukan. Orang-orang heran tetapi juga terharu melihat adegan itu. Mereka tak menyangka Lugasi adalah murid si kakek. Bahkan para santri pun tidak tahu. Mereka belum pernah melihat Lugasi sebelumnya apalagi bersama guru mereka. Ada sedikit rasa cemburu di hati mereka tetapi mereka mencoba memahaminya. Bagaimanapun juga, mereka tidak tahu asal usul dan hubungan keduanya. Mungkin memang mereka memiliki hubungan darah sebagai kakek dan cucu.

“Oh, ternyata Lugasi yang dimaksudkan kakek Blakitem sebagai ‘murid yang satu itu’ tempo hari,” kenang Andragi mengingat pembicaraan mereka dengan kakek Blakitem di tepi danau dulu itu.

“Sudah, Anak Setan! Kau kembali ke tempat kawan-kawanmu duduk,” kata si kakek.

Lugasi segera beringsut ke belakang sambil tak lupa menciumi kaki si kakek. Ia duduk diantara Andragi dan Paldrino. Matanya berbinar-binar memandang orang tua yang sangat dihormati dan dicintainya itu. Selama ini dia hanya tahu orang tua itulah satu-satunya yang dekat dengannya dan yang telah membesarkannya.

“Aku dengar kau telah berbuat banyak kebaikan selama beberapa bulan petualanganmu. Benarkah?” tanya kakek Blakitem.

“Tidak banyak kakek guru. Saya hanya melakukan apa yang kakek guru pesankan. Kalau ada yang salah saya bersedia di tendang,” jawab Lugasi sambil menggelinding kembali ke kaki kakek itu, menunggu di tendang.

Itulah yang selalu dilakukan oleh gurunya ketika dia berbuat salah sewaktu belum bertualang dulu. Kakek Blakitem tersenyum dan  menendang tubuh bulat itu dengan lembut, tanda ia tidak berbuat salah. Lugasi menggelinding balik ke tempat ia duduk. Tak ada yang lucu. Semua melihatnya dengan perasaan takjub dan haru bercampur suka.

“Pak Paldrino dan kawan-kawan telah banyak bercerita tentang dirimu, meski mereka tidak tahu hubungan kita. Bahkan kedua utusan dari Gunung Kembar itu juga mengatakan banyak hal yang telah kau perbuat. Aku sendiri baru saja ke Rajapurwa dan menyaksikan perubahan yang begitu hebat. Aku senang melihat itu semua. Meski begitu aku yakin ada hal lain yang belum kami dengar dari sepak terjangmu itu. Biarlah aku dengar dari orang lain saja. Kau tidak boleh berbicara apa-apa soal itu,” kata si kakek.

Tampaknya kakek Blakitem merasa senang dengan pencapaian yang telah dilakukan oleh ‘murid yang satu’ ini.

“Terimakasih kakek guru,” kata Lugasi ceria.

“Bagaimana hasil pencarianmu terhadap kedua orang tuamu?” tanya kakek Blakitem.

Lugasi menceritakan semuanya hingga ia bertemu dengan keluarga di desa Metus itu yang menyebut dirinya dengan si Katul kecil. Si ibu sudah lega setelah melihat ia selamat dari pembantaian itu dan bisa bertemu dengan dirinya. 

Ketika Lugasi bercerita itu, kakek Blakitem mengerutkan alisnya. Wajahnya yang hitam itu semakin bertambah gelap. Tampaknya ada sesuatu yang dipikirkannya. Tetapi sejurus kemudian ia tersenyum.

“Kalau begitu kau telah bertemu dengan orang tuamu. Mereka ada di dalam hatimu dan selalu menemanimu setiap saat. Sikap dan perbuatanmu selama ini telah membuat mereka bangga. Percayalah, tak perlu kau cari ayahmu! Perbuatan baikmu itulah yang akan mencari orang tuamu dan mengantarkanmu bertemu dengan ayahmu kelak!” kata si kakek.

“Saya percaya kakek guru! Pak Gadamuk dari Gunung Kembar juga mengatakan hal itu,” jawab Lugasi.

“Nah sekarang di depan kita banyak pekerjaan menanti yang telah dirintis oleh sobat Andragi, pak Paldrino dan kawan-kawan. Kau harus banyak membantu mereka!” kata kakek Blakitem.

“Baik kakek guru. Saya berjanji!” jawab anak muda itu mantap.

“Ah, bahkan di depan pendopo ini ada persoalan yang harus kita selesaikan,” kata orang tua itu hendak beranjak.

“Sebentar kakek guru!” seru Lugasi.

“Apalagi Anak Setan?!” tanya si kakek kembali duduk.

“Anu...kakek guru.. Jadi selama ini kalau kakek guru pergi itu berarti ..? tanya Lugasi terputus.

Ia tak berani meneruskan kata-katanya.

“Sudah ku bilang kau tidak boleh tanya soal itu sejak dulu! Sana pergi membantu pekerjaan besar itu sebelum kutendang badan bulatmu itu!” hardik kakek Blakitem sambil berdiri hendak menghampirinya.

Tanpa berkata lagi Lugasi segera menggelinding cepat keluar dari ruangan itu. Ia tahu kakek itu berkata sungguh-sungguh, persis seperti ketika dulu menyuruhnya pergi saat dia masih kecil setiap kali dia merengek hendak ikut orang tua itu pergi. Orang-orang kaget melihat tingkah kedua orang murid dan guru yang aneh itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA