Pasukan Jaira Menggempur Gunung Kembar

Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #93 )

Sisanya kembali naik ke dalam markas mereka. Mereka harus segera bersiap-siap. 

Untuk apa,..??

“Mari kita bersiap diri meninggalkan tempat ini, sesuai kesepakatan kita memenuhi anjuran sobat Aset,..” kata Jotiwo.

“Kita akan menunju ke Markas Sontoloyo di propinsi Polerma, dekat dengan padepokan Kalbusih. Tapi karena belum ada dari kita yang pernah kesana sebaiknya kita minta sobat Laja mendahului kita menuju Padepokan Kalbusih menemui kakek Bulesak,..” lanjut Jotiwo.

“Bagaimana dengan anak buah kita,..??” tanya Gadamuk.

“Mereka boleh memilih ikut kita atau pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang memilih pulang akan kita beri bekal dan harta yang cukup untuk membangun hidup yang baru,..” jelas Jotiwo.

Mereka lalu menanyakan kepada para penghuni Gunung Kembar siapa saja yang akan pulang atau tetap mengikuti perjuangan pasukan Gunung Kembar melawan penindasan dan ketidak-adilan terhadap rakyat kecil. Ternyata hanya sedikit yang memilih pulang. Mereka yang pulang ini tidak diberi tahu rencana perpindahan itu, dan mengira pasukan mereka akan tetap berada di Gunung Kembar. Mereka segera diminta meninggalkan gunung Kembar untuk menghindari pembalasan dari pasukan pemerintah.

Malam harinya, setelah kepergian aggota Gunung Kembar yang memilih pulang, Jotiwo dan pimpinan Gunung Kembar mengatur diri untuk meninggalkan tempat itu. Jotiwo, Gadamuk dan Setiaka beserta pasukannya dengan didahului oleh Laja akan menuju ke markas Sontoloyo. Adapun Lugasi akan turun ke Rajapurwa menemui para sobat warga Rajapurwa. Sedangkan Prasa, Prawa, Prati, Pratur, dan Prama akan kembali ke markas Kasjur di gunung Kalas.

Menjelang tengah malam mereka semua turun gunung menuju arah masing-masing, termasuk yang menjaga tahanan diam-diam meninggalkan tahanan mereka dan ikut turun bersama pasukan Gunung Kembar.

Sementara itu sejak siang hari, saat terjadi penyerangan di  Gunung Kembar, Adipati Jaira bersama komandan pasukan wilayah Rajapurwa yang tidak lain adalah Tangka telah mempersiapkan pasukan tempur berjumlah 500 orang untuk menyerang Gunung Kembar.

Pasukan Rajapurwa ini tiba di kaki gunung Kembar menjelang gelap namun sudah tidak terdengar riuh rendah suara denting pedang beradu atau teriakan perang. Jaira memerintahkan berhenti untuk mempersiapkan diri.

“Siapkan diri kalian untuk bertempur hidup mati. Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana tetapi kemungkinan besar pasukan Megalung dan Gurada sudah dikalahkan dan ditawan.,..!!” kata Jaira.

“Karena itu selagi mereka sibuk mengurus tawanan dan kelelahan setelah bertempur seharian tadi, kita akan menyerang dari atas dan dari bawah,” lanjut Jaira.

Dia lalu mengumpulkan para pimpinan prajurit dan memberitahu taktis serangan yang akan mereka lakukan.

“Saya dan Tangka serta 50 orang akan menyerang melalui bagian barat laut menuju sarang mereka. Kami akan menyergap mereka diam-diam dan membakar sarang mereka,..” kata Jaira.

“Sementara itu kau Dulatah dan para pimpinan prajurit membentuk dua pasukan yang siap menyerang dari selatan. Saat markas mereka sudah terbakar kalian langsung masuk menyerbu, kalahkan musuh dan bebaskan tawanan,.. Paham,..!!” tanya Jaira.

“Kami mengerti,..” sahut Dulatah dan para pimpinan prajurit.

Jaira dan 50 orang prajuritnya yang merupakan orang-orang terdekatnya lalu menyusup ke utara lalu dari sana merangkak dengan hati-hati naik mendekati markas Gunung Kembar. Setelah dekat Jaira  memerintahkan membakar semua bangunan disana sambil membuat keriuhan  dengan teriakan hiruk pikuk di malam menjelang subuh itu. Tidak ada perlawanan sama sekali di sana karena Jotiwo dan pasukannya sudah pergi beberapa jam sebelumnya, tetapi pasukan Jaira sengaja membuat keributan seakan terjadi pertempuran yang seru disana.  Api segera membubung tinggi membakar rumah-rumag di markas itu.

Dari bawah pasukan yang dipimpin Dulatah dan kawan-kawan melihat kebakaran sebagai tanda bagi mereka untuk menyerang. Aba-aba serang diberikan dan pasukan itu bergerak naik.  Dengan  garang mereka merangsek maju sambil  meneriakkan semangat perang. Di tengah gemerisik gerak kaki-kaki menerabas hutan itu tiba-tiba terdengar suara minta tolong dari beberapa tempat.

“Tolong,... jangan bunuh kami,..??”

“Siapa kalian he,..!!??”  tanya Dulatah.

“Kami pasukan Megalung dan Gurada,..”  jawab seseorang yang terikat di sebatang pohon.

Dulatah dan pasukannya lalu membebaskan mereka termasuk yang terperangkap di dalam parit. Jumlah mereka tinggal sekitar 400 orang saja. Selebihmya terbunuh dalam pertempuran kemarin siang.

Tak lama kemudian datang Jaira  dan pasukan dari atas markas Gunung Kembar yang terbakar hebat. Oleh Jaira para prajurit Megalung dan Gurada diperintahkan menguburkan kawan-kawannya yang tewas ke dalam parit-parit jebakan. Tenaga mereka rupanya sudah mulai terkumpul lagi setelah cukup lama beristirahat di dalam parit.

Dalam waktu yang tak begitu lama ke lima parit jebakan itu terisi penuh dengan mayat yang ditumpukkan  begitu saja lalu ditimbun. Pekerjaan itu baru selesai menjelang matahari terbit.

Jaira lalu memerintahkan sisa pasukan Megalung dan Gurada berkumpul di padang yang terbuka di kaki gunung kembar.

“Kami pasukan Rajapurwa yang membebaskan kalian. Markas perampok Gunung Kembar sudah berhasil kami hancurkan setelah mengetahui kalian dikalahkan oleh mereka. Pimpinan kalian semuanya telah tewas di tangan para perampok Gunung Kembar. Tapi para perampok itu juga telah kami hancurkan tak bersisa. Gunung ini telah bersih dari perampok Gunung Kembar,..” kata Jaira.

“Siapakah pimpinan yang ada disini,..??” tanya Jaira.

“Saya pak,..” kata seseorang sambil mengacungkan tangannya dengan lesu.

Rupanya dia satu-satunya pimpinan prajurit yang tersisa masih hidup. Namanya Risnadu.

“Kau pimpin pasukan imi kembali ke Megalung dan melaporkan apa yang terjadi. Jemput beberapa temanmu di kemah perbekalan kalian, isi perut kalian dan langsung pergi. Jangan buat keonaran di wilayah Rajapurwa ini,.. Mengerti,..!!??” tanya Jaira.

“Saya mengerti, ..” jawab Risnadu.

Dia lalu menyiapkan pasukan kalah perang itu dan pergi menuju kemah perbekalan mereka untuk selanjutnya pulang kembali ke Megalung.

Demikian juga pasukan Jaira yang kembali pulang ke markas mereka dengan membawa kemenangan. Di tengah jalan mereka di-elu-elukan oleh rakyat Rajapurwa atas keberhasilan itu, meski dalam hati kecil rakyat juga menyayangkan kekalahan ‘perampok’ Gunung Kembar yang tidak pernah menyusahkan mereka bahkan malah sering membantu mereka dengan memberikan bahan pangan hasil ladang dan sawah di sekitar markas Gunung Kembar.

Sementara itu Lugasi, yang disini dipanggil Aset, telah tiba di warung Rajapurwa bertemu dangan para sobat warga Rajapurwa. Mereka berbincang dengan seru pengalaman ‘menyerang’ kemah perbekalan pasukan Megalung dab Gurada. Mereka terbahak-bahak manakala seorang menceritakan pengalamannya ditendang bokongnya oleh seorang prajurit saat dia dan temannya yang ‘ditawan’ tidak cepat melayani mereka.

“Syukurlah,.. semua berjalan sesuai dengan rencana,..” kata Lugasi.

“Ya, kami sangat bersyukur bisa menjalankan ide sobat Aset,..” jawab salah seorang yang ‘ditawan’.

“Lalu mau diapakan bahan pangan yang dibawa dari kemah perbekalan itu,..semuanya oleh teman-teman dibawa kesini??” tanya pemilik warung.

“Kalau begitu biarlah dititipkan disini untuk dipakai setiap kali membantu seseorang yang dalam kesulitan. Jadi kalau ada yang meninggal misalnya, kita ambilkan sedikit bahan pangan dari sini untuk membantu yang bersedih sehingga dia tidak perlu sibuk menyediakan makanan bagi pelayat,..” jelas Lugasi.

Kebiasaan di Klapa Getir para pelayat akan mendapat makan siang sebelum mayat dikuburkan. Kebiasaan ini terjadi karena para pelayat bisa saja kerabat yang datang dari tempat yang jauh dan tentu perlu makan.

“Wah, pikiran yang sangat bagus,.. jawab seorang warga.

“Besok kita akan bikin gudang khusus bahan pangan disini kalau pak warung mengijinkan,..” lanjutnya.

“Tentu boleh,... dengan senang hati,..” jawab pemilik warung.

“Dan supaya tidak habis-habis, maka setiap kali musim panen setiap warga menyisihkan sedikit untuk dikasih ke gudang ini secara sukarela. Dengan begitu kita tetap bisa saling membantu dalamjika ada yang mengalami kesulitan,..” jelas Lugasi.

“Wah, gagasan sobat Aset ini sangat bagus,..!!”  puji mereka.

“Oh itu bukan gagasan saya,... Itu sebenarnya gagasan guru saya Anak Langit yang sudah diterapkan di desa Harjagi di wilayah Poruteng,..” jawab Andragi.

“Anak Langit,..??” seru mereka hampir serempak.

“Ssssstttt,..!! Tolong jangan disebutkan nama itu lagi,..!! tegas Lugasi,

“Saya kasih tahu ini karena kalian sobat saya tetapi jangan sebut-sebut nama itu lagi karena akan membahayakan diri kalian. Guru saya itu banyak dimusuhi oleh para pejabat pemerintah yang brengsek karena perbuatan baiknya tidak disukai. Dan mereka selalu berlomba-lomba menangkapnya dengan alasan yang dibuat-buat untuk mendapatkan hadiah. Karena itu kalau kalian sampai menyebut nama itu, kalian pun akan cari-cari dan dipaksa menunjukkan dimana guru saya itu berada. Beliau selalu berpindah-pindah tempat. Saya sendiripun tidak tahu dimana beliau berada saat ini, tapi dia tahu dimana saya berada,..” jelas Lugasi.

“Nah, demi kebaikan kalian sendiri, saya minta jangan pernah sebut nama itu lagi,..Cukup kalian melaksanakan gagasan ini maka guru saya tahu kalau warga disini adalah sahabatnya,..apakah bisa di mengerti,..??” tanya Lugasi.

“Kami mengerti dan tidak akan menyebut nama itu,..” jawab mereka sungguh.

Lugasi bermalam di warung itu. Esok harinya para sobat warga Rajapurwa bergotong royong membangun gudang yang cukup besar untuk menampung bahan pangan dari perbekalan itu. Bahu membahu ‘pasukan warga’ itu dengan semangat mengumpulkan bahan bangunan yang diperlukan dan mengerjakan bangunan. Lugasi juga turut dalam kesibukan itu.

Sore harinya dia pergi ke rumah Adipati Jaira yang sore itu juga sudah kembali dari penyerangannya ke Gunung Kembar. Betapa hangat pertemuan kedua saudara angkat ini dan bersyukur apa yang mereka rencanakan telah berjalan dengan baik.

“Besok aku akan menyuruh orang kepercayaanku berangkat ke Kotaraja menemui paman Perdana Menteri Jukamu dan membawa suratku tentang aku telah berhasil menghancurkan pasukan Gunung Kembar dan membebaskan pasukan Megalung dan Gurada yang tertawan,..” kata Jaira.

“Aku akan menyusul sepekan kemudian setelah melihat situasi setelah penyerangan itu terutama mengawasi langkah pulang pasukan yang kalah itu jangan sampai mereka membuat onar yang merugikan rakyat Rajapurwa,..” lanjut Jaira.

“Hihihihi,.. Sungguh luar biasa kakakku Adipati Rajapurwa ini, ,,. Dia selalu memikirkan nasib rakyatnya lebih dulu dibanding dengan kepentingan pribadinya,..hhihihi,..” puji Lugasi dengan jenaka sambil bertepuk tangan.

“Ya,.. aku harus memastikan rakyatku aman dulu baru mengurus urusan politik yang menyangkut kepentinganku. Biarlah Paman Jukamu tidak ketinggalan berita dengan kabar melalui utusanku itu,..” kata Jaira.

“Sungguh pemimpin yang baik kakakku ini,..” puji Lugasi.

“Bukankah itu yang adikku Aset minta dariku,..?? Dan lagipula aku sudah merasakan kebahagiaan yang “Aneh” itu setiap kali melihat rakyatku gembira dan mereka dekat dengan aku,..” kata Jaira menerawang sambil tersenyum.

Dalam hati Lugasi merasa senang dan yakin kalau Jaira sudah berubah menjadi pemimpin yang baik, bahkan lebih baik dari yang dia bayangkan.

“Eh, tapi,... ada yang ingin kutanyakan padamu adikku Aset,..” kata Jaira tiba-tiba.

“Oh, apakah itu,..?? Jangan ngomomg soal jodohku ya,..hihihi,..” sahut Lugasi dengan gaya jenakanya.

“Dasar Anak Setan,... bukan soal itu,..” kata Jaira.

“Lalu,.. soal apakah,..??” tanya Lugasi.

“Aku mendengar berita dari orang-orang kepercayaanku tentang seorang yang bernama Lugasi dengan tindakan-tindakannya yang luar biasa di Poruteng, di sekitar danau Tobil dan tempat lain dengan ciri tubuh seperti badanmu ini. Apakah itu kau,..??” tanya Jaira.

“Hmm, hhihihi... apa boleh buat,.. Memang itu aku. Nama asliku memang Lugasi tapi orang sering memakiku dengan sebutan Anak Setan terutama emak-emak warung yang marah melihat tingkahku yang sering tidak bayar makanan yang kumakan dan menggantikannya dengan membantu mereka mencuci piring atau mencari kayu bakar atau menimba air, hihihi,... Ada juga yang menyingkatnya menjadi Aset, seperti kakakku Jaira ini,..hihihi,..” jelas Lugasi dengan ringan.

“Oh, begitu rupanya,.. Syukurlah kalau begitu. Aku jadi turut bangga,..Dan sejak saat ini kau akan kupanggi Lugasi,..” kata Jaira.

“Tak usah diubah,.. Biarlah tetap Aset. Yang penting kau sudah tahu Lugasi itu Aset. Hanya orang-orang terdekat saja yang tahu kedua nama itu makhluknya ya satu ini,..hihihi,..” jawab Lugasi.

“Baiklah,.. tapi, apalagi yang bisa kuperbuat untuk menyejahterakan rakyatku disini,..??” tanya Jaira.

>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA