Menyusun Taktik Untuk Menolong Rakyat

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #51 )


Esoknya, Lugasi berangkat menuju Rajapurwa.

“Kutinggalkan nama Sehut disini. Sekarang pakai Anak Setan lagi saja. Hihi..hi!” kata Lugasi pada dirinya sendiri.

Ia berjalan dengan cepat karena berharap segera bisa sampai di Buntung, hingga di suatu siang ia tiba pada suatu jalur jalan yang menghubungkan Kotaraja dan Rajapurwa. Jalan itu cukup lebar, pertanda sering dilalui. Daerah sepanjang jalan itu berupa hamparan tanaman perdu dan rerumputan yang cukup luas, membuat mata bisa memandang lepas hingga batas hutan di kejauhan. Hanya terdapat satu dua pohon yang berdiri angkuh diantara tanaman perdu yang seakan tunduk menghormat. Ia terus berjalan menyusuri jalan itu ke arah Rajapurwa. Tak berapa lama kemudian, matahari yang terik memaksanya beristirahat di bawah sebatang pohon di tepi jalan sambil menikmati pemandangan sebuah telaga kecil di kejauhan. Ia membuka bekal makanannya dan melahapnya dengan cepat, lalu merebahkan badannya, beristirahat.

Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah bayangan yang bergerak cepat di tepi telaga kecil di kejauhan itu. Ia menajamkan matanya untuk memastikan apakah orang itu berkuda atau berlari. Bayangan itu terus bergerak melintasi bukit dan lembah dengan kecepatan yang tetap. Baru pada jarak yang memungkinkan, Lugasi dapat memastikan bayangan itu bukan orang yang berkuda, tetapi berlari. Orang itu terus berlari dengan cepat melintasi sebuah lembah lagi dan menghilang dibalik bukit terdekat. Tak berapa lama kemudian Lugasi melihat di ujung jalan dari arah Kotaraja terlihat muncul debu mengepul mengiringi sesuatu yang bergerak cepat. Rupanya bayangan yang berlari itu telah memasuki jalan besar dan menuju kearahnya. Lugasi segera berdiri di balik pohon dan mengamatinya. Dalam sekejap orang itu telah melintas di depannya secepat kuda yang dipacu kencang.

“Heiii!! Tunggu!” teriaknya.

Tetapi bayangan itu terus melaju ke arah Rajapurwa. Ia mencoba mengejarnya dengan menggelinding dan melenting hingga beberapa ratus meter tetapi akhirnya harus menyerah kelelahan sementara orang yang dikejarnya terus melaju tanpa kenal lelah.

“Bukan main! Hebat sekali orang itu. Ia berlari cepat melewati bukit dan lembah tanpa punya rasa lelah. Hebat..hebat sekali!” kagum Lugasi, bicara pada dirinya sendiri.

Ia lalu mengikuti arah pelari hebat tadi, meneruskan perjalanannya ke Rajapurwa dengan berjalan santai. Hari sudah cukup malam ketika ia tiba di Rajapurwa, dan seperti biasa mencari warung tempat ia bisa ikut menumpang tidur. Tetapi kali ini ia tidak perlu menawarkan bantuan tenaga sebagai penukar makan karena Hobijo telah mendesaknya membawa uang cukup banyak sebagai bekal. Di warung itu ia mendengar berbagai cerita tentang Anak Langit, Pendekar Pembakar Air, Pasukan Gunung Kembar, menghilangnya Setiaka dan lain-lain dengan berbagai versi dan spekulasi.

“Benarkan, kataku? Pasukan Gunung Kembar bukan perampok. Mereka pasukan siluman yang tidak mengganggu kita,” kata seorang pengunjung.

“Iya, buktinya pasukan Setiaka pun hilang dihabisi mereka,” jawab temannya.

“Dan meski kita tidak memiliki pasukan disini, mereka tidak merampok kita sama sekali,” timpal yang lain.

“Tapi kan sekarang ada pasukan yang dipimpin Pangeran Muda Jaira yang kabarnya akan ikut pemilihan Adipati baru?”

“Iya, dengar-dengar ia sudah mendapat restu dari pusat.”

“Yah, kalau sudah begitu kita bisa bilang apa?”

Tampaknya rakyat sudah sangat maklum, kalau sudah ada calon yang mendapat restu dari pusat tentu segala cara akan dipaksakan kepada mereka hingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain memilih calon yang direstui itu. Kehidupan dan nyawa mereka sekeluarga akan terancam. Buat apa mempertaruhkan nyawa sementara yang di dapat dari pemilihan itu tidak jelas pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Buat kebanyakan rakyat, ada atau tidak ada pemimpin, kehidupan mereka toh bisa berjalan. Buktinya sekarang, tanpa ada Adipati pun kehidupan berjalan bahkan lebih nyaman dari sebelumnya.

“Yah, siapa tahu kali ini beda?” ungkap orang yang pertama.

“Apa maksudmu?” tanya orang yang terakhir.

“Kan ada Tuan Mata Setan dan pasukan siluman Gunung Kembar.”

“Yah, moga-moga saja!” jawab yang lain berharap.

Dalam hatinya, Lugasi ingin memenuhi harapan orang-orang itu, tetapi ia belum tahu apa yang bisa dilakukannya. Di kepalanya terlintas satu cara yakni menghilangkan calon yang direstui itu. Tetapi kalau itu dilakukan pasti akan ditunjuk lagi orang yang direstui dari pusat. Hmm, dia berpikir keras.

“Maaf, bapak-bapak. Saya bukan orang sini. Siapakah pangeran Jaira yang kalian bicarakan itu?” tanya Lugasi.

“Ya, kami tahu saudara orang baru disini, karena kami kenal semua tamu yang biasa datang kesini untuk mengobrol. Kami biasa menyamakan pendapat agar tidak keliru menyikapi situasi. Kami akan memilih yang baik buat kehidupan kami dan keluarga kami,” kata seorang diantara mereka yang paling tua, menjawab dengan hati-hati.

“Oh, begitu. Bagus juga cara itu. Lalu.., pangeran Jaira?” tanya Lugasi.

“Dia komandan pasukan Buntung yang akan menjadi calon Adipati. Buat kami, kalau sudah mendapat restu dari pusat, kami memilih mengikuti saja. Kami warga yang patuh pada keinginan pemerintah,” jawab orangtua itu.

“Tadi katanya ada Tuan Mata Setan dan Pasukan Siluman Gunung Kembar. Apa mereka tidak bisa membantu?” tanya Lugasi.

“Kami tidak mengenal mereka dan tidak berani bermimpi untuk itu.”

“Kalau saja mereka bisa membantu... Hmm,” kata Lugasi sambil menggaruk-garuk kepala.

Seperti biasa, garukan itu menandakan ia sedang berpikir keras.

“Bagaimana kalau saya membantu bapak-bapak supaya Adipati nanti adalah pemimpin yang benar-benar menolong rakyatnya?” tawar Lugasi.

Mereka tampak ragu. Jangan-jangan anak muda ini akan membawa petaka bagi mereka. Dalam hati mereka agak menyesali pembicaraan mereka malam ini.

“Jangan takut, saya bukan orang pemerintah. Saya malah memusuhi mereka karena mereka dan pasukannya membunuh kedua orangtua saya. Disini tidak ada siapa-siapa, kecuali kita. Saya punya rencana!” katanya.

Ia lalu menceritakan rencananya kepada mereka. Rencana itu sekaligus untuk membuktikan bahwa dia ada di pihak mereka. Meskipun begitu mereka tetap ragu-ragu dan bersikap hati-hati.

Lugasi menyadari hal itu.

“Begini!” katanya. “Kalau saya antek pemerintah, besok saudara-saudara pasti sudah ditangkap dan keluarga saudara akan terancam hidupnya, karena saya akan melaporkan saudara-saudara kepada atasan saya atau pejabat pemerintah. Karena itu sebaiknya saudara-saudara menangkap saya dan membunuh saya sekarang supaya tidak bisa melapor,” kata Lugasi sambil menyerahkan kapaknya dan mengulurkan tangannya untuk diikat.

Mereka hanya memandang dan menimbang-nimbang.

“Benar! Kita tak punya pilihan selain mempercayai anak muda ini!” kata orang tua itu. “Karena kita bukan pembunuh!”

“Terimakasih.” kata Lugasi. “Kalaupun rencana ini gagal, saudara-saudara tidak akan terancam. Hanya saya sendiri yang akan menjadi korban.”

Mereka menjadi yakin dan selanjutnya suasana menjadi cair.

“Tapi, siapakah nama anak muda?” tanya pak tua.

“Orang biasa memaki saya dengan Anak Setan, karena sejak kecil saya nakal. Hihi..hii! jawab Lugasi jenaka.

Mereka mulai berani ikut tertawa melihat kejenakaannya.

“Karena itu bapak-bapak bisa memanggil saya dengan sebutan itu, lumayan sambil memaki. Hihi...hi!” lanjutnya.

Mereka menyambutnya dengan tertawa. Penampilannya yang jenaka segera menghapuskan kecurigaan mereka.

“Ah, kami tak pantas menyebut begitu. Ijinkan kami memanggil dengan singkatannya saja, Aset,” usul seseorang.

“Ya..ya. Boleh. Anak Setan jadi Aset! Hihi..hi!” jawab Lugasi.

Mereka segera menjadi akrab. Dan para penduduk itu merasa lega. Rasa putus asa yang sebelumnya menyelimuti hati mereka kini berganti dengan harapan yang berbunga.

Malam itu mereka memutuskan untuk menemani Aset menginap di warung itu. Hanya dua orang yang pulang untuk memberi tahu keluarga mereka kalau suami-suami mereka tidak pulang malam itu.

Pada pagi harinya mereka segera pergi menjalankan rencana. Hari itu mereka akan menyebar ke pasar, ke kadipaten atau ke tempat ramai lainnya untuk mencari tahu rencana kegiatan Jaira di Rajapurwa. Pada malam harinya mereka berkumpul lagi di warung itu, seakan seperti biasanya mereka datang kesana.

“Bagaimana, ada yang sudah tahu kegiatannya?” tanya Lugasi.

“Saya dapat sedikit berita sobat Aset.” kata seorang dari mereka. “Kebetulan salah seorang prajuritnya sedang mendekati anak gadis pemilik warung di dalam kota Rajapurwa. Tadi siang prajurit itu, namanya Dulatah, memborong banyak makanan sebagai bekal, katanya mereka akan kembali ke Buntung besok pagi. Kabar ini diceritakan oleh adik saya yang kebetulan bekerja di warung itu saat saya mendatanginya sore tadi.”  

“Saya juga mendengar berita yang sama di pasar. Seorang prajurit baru saja keluar dari warung lalu saya masuk kesana. Saya melihat perempuan pemiliknya sedang menghapus air mata dan saya tanya kenapa. Katanya kekasihnya akan kembali ke Buntung tetapi akan segera ke Rajapurwa lagi setelah mengambil seluruh barang-barang mereka yang masih disana. Rupanya perempuan itu sudah berhasil dikencaninya,” lapor kawannya.

“Dasar prajurit mata keranjang!” umpat Lugasi.

“Lalu bagaimana dengan rencana kita?” tanya pak tua.

“Oh, iya. Hihi..hi! Aku hampir lupa!” kata Lugasi.

Ia lalu membicarakan secara rinci rencana mereka. Ia hanya perlu seorang pendamping yang akan menunjukkan jalan. Itupun tidak harus terlihat berjalan bersama. Setelah semua paham, mereka lalu bersiap malam itu juga berangkat secara terpisah dan tidak mencolok. Beberapa diantara mereka pulang untuk mengajak teman atau saudara yang mereka kenal dan percayai. Teman-teman mereka itupun boleh mengajak yang lain asal dapat dipercaya dan tidak mencolok saat berangkat ke tempat yang dituju, serta harus sudah tiba disana sebelum fajar menyingsing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA