“Tunggu sebentar, kalau boleh kami ikut ke markas Kasjur untuk belajar membangun daerah itu dari gurunya guru kami, sobat Andragi. Kami ingin daerah ini juga bisa dibangun dengan rencana yang tertata baik,..” kata Huntari.
“Silakan Sobat. Saya kira
sobat Andragi akan senang,..” jawab Prasa.
Kini mereka menjadi
bertujuh dengan ikutnya Huntari dan Huntaro. Perjalanan mereka bagi dalam 3 kelompok
dengan jarak sekitar 100 meter. Paling depan Prati dan Pratur, ditengah
Huntari, Huntaro dan Prasa. Sedangkan paling belakang adalah Prawa dan Prama.
Tak ada hambatan yang
berarti diperjalanan itu dan menjelang gelap mereka tiba di pinggir sungai Priga
tempat penyeberangan Satange. Mereka tidak langsung menuju tepi sungai tetapi
berhenti di sebuah bangynan yang cukup bear tapi belum sepenuhnya selesai.
Bangunan itu persis di sebelah rumah Satange.
Setiba disana mereka
disambut seorang perempuan dan bocah lelaki.
“Selamat malam tuan-tuan.
Ada yang bisa kami lakukan,..??” tanya perempuan itu.
“Selamat malam,.. kami
sahabat pak Satange dan sahabat orang yang menolong bocah ini waktu sakit
dulu,..” jawab Pratur.
“Oh, sahabat tuan
penolong,... silakan,.. silakan.. tuan.. Mari masuk ke pondok ini,..” katanya
sambil menunjuk dengan jempolnya kearah bangunan yang setengah jadi itu.
“Cepat panggil bapakmu
kemari,..nak,..!!” perintah perempuan itu kepada si bocah.
Sengan lincah anak itu
lari menuju tepi sungai sementara emaknya masuk ke rumahnya menyiapkan minuman
bagi tamu-tamu itu. Suaminya selalu mengingatkan untuk selalu menyambut baik
para sobat tuan penolong mereka.
Tak berapa lama kemudian
datanglah Satange dengan ke empat temannya. Mereka saling memberi salam dan
Huntari dan Huntaro memperkenalkan diri.
“Wah,.. kita kedatangan
tamu terhormat,..” sapa Satange.
“Tapi, mohon maaf tempat
ini belum sepenuhnya jadi,..” lanjut Satange.
“Tidak apa-apa,.. kami
bisa tidur di lantai saja,..” jawab Prasa.
Setelah minuman
disuguhkan, Satange juga meminta istrinya menyiapkan makanan bagi tamu-tamunya.
Rupanya Satange memang sudah menduga para tuan penolingnya akan sering lewat
dan sangat mungkin menginap di pondok yang dia bangun. Karena itu dia minta
istrinya selalu menyediakan bahan makanan yang tidak mudah busuk seperti
umbi-umbiam, beras, jagung dan lain sebagainya. Uang pemberian dari para tuan
penolong itu cukup banyak untuk hidup setahun bagi dia sekeluarga.
Mereka bercakap-cakap
sambil menunggu makanan tersedia.
“Tuan-tuan kelihatannya
pergi ke tempat yang jauh untuk berdagang,..??” tanya Satange ragu-ragu.
“Ya, kami mengunjungi
beberapa tempat untuk berdagang, tetapi tidak di wilayah Gurada,..” jawab
Prasa.
“Jadi, tuan-tuan tidak
melewati Megalung,..??” tanya Satange.
“Tidak,... memangnya ada
apa di Megalung,..??” tanya Prasa.
“Tadi siang saya dengar
omongan kalau pasukan Megalung dan Gurada yang menyerang gunung Kembar
dikalahkan oleh para perampok itu. Banyak yang gugur disana, hanya tinggal
300-an orang yang selamat bisa kembali ke markas,..” kata Satange.
“Uh, tentu terjadi
pertempuran yang hebat disana,.. dan tentu pemerintah akan mengirim pasukan
yang lebih besar untuk menghancurkan gunung Kembar,..” sela Pratur.
“Ya,.. saya tidak
tahu,... tapi kata orang pasukan yang pulang itu akan di hukum berat karena
kalah,..” kata Satange.
“Wah, kasihan juga
mereka,...” sela Prama tapi segera disikut oleh Prasa agar tidak meneruskan
kata-katanya.
“Ya, banyak orang merasa
kasihan. Sepertinya warga merasa tindakan itu tidak adil,..” kata Satange
dengan hati-hati.
Dengan kata-kata terakhir
Satange itu Prasa dan kawan-kawan tahu perasaan warga yang kecewa terhadap
pemerintah kadipaten Megalung. Tetapi dia masih
ragu menunjukkan sikapnya terus terang karena belum tahu ada di pihak
mana para tuan penolongnya.
Prasa lalu membelokkan
arah pembicaraan.
“Apakah teman-teman kami
yang sama-sama menyeberang tempo hari sudah ada yang kembali,..??” tanya Prasa.
“Sebagian sudah tuan,..
Tuan Brewok dan Tuan Loyo sudah kembali dengan membawa keluarga mereka. Ada
lima perempuan dan anak-anak yang ikut ke Selonto. Juga ada tuan Rampoli dengan
ibunya dan seorang perempoan yang masih muda,..” jawab Satange.
Ke lima bekas pimpinan prajurit itu merasa gembira
mendengar berita itu karena itu berarti anak istri mereka telah berhasil
dikeluarkan dari markas tentara Megalung dan sekarang sudah ada di markas
Kasjur. Tetapi mereka menahan diri untuk tidak menunjukkannya.
“Syukurlah mereka sudah
kembali,..” kata Prasa sambil menekan perasaan gembiranya.
Malam itu mereka bisa
tidur dengan nyenyak, walaupun diam-diam mereka membagi tugas untuk berjaga
setiap orang satu jam.
Ketika pagi tiba, begitu
bangun mereka langsung disuguhi wedang wahe yang panas serta penganan rebusan
ubi kayu yang dilumuri gula aren. Sebelum pamit untuk menyeberang Prasa
meninggalkan sejumlah uang yang cukup banyak kepada Satange.
“Ah tuan,.. untuk apa
uang sebanyak ini,.. ini terlalu banyak,.. tuan. Yang pemberian dari tuan Loyo
dan Rampoli masih tersisa banyak,..” kata Satange.
“Loh, kenapa masih
tersisa,..?? Apakah sulit mendirikan bangunan disini,..??” tanya Prasa.
“Saya tidak bisa langsung
membangun sekali jadi supaya tidak menjadi tanda tanya banyak orang. Saya juga
takut kalau ada perampokan atau ada yang kehilangan saya bisa dicurigai ikut
merampok atau malah dikira piara tuyul atau babi ngepet,..” jelas Satange.
“Ah,.. benar juga,.. Itu
cara yang bijak. Tetapi tetaplah terima dan simpan uang ini,.. Kami mendapat
untung lumayan dari dagangan kami,..” kata Prasa.
Satange dengan terpaksa
menerima uang itu karena tahu sangatlah sulit menahan diri kalau ada uang lebih
di tangan. Ia tahu kalau para tuan penolong yang baik hati itu punya keahlian
beladiri yang tinggi dan akan sering menyeberang disini. Jadi ia tak boleh
main-main dengan uang pemberian mereka untuk membangun pondok persinggahan di
samping rumahnya ini. Tetapi ia juga tidak boleh gegabah membeli bahan-bahan
yang diperlukan agar tidak justru membahayakan dirinya sendiri akibat curiga
dan prasangka buruk dari para tetangganya.
Pagi itu juga Satange dan
teman-temannya menyeberangkan rombongan ini dan setibanya di seberang Prasa dan
teman-teman sengaja membayar lebih kepada para tukang perahu, yang sukacita
menerimanya.
Mereka bergegas menuju
Selonto karena ingin segera bertemu dengan anak istri mereka yang mungkin saja
masih bingung karena setibanya di Kasjur mereka tidak menemui suami-suami
mereka. Dari Selonto dengan hati-hati mereka menuju pondok persinggahan di tepi
hutan sebelum naik ke atas bukit markas Kasjur. Di pondok persinggahan itu
mereka bertemu dengan beberapa orang bekas prajurit anak buah mereka.
“He,..apakah kalian yang
baru datang kesini atau yang sedang menjemput teman-teman kita,..??” tanya
Pratur.
“Saya berdua ini yang
menjemput mereka di pasar Selonto sore tadi,..” jawab seorang bekas prajurit
anak buah Prama.
“Apakah masih banyak yang
belum bergabung,..??” tanya Prama.
“Sudah hampir semua
komandan,..” tinggal satu dua,..” jawab bekas prajurit itu.
Malam itu mereka bermalam
di pondok persinggahan itu dan esok paginya mereka naik me markas Kasjur. Prasa
dan rombongannya langsung melapor kepada Andragi dan para sobat disana. Hati
mereka sebenarnya sudah sangat ingin bertemu dengan anak istri mereka
masing-masing.
“Syukurlah,.. kalian
semua selamat dan memenangkan pertempuran disana,..”
“Tetapi akibatnya buruk
bagi prajurit Megalung dan Gurada yang kalah perang. Sepertinya mereka akan
dijatuhi hukuman berat atas kekalahan mereka,..” kata Prasa.
“Oh,..jangan-jangan bisa
terjadi gejolak disana,..” kata Loyo.
“Kalau begitu harus ada
orang yang memantau perkembangan situasi. Para pimpinan prajurit agar mengatur
setiap hari ada 2 orang yang berjaga di pondok persinggahan dan memantau kabar
di Selonto,..” kata Andragi.
“Baik, akan kami atur,..”
jawab Prasa.
“Saya minta sobat Balmis
dan Codet pergi ke Megalung mencari berita disana,..” kata Andrago.
“Baik, kami siap,..”
jawab Balmis dan Codet hampir berbarengan.
Prasa dan kawan-kawan
kemudian menyerahkan kantong-kantong berisi harta dan uang yang diambil dari
gua penyimpanan di hutan Guhari. Huntari
dan Huntaro mengatakan bahwa mereka yang mengusulkan untuk mengambil harta itu,
siapa tahu memang sudah dibutuhkan.
“Terimakasih sobat
Huntari dan Huntaro,... memang sangat diperlukan terutama untuk menarik para
korban pemerasan yang hidupnya jadi susah,..” kata Andragi.
“Oh, iya,... selamat
kepada para sobat pimpinan prajurit,... keluarga para sobat sudah tiba disini
dengan selamat,...Tolong sobat Brewok mengantar mereka ke pondok
masing-masing,..Tentu mereka sudah sangat ingin bertemu,..” lanjut Andragi.
Brewok lalu mengantar
Prasa dan kawan-kawan menemui anak istri mereka di pondok mereka masing-masing.
Betapa gembira suasana para keluarga itu terutama para istri yang tadinya
mengira mereka sudah tewas dalam perampokan hadiah bagi Kepala Negeri yang
mereka kawal.
Para keluarga bekas
pimpinan prajurit itu ditempatkan dalam pondok-pondok tersendiri dengan luas
tanah yang cukup besar yang bisa mereka kembangkan menjadi rumah nantinya. Saat
ini masih berupa pondok sederhana tetapi Andragi sudah membuat peta
peruntukannya seperti yang dibuat di Harjagi. Para prajurit nantinya bisa
bekerja di sawah atau ladang, sedang para istri bisa mengurus rumah dan tanaman
di pekarangan masing-masing.
Semua bekas prajurit yang
sudah datang masih tinggal bersama-sama di barak panjang, tetapi mereka diminta
secara bergotong rotong menyiapkan pondok mereka untuk menampung anak istrinya
kalau datang nanti.
Sejalan dengan kesiapan
pondok-pondok itu Andragi meminta mereka mengundi siapa dulu yang akan
menjemput keluarganya yang ditinggalkan di desa-desa sekitar Selonto. Para
prajurit itu dengan semangat mengerjakan pondok mereka agar bisa segera
menjemput anak istri masing-masing.
Esok harinya
Balmis dan Codet berangkat menuju Megalung, dengan tugas melihat perkembangan
yang terjadi disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.