Loyo lalu memberi isyarat kepada Andragi dan
Andragi pun meneruskannya kepada Paldrino untuk datang mendekat. Selang
beberapa waktu mereka menunggu, tibalah rombongan Paldrino berjumlah sepuluh orang yang terdiri atas dia, istrinya dan dua
anaknya, serta dua pasang suami istri dan dua orang pembantu mereka.
Loyo lalu memperkenalkan mereka satu persatu
termasuk Andragi dan kedua anak buah Gunung Kembar yang berjalan bersamanya.
Andragi disebutnya sebagai santri dari padepokan Kalbusih.
“Ini tuan Paldrino, wedana dari Buntung? Maafkan
saya karena tidak mengenali tuan wedana,” kata pemuda itu sambil memberi hormat.
Paldrino segera membalas hormat, diikuti oleh yang
lainnya.
“Benar. Saya yang anak muda maksud. Siapakah nama
anak muda, dan mengapa bertanya begitu?” tanya Paldrino.
“Nanti saja saya ceritakan. Tempat ini tidak aman.
Sebaiknya kita segera menyingkir dari sini,” jawab anak muda itu
“Benar! Orang-orang itu tentu akan segera datang
bersama teman-temannya yang lain,” kata Loyo.
Mereka lalu menuju ke tepi danau tempat perahu itu
ditambat. Meski tidak terlalu besar, tetapi perahu itu mampu menampung mereka
semua, termasuk anak muda itu. Mereka segera mendayung perahu itu, berlayar ke
arah utara menuju tempat dimana bekal mereka disimpan. Brewok, Loyo dan keempat
anak buah Gunung Kembar serta keempat pria pembantu Paldrino bertugas
mendayung, sementara si anak muda memegang kemudinya.
Ketika perahu sudah melaju dengan tenang, barulah
ia angkat bicara.
“Baiklah, saya tadi belum memperkenalkan diri
saya. Saya sendiri lupa nama saya karena tidak pernah dipakai. Kalau tidak
salah Lugasi, tetapi orang memanggil saya dengan sebutan Anak Setan. Mungkin karena
saya nakal dan sering dimaki oleh para ibu yang makanannya saya ambil tanpa
ijin, hihi..hi,” katanya sambil tertawa geli.
Anak muda ini berbicara dengan polos dan
ceplas-ceplos. Ia begitu periang dan tidak mengenal sungkan kepada siapapun.
Pembawaannya cenderung jenaka.
“Dimanakah saudara Lugasi tinggal?” tanya
Paldrino.
“Oh..apa..? Jangan sebut nama itu, pak. Saya tidak
terbiasa dan merasa aneh. Panggil saja Anak Setan. Lumayan, sekalian memaki
hihi..hi,” katanya tertawa.
“Baiklah, Anak Setan!” kata Paldrino sambil
menirukan memaki. “Dimanakah tempat tinggalmu?”
“Hihi.. hi. Itu kedengarannya lebih enak,” katanya
dengan jenaka.
Ia berhenti, seperti sedang mengingat-ingat
sesuatu,
“Baiklah,”
ia memulai. “Saya tidak punya rumah dan tidak tahu dari mana asal saya. Saya
hidup dimana saja, dari desa ke desa. Waktu kecil saya sering membantu para ibu
biar mendapat makanan, terutama yang punya warung makan. Tapi kalau ketahuan
oleh guru saya, saya akan diambil dan dibawanya pulang ke gunung Menora itu. Kami
hanya hidup berdua, dan karena sepi saya sering melarikan diri dari sana. Cara
yang paing mudah ya, menggelindingkan badan saya dari gunung itu ke bawah.
Dengan begitu guru saya akan sulit menangkap saya..hihihi..,” katanya.
Dalam hati, Brewok dan kawan-kawan jadi mengerti,
pantas saja jurus menggelindingkan tubuhnya bisa begitu hebat.
“Setelah agak besar saya tidak senakal itu lagi.
Saya sudah tidak perlu melarikan diri lagi karena guru saya malah sering
menyuruh saya pergi membantu orang-orang desa. Cara yang cepat ya dengan
menggelinding itu dan kembali dengan melenting-lentingkan wadag bulat
ini..hihihi.. ,” ia tertawa geli.
Yang mendengar ikut tersenyum.
“Lucunya, orang-orang desa tetap memanggil saya
Anak Setan, tetapi dengan nada yang bersahabat. Saya merasa senang dipanggil
begitu. Para ibu malah sengaja menyediakan makanan di luar rumah mereka supaya
saya mengambilnya. Dengan begitu mereka bisa pura-pura tetap memaki saya Anak
Setan sambil tertawa ramah. Ah,..., orang-orang desa yang baik hati..,” katanya.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Dia mengusap air
mata itu dengan ujung bajunya.
“Kenapa Anak Setan bersedih?” tanya Paldrino.
“Sekarang saya harus meninggalkan mereka dan tidak
bisa membantu mereka lagi. Baru-baru ini guru saya menyuruh saya berkelana ke
dunia yang lebih luas, sambil mencari tahu keberadaan orang tua saya. Kata
beliau saya berasal dari Buntung tetapi saat masih bayi beliau menyelamatkan
saya ketika rumah kami diserang dan dibakar habis oleh pasukan pemerintah.
Katanya karena bapak saya tidak mau menjual sawah warisan keluarga kepada
seorang petinggi disana. Guru saya tidak tahu apakah bapak dan ibu saya selamat
atau tidak. Beliau juga bilang kalau wedana Buntung yang sekarang namanya
Paldrino. Dia adalah orang yang terkenal sangat baik hati dan jujur. Tidak
seperti wedana yang dulu. Dan sekarang saya ketemu pak Wedana disini..hhihi..,”
katanya dengan wajah yang berbalik ceria lagi.
“Ah,terima kasih. Tapi gurumu itu terlalu
berlebihan memuji saya,” sela Paldrino.
Paldrino lalu mengatakan ia belum pernah mendengar
cerita itu dan saat peristiwa itu terjadi ia masih berada di Kotaraja, belum
menjadi wedana Buntung.
“Karena itu saya bermaksud ke Buntung mencari
bapak dan ibu saya. Saya baru dua tiga hari tiba disini dan untuk mengisi perut
buncit ini saya bekerja membantu warung makan di seberang tempat judi itu. Eh,
tahu-tahu beberapa hari yang lalu, empat orang itu masuk warung sambil
bersungut-sungut karena kalah judi. Mereka bilang mau makan tapi ngutang dulu.
Waktu saya melayani makanan mereka, masuk dua orang sobat kita itu dan duduk di
dekat mereka. Betulkan?” tanyanya kepada kedua anak buah Gunung Kembar.
Yang ditanya mengangguk.
“Benar,
kami yang datang,” jawab keduanya.
“Rupanya mereka menjual perahu mereka untuk
mendapatkan uang. Tetapi setelah kedua sobat kita pergi bersama dua orang
mereka melihat perahunya, dua orang yang tinggal tertawa terbahak-bahak. Karena
curiga dan tidak senang dengan tertawanya itu, saya menguping pembicaraan
mereka. Rupanya mereka nermaksud mencuri kembali perahu mereka. Saya diam-diam
menguntit salah seorang dari mereka yang tidak pergi naik sampan, sampai ke
tempat tadi itu. Disana dia menunggu teman-temannya di sebuah pondok kecil yang
tersembunyi. Baru tadi siang perahu itu datang dan saya mencegat mereka disana.
Untung yang punya perahu datang, jadi saya tidak pusing-pusing
mencarinya..hihi...”
“Terimakasih Anak Setan telah menolong kami,” kata
Paldrino.
“Tidak perlu terimakasih. Saya sekedar
menghilangkan rasa benci saya melihat orang yang berbuat tidak jujur. Tapi,
sekarang saya sangat lapar. Perut ini belum diisi sejak pagi..hihi.., eh sore
kemarin,” katanya.
“Kami punya bekal. Ini silakan makan. Dan di
tempat yang kita tuju ini ada banyak makanan,” kata Paldrino sambil mengulurkan
makanan yang diambilkan oleh istrinya dari bekal mereka.
“Terimakasih,” kata Anak Setan sambil menerima
makanan itu tanpa sungkan.
Ia segera melahap makanan itu.
Sementara Anak Setan bercerita itu, Andragi
diam-diam menggunakan teropongnya yang telah dikembalikan oleh Paldrino, untuk melihat-lihat
situasi danau Tobil dan sekitarnya. Ternyata danau itu sangat luas, seakan
laut. Di bagian timurnya bahkan tidak terlihat garis pantai. Ia lalu
mengarahkan teropongnya ke arah selatan ke sebuah desa yang disebutkan oleh
Anak Setan dalam ceritanya itu. Dengan mata telanjang, desa itu sudah tidak
tampak sama sekali, hanya warna hijau tua pepohonan yang terlihat samar-samar. Tetapi
dengan teropongnya, Andragi bisa melihat jelas sosok manusia dan kegiatan
mereka disana. Ia lalu memutar-mutar roda pengatur fokus untuk mempertajam
penglihatannya terhadap sesuatu yang menarik perhatiannya. Agak lama ia
mengamati pada arah itu, lalu disimpannya lagi benda itu.
“Tampaknya kita akan segera kedatangan tamu,” kata
Andragi.
“Apa yang saudara maksud?” tanya Anak Setan sambil
mulutnya penuh nasi.
Yang lain pun segera memasang telinga mereka.
“Orang-orang itu rupanya mengumpulkan teman-temannya.
Semuanya ada lima belas orang, dan mengejar kita dengan perahu yang lebih besar
dari ini,” kata Andragi.
“Haaa? Darimana saudara tahu?” kata Anak Setan
sambil menoleh ke arah selatan.
Dipicing-picingkan matanya berusaha melihat lebih
baik tetapi tidak ada sesuatupun yang nampak diatas permukaan air.
“Ah, tidak
ada. Saya tidak melihat sesuatupun disana,” kata Anak Setan.
Andragi hanya tersenyum, sedangkan yang lain
menjadi tegang. Mereka melihat kearah itu lagi dengan was-was. Tak terlihat
apa-apa.
Namun kurang dari setengah jam kemudian Brewok
berseru.
“Ada sesuatu disana!” katanya menunjuk sebuah
titik hitam di ujung selatan.
Semua mata kembali menatap kesana. Lama kelamaan
titik itu membesar dan mulai tampak seperti benda mengapung. Kemudian mulai
terlihat tiang dan layarnya, meski masih samar-samar.
“Benar, mereka mengejar kita,” kata Loyo.
Para pendayung mencoba mendayung lebih kuat.
“Sebelum mereka datang, apa tidak sebaiknya kita
menepi saja dan mendarat,” usul Paldrino.
“Tetapi pantai disini penuh dengan batu karang dan
bertebing. Kita tidak bisa mendarat disini,” kata Loyo.
“Saya tidak pandai berenang, tetapi kalau terpaksa
saya akan melompat ke perahu mereka dan melawan mereka,” kata Anak Setan.
“Ya, saya kira kita juga harus begitu!” kata
Brewok.
“Apa boleh buat! Saya dan kawan-kawan dari Gunung
Kembar juga tentu akan berusaha menghalangi mereka,” kata Loyo.
Keempat anggota Gunung Kembar itu mengiyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.