Esoknya, Lugasi berangkat menuju Rajapurwa.
“Kutinggalkan nama Sehut disini. Sekarang pakai
Anak Setan lagi saja. Hihi..hi!” kata Lugasi pada dirinya sendiri.
Ia berjalan dengan cepat karena berharap segera
bisa sampai di Buntung, hingga di suatu siang ia tiba pada suatu jalur jalan
yang menghubungkan Kotaraja dan Rajapurwa. Jalan itu cukup lebar, pertanda
sering dilalui. Daerah sepanjang jalan itu berupa hamparan tanaman perdu dan
rerumputan yang cukup luas, membuat mata bisa memandang lepas hingga batas
hutan di kejauhan. Hanya terdapat satu dua pohon yang berdiri angkuh diantara
tanaman perdu yang seakan tunduk menghormat. Ia terus berjalan menyusuri jalan
itu ke arah Rajapurwa. Tak berapa lama kemudian, matahari yang terik memaksanya
beristirahat di bawah sebatang pohon di tepi jalan sambil menikmati pemandangan
sebuah telaga kecil di kejauhan. Ia membuka bekal makanannya dan melahapnya
dengan cepat, lalu merebahkan badannya, beristirahat.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah bayangan
yang bergerak cepat di tepi telaga kecil di kejauhan itu. Ia menajamkan matanya
untuk memastikan apakah orang itu berkuda atau berlari. Bayangan itu terus
bergerak melintasi bukit dan lembah dengan kecepatan yang tetap. Baru pada
jarak yang memungkinkan, Lugasi dapat memastikan bayangan itu bukan orang yang
berkuda, tetapi berlari. Orang itu terus berlari dengan cepat melintasi sebuah
lembah lagi dan menghilang dibalik bukit terdekat. Tak berapa lama kemudian
Lugasi melihat di ujung jalan dari arah Kotaraja terlihat muncul debu mengepul
mengiringi sesuatu yang bergerak cepat. Rupanya bayangan yang berlari itu telah
memasuki jalan besar dan menuju kearahnya. Lugasi segera berdiri di balik pohon
dan mengamatinya. Dalam sekejap orang itu telah melintas di depannya secepat
kuda yang dipacu kencang.
“Heiii!! Tunggu!” teriaknya.
Tetapi bayangan itu terus melaju ke arah Rajapurwa.
Ia mencoba mengejarnya dengan menggelinding dan melenting hingga beberapa ratus
meter tetapi akhirnya harus menyerah kelelahan sementara orang yang dikejarnya
terus melaju tanpa kenal lelah.
“Bukan main! Hebat sekali orang itu. Ia berlari
cepat melewati bukit dan lembah tanpa punya rasa lelah. Hebat..hebat sekali!”
kagum Lugasi, bicara pada dirinya sendiri.
Ia lalu mengikuti arah pelari hebat tadi, meneruskan
perjalanannya ke Rajapurwa dengan berjalan santai. Hari sudah cukup malam
ketika ia tiba di Rajapurwa, dan seperti biasa mencari warung tempat ia bisa
ikut menumpang tidur. Tetapi kali ini ia tidak perlu menawarkan bantuan tenaga
sebagai penukar makan karena Hobijo telah mendesaknya membawa uang cukup banyak
sebagai bekal. Di warung itu ia mendengar berbagai cerita tentang Anak Langit,
Pendekar Pembakar Air, Pasukan Gunung Kembar, menghilangnya Setiaka dan
lain-lain dengan berbagai versi dan spekulasi.
“Benarkan, kataku? Pasukan Gunung Kembar bukan
perampok. Mereka pasukan siluman yang tidak mengganggu kita,” kata seorang
pengunjung.
“Iya, buktinya pasukan Setiaka pun hilang dihabisi
mereka,” jawab temannya.
“Dan meski kita tidak memiliki pasukan disini,
mereka tidak merampok kita sama sekali,” timpal yang lain.
“Tapi kan sekarang ada pasukan yang dipimpin
Pangeran Muda Jaira yang kabarnya akan ikut pemilihan Adipati baru?”
“Iya, dengar-dengar ia sudah mendapat restu dari
pusat.”
“Yah, kalau sudah begitu kita bisa bilang apa?”
Tampaknya rakyat sudah sangat maklum, kalau sudah
ada calon yang mendapat restu dari pusat tentu segala cara akan dipaksakan
kepada mereka hingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain memilih calon
yang direstui itu. Kehidupan dan nyawa mereka sekeluarga akan terancam. Buat
apa mempertaruhkan nyawa sementara yang di dapat dari pemilihan itu tidak jelas
pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Buat kebanyakan rakyat, ada atau tidak ada
pemimpin, kehidupan mereka toh bisa berjalan. Buktinya sekarang, tanpa ada
Adipati pun kehidupan berjalan bahkan lebih nyaman dari sebelumnya.
“Yah, siapa tahu kali ini beda?” ungkap orang yang
pertama.
“Apa maksudmu?” tanya orang yang terakhir.
“Kan ada Tuan Mata Setan dan pasukan siluman
Gunung Kembar.”
“Yah, moga-moga saja!” jawab yang lain berharap.
Dalam hatinya, Lugasi ingin memenuhi harapan
orang-orang itu, tetapi ia belum tahu apa yang bisa dilakukannya. Di kepalanya
terlintas satu cara yakni menghilangkan calon yang direstui itu. Tetapi kalau
itu dilakukan pasti akan ditunjuk lagi orang yang direstui dari pusat. Hmm, dia
berpikir keras.
“Maaf, bapak-bapak. Saya bukan orang sini.
Siapakah pangeran Jaira yang kalian bicarakan itu?” tanya Lugasi.
“Ya, kami tahu saudara orang baru disini, karena
kami kenal semua tamu yang biasa datang kesini untuk mengobrol. Kami biasa
menyamakan pendapat agar tidak keliru menyikapi situasi. Kami akan memilih yang
baik buat kehidupan kami dan keluarga kami,” kata seorang diantara mereka yang
paling tua, menjawab dengan hati-hati.
“Oh, begitu. Bagus juga cara itu. Lalu.., pangeran
Jaira?” tanya Lugasi.
“Dia komandan pasukan Buntung yang akan menjadi calon
Adipati. Buat kami, kalau sudah mendapat restu dari pusat, kami memilih
mengikuti saja. Kami warga yang patuh pada keinginan pemerintah,” jawab
orangtua itu.
“Tadi katanya ada Tuan Mata Setan dan Pasukan
Siluman Gunung Kembar. Apa mereka tidak bisa membantu?” tanya Lugasi.
“Kami tidak mengenal mereka dan tidak berani
bermimpi untuk itu.”
“Kalau saja mereka bisa membantu... Hmm,” kata
Lugasi sambil menggaruk-garuk kepala.
Seperti biasa, garukan itu menandakan ia sedang
berpikir keras.
“Bagaimana kalau saya membantu bapak-bapak supaya
Adipati nanti adalah pemimpin yang benar-benar menolong rakyatnya?” tawar
Lugasi.
Mereka tampak ragu. Jangan-jangan anak muda ini
akan membawa petaka bagi mereka. Dalam hati mereka agak menyesali pembicaraan
mereka malam ini.
“Jangan takut, saya bukan orang pemerintah. Saya
malah memusuhi mereka karena mereka dan pasukannya membunuh kedua orangtua
saya. Disini tidak ada siapa-siapa, kecuali kita. Saya punya rencana!” katanya.
Ia lalu menceritakan rencananya kepada mereka.
Rencana itu sekaligus untuk membuktikan bahwa dia ada di pihak mereka. Meskipun
begitu mereka tetap ragu-ragu dan bersikap hati-hati.
Lugasi menyadari hal itu.
“Begini!” katanya. “Kalau saya antek pemerintah,
besok saudara-saudara pasti sudah ditangkap dan keluarga saudara akan terancam
hidupnya, karena saya akan melaporkan saudara-saudara kepada atasan saya atau pejabat
pemerintah. Karena itu sebaiknya saudara-saudara menangkap saya dan membunuh
saya sekarang supaya tidak bisa melapor,” kata Lugasi sambil menyerahkan kapaknya
dan mengulurkan tangannya untuk diikat.
Mereka hanya memandang dan menimbang-nimbang.
“Benar! Kita tak punya pilihan selain mempercayai
anak muda ini!” kata orang tua itu. “Karena kita bukan pembunuh!”
“Terimakasih.” kata Lugasi. “Kalaupun rencana ini
gagal, saudara-saudara tidak akan terancam. Hanya saya sendiri yang akan
menjadi korban.”
Mereka menjadi yakin dan selanjutnya suasana
menjadi cair.
“Tapi, siapakah nama anak muda?” tanya pak tua.
“Orang biasa memaki saya dengan Anak Setan, karena
sejak kecil saya nakal. Hihi..hii! jawab Lugasi jenaka.
Mereka mulai berani ikut tertawa melihat
kejenakaannya.
“Karena itu bapak-bapak bisa memanggil saya dengan
sebutan itu, lumayan sambil memaki. Hihi...hi!” lanjutnya.
Mereka menyambutnya dengan tertawa. Penampilannya
yang jenaka segera menghapuskan kecurigaan mereka.
“Ah, kami tak pantas menyebut begitu. Ijinkan kami
memanggil dengan singkatannya saja, Aset,” usul seseorang.
“Ya..ya. Boleh. Anak Setan jadi Aset! Hihi..hi!”
jawab Lugasi.
Mereka segera menjadi akrab. Dan para penduduk itu
merasa lega. Rasa putus asa yang sebelumnya menyelimuti hati mereka kini
berganti dengan harapan yang berbunga.
Malam itu mereka memutuskan untuk menemani Aset
menginap di warung itu. Hanya dua orang yang pulang untuk memberi tahu keluarga
mereka kalau suami-suami mereka tidak pulang malam itu.
Pada pagi harinya mereka segera pergi menjalankan
rencana. Hari itu mereka akan menyebar ke pasar, ke kadipaten atau ke tempat
ramai lainnya untuk mencari tahu rencana kegiatan Jaira di Rajapurwa. Pada
malam harinya mereka berkumpul lagi di warung itu, seakan seperti biasanya
mereka datang kesana.
“Bagaimana, ada yang sudah tahu kegiatannya?” tanya
Lugasi.
“Saya dapat sedikit berita sobat Aset.” kata
seorang dari mereka. “Kebetulan salah seorang prajuritnya sedang mendekati anak
gadis pemilik warung di dalam kota Rajapurwa. Tadi siang prajurit itu, namanya
Dulatah, memborong banyak makanan sebagai bekal, katanya mereka akan kembali ke
Buntung besok pagi. Kabar ini diceritakan oleh adik saya yang kebetulan bekerja
di warung itu saat saya mendatanginya sore tadi.”
“Saya juga mendengar berita yang sama di pasar.
Seorang prajurit baru saja keluar dari warung lalu saya masuk kesana. Saya
melihat perempuan pemiliknya sedang menghapus air mata dan saya tanya kenapa.
Katanya kekasihnya akan kembali ke Buntung tetapi akan segera ke Rajapurwa lagi
setelah mengambil seluruh barang-barang mereka yang masih disana. Rupanya
perempuan itu sudah berhasil dikencaninya,” lapor kawannya.
“Dasar prajurit mata keranjang!” umpat Lugasi.
“Lalu bagaimana dengan rencana kita?” tanya pak
tua.
“Oh, iya. Hihi..hi! Aku hampir lupa!” kata Lugasi.
Ia lalu membicarakan secara rinci rencana mereka.
Ia hanya perlu seorang pendamping yang akan menunjukkan jalan. Itupun tidak
harus terlihat berjalan bersama. Setelah semua paham, mereka lalu bersiap malam
itu juga berangkat secara terpisah dan tidak mencolok. Beberapa diantara mereka
pulang untuk mengajak teman atau saudara yang mereka kenal dan percayai.
Teman-teman mereka itupun boleh mengajak yang lain asal dapat dipercaya dan
tidak mencolok saat berangkat ke tempat yang dituju, serta harus sudah tiba
disana sebelum fajar menyingsing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.