Sementara itu, Andragi pun lalu diseret ke penjara
Kadipaten. Kepala penjara segera memerintahkan anak buahnya mempersiapkan
hukuman cambuk yang harus dijalani Andragi sesuai keputusan hakim. Andragi
lalu dibawa ke ruang khusus penyiksaan
yang pengap dan berbau amis.
“He, kepala perampok! Kalau kau punya uang, cepat
serahkan padaku dan akan kuringankan hukumanmu!” bentak kepala penjara.
“Saya bukan kepala perampok dan saya tidak
mempunyai uang,” jawab Andragi.
“Kurang ajar! Berani kau mejawab kepadaku ya!”
“Plakk!! tangannya menampar pipi Andragi.
Ia jatuh terjengkang. Hidungnya mengeluarkan darah
dan matanya berkunang-kunang.
“Sipir! Laksanakan tugasmu. Cambuk dia seratus
kali dengan sekuat tenaga!” perintah kepala penjara itu.
Andragi lalu di seret ke sebuah tiang di tengah
ruang itu. Badannya menghadap tiang, baju dan sarungnya dilepas. Kedua
tangannya diikat diatas kepalanya pada sebuah gelang besi di tiang itu
sedangkan kedua kakinya mengangkang dan diikat pada dua gelang besi yang menancap kuat di
lantai.
Dua orang sipir telah bersiap dikiri dan kanannya.
Seorang sebagai pemukul dan yang lain sebagai penghitung. Mereka akan
bergantian tugas jika si pemukul lelah. Tanpa basa-basi si pemukul mengambil
cambuk dari tempatnya dan bersiap.
“Satu!” kata penghitung.
“Ctarr!” bunyi cambuk menghajar punggung Andragi
yang segera berbekas merah, disambut teriakan kesakitan, “Ouchh!”
“Dua!”, “Ctarr!”, Aaach..!” terlihat bekas yang
kedua.
Begitu seterusnya. Pada hitungan ke sepuluh darah
sudah mulai mengucur dari kulit punggung yang terkelupas.
Pada hitungan ke sebelas, pemukul itu mengalihkan
sasarannya ke arah betis.
“Sebelas!”, Ctarr!”, aaachhh!” teriak Andragi
kaget dan kesakitan.
Tadinya ia
sudah mulai terbiasa terasa sakit di punggungnya, tetapi kali ini tiba-tiba
yang dihajar kakinya.
Pada hitungan ke dua puluh sipir itu mulai
merubah-rubah sasaran. Ini membuat Andragi tidak tahan. Pada cambukan yang ke
dua puluh empat ia terkulai pingsan.
“Siram dia dengan air dingin!” perintah Kepala
Penjara.
Si penghitung segera berlari mengambil air dan
menyiramkan ke tubuh Andragi. Ia tampak menggeliat siuman.
“Lanjutkan!” perintah Kepala Penjara.
Kini si pemukul bergantian dengan si penghitung.
Dengan tenaga yang masih segar, dihajarnya punggung Andragi yang sudah
terkelupas habis kulitnya. Warna punggungnya memerah dan tampak seperti bubur.
Pada hitungan ke tiga puluh dua ia jatuh pingsan lagi. Disiram lagi. Dan
dicambuk lagi. Saking sakitnya, ia bahkan sudah tidak bisa merasakan pukulan
yang datang berikutnya. Pada pukulan yang ke empat puluh delapan, untuk ketiga
kalinya ia pingsan lagi. Disiram lagi. Dan...
“Cukup! Untuk sementara cukup dulu! perintah
Kepala Penjara.
“Kita tak boleh membiarkan dia mati sebelum
keputusan hukumannya dijatuhkan. Beri dia kesempatan mendapatkan uang untuk
kita, sebelum kita lanjutkan mencambuknya,” lanjut Kepala Penjara itu.
Andragi lalu diseret dan dilemparkan ke dalam
selnya. Ia tak bisa bangun, tubuhnya teronggok seperti karung kempes. Lama ia
tergeletak begitu menderita perih yang tak terkatakan. Hingga menjelang malam
baru ia merasa bisa bergerak untuk merangkak menuju dipan kayu. Pelan-pelan
kesadarannya mulai membaik, meski rasa perih seakan terus mengerogoti
dagingnya.
Di luar penjara Loyo dengan tenang berjalan
melintasi halaman penjara dan menghampiri penjaga di posnya.
“Selamat malam pak,” sapa Loyo.
“He, selamat malam. Kamu siapa, dan perlu apa?!”
selidik penjaga itu.
“Saya hanya orang suruhan yang diminta membawakan
oleh-oleh untuk kepala penjara dan para sipir disini,” jawab Loyo sambil
memperlihatkan kepingan uang perak dari balik bajunya.
“Saya hanya mau memberi makanan untuk orang yang
baru dihukum tadi,” lanjut Loyo.
Melihat kemilau uang itu, mata si penjaga menjadi
hijau.
“Mari masuk, kita bicara di dalam,” katanya dengan
nada berubah ramah.
Loyo lalu masuk ke ruang dalam.
“Ah, tapi sayang saudara datang terlambat. Hukuman
cambuk telah dilakukan tadi. Kalau sebelumnya hukumannya akan menjadi lebih
ringan, tidak perlu sekuat tenaga mencambuknya. Tapi Pak Kepala Penjara baik
hati dan baru setengah hukuman yang diberikan. Keadaannya tidak terlalu parah,”
kata penjaga itu menghibur.
“Ada berapa penjaga malam ini yang harus saya
berikan oleh-oleh ini?” tanya Loyo.
“Kami ada tiga orang yang menjaga sel ini. Tapi
biar saya saja yang memberikan uang jatah mereka,” katanya rakus.
Ia berencana mengutip sebagian jatah temannya.
“Oh, tentu saja. Ini uangnya,” kata Loyo sambil
mengangsurkan segenggam keping perak.
Penjaga itu segera meraihnya dan memasukkannya ke
balik bajunya.
“Nah, sekarang saya ingin memberikan sebagian
makan malam bagi semuanya. Tolong panggil yang lain biar kita bisa makan
beramai-ramai,” kata Loyo dengan lebih berkharisma.
Lega karena uang sudah berada di kantongnya, penjaga
itu tidak waspada dan menuruti permintaan Loyo. Ia segera berlalu memanggil
temannya. Sejenak kemudian mereka bertiga datang. Loyo sudah menyediakan
makanan untuk mereka berempat dan tentu saja dihadapannya makanan yang tidak
diberi obat bius.
Setelah memberi salam, Loyo lalu mengajak mereka
makan bersama-sama. Ia dengan sengaja menunjukkan makannya dengan lahap. Para
penjaga itu juga segera makan dengan lahapnya, selain rakus juga karena tidak
ingin berlama-lama meninggalkan posnya.
Belum sampai habis makanan mereka, para penjaga
itu mulai merasa lemas dan segera jatuh tertidur sambil mulut penuh makanan.
Loyo segera mengambil kunci sel yang tergantung di dinding dan bergegas menuju
sel Andragi yang gelap.
“Sobat Mata Setan, anda dimana? Saya Loyo.” katanya
setengah berbisik.
Tetapi tak ada jawaban.
Loyo lalu membuka sel itu dan masuk. Dinyalakan
korek gas Andragi (ia pernah diajari
tentang benda itu, kan?) dan didekatkannya ke tubuh yang tergolek di dipan.
Benar, itu Anak Langit. Dengan hati-hati dibangunkannya.
“Siapakah ini?” tanya Andragi lemah setelah
terbangun.
“Anak Langit, saya Loyo. Mari kita segera keluar
dari sini,” bisik Loyo.
“Oh, sobat Loyo. Terimakasih,” kata Andragi lemah.
“Mari sobat, saya akan menggendongmu.”
Tanpa menunggu jawaban Andragi, Loyo langsung
merangkul dan menggendongnya. Andragi hanya bisa memeluk lemas di punggungnya.
Dengan hati-hati ia melangkah keluar lorong penjara itu, melewati para penjaga
yang masih teler disana untuk keluar menyeberangi halaman penjara. Namun sebelum
kakinya melangkah di halaman itu ia mendengar derap langkah kuda di kejauhan. Itu
pasti patroli Pamong Negeri atau pasukan keamanan pikirnya. Pelan-pelan
diletakkannya Andragi di lantai dan ia berdiri tegak di pos penjaga, berlagak
sebagai penjaga penjara.
Derap kaki kuda itu terdengar semakin dekat. Andragi yang sudah
mulai pulih ingatannya, sadar akan bahaya yang dihadapi.
“Apa sobat Loyo bawa benda saya?”
“Saya bawa mata setan, Anak Langit,” jawabnya.
“Kalau dipencet bagian yang menonjol di batangnya
akan keluar cahaya itu,” kata Andragi mencoba menjelaskan.
Loyo mengambil senter itu dan meraba batangnya.
Benar ada tonjolan di tengahnya. Andragi menyuruhnya menempelkan rapat-rapat
ujung senter itu dengan telapak tangan kiringa dan tangan kanan memencet
tombolnya. Loyo milihat ada cahaya dibalik telapaknya. Ia berhasil
menyalakannya.
Pada saat itu sampailah patroli itu di depan
penjara. Dua orang anak buah Setiaka rupanya.
“Hei, bung! Penjara aman?!” teriak seorang
prajurit.
“Aman, bung! Silakan mampir,” jawab Loyo menirukan
gaya seorang penjaga, basa-basi.
“Baik, kami akan mampir memeriksanya.”
Wah celaka, pikir Loyo. Mereka benar-benar akan mampir.
Ia lalu bersiap di balik tembok pos jaga. Kedua prajurit itu masuk dan turun
dari kuda mereka, lalu menambatkan tunggangan mereka itu di tempat yang
tersedia. Tanpa ragu mereka melangkah memasuki pos jaga. Loyo menunggu mereka
hingga benar-benar dekat dan dengan tiba-tiba menyorotkan sinar senter ke wajah
seorang demi seorang. Keduanya terperanjat bukan kepalang.
“Waaa... Set.. set..an!” gagap keduanya.
Sebelum mereka sempat bereaksi, Loyo segera
mengayunkan pukulan kepada keduanya secara beruntun. Kedua prajurit itu
langsung jatuh pingsan, sebagian karena rasa takut yang bukan main.
“Mari Anak Langit. Kita bisa menggunakan kuda
mereka untuk pergi dari sini,” kata Loyo.
Diangkatnya Andragi dan dinaikkan ke punggung
seekor kuda. Ia juga naik dikuda yang sama. Andragi diminta memeluknya dari
belakang agar tidak jatuh. Perlahan-lahan ia menjalankan kuda itu sambil
menuntun yang seekor lagi. Dipilihnya jalan yang melalui sela-sela diantara
rumah penduduk yang siang tadi telah ditelitinya, agar tidak berpapasan dengan
prajurit. Para penduduk biasanya memilih masuk ke rumah bila melihat ada
prajurit berkuda di sekitar rumah mereka.
Namun, belum sampai ke gerbang kota, ia harus
menghentikan kudanya karena mendengar dentingan senjata beradu disekitar
gerbang itu. Apakah yang terjadi disana? Ia lalu menuntun kedua kuda itu ke
tempat yang tersembunyi di balik rumpun pohon pisang, dan menunggu disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.