Memangnya Kawin Itu Enak?



Anak Langit Di Negeri Pelangi (aldnp #18)

Pagi-pagi sekali pada hari yang telah dijanjikan yaitu 3 hari setelah penyerangan di padepokan itu, Pangeran Muda Jaira memerintahkan pasukannya untuk bersiap menuju Gua Pintu Suargi. Yang mereka tahu hanya ancar-ancarnya saja. Belum pernah ada orang yang berani menginjakkan kakinya disana selain kakek Bulesak dan, tentu saja, Anak Langit. Semua orang tahu kalau gua itu sangat angker, dan mereka percaya banyak hal-hal gaib terjadi disana. Salah-salah mereka akan binasa tak tentu kemana arwah mereka pergi.

Setelah segalanya siap, mereka segera memacu kuda mereka  menuju Padepokan Kalbusih, yang jaraknya hampir setengah hari berkuda dari markas mereka di Kawedanan Buntung. Kawedanan adalah satuan wilayah setingkat kecamatan pada jaman sekarang. Adapun Kelurahan Brangin berada dibawah wilayah Kawedanan Buntung.

Menjelang siang, sekitar pukul 10.30, mereka tiba di depan gerbang Padepokan Kalbusih. Melihat kedatangan pasukan yang pernah menerjang ganas tubuh-tubuh mereka pada upacara suci tiga hari yang lalu, para penduduk mengunci diri mereka dan dengan hati-hati mengintip dari dalam rumah. Tidak ada yang berani keluar. Pengalaman sebelumnya serta ancaman Jaira telah membuat para penghuni padepokan itu ketakutan. Yang sedang bekerja di ladang atau di luar rumah pun segera pulang begitu melihat dari jauh pasukan yang ganas itu menuju padepokan mereka.

Seorang santri muda yang ditugaskan kakek Bulesak menemui mereka, dengan hati-hati dan penuh rasa was-was menunjukkan arah dimana bendera kuning pertama berada dan patokan arah menuju Gua Pintu Suargi.

Tanpa bicara sepatahpun, pasukan itu segera melaju ke arah yang ditunjuk. Satu persatu bendera kuning mereka lalui sementara jalan semakin lama semakin menanjak. Selain menanjak dan tidak mulus, jalanan itu juga berliku-liku dengan kelokan tajam yang seringkali membuat mereka menarik kekang kudanya dengan sigap kalau tak hendak terjerumus ke dalam jurang atau selokan berbatu.

Setelah berjalan cukup lama, kuda dan penunggangnya sudah mulai kelelahan, kehausan dan kelaparan. Beberapa prajurit sudah mulai menggerutu diam-diam, tetapi mereka tidak berani meminta istirahat. Dalam hati, Dulatah, prajurit yang suka iseng itu, menghibur diri dengan berharap siapa tahu diatas gua disana ia akan bertemu dengan bidadari yang cantik. Prajurit muda ini memang gatal matanya bila melihat wanita apalagi cantik, sebagai melihat asam. Ia mengencangkan semangatnya seiring dengan mengencangkan ikat pinggang besarnya yang mengendor karena muatan di dalam lambungnya telah kosong.

Untungya tak berapa lama kemudian, Tangka, seorang prajurit senior yang menjadi tangan kanan Jaira memberanikan diri menyampaikan isi hati rekan-rekannya.

“Sebaiknya kita istirahat dulu pangeran, kuda-kuda ini juga perlu istirahat dan minum,” usulnya.
“Tidak sekarang, Tangka! Kita harus mengejar waktu. Kalau hari ini kita tidak sampai di gua itu, kakek setan itu punya alasan untuk tidak menyerahkan Anak Langit. Kalian semua harus bersemangat! Kalau berhasil nanti, kalian semua akan kuberi imbalan yang cukup untuk seumur hidup, atau untuk kawin lagi semau kamu!” katanya tegas.

Mendengar imbalan itu, Dulatah tersenyum senang. Rasa lapar dan hausnya tiba-tiba lenyap terbawa semangatnya yang membumbung tinggi. Kata kawin selalu membuatnya bersemangat. Ia tidak pernah berpikir besarnya tanggung jawab dibalik kata kawin itu. Bila ada prajurit yang telah berkeluarga datang dengan wajah loyo mereka selalu mencandainya dengan mengatakan habis bersenang-senang dengan istrinya semalam suntuk, padahal yang terjadi sering karena habis bertengkar atau menunggui anak yang sakit, semalam suntuk.

Dulatah dan orang seusianya sering tidak menyadari pahit getirnya ‘kawin’.  Para suami yang habis bertengkar itu justru menyembunyikannya dan mengamini canda rekan-rekannya, karena takut dikatakan sebagai suami takut istri. Akibatnya Dulatah hanya tahu kawin itu enak, titik.

Akhirnya mereka tiba disebuah puncak yang berbatuan tanpa tetumbuhan sama sekali, dimana kabut tebal merayap dibawah kaki-kaki kuda mereka.Saat itu waktu sudah menjelang sekitar pukul 15.00 siang. Kuda dan manusianya kini benar-benar telah lelah, lapar dan haus.

Pangeran Jaira berkeras melanjutkan perjalanan, tetapi kudanya sama sekali tidak mau bergerak. Dihentak-hentakkan kakinya ke perut binatang itu tetapi sia-sia. Binatang yang terkenal patuh dan setia itu bergeming pada tempatnya. Akhirnya ia mengalah.

“Anak-anak, kita istirahat disini sejenak. Beri makan dan minum kuda-kuda kalian sebelum kalian sendiri makan!” perintahnya.

Tanpa menunggu sedetikpun para prajurit segera menuntun kuda mereka ke tempat di perbatasan hutan dengan bukit tandus itu yang banyak rerumputan dan air. Setelah itu mereka segera membuka bekal masing-masing dan melahapnya dengan rakus. Urusan perut memang tidak mengenal kompromi. Bekal yang sudah dingin itupun terasa nikmat. Dalam sekejap makanan itu telah berpindah ke lambung mereka masing-masing. Setelah makan mereka lalu merebahkan diri di bawah pepohonan dan segera jatuh terdtidur pulas dibelai oleh angin pegunungan yang sejuk dan perut yang kekenyangan. Sebagai komandan, Jaira beristirahat pada tempat yang agak berjarak dari para prajuritnya.

Jaira tidak berani memejamkan mata sepenuhnya. Ia takut ketiduran dan kehabisan waktu hari itu untuk mencapai gua tujuan mereka. Selang satu jam mereka beristirahat, dalam tidur-tidur ayamnya itu, Jaira melihat dari balik kabut di arah menuju gua tiba-tiba muncul seorang santri muda yang mengenakan kain serba putih berjalan menuju dirinya. Tersentak, ia segera bangun berdiri. Dilihatnya semua anak buahnya tertidur pulas. Karena itu dia bergerak hendak membangunkan mereka. Tetapi santri muda itu menggelengkan kepalanya sambil meletakkan jari telunjuknya melintang dibibirnya. Jaira berhenti, mengurungkan niatnya untuk membangunkan para prajuritnya.

“Anda sudah ditunggu kakek guru di gua Pintu Suargi. Harap segera kesana seorang diri,” katanya.
“Tidak! Aku tidak mau ditipu lagi oleh kakek tua itu!” kata Jaira keras-keras, sengaja membangunkan para prajurit dari mimpi mereka. 

Tergagap para prajuritnya segera berdiri sambil bersiap memegang senjata. 
Melihat itu hati Jaira mengembang.

“Disana ada Anak Langit atau tidak!!?” tanyanya kasar.
“Entahlah. Saya tidak melihatnya,” jawab santri muda itu.
“Prajurit, tangkap anak ini. Sandera dia! Kalau sampai Anak Langit tidak ada disana kita bunuh dia!” perintah Jaira.

Para prajurit segera meringkus santri muda tanpa perlawanan.
“Kemana arah menuju gua!?” tanya Jaira.
Santri muda itu menunjuk kearah dimana dia datang sebelumnya.
“Empat orang menjaga anak ini, yang lain ikut saya!”

Bergegas pasukan itu mengambil kuda mereka dan menaikinya lalu melaju menuju gua. Tak lama kemudian kabut segera menyelimuti mereka, membuat mereka harus berhati-hati berjalan di jalur bebatuan. Di sebelah kiri jalur bebatuan itu menganga jurang yang dalam, namun tertutup oleh awan. Ini membantu membuat mereka dan kuda-kudanya menjadi tidak ketakutan.

Lebih dari setengah jam mereka berjalan ketika mereka tiba pada sebidang pelataran yang cukup luas . Dihadapan mereka berdiri dinding terjal. Dibagian tengah dinding itu terdapat anak tangga berlapis-lapis dan lumayan curam. Tampaknya sengaja dibuat demikian agar kuda tak bisa ditunggangi melintasinya. Pelataran itu bisa dipakai sebagai tempat memarkir kuda-kuda mereka. Mereka lalu menambatkan kuda-kuda mereka disana.

Dipimpin oleh Jaira, satu persatu mereka menaiki anak tangga itu hingga mencapai pelataran gua. Keadaan disana sunyi senyap. Tidak tampak kakek Bulesak keluar menyambut.

Ini tentu membuat Jaira curiga, jangan-jangan orang tua itu akan mengelabuinya lagi. Ia lalu menyuruh seorang anak buahnya memastikan apakah di dalam gua itu ada Anak Langit. Prajurit muda itu segera menghampiri pintu gua dengan hati-hati dan mengintip kedalam dengan seksama. Beberapa saat kemudian ia melangkah surut, sama hati-hatinya, lalu berbalik berjalan menuju Jaira.

“Apa yang kamu lihat di dalam? Adakah Anak Langit disana?” cecarnya.
“Yang ada hanya kakek itu sedang duduk bersila menghadap ke tempat duduk yang lebih tinggi, sepertinya itu singgasana Anak Langit. Tetapi tempat duduk itu kosong!” lapornya.
“Kurang ajar, kakek busuk itu! Aku akan membunuhnya, dengan atau tanpa keberadaan Anak Langit!” geramnya.

Dengan lincah dia menghunus pedangnya, berjalan mengendap-endap, diikuti oleh pasukannya. Saat melihat kakek Bulesak sedang khusuk bersamadi memunggungi mereka, ia memberi isyarat agar pengikutnya berhenti.

“Kebetulan! Pucuk dicinta ulam tiba!” pikirnya.
Ia tahu apa yang harus dilakukannya.
“Jika mesti berhadapan muka, belum tentu aku bisa membunuh setan tua ini. Aku tidak tahu setinggi apa kesaktiannya. Kata orang dia cukup sakti. Jadi, inilah kesempatan terbaik untuk membunuhnya. Tak akan kusia-siakan peluang emas ini,” katanya dalam hati.

Perlahan-lahan, tetapi dengan langkah yang pasti, Jaira mendekati kakek Bulesak dari belakang. Begitu jaraknya cukup dekat, ia mengangkat pedang ditangannya tinggi-tinggi dan dengan sekuat tenaga mengayunkannya, menebas leher orang tua itu.

“Crassstt!!
“Mampus kau kakek!” teriaknya ketika mata pedang itu dirasakannya menyentuh leher si kakek dan melesak memisahkan tulang-tulang yang menyangga kepalanya.

Seketika itu juga terpisahlah kepala berambut putih itu dari tubuhnya, mengelinding jatuh disamping tubuh yang masih tetap terduduk. Tetapi ada yang aneh...! Dan itu sempat membuat Jaira terhenyak manakala ia melihat darah yang muncrat dari batang leher yang terpotong itu ternyata berwarna putih seperti susu. Namun, sebagai seorang pimpinan pasukan, segera pula dia menguasai diri dan tidak ambil pusing. Dijejaknya tubuh tak berkepala itu hingga roboh menggelosor ke depan.

“Dasar orang tua tolol! Sampai setua ini rupanya masih perjaka, sampai-sampai darahnya pun menjadi putih seperti air kelelakiannya!” serunya untuk meredam rasa terkejut anak buahnya, yang turut  menyaksikan darah yang aneh itu.

“Cepat periksa seluruh ruangan ini dan tangkap Anak Langit!” perintahnya.

Pasukan itu segera memeriksa setiap sudut ruangan itu tetapi tidak terlihat batang hidung orang yang dicari.

“Mungkin dia sudah kembali ke asalnya melalui lubang ini pangeran,” lapor Tangka, tangan kanannya.
“Coba periksa ke dalamnya!”
“Tidak bisa pangeran, lubangnya curam ke atas dan licin.”

Ada hawa seram yang menggelitik bulu kuduk mereka di dalam ruangan itu, apalagi dengan darah putih kakek Bulesak berceceran di lantai. Jaira tak ingin berlama-lama berada disitu. Hal yang sama dirasakan pula oleh para anak buahnya.

“Ya sudah! Ayo kita cabut!” perintahnya.

Mereka segera keluar menuju tempat parkir kuda, dan berusaha sesegera mungkin berlalu dari tempat angker ini. Dikejar oleh rasa seram, Dulatah yang kebetulan berada di posisi kedua terdepan menggeblas kudanya dengan cepat di jalur berbatuan mengikuti penunggang terdepan. Ulah ini segera diikuti oleh teman-temannya yang mengira mereka dikejar sesuatu. Gemuruh kaki-kaki kuda diiringi ringkikan binatang itu, ramai bersahut-sahutan.

Mendengar kegaduhan itu, seorang prajurit yang penakut menjadi panik dan karenanya malah membuatnya kesulitan membuka ikatan kuda yang sebenarnya hanya dililitkan secara sederhana pada batang kayu yang sengaja disediakan untuk itu. Berkali-kali ia mencoba, tetapi justru setelah lepas, tangan kirinya sendiri yang terlilit. Cairan hangat tak terasa membasahi selangkangannya. Ia terkencing-kencing!

“Toloong aku ditangkap!!” teriaknya serak.

Tak seorangpun peduli dengan teriakannya, dan hanya gemanya saja yang datang menghampiri dirinya. Semakin ketakutanlah dia! Untunglah tanpa sengaja lilitan itu terlepas begitu saja. Ia segera menyengklak kudanya meski harus dilakukannya beberapa kali karena kakinya terasa berat seakan ada yang memegang dan menahannya. Akhirnya ia berhasil juga dan tergopoh-gopoh memacu binatang itu mengejar teman-temannya.

“Heii. Tunggu!” teriaknya berulang-ulang.

Segera ia dapat menyusul teman-temannya yang sekarang malah tidak melarikan kuda mereka, hanya berjalan meski agak tergesa-gesa.

“Nasib baik!” pikirnya lega.
"Tetapi, kenapa mereka tidak menggeblas kudanya?"

Rupanya kejadian di depannya juga tidak kalah mengerikan. Prajurit terdepan yang menggeblas kudanya dengan cepat, semakin mempercepat lari tunggangannya itu ketika terdesak oleh kuda-kuda di belakangnya yang mengira mereka sedang dikejar sesuatu. Pada saat mata binatang yang lebih awas itu melihat ada batu yang cukup besar menghadang didepannya, ia melakukan lompatan yang cukup tinggi. Prajurit yang berada di punggung kuda itu tidak siap, terkejut, keseimbangannya hilang dan genggamannya lepas dari tali kekang kudanya. Tubuhnya terlempar melayang jatuh ke dalam jurang.

“Aaaaaaaa...aaaaaa...aaaa aa....!” terdengar teriakannya panjang.

Kasihan nasibnya. Ia jatuh ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya sampai-sampai benturan tubuhnya menghempas bumi pun tidak terdengar. Kudanya meringkik kehilangan penunggangnya, lalu berlari-lari kecil, diikuti oleh prajurit lainnya dengan hati-hati.

Akhirnya mereka sampai juga di ujung jalur bebatuan itu dimana ke empat rekannya sedang menunggu sambil mengawasi sandera mereka, yang kini terikat pada sebatang pohon. Keempat orang ini juga merasakan hawa seram dan sejak tadi ingin segera meninggalkan tempat itu. Hati mereka jadi lega saat melihat rekan-rekan mereka telah kembali.


Bagaimana nasib Anak Langit dan penduduk Padepokan Kalbusih, setelah kakek Bulesak terbunuh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Bro/Sis kasih komentar anda.Thanks.

KOMENTAR ANDA