Sisanya kembali naik ke dalam markas mereka. Mereka harus segera bersiap-siap.
Untuk apa,..??
“Mari kita bersiap diri meninggalkan tempat ini, sesuai kesepakatan kita memenuhi anjuran sobat
Aset,..” kata Jotiwo.
“Kita akan menunju ke
Markas Sontoloyo di propinsi Polerma, dekat dengan padepokan Kalbusih. Tapi
karena belum ada dari kita yang pernah kesana sebaiknya kita minta sobat Laja
mendahului kita menuju Padepokan Kalbusih menemui kakek Bulesak,..” lanjut
Jotiwo.
“Bagaimana dengan anak
buah kita,..??” tanya Gadamuk.
“Mereka boleh memilih
ikut kita atau pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang memilih pulang akan
kita beri bekal dan harta yang cukup untuk membangun hidup yang baru,..” jelas
Jotiwo.
Mereka lalu menanyakan
kepada para penghuni Gunung Kembar siapa saja yang akan pulang atau tetap
mengikuti perjuangan pasukan Gunung Kembar melawan penindasan dan
ketidak-adilan terhadap rakyat kecil. Ternyata hanya sedikit yang memilih
pulang. Mereka yang pulang ini tidak diberi tahu rencana perpindahan itu, dan
mengira pasukan mereka akan tetap berada di Gunung Kembar. Mereka segera diminta
meninggalkan gunung Kembar untuk menghindari pembalasan dari pasukan
pemerintah.
Malam harinya, setelah
kepergian aggota Gunung Kembar yang memilih pulang, Jotiwo dan pimpinan Gunung
Kembar mengatur diri untuk meninggalkan tempat itu. Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka
beserta pasukannya dengan didahului oleh Laja akan menuju ke markas Sontoloyo.
Adapun Lugasi akan turun ke Rajapurwa menemui para sobat warga Rajapurwa.
Sedangkan Prasa, Prawa, Prati, Pratur, dan Prama akan kembali ke markas Kasjur
di gunung Kalas.
Menjelang tengah malam
mereka semua turun gunung menuju arah masing-masing, termasuk yang menjaga
tahanan diam-diam meninggalkan tahanan mereka dan ikut turun bersama pasukan
Gunung Kembar.
Sementara itu sejak siang
hari, saat terjadi penyerangan di Gunung
Kembar, Adipati Jaira bersama komandan pasukan wilayah Rajapurwa yang tidak
lain adalah Tangka telah mempersiapkan pasukan tempur berjumlah 500 orang untuk
menyerang Gunung Kembar.
Pasukan Rajapurwa ini
tiba di kaki gunung Kembar menjelang gelap namun sudah tidak terdengar riuh
rendah suara denting pedang beradu atau teriakan perang. Jaira memerintahkan
berhenti untuk mempersiapkan diri.
“Siapkan diri kalian
untuk bertempur hidup mati. Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana
tetapi kemungkinan besar pasukan Megalung dan Gurada sudah dikalahkan dan
ditawan.,..!!” kata Jaira.
“Karena itu selagi mereka
sibuk mengurus tawanan dan kelelahan setelah bertempur seharian tadi, kita akan
menyerang dari atas dan dari bawah,” lanjut Jaira.
Dia lalu mengumpulkan
para pimpinan prajurit dan memberitahu taktis serangan yang akan mereka
lakukan.
“Saya dan Tangka serta 50
orang akan menyerang melalui bagian barat laut menuju sarang mereka. Kami akan
menyergap mereka diam-diam dan membakar sarang mereka,..” kata Jaira.
“Sementara itu kau
Dulatah dan para pimpinan prajurit membentuk dua pasukan yang siap menyerang
dari selatan. Saat markas mereka sudah terbakar kalian langsung masuk menyerbu,
kalahkan musuh dan bebaskan tawanan,.. Paham,..!!” tanya Jaira.
“Kami mengerti,..” sahut
Dulatah dan para pimpinan prajurit.
Jaira dan 50 orang
prajuritnya yang merupakan orang-orang terdekatnya lalu menyusup ke utara lalu
dari sana merangkak dengan hati-hati naik mendekati markas Gunung Kembar.
Setelah dekat Jaira memerintahkan
membakar semua bangunan disana sambil membuat keriuhan dengan teriakan hiruk pikuk di malam
menjelang subuh itu. Tidak ada perlawanan sama sekali di sana karena Jotiwo dan
pasukannya sudah pergi beberapa jam sebelumnya, tetapi pasukan Jaira sengaja
membuat keributan seakan terjadi pertempuran yang seru disana. Api segera membubung tinggi membakar rumah-rumag
di markas itu.
Dari bawah pasukan yang
dipimpin Dulatah dan kawan-kawan melihat kebakaran sebagai tanda bagi mereka
untuk menyerang. Aba-aba serang diberikan dan pasukan itu bergerak naik. Dengan
garang mereka merangsek maju sambil
meneriakkan semangat perang. Di tengah gemerisik gerak kaki-kaki menerabas
hutan itu tiba-tiba terdengar suara minta tolong dari beberapa tempat.
“Tolong,... jangan bunuh
kami,..??”
“Siapa kalian he,..!!??” tanya Dulatah.
“Kami pasukan Megalung
dan Gurada,..” jawab seseorang yang
terikat di sebatang pohon.
Dulatah dan pasukannya
lalu membebaskan mereka termasuk yang terperangkap di dalam parit. Jumlah
mereka tinggal sekitar 400 orang saja. Selebihmya terbunuh dalam pertempuran
kemarin siang.
Tak lama kemudian datang
Jaira dan pasukan dari atas markas
Gunung Kembar yang terbakar hebat. Oleh Jaira para prajurit Megalung dan Gurada
diperintahkan menguburkan kawan-kawannya yang tewas ke dalam parit-parit
jebakan. Tenaga mereka rupanya sudah mulai terkumpul lagi setelah cukup lama
beristirahat di dalam parit.
Dalam waktu yang tak
begitu lama ke lima parit jebakan itu terisi penuh dengan mayat yang
ditumpukkan begitu saja lalu ditimbun.
Pekerjaan itu baru selesai menjelang matahari terbit.
Jaira lalu memerintahkan
sisa pasukan Megalung dan Gurada berkumpul di padang yang terbuka di kaki
gunung kembar.
“Kami pasukan Rajapurwa
yang membebaskan kalian. Markas perampok Gunung Kembar sudah berhasil kami
hancurkan setelah mengetahui kalian dikalahkan oleh mereka. Pimpinan kalian
semuanya telah tewas di tangan para perampok Gunung Kembar. Tapi para perampok
itu juga telah kami hancurkan tak bersisa. Gunung ini telah bersih dari
perampok Gunung Kembar,..” kata Jaira.
“Siapakah pimpinan yang
ada disini,..??” tanya Jaira.
“Saya pak,..” kata
seseorang sambil mengacungkan tangannya dengan lesu.
Rupanya dia satu-satunya
pimpinan prajurit yang tersisa masih hidup. Namanya Risnadu.
“Kau pimpin pasukan imi
kembali ke Megalung dan melaporkan apa yang terjadi. Jemput beberapa temanmu di
kemah perbekalan kalian, isi perut kalian dan langsung pergi. Jangan buat
keonaran di wilayah Rajapurwa ini,.. Mengerti,..!!??” tanya Jaira.
“Saya mengerti, ..” jawab
Risnadu.
Dia lalu menyiapkan
pasukan kalah perang itu dan pergi menuju kemah perbekalan mereka untuk
selanjutnya pulang kembali ke Megalung.
Demikian juga pasukan
Jaira yang kembali pulang ke markas mereka dengan membawa kemenangan. Di tengah
jalan mereka di-elu-elukan oleh rakyat Rajapurwa atas keberhasilan itu, meski
dalam hati kecil rakyat juga menyayangkan kekalahan ‘perampok’ Gunung Kembar
yang tidak pernah menyusahkan mereka bahkan malah sering membantu mereka dengan
memberikan bahan pangan hasil ladang dan sawah di sekitar markas Gunung Kembar.
Sementara itu Lugasi,
yang disini dipanggil Aset, telah tiba di warung Rajapurwa bertemu dangan para
sobat warga Rajapurwa. Mereka berbincang dengan seru pengalaman ‘menyerang’
kemah perbekalan pasukan Megalung dab Gurada. Mereka terbahak-bahak manakala
seorang menceritakan pengalamannya ditendang bokongnya oleh seorang prajurit
saat dia dan temannya yang ‘ditawan’ tidak cepat melayani mereka.
“Syukurlah,.. semua
berjalan sesuai dengan rencana,..” kata Lugasi.
“Ya, kami sangat
bersyukur bisa menjalankan ide sobat Aset,..” jawab salah seorang yang
‘ditawan’.
“Lalu mau diapakan bahan
pangan yang dibawa dari kemah perbekalan itu,..semuanya oleh teman-teman dibawa
kesini??” tanya pemilik warung.
“Kalau begitu biarlah
dititipkan disini untuk dipakai setiap kali membantu seseorang yang dalam
kesulitan. Jadi kalau ada yang meninggal misalnya, kita ambilkan sedikit bahan
pangan dari sini untuk membantu yang bersedih sehingga dia tidak perlu sibuk
menyediakan makanan bagi pelayat,..” jelas Lugasi.
Kebiasaan di Klapa Getir
para pelayat akan mendapat makan siang sebelum mayat dikuburkan. Kebiasaan ini
terjadi karena para pelayat bisa saja kerabat yang datang dari tempat yang jauh
dan tentu perlu makan.
“Wah, pikiran yang sangat
bagus,.. jawab seorang warga.
“Besok kita akan bikin
gudang khusus bahan pangan disini kalau pak warung mengijinkan,..” lanjutnya.
“Tentu boleh,... dengan
senang hati,..” jawab pemilik warung.
“Dan supaya tidak
habis-habis, maka setiap kali musim panen setiap warga menyisihkan sedikit
untuk dikasih ke gudang ini secara sukarela. Dengan begitu kita tetap bisa
saling membantu dalamjika ada yang mengalami kesulitan,..” jelas Lugasi.
“Wah, gagasan sobat Aset
ini sangat bagus,..!!” puji mereka.
“Oh itu bukan gagasan
saya,... Itu sebenarnya gagasan guru saya Anak Langit yang sudah diterapkan di
desa Harjagi di wilayah Poruteng,..” jawab Andragi.
“Anak Langit,..??” seru
mereka hampir serempak.
“Ssssstttt,..!! Tolong
jangan disebutkan nama itu lagi,..!! tegas Lugasi,
“Saya kasih tahu ini
karena kalian sobat saya tetapi jangan sebut-sebut nama itu lagi karena akan
membahayakan diri kalian. Guru saya itu banyak dimusuhi oleh para pejabat
pemerintah yang brengsek karena perbuatan baiknya tidak disukai. Dan mereka
selalu berlomba-lomba menangkapnya dengan alasan yang dibuat-buat untuk
mendapatkan hadiah. Karena itu kalau kalian sampai menyebut nama itu, kalian
pun akan cari-cari dan dipaksa menunjukkan dimana guru saya itu berada. Beliau
selalu berpindah-pindah tempat. Saya sendiripun tidak tahu dimana beliau berada
saat ini, tapi dia tahu dimana saya berada,..” jelas Lugasi.
“Nah, demi kebaikan
kalian sendiri, saya minta jangan pernah sebut nama itu lagi,..Cukup kalian
melaksanakan gagasan ini maka guru saya tahu kalau warga disini adalah
sahabatnya,..apakah bisa di mengerti,..??” tanya Lugasi.
“Kami mengerti dan tidak
akan menyebut nama itu,..” jawab mereka sungguh.
Lugasi bermalam di warung
itu. Esok harinya para sobat warga Rajapurwa bergotong royong membangun gudang
yang cukup besar untuk menampung bahan pangan dari perbekalan itu. Bahu membahu
‘pasukan warga’ itu dengan semangat mengumpulkan bahan bangunan yang diperlukan
dan mengerjakan bangunan. Lugasi juga turut dalam kesibukan itu.
Sore harinya dia pergi ke
rumah Adipati Jaira yang sore itu juga sudah kembali dari penyerangannya ke
Gunung Kembar. Betapa hangat pertemuan kedua saudara angkat ini dan bersyukur
apa yang mereka rencanakan telah berjalan dengan baik.
“Besok aku akan menyuruh
orang kepercayaanku berangkat ke Kotaraja menemui paman Perdana Menteri Jukamu
dan membawa suratku tentang aku telah berhasil menghancurkan pasukan Gunung
Kembar dan membebaskan pasukan Megalung dan Gurada yang tertawan,..” kata
Jaira.
“Aku akan menyusul
sepekan kemudian setelah melihat situasi setelah penyerangan itu terutama mengawasi
langkah pulang pasukan yang kalah itu jangan sampai mereka membuat onar yang merugikan
rakyat Rajapurwa,..” lanjut Jaira.
“Hihihihi,.. Sungguh luar
biasa kakakku Adipati Rajapurwa ini, ,,. Dia selalu memikirkan nasib rakyatnya lebih
dulu dibanding dengan kepentingan pribadinya,..hhihihi,..” puji Lugasi dengan
jenaka sambil bertepuk tangan.
“Ya,.. aku harus
memastikan rakyatku aman dulu baru mengurus urusan politik yang menyangkut
kepentinganku. Biarlah Paman Jukamu tidak ketinggalan berita dengan kabar
melalui utusanku itu,..” kata Jaira.
“Sungguh pemimpin yang
baik kakakku ini,..” puji Lugasi.
“Bukankah itu yang adikku
Aset minta dariku,..?? Dan lagipula aku sudah merasakan kebahagiaan yang “Aneh”
itu setiap kali melihat rakyatku gembira dan mereka dekat dengan aku,..” kata
Jaira menerawang sambil tersenyum.
Dalam hati Lugasi merasa
senang dan yakin kalau Jaira sudah berubah menjadi pemimpin yang baik, bahkan
lebih baik dari yang dia bayangkan.
“Eh, tapi,... ada yang
ingin kutanyakan padamu adikku Aset,..” kata Jaira tiba-tiba.
“Oh, apakah itu,..??
Jangan ngomomg soal jodohku ya,..hihihi,..” sahut Lugasi dengan gaya jenakanya.
“Dasar Anak Setan,...
bukan soal itu,..” kata Jaira.
“Lalu,.. soal
apakah,..??” tanya Lugasi.
“Aku mendengar berita
dari orang-orang kepercayaanku tentang seorang yang bernama Lugasi dengan
tindakan-tindakannya yang luar biasa di Poruteng, di sekitar danau Tobil dan
tempat lain dengan ciri tubuh seperti badanmu ini. Apakah itu kau,..??” tanya
Jaira.
“Hmm, hhihihi... apa
boleh buat,.. Memang itu aku. Nama asliku memang Lugasi tapi orang sering
memakiku dengan sebutan Anak Setan terutama emak-emak warung yang marah melihat
tingkahku yang sering tidak bayar makanan yang kumakan dan menggantikannya
dengan membantu mereka mencuci piring atau mencari kayu bakar atau menimba air,
hihihi,... Ada juga yang menyingkatnya menjadi Aset, seperti kakakku Jaira
ini,..hihihi,..” jelas Lugasi dengan ringan.
“Oh, begitu rupanya,..
Syukurlah kalau begitu. Aku jadi turut bangga,..Dan sejak saat ini kau akan
kupanggi Lugasi,..” kata Jaira.
“Tak usah diubah,..
Biarlah tetap Aset. Yang penting kau sudah tahu Lugasi itu Aset. Hanya
orang-orang terdekat saja yang tahu kedua nama itu makhluknya ya satu
ini,..hihihi,..” jawab Lugasi.
“Baiklah,.. tapi, apalagi
yang bisa kuperbuat untuk menyejahterakan rakyatku disini,..??” tanya Jaira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.