Menyeberang Danau Bersama Anak Setan

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #44 )


Loyo lalu memberi isyarat kepada Andragi dan Andragi pun meneruskannya kepada Paldrino untuk datang mendekat. Selang beberapa waktu mereka menunggu, tibalah rombongan Paldrino berjumlah sepuluh orang yang terdiri atas dia, istrinya dan dua anaknya, serta dua pasang suami istri dan dua orang pembantu mereka.

Loyo lalu memperkenalkan mereka satu persatu termasuk Andragi dan kedua anak buah Gunung Kembar yang berjalan bersamanya. Andragi disebutnya sebagai santri dari padepokan Kalbusih.

“Ini tuan Paldrino, wedana dari Buntung? Maafkan saya karena tidak mengenali tuan wedana,”  kata pemuda itu sambil memberi hormat.

Paldrino segera membalas hormat, diikuti oleh yang lainnya.

“Benar. Saya yang anak muda maksud. Siapakah nama anak muda, dan mengapa bertanya begitu?” tanya Paldrino.

“Nanti saja saya ceritakan. Tempat ini tidak aman. Sebaiknya kita segera menyingkir dari sini,” jawab anak muda itu

“Benar! Orang-orang itu tentu akan segera datang bersama teman-temannya yang lain,” kata Loyo.

Mereka lalu menuju ke tepi danau tempat perahu itu ditambat. Meski tidak terlalu besar, tetapi perahu itu mampu menampung mereka semua, termasuk anak muda itu. Mereka segera mendayung perahu itu, berlayar ke arah utara menuju tempat dimana bekal mereka disimpan. Brewok, Loyo dan keempat anak buah Gunung Kembar serta keempat pria pembantu Paldrino bertugas mendayung, sementara si anak muda memegang kemudinya.

Ketika perahu sudah melaju dengan tenang, barulah ia angkat bicara.

“Baiklah, saya tadi belum memperkenalkan diri saya. Saya sendiri lupa nama saya karena tidak pernah dipakai. Kalau tidak salah Lugasi, tetapi orang memanggil saya dengan sebutan Anak Setan. Mungkin karena saya nakal dan sering dimaki oleh para ibu yang makanannya saya ambil tanpa ijin, hihi..hi,” katanya sambil tertawa geli.

Anak muda ini berbicara dengan polos dan ceplas-ceplos. Ia begitu periang dan tidak mengenal sungkan kepada siapapun. Pembawaannya cenderung jenaka.

“Dimanakah saudara Lugasi tinggal?” tanya Paldrino.

“Oh..apa..? Jangan sebut nama itu, pak. Saya tidak terbiasa dan merasa aneh. Panggil saja Anak Setan. Lumayan, sekalian memaki hihi..hi,” katanya tertawa.

“Baiklah, Anak Setan!” kata Paldrino sambil menirukan memaki. “Dimanakah tempat tinggalmu?”

“Hihi.. hi. Itu kedengarannya lebih enak,” katanya dengan jenaka.

Ia berhenti, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu,

 “Baiklah,” ia memulai. “Saya tidak punya rumah dan tidak tahu dari mana asal saya. Saya hidup dimana saja, dari desa ke desa. Waktu kecil saya sering membantu para ibu biar mendapat makanan, terutama yang punya warung makan. Tapi kalau ketahuan oleh guru saya, saya akan diambil dan dibawanya pulang ke gunung Menora itu. Kami hanya hidup berdua, dan karena sepi saya sering melarikan diri dari sana. Cara yang paing mudah ya, menggelindingkan badan saya dari gunung itu ke bawah. Dengan begitu guru saya akan sulit menangkap saya..hihihi..,”  katanya.

Dalam hati, Brewok dan kawan-kawan jadi mengerti, pantas saja jurus menggelindingkan tubuhnya bisa begitu hebat.

“Setelah agak besar saya tidak senakal itu lagi. Saya sudah tidak perlu melarikan diri lagi karena guru saya malah sering menyuruh saya pergi membantu orang-orang desa. Cara yang cepat ya dengan menggelinding itu dan kembali dengan melenting-lentingkan wadag bulat ini..hihihi.. ,” ia tertawa geli.

Yang mendengar ikut tersenyum.

“Lucunya, orang-orang desa tetap memanggil saya Anak Setan, tetapi dengan nada yang bersahabat. Saya merasa senang dipanggil begitu. Para ibu malah sengaja menyediakan makanan di luar rumah mereka supaya saya mengambilnya. Dengan begitu mereka bisa pura-pura tetap memaki saya Anak Setan sambil tertawa ramah. Ah,..., orang-orang desa yang baik hati..,” katanya.

Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Dia mengusap air mata itu dengan ujung bajunya.

“Kenapa Anak Setan bersedih?” tanya Paldrino.

“Sekarang saya harus meninggalkan mereka dan tidak bisa membantu mereka lagi. Baru-baru ini guru saya menyuruh saya berkelana ke dunia yang lebih luas, sambil mencari tahu keberadaan orang tua saya. Kata beliau saya berasal dari Buntung tetapi saat masih bayi beliau menyelamatkan saya ketika rumah kami diserang dan dibakar habis oleh pasukan pemerintah. Katanya karena bapak saya tidak mau menjual sawah warisan keluarga kepada seorang petinggi disana. Guru saya tidak tahu apakah bapak dan ibu saya selamat atau tidak. Beliau juga bilang kalau wedana Buntung yang sekarang namanya Paldrino. Dia adalah orang yang terkenal sangat baik hati dan jujur. Tidak seperti wedana yang dulu. Dan sekarang saya ketemu pak Wedana disini..hhihi..,” katanya dengan wajah yang berbalik ceria lagi.

“Ah,terima kasih. Tapi gurumu itu terlalu berlebihan memuji saya,” sela Paldrino.

Paldrino lalu mengatakan ia belum pernah mendengar cerita itu dan saat peristiwa itu terjadi ia masih berada di Kotaraja, belum menjadi wedana Buntung.

“Karena itu saya bermaksud ke Buntung mencari bapak dan ibu saya. Saya baru dua tiga hari tiba disini dan untuk mengisi perut buncit ini saya bekerja membantu warung makan di seberang tempat judi itu. Eh, tahu-tahu beberapa hari yang lalu, empat orang itu masuk warung sambil bersungut-sungut karena kalah judi. Mereka bilang mau makan tapi ngutang dulu. Waktu saya melayani makanan mereka, masuk dua orang sobat kita itu dan duduk di dekat mereka. Betulkan?” tanyanya kepada kedua anak buah Gunung Kembar.

Yang ditanya mengangguk.

 “Benar, kami yang datang,” jawab keduanya.

“Rupanya mereka menjual perahu mereka untuk mendapatkan uang. Tetapi setelah kedua sobat kita pergi bersama dua orang mereka melihat perahunya, dua orang yang tinggal tertawa terbahak-bahak. Karena curiga dan tidak senang dengan tertawanya itu, saya menguping pembicaraan mereka. Rupanya mereka nermaksud mencuri kembali perahu mereka. Saya diam-diam menguntit salah seorang dari mereka yang tidak pergi naik sampan, sampai ke tempat tadi itu. Disana dia menunggu teman-temannya di sebuah pondok kecil yang tersembunyi. Baru tadi siang perahu itu datang dan saya mencegat mereka disana. Untung yang punya perahu datang, jadi saya tidak pusing-pusing mencarinya..hihi...”

“Terimakasih Anak Setan telah menolong kami,” kata Paldrino.

“Tidak perlu terimakasih. Saya sekedar menghilangkan rasa benci saya melihat orang yang berbuat tidak jujur. Tapi, sekarang saya sangat lapar. Perut ini belum diisi sejak pagi..hihi.., eh sore kemarin,” katanya.

“Kami punya bekal. Ini silakan makan. Dan di tempat yang kita tuju ini ada banyak makanan,” kata Paldrino sambil mengulurkan makanan yang diambilkan oleh istrinya dari bekal mereka.

“Terimakasih,” kata Anak Setan sambil menerima makanan itu tanpa sungkan.

Ia segera melahap makanan itu.

Sementara Anak Setan bercerita itu, Andragi diam-diam menggunakan teropongnya yang telah dikembalikan oleh Paldrino, untuk melihat-lihat situasi danau Tobil dan sekitarnya. Ternyata danau itu sangat luas, seakan laut. Di bagian timurnya bahkan tidak terlihat garis pantai. Ia lalu mengarahkan teropongnya ke arah selatan ke sebuah desa yang disebutkan oleh Anak Setan dalam ceritanya itu. Dengan mata telanjang, desa itu sudah tidak tampak sama sekali, hanya warna hijau tua pepohonan yang terlihat samar-samar. Tetapi dengan teropongnya, Andragi bisa melihat jelas sosok manusia dan kegiatan mereka disana. Ia lalu memutar-mutar roda pengatur fokus untuk mempertajam penglihatannya terhadap sesuatu yang menarik perhatiannya. Agak lama ia mengamati pada arah itu, lalu disimpannya lagi benda itu.

“Tampaknya kita akan segera kedatangan tamu,” kata Andragi.

“Apa yang saudara maksud?” tanya Anak Setan sambil mulutnya penuh nasi.

Yang lain pun segera memasang telinga mereka.

“Orang-orang itu rupanya mengumpulkan teman-temannya. Semuanya ada lima belas orang, dan mengejar kita dengan perahu yang lebih besar dari ini,” kata Andragi.

“Haaa? Darimana saudara tahu?” kata Anak Setan sambil menoleh ke arah selatan.

Dipicing-picingkan matanya berusaha melihat lebih baik tetapi tidak ada sesuatupun yang nampak diatas permukaan air.

 “Ah, tidak ada. Saya tidak melihat sesuatupun disana,” kata Anak Setan.

Andragi hanya tersenyum, sedangkan yang lain menjadi tegang. Mereka melihat kearah itu lagi dengan was-was. Tak terlihat apa-apa.

Namun kurang dari setengah jam kemudian Brewok berseru.

“Ada sesuatu disana!” katanya menunjuk sebuah titik hitam di ujung selatan.

Semua mata kembali menatap kesana. Lama kelamaan titik itu membesar dan mulai tampak seperti benda mengapung. Kemudian mulai terlihat tiang dan layarnya, meski masih samar-samar.

“Benar, mereka mengejar kita,” kata Loyo.

Para pendayung mencoba mendayung lebih kuat.

“Sebelum mereka datang, apa tidak sebaiknya kita menepi saja dan mendarat,” usul Paldrino.

“Tetapi pantai disini penuh dengan batu karang dan bertebing. Kita tidak bisa mendarat disini,” kata Loyo.

“Saya tidak pandai berenang, tetapi kalau terpaksa saya akan melompat ke perahu mereka dan melawan mereka,” kata Anak Setan.

“Ya, saya kira kita juga harus begitu!” kata Brewok.

“Apa boleh buat! Saya dan kawan-kawan dari Gunung Kembar juga tentu akan berusaha menghalangi mereka,” kata Loyo.

Keempat anggota Gunung Kembar itu mengiyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA