Meloloskan Anak Langit Dari Penjara

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #33 )


Sementara itu, Andragi pun lalu diseret ke penjara Kadipaten. Kepala penjara segera memerintahkan anak buahnya mempersiapkan hukuman cambuk yang harus dijalani Andragi sesuai keputusan hakim. Andragi lalu  dibawa ke ruang khusus penyiksaan yang pengap dan berbau amis.

“He, kepala perampok! Kalau kau punya uang, cepat serahkan padaku dan akan kuringankan hukumanmu!” bentak kepala penjara.

“Saya bukan kepala perampok dan saya tidak mempunyai uang,” jawab Andragi.

“Kurang ajar! Berani kau mejawab kepadaku ya!”

“Plakk!! tangannya menampar pipi Andragi.

Ia jatuh terjengkang. Hidungnya mengeluarkan darah dan matanya berkunang-kunang.

“Sipir! Laksanakan tugasmu. Cambuk dia seratus kali dengan sekuat tenaga!” perintah kepala penjara itu.

Andragi lalu di seret ke sebuah tiang di tengah ruang itu. Badannya menghadap tiang, baju dan sarungnya dilepas. Kedua tangannya diikat diatas kepalanya pada sebuah gelang besi di tiang itu sedangkan kedua kakinya mengangkang dan diikat pada dua gelang besi yang menancap kuat di lantai.

Dua orang sipir telah bersiap dikiri dan kanannya. Seorang sebagai pemukul dan yang lain sebagai penghitung. Mereka akan bergantian tugas jika si pemukul lelah. Tanpa basa-basi si pemukul mengambil cambuk dari tempatnya dan bersiap.

“Satu!” kata penghitung.

“Ctarr!” bunyi cambuk menghajar punggung Andragi yang segera berbekas merah, disambut teriakan kesakitan, “Ouchh!”

“Dua!”, “Ctarr!”, Aaach..!” terlihat bekas yang kedua.

Begitu seterusnya. Pada hitungan ke sepuluh darah sudah mulai mengucur dari kulit punggung yang terkelupas.

Pada hitungan ke sebelas, pemukul itu mengalihkan sasarannya ke arah betis.

“Sebelas!”, Ctarr!”, aaachhh!” teriak Andragi kaget dan kesakitan.

 Tadinya ia sudah mulai terbiasa terasa sakit di punggungnya, tetapi kali ini tiba-tiba yang dihajar kakinya.

Pada hitungan ke dua puluh sipir itu mulai merubah-rubah sasaran. Ini membuat Andragi tidak tahan. Pada cambukan yang ke dua puluh empat ia terkulai pingsan.

“Siram dia dengan air dingin!” perintah Kepala Penjara.

Si penghitung segera berlari mengambil air dan menyiramkan ke tubuh Andragi. Ia tampak menggeliat siuman.

“Lanjutkan!” perintah Kepala Penjara.

Kini si pemukul bergantian dengan si penghitung. Dengan tenaga yang masih segar, dihajarnya punggung Andragi yang sudah terkelupas habis kulitnya. Warna punggungnya memerah dan tampak seperti bubur. Pada hitungan ke tiga puluh dua ia jatuh pingsan lagi. Disiram lagi. Dan dicambuk lagi. Saking sakitnya, ia bahkan sudah tidak bisa merasakan pukulan yang datang berikutnya. Pada pukulan yang ke empat puluh delapan, untuk ketiga kalinya ia pingsan lagi. Disiram lagi. Dan...

“Cukup! Untuk sementara cukup dulu! perintah Kepala Penjara.

“Kita tak boleh membiarkan dia mati sebelum keputusan hukumannya dijatuhkan. Beri dia kesempatan mendapatkan uang untuk kita, sebelum kita lanjutkan mencambuknya,” lanjut Kepala Penjara itu.

Andragi lalu diseret dan dilemparkan ke dalam selnya. Ia tak bisa bangun, tubuhnya teronggok seperti karung kempes. Lama ia tergeletak begitu menderita perih yang tak terkatakan. Hingga menjelang malam baru ia merasa bisa bergerak untuk merangkak menuju dipan kayu. Pelan-pelan kesadarannya mulai membaik, meski rasa perih seakan terus mengerogoti dagingnya.

Di luar penjara Loyo dengan tenang berjalan melintasi halaman penjara dan menghampiri penjaga di posnya.

“Selamat malam pak,” sapa Loyo.

“He, selamat malam. Kamu siapa, dan perlu apa?!” selidik penjaga itu.

“Saya hanya orang suruhan yang diminta membawakan oleh-oleh untuk kepala penjara dan para sipir disini,” jawab Loyo sambil memperlihatkan kepingan uang perak dari balik bajunya.

“Saya hanya mau memberi makanan untuk orang yang baru dihukum tadi,” lanjut Loyo.

Melihat kemilau uang itu, mata si penjaga menjadi hijau.

“Mari masuk, kita bicara di dalam,” katanya dengan nada berubah ramah.

Loyo lalu masuk ke ruang dalam.

“Ah, tapi sayang saudara datang terlambat. Hukuman cambuk telah dilakukan tadi. Kalau sebelumnya hukumannya akan menjadi lebih ringan, tidak perlu sekuat tenaga mencambuknya. Tapi Pak Kepala Penjara baik hati dan baru setengah hukuman yang diberikan. Keadaannya tidak terlalu parah,” kata penjaga itu menghibur.

“Ada berapa penjaga malam ini yang harus saya berikan oleh-oleh ini?” tanya Loyo.

“Kami ada tiga orang yang menjaga sel ini. Tapi biar saya saja yang memberikan uang jatah mereka,” katanya rakus.

Ia berencana mengutip sebagian jatah temannya.

“Oh, tentu saja. Ini uangnya,” kata Loyo sambil mengangsurkan segenggam keping perak.

Penjaga itu segera meraihnya dan memasukkannya ke balik bajunya.

“Nah, sekarang saya ingin memberikan sebagian makan malam bagi semuanya. Tolong panggil yang lain biar kita bisa makan beramai-ramai,” kata Loyo dengan lebih berkharisma.

Lega karena uang sudah berada di kantongnya, penjaga itu tidak waspada dan menuruti permintaan Loyo. Ia segera berlalu memanggil temannya. Sejenak kemudian mereka bertiga datang. Loyo sudah menyediakan makanan untuk mereka berempat dan tentu saja dihadapannya makanan yang tidak diberi obat bius.

Setelah memberi salam, Loyo lalu mengajak mereka makan bersama-sama. Ia dengan sengaja menunjukkan makannya dengan lahap. Para penjaga itu juga segera makan dengan lahapnya, selain rakus juga karena tidak ingin berlama-lama meninggalkan posnya.

Belum sampai habis makanan mereka, para penjaga itu mulai merasa lemas dan segera jatuh tertidur sambil mulut penuh makanan. Loyo segera mengambil kunci sel yang tergantung di dinding dan bergegas menuju sel Andragi yang gelap.

“Sobat Mata Setan, anda dimana? Saya Loyo.” katanya setengah berbisik.

Tetapi tak ada jawaban.

Loyo lalu membuka sel itu dan masuk. Dinyalakan korek gas Andragi (ia   pernah diajari tentang benda itu, kan?) dan didekatkannya ke tubuh yang tergolek di dipan. Benar, itu Anak Langit. Dengan hati-hati dibangunkannya.

“Siapakah ini?” tanya Andragi lemah setelah terbangun.

“Anak Langit, saya Loyo. Mari kita segera keluar dari sini,” bisik Loyo.

“Oh, sobat Loyo. Terimakasih,” kata Andragi lemah.

“Mari sobat, saya akan menggendongmu.”

Tanpa menunggu jawaban Andragi, Loyo langsung merangkul dan menggendongnya. Andragi hanya bisa memeluk lemas di punggungnya. Dengan hati-hati ia melangkah keluar lorong penjara itu, melewati para penjaga yang masih teler disana untuk keluar menyeberangi halaman penjara. Namun sebelum kakinya melangkah di halaman itu ia mendengar derap langkah kuda di kejauhan. Itu pasti patroli Pamong Negeri atau pasukan keamanan pikirnya. Pelan-pelan diletakkannya Andragi di lantai dan ia berdiri tegak di pos penjaga, berlagak sebagai penjaga penjara.

Derap kaki kuda itu  terdengar semakin dekat. Andragi yang sudah mulai pulih ingatannya, sadar akan bahaya yang dihadapi.

“Apa sobat Loyo bawa benda saya?”

“Saya bawa mata setan, Anak Langit,” jawabnya.

“Kalau dipencet bagian yang menonjol di batangnya akan keluar cahaya itu,” kata Andragi mencoba menjelaskan.

Loyo mengambil senter itu dan meraba batangnya. Benar ada tonjolan di tengahnya. Andragi menyuruhnya menempelkan rapat-rapat ujung senter itu dengan telapak tangan kiringa dan tangan kanan memencet tombolnya. Loyo milihat ada cahaya dibalik telapaknya. Ia berhasil menyalakannya.

Pada saat itu sampailah patroli itu di depan penjara. Dua orang anak buah Setiaka rupanya.

“Hei, bung! Penjara aman?!” teriak seorang prajurit.

“Aman, bung! Silakan mampir,” jawab Loyo menirukan gaya seorang penjaga, basa-basi.

“Baik, kami akan mampir memeriksanya.”

Wah celaka, pikir Loyo. Mereka benar-benar akan mampir. Ia lalu bersiap di balik tembok pos jaga. Kedua prajurit itu masuk dan turun dari kuda mereka, lalu menambatkan tunggangan mereka itu di tempat yang tersedia. Tanpa ragu mereka melangkah memasuki pos jaga. Loyo menunggu mereka hingga benar-benar dekat dan dengan tiba-tiba menyorotkan sinar senter ke wajah seorang demi seorang. Keduanya terperanjat bukan kepalang.

“Waaa... Set.. set..an!” gagap keduanya.

Sebelum mereka sempat bereaksi, Loyo segera mengayunkan pukulan kepada keduanya secara beruntun. Kedua prajurit itu langsung jatuh pingsan, sebagian karena rasa takut yang bukan main.

“Mari Anak Langit. Kita bisa menggunakan kuda mereka untuk pergi dari sini,” kata Loyo.

Diangkatnya Andragi dan dinaikkan ke punggung seekor kuda. Ia juga naik dikuda yang sama. Andragi diminta memeluknya dari belakang agar tidak jatuh. Perlahan-lahan ia menjalankan kuda itu sambil menuntun yang seekor lagi. Dipilihnya jalan yang melalui sela-sela diantara rumah penduduk yang siang tadi telah ditelitinya, agar tidak berpapasan dengan prajurit. Para penduduk biasanya memilih masuk ke rumah bila melihat ada prajurit berkuda di sekitar rumah mereka.

Namun, belum sampai ke gerbang kota, ia harus menghentikan kudanya karena mendengar dentingan senjata beradu disekitar gerbang itu. Apakah yang terjadi disana? Ia lalu menuntun kedua kuda itu ke tempat yang tersembunyi di balik rumpun pohon pisang, dan menunggu disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA