Pertemuan dengan Para Suami Yang Sudah Mati

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #96 )

“Tunggu sebentar, kalau boleh kami ikut ke markas Kasjur untuk belajar membangun daerah itu dari gurunya guru kami, sobat Andragi. Kami ingin daerah ini juga bisa dibangun dengan rencana yang tertata baik,..” kata Huntari.

“Silakan Sobat. Saya kira sobat Andragi akan senang,..” jawab Prasa.

Kini mereka menjadi bertujuh dengan ikutnya Huntari dan Huntaro. Perjalanan mereka bagi dalam 3 kelompok dengan jarak sekitar 100 meter. Paling depan Prati dan Pratur, ditengah Huntari, Huntaro dan Prasa. Sedangkan paling belakang adalah Prawa dan Prama.

Tak ada hambatan yang berarti diperjalanan itu dan menjelang gelap mereka tiba di pinggir sungai Priga tempat penyeberangan Satange. Mereka tidak langsung menuju tepi sungai tetapi berhenti di sebuah bangynan yang cukup bear tapi belum sepenuhnya selesai. Bangunan itu persis di sebelah rumah Satange.

Setiba disana mereka disambut seorang perempuan dan bocah lelaki.

“Selamat malam tuan-tuan. Ada yang bisa kami lakukan,..??” tanya perempuan itu.

“Selamat malam,.. kami sahabat pak Satange dan sahabat orang yang menolong bocah ini waktu sakit dulu,..” jawab Pratur.

“Oh, sahabat tuan penolong,... silakan,.. silakan.. tuan.. Mari masuk ke pondok ini,..” katanya sambil menunjuk dengan jempolnya kearah bangunan yang setengah jadi itu.

“Cepat panggil bapakmu kemari,..nak,..!!” perintah perempuan itu kepada si bocah.

Sengan lincah anak itu lari menuju tepi sungai sementara emaknya masuk ke rumahnya menyiapkan minuman bagi tamu-tamu itu. Suaminya selalu mengingatkan untuk selalu menyambut baik para sobat tuan penolong mereka.

Tak berapa lama kemudian datanglah Satange dengan ke empat temannya. Mereka saling memberi salam dan Huntari dan Huntaro memperkenalkan diri.

“Wah,.. kita kedatangan tamu terhormat,..” sapa Satange.

“Tapi, mohon maaf tempat ini belum sepenuhnya jadi,..” lanjut Satange.

“Tidak apa-apa,.. kami bisa tidur di lantai saja,..” jawab Prasa.

Setelah minuman disuguhkan, Satange juga meminta istrinya menyiapkan makanan bagi tamu-tamunya. Rupanya Satange memang sudah menduga para tuan penolingnya akan sering lewat dan sangat mungkin menginap di pondok yang dia bangun. Karena itu dia minta istrinya selalu menyediakan bahan makanan yang tidak mudah busuk seperti umbi-umbiam, beras, jagung dan lain sebagainya. Uang pemberian dari para tuan penolong itu cukup banyak untuk hidup setahun bagi dia sekeluarga.

Mereka bercakap-cakap sambil menunggu makanan tersedia.

“Tuan-tuan kelihatannya pergi ke tempat yang jauh untuk berdagang,..??” tanya Satange ragu-ragu.

“Ya, kami mengunjungi beberapa tempat untuk berdagang, tetapi tidak di wilayah Gurada,..” jawab Prasa.

“Jadi, tuan-tuan tidak melewati Megalung,..??” tanya Satange.

“Tidak,... memangnya ada apa di Megalung,..??” tanya Prasa.

“Tadi siang saya dengar omongan kalau pasukan Megalung dan Gurada yang menyerang gunung Kembar dikalahkan oleh para perampok itu. Banyak yang gugur disana, hanya tinggal 300-an orang yang selamat bisa kembali ke markas,..” kata Satange.

“Uh, tentu terjadi pertempuran yang hebat disana,.. dan tentu pemerintah akan mengirim pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan gunung Kembar,..” sela Pratur.

“Ya,.. saya tidak tahu,... tapi kata orang pasukan yang pulang itu akan di hukum berat karena kalah,..” kata Satange.

“Wah, kasihan juga mereka,...” sela Prama tapi segera disikut oleh Prasa agar tidak meneruskan kata-katanya.

“Ya, banyak orang merasa kasihan. Sepertinya warga merasa tindakan itu tidak adil,..” kata Satange dengan hati-hati.

Dengan kata-kata terakhir Satange itu Prasa dan kawan-kawan tahu perasaan warga yang kecewa terhadap pemerintah kadipaten Megalung. Tetapi dia masih  ragu menunjukkan sikapnya terus terang karena belum tahu ada di pihak mana para tuan penolongnya.

Prasa lalu membelokkan arah pembicaraan.

“Apakah teman-teman kami yang sama-sama menyeberang tempo hari sudah ada yang kembali,..??” tanya Prasa.

“Sebagian sudah tuan,.. Tuan Brewok dan Tuan Loyo sudah kembali dengan membawa keluarga mereka. Ada lima perempuan dan anak-anak yang ikut ke Selonto. Juga ada tuan Rampoli dengan ibunya dan seorang perempoan yang masih muda,..” jawab Satange.

Ke lima  bekas pimpinan prajurit itu merasa gembira mendengar berita itu karena itu berarti anak istri mereka telah berhasil dikeluarkan dari markas tentara Megalung dan sekarang sudah ada di markas Kasjur. Tetapi mereka menahan diri untuk tidak menunjukkannya.

“Syukurlah mereka sudah kembali,..” kata Prasa sambil menekan perasaan gembiranya.

Malam itu mereka bisa tidur dengan nyenyak, walaupun diam-diam mereka membagi tugas untuk berjaga setiap orang satu jam.

Ketika pagi tiba, begitu bangun mereka langsung disuguhi wedang wahe yang panas serta penganan rebusan ubi kayu yang dilumuri gula aren. Sebelum pamit untuk menyeberang Prasa meninggalkan sejumlah uang yang cukup banyak kepada Satange.

“Ah tuan,.. untuk apa uang sebanyak ini,.. ini terlalu banyak,.. tuan. Yang pemberian dari tuan Loyo dan Rampoli masih tersisa banyak,..” kata Satange.

“Loh, kenapa masih tersisa,..?? Apakah sulit mendirikan bangunan disini,..??” tanya Prasa.

“Saya tidak bisa langsung membangun sekali jadi supaya tidak menjadi tanda tanya banyak orang. Saya juga takut kalau ada perampokan atau ada yang kehilangan saya bisa dicurigai ikut merampok atau malah dikira piara tuyul atau babi ngepet,..” jelas Satange.

“Ah,.. benar juga,.. Itu cara yang bijak. Tetapi tetaplah terima dan simpan uang ini,.. Kami mendapat untung lumayan dari dagangan kami,..” kata Prasa.

Satange dengan terpaksa menerima uang itu karena tahu sangatlah sulit menahan diri kalau ada uang lebih di tangan. Ia tahu kalau para tuan penolong yang baik hati itu punya keahlian beladiri yang tinggi dan akan sering menyeberang disini. Jadi ia tak boleh main-main dengan uang pemberian mereka untuk membangun pondok persinggahan di samping rumahnya ini. Tetapi ia juga tidak boleh gegabah membeli bahan-bahan yang diperlukan agar tidak justru membahayakan dirinya sendiri akibat curiga dan prasangka buruk dari para tetangganya.

Pagi itu juga Satange dan teman-temannya menyeberangkan rombongan ini dan setibanya di seberang Prasa dan teman-teman sengaja membayar lebih kepada para tukang perahu, yang sukacita menerimanya.

Mereka bergegas menuju Selonto karena ingin segera bertemu dengan anak istri mereka yang mungkin saja masih bingung karena setibanya di Kasjur mereka tidak menemui suami-suami mereka. Dari Selonto dengan hati-hati mereka menuju pondok persinggahan di tepi hutan sebelum naik ke atas bukit markas Kasjur. Di pondok persinggahan itu mereka bertemu dengan beberapa orang bekas prajurit anak buah mereka.

“He,..apakah kalian yang baru datang kesini atau yang sedang menjemput teman-teman kita,..??” tanya Pratur.

“Saya berdua ini yang menjemput mereka di pasar Selonto sore tadi,..” jawab seorang bekas prajurit anak buah Prama.

“Apakah masih banyak yang belum bergabung,..??” tanya Prama.

“Sudah hampir semua komandan,..” tinggal satu dua,..” jawab bekas prajurit itu.

Malam itu mereka bermalam di pondok persinggahan itu dan esok paginya mereka naik me markas Kasjur. Prasa dan rombongannya langsung melapor kepada Andragi dan para sobat disana. Hati mereka sebenarnya sudah sangat ingin bertemu dengan anak istri mereka masing-masing.

“Syukurlah,.. kalian semua selamat dan memenangkan pertempuran disana,..”

“Tetapi akibatnya buruk bagi prajurit Megalung dan Gurada yang kalah perang. Sepertinya mereka akan dijatuhi hukuman berat atas kekalahan mereka,..” kata Prasa.

“Oh,..jangan-jangan bisa terjadi gejolak disana,..” kata Loyo.

“Kalau begitu harus ada orang yang memantau perkembangan situasi. Para pimpinan prajurit agar mengatur setiap hari ada 2 orang yang berjaga di pondok persinggahan dan memantau kabar di Selonto,..” kata Andragi.

“Baik, akan kami atur,..” jawab Prasa.

“Saya minta sobat Balmis dan Codet pergi ke Megalung mencari berita disana,..” kata Andrago.

“Baik, kami siap,..” jawab Balmis dan Codet hampir berbarengan.

Prasa dan kawan-kawan kemudian menyerahkan kantong-kantong berisi harta dan uang yang diambil dari gua penyimpanan di hutan Guhari.  Huntari dan Huntaro mengatakan bahwa mereka yang mengusulkan untuk mengambil harta itu, siapa tahu memang sudah dibutuhkan.

“Terimakasih sobat Huntari dan Huntaro,... memang sangat diperlukan terutama untuk menarik para korban pemerasan yang hidupnya jadi susah,..” kata Andragi.

“Oh, iya,... selamat kepada para sobat pimpinan prajurit,... keluarga para sobat sudah tiba disini dengan selamat,...Tolong sobat Brewok mengantar mereka ke pondok masing-masing,..Tentu mereka sudah sangat ingin bertemu,..” lanjut Andragi.

Brewok lalu mengantar Prasa dan kawan-kawan menemui anak istri mereka di pondok mereka masing-masing. Betapa gembira suasana para keluarga itu terutama para istri yang tadinya mengira mereka sudah tewas dalam perampokan hadiah bagi Kepala Negeri yang mereka kawal.

Para keluarga bekas pimpinan prajurit itu ditempatkan dalam pondok-pondok tersendiri dengan luas tanah yang cukup besar yang bisa mereka kembangkan menjadi rumah nantinya. Saat ini masih berupa pondok sederhana tetapi Andragi sudah membuat peta peruntukannya seperti yang dibuat di Harjagi. Para prajurit nantinya bisa bekerja di sawah atau ladang, sedang para istri bisa mengurus rumah dan tanaman di pekarangan masing-masing.

Semua bekas prajurit yang sudah datang masih tinggal bersama-sama di barak panjang, tetapi mereka diminta secara bergotong rotong menyiapkan pondok mereka untuk menampung anak istrinya kalau datang nanti.

Sejalan dengan kesiapan pondok-pondok itu Andragi meminta mereka mengundi siapa dulu yang akan menjemput keluarganya yang ditinggalkan di desa-desa sekitar Selonto. Para prajurit itu dengan semangat mengerjakan pondok mereka agar bisa segera menjemput anak istri masing-masing.

Esok harinya Balmis dan Codet berangkat menuju Megalung, dengan tugas melihat perkembangan yang terjadi disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA